Suku Dayak
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Artikel ini membutuhkan lebih banyak catatan kaki untuk pemastian. Silakan bantu memperbaiki artikel ini dengan menambahkan catatan kaki dari sumber yang terpercaya. |
Suku Dayak / Orang Dayak |
---|
Jumlah populasi |
Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan |
Indonesia, Malaysia dan Brunei |
Bahasa |
Daya, Dayak Melayik, Dayak Barito, Dayak Borneo Utara, Dayak Banuaka, Indonesia, Inggris dan Melayu. |
Agama |
Kristen (Katolik dan Protestan), Kaharingan, Buddha dan Islam |
Kelompok etnis terdekat |
Madagaskar, Melayu, Sama-Bajau, Sulawesi Selatan |
Dayak[1][2][3][4][5][6] atau Daya (ejaan lama: Dajak atau Dyak[7][8][9][10]) adalah nama yang oleh penduduk pesisir pulau Borneo diberi kepada penghuni pedalaman[11] yang mendiami Pulau Kalimantan (Brunei, Malaysia yang terdiri dari Sabah dan Sarawak, serta Indonesia yang terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan).
Budaya masyarakat Dayak adalah Budaya Maritim atau bahari. Hampir semua
nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang
berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama
rumpun dan nama kekeluargaannya.
Ada yang membagi orang Dayak dalam enam rumpun yakni rumpun Klemantan alias Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan.
Namun secara ilmiah, para linguis melihat 5 kelompok bahasa yang
dituturkan di pulau Kalimantan dan masing-masing memiliki kerabat di
luar pulau Kalimantan:
- "Barito Raya (33 bahasa, termasuk 11 bahasa dari kelompok bahasa Madagaskar, dan Sama-Bajau),
- "Dayak Darat" (13 bahasa)
- "Borneo Utara" (99 bahasa), termasuk bahasa Yakan di Filipina.
- "Sulawesi Selatan" dituturkan 3 suku Dayak di pedalaman Kalbar: Dayak Taman, Dayak Embaloh, Dayak Kalis disebut rumpun Dayak Banuaka.
- "Melayik" dituturkan 3 suku Dayak: Dayak Meratus/Bukit (alias Banjar arkhais yang digolongkan bahasa Melayu), Dayak Iban dan Dayak Kendayan (Kanayatn). Tidak termasuk Banjar, Kutai, Berau, Kedayan (Brunei), Senganan, Sambas yang dianggap berbudaya Melayu. Sekarang beberapa suku berbudaya Melayu yang sekarang telah bergabung dalam suku Dayak adalah Tidung, Bulungan (keduanya rumpun Borneo Utara) dan Paser (rumpun Barito Raya).
Daftar isi[sembunyikan] |
[sunting] Etimologi
Istilah "Dayak" paling umum digunakan untuk menyebut orang-orang asli non-Muslim, non-Melayu yang tinggal di pulau itu.[12][13]
Ini terutama berlaku di Malaysia, karena di Indonesia ada suku-suku
Dayak yang Muslim namun tetap termasuk kategori Dayak walaupun beberapa
diantaranya disebut dengan Suku Banjar dan Suku Kutai. Terdapat beragam
penjelasan tentang etimologi istilah ini. Menurut Lindblad, kata Dayak
berasal dari kata daya dari bahasa Kenyah, yang berarti hulu sungai atau pedalaman. King, lebih jauh menduga-duga bahwa Dayak mungkin juga berasal dari kata aja,
sebuah kata dari bahasa Melayu yang berarti asli atau pribumi. Dia juga
yakin bahwa kata itu mungkin berasal dari sebuah istilah dari bahasa
Jawa Tengah yang berarti perilaku yang tak sesuai atau yang tak pada
tempatnya.[14][15]
Istilah untuk suku penduduk asli dekat Sambas dan Pontianak adalah
Daya, sedangkan di Banjarmasin disebut Biaju (bi= dari; aju= hulu).[16]
Jadi semula istilah Daya ditujukan untuk penduduk asli Kalimantan Barat
yakni rumpun Bidayuh yang selanjutnya dinamakan Dayak Darat yang
dibedakan dengan Dayak Laut (rumpun Iban). Di Banjarmasin, istilah Dayak
mulai digunakan dalam perjanjian Sultan Banjar dengan Hindia Belanda
tahun 1826, untuk menggantikan istilah Biaju Besar (daerah sungai Kahayan) dan Biaju Kecil (daerah sungai Kapuas Murung) yang masing-masing diganti menjadi Dayak Besar dan Dayak Kecil.
Sejak itu istilah Dayak juga ditujukan untuk rumpun Ngaju-Ot Danum atau
rumpun Barito. Selanjutnya istilah “Dayak” dipakai meluas yang secara
kolektif merujuk kepada suku-suku penduduk asli setempat yang
berbeda-beda bahasanya[17], khususnya non-Muslim atau non-Melayu.[18]
Pada akhir abad ke-19 (pasca Perdamaian Tumbang Anoi) istilah Dayak
dipakai dalam konteks kependudukan penguasa kolonial yang mengambil alih
kedaulatan suku-suku yang tinggal di daerah-daerah pedalaman
Kalimantan.[19]
Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian
dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan Timur, Dr. August Kaderland,
seorang ilmuwan Belanda, adalah orang yang pertama kali mempergunakan istilah Dayak dalam pengertian di atas pada tahun 1895.
Arti dari kata ‘Dayak’ itu sendiri masih bisa diperdebatkan. Commans
(1987), misalnya, menulis bahwa menurut sebagian pengarang, ‘Dayak’
berarti manusia, sementara pengarang lainnya menyatakan bahwa kata itu
berarti pedalaman. Commans mengatakan bahwa arti yang paling tepat
adalah orang yang tinggal di hulu sungai.[20] Dengan nama serupa, Lahajir et al. melaporkan bahwa orang-orang Iban menggunakan istilah Dayak dengan arti manusia, sementara orang-orang Tunjung dan Benuaq
mengartikannya sebagai hulu sungai. Mereka juga menyatakan bahwa
sebagian orang mengklaim bahwa istilah Dayak menunjuk pada karakteristik
personal tertentu yang diakui oleh orang-orang Kalimantan, yaitu kuat,
gagah, berani dan ulet.[21] Lahajir et al. mencatat bahwa setidaknya ada empat istilah untuk penuduk asli Kalimantan dalam literatur, yaitu Daya', Dyak, Daya, dan Dayak.
Penduduk asli itu sendiri pada umumnya tidak mengenal istilah-istilah
ini, akan tetapi orang-orang di luar lingkup merekalah yang menyebut
mereka sebagai ‘Dayak’.[22]
[sunting] Asal mula
Secara umum kebanyakan penduduk kepulauan Nusantara adalah penutur bahasa Austronesia. Saat ini teori dominan adalah yang dikemukakan linguis seperti Peter Bellwood dan Blust, yaitu bahwa tempat asal bahasa Austronesia adalah Taiwan. Sekitar 4 000 tahun lalu, sekelompok orang Austronesia mulai bermigrasi ke Filipina.
Kira-kira 500 tahun kemudian, ada kelompok yang mulai bermigrasi ke
selatan menuju kepulauan Indonesia sekarang, dan ke timur menuju
Pasifik.
Namun orang Austronesia ini bukan penghuni pertama pulau Borneo.
Antara 60 000 dan 70 000 tahun lalu, waktu permukaan laut 120 atau 150
meter lebih rendah dari sekarang dan kepulauan Indonesia berupa daratan
(para geolog
menyebut daratan ini "Sunda"), manusia sempat bermigrasi dari benua
Asia menuju ke selatan dan sempat mencapai benua Australia yang saat itu
tidak terlalu jauh dari daratan Asia.
Dari pegunungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh
Kalimantan. Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka harus
menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami
pesisir pulau Kalimantan.[23] Tetek Tahtum menceritakan perpindahan suku Dayak dari daerah hulu menuju daerah hilir sungai.
Di daerah selatan Kalimantan Suku Dayak pernah membangun sebuah
kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak di daerah itu sering disebut Nansarunai Usak Jawa[24][25], yakni kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389.[26]
Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak Maanyan terdesak dan
terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman ke wilayah suku Dayak
Lawangan. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang
berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu
(sekitar tahun 1520).
Sebagian besar suku Dayak di wilayah selatan dan timur kalimantan yang memeluk Islam tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai atau orang Banjar dan Suku Kutai. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Amas
dan Watang Balangan. Sebagian lagi terus terdesak masuk rimba. Orang
Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian
Kotawaringin, salah seorang pimpinan Banjar Hindu yang terkenal adalah Lambung Mangkurat menurut orang Dayak adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).[27] Di Kalimantan Timur, orang Suku Tonyoy-Benuaq yang memeluk Agama Islam menyebut dirinya sebagai Suku Kutai.[rujukan?] Tidak hanya dari Nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa
tercatat mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun
1368-1643. Dari manuskrip berhuruf hanzi disebutkan bahwa kota yang
pertama dikunjungi adalah Banjarmasin. Kunjungan tersebut pada masa Sultan Hidayatullah I dan Sultan Mustain Billah.
Hikayat Banjar memberitakan kunjungan tetapi tidak menetap oleh
pedagang jung bangsa Tionghoa dan Eropa (disebut Walanda) di Kalimantan
Selatan telah terjadi pada masa Kerajaan Banjar Hindu (abad XIV).
Pedagang Tionghoa mulai menetap di kota Banjarmasin pada suatu tempat dekat pantai pada tahun 1736.[28]
Kedatangan bangsa Tionghoa di selatan Kalimantan tidak mengakibatkan
perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena
mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin.
Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa
Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen,
belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada
abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan
(termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Cheng Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750,
Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang
mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang
dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring,
cangkir, mangkok dan guci.[29]
[sunting] Pembagian sub-sub etnis
Dikarenakan arus migrasi yang kuat dari para pendatang, Suku Dayak
yang masih mempertahankan adat budayanya akhirnya memilih masuk ke
pedalaman. Akibatnya, Suku Dayak menjadi terpencar-pencar dan menjadi
sub-sub etnis tersendiri.
Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih
jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku
Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip,
merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat,
budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut
suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di
tiap-tiap pemukiman mereka.
Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975
dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri
dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh
Kalimantan.[30]
[sunting] Dayak pada masa kini
Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, yakni: Apokayan (Kenyah-Kayan-Bahau), Ot Danum-Ngaju, Iban, Murut, Klemantan dan Punan. Rumpun Dayak Punan
merupakan suku Dayak yang paling tua mendiami pulau Kalimantan,
sementara rumpun Dayak yang lain merupakan rumpun hasil asimilasi antara
Dayak punan dan kelompok Proto Melayu (moyang Dayak yang berasal dari
Yunnan). Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405
sub-etnis. Meskipun terbagi dalam ratusan sub-etnis, semua etnis Dayak
memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi
faktor penentu apakah suatu subsuku di Kalimantan dapat dimasukkan ke
dalam kelompok Dayak atau tidak. Ciri-ciri tersebut adalah rumah
panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau,
sumpit, beliong (kampak Dayak), pandangan terhadap alam, mata
pencaharian (sistem perladangan), dan seni tari. Perkampungan Dayak
rumpun Ot Danum-Ngaju biasanya disebut lewu/lebu dan pada Dayak lain sering disebut banua/benua/binua/benuo.
Di kecamatan-kecamatan di Kalimantan yang merupakan wilayah adat Dayak
dipimpin seorang Kepala Adat yang memimpin satu atau dua suku Dayak yang
berbeda.
Prof. Lambut dari Universitas Lambung Mangkurat,
(orang Dayak Ngaju) menolak anggapan Dayak berasal dari satu suku asal,
tetapi hanya sebutan kolektif dari berbagai unsur etnik, menurutnya
secara "rasial", manusia Dayak dapat dikelompokkan menjadi :
Namun di dunia ilmiah internasional, istilah seperti "ras Australoid", "ras Mongoloid dan pada umumnya "ras" tidak lagi dianggap berarti untuk membuat klasifikasi manusia karena kompleksnya faktor yang membuat adanya kelompok manusia.
[sunting] Tradisi Penguburan
Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak
diatur tegas dalam hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan
sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
- penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
- penguburan di dalam peti batu (dolmen)
- penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.
Menurut tradisi Dayak Benuaq baik tempat maupun bentuk penguburan dibedakan :
- wadah (peti) mayat--> bukan peti mati : lungun[31], selokng dan kotak
- wadah tulang-beluang : tempelaaq[32] (bertiang 2) dan kererekng (bertiang 1) serta guci.
- lubekng (tempat lungun)
- garai (tempat lungun, selokng)
- gur (lungun)
- tempelaaq dan kererekng
Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:
- penguburan tahap pertama (primer)
- penguburan tahap kedua (sekunder).
[sunting] Penguburan primer
- Parepm Api (Dayak Benuaq)
- Kenyauw (Dayak Benuaq)
[sunting] Penguburan sekunder
Penguburan sekunder tidak lagi dilakukan di gua. Di hulu Sungai Bahau dan cabang-cabangnya di Kecamatan Pujungan, Malinau,
Kalimantan Timur, banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang
merupakan peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir, penguburan
dengan menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang
atau dalam bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit.
Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni :
- dikubur dalam tanah
- diletakkan di pohon besar
- dikremasi dalam upacara tiwah.
[sunting] Prosesi penguburan sekunder
- Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
- Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
- Marabia
- Mambatur (Dayak Maanyan)
- Kwangkai[35][36][37][38]/Wara (Dayak Benuaq)
[sunting] Agama
Bagian ini membutuhkan pengembangan dengan sumber tepercaya |
Masyarakat Dayak menganut agama leluhur yang diberi nama oleh Tjilik Riwut sebagai agama Kaharingan.
Sekarang, agama ini kian lama kian ditinggalkan. Sejak abad pertama
Masehi, agama Hindu mulai memasuki Kalimantan dengan ditemukannya
peninggalan agama Hindu di Amuntai,
Kalimantan Selatan, selanjutnya berdirilah kerajaan-kerajaan
Hindu-Buddha. Semenjak abad ke-4 masyarakat Kalimantan memasuki era sejarah yang ditandai dengan ditemukannya prasasti peninggalan dari Kerajaan Kutai yang beragama Hindu di Kalimantan Timur.[39] Penemuan arca-arca Buddha yang merupakan peninggalan Kerajaan Sribangun (di Kota Bangun, Kutai Kartanegara) dan Kerajaan Wijayapura. Hal ini menunjukkan munculnya pengaruh hukum agama Hindu-Buddha dan asimilasi dengan budaya India
yang menandai kemunculan masyarakat multietnis yang pertama kali di
Kalimantan. Dengan menyebarnya agama Islam sejak abad ke-7 mencapai
puncaknya di awal abad ke-16, masyarakat kerajaan-kerajaan Hindu menjadi
pemeluk-pemeluk Islam yang menandai kepunahan agama Hindu dan Buddha di
Kalimantan. Sejak itu mulai muncul hukum adat Melayu/Banjar yang dipengaruhi oleh sebagian hukum agama Islam
(seperti budaya makanan, budaya berpakaian, budaya bersuci), namun
umumnya masyarakat Dayak di pedalaman tetap memegang teguh pada hukum
adat/kepercayaan Kaharingan. Sebagian besar masyarakat Dayak yang
sebelumnya beragama Kaharingan kini memilih Kekristenan,
namun kurang dari 10% yang masih mempertahankan agama Kaharingan. Agama
Kaharingan sendiri telah digabungkan ke dalam kelompok agama Hindu
(baca: Hindu Bali) sehingga mendapat sebutan agama Hindu Kaharingan.
Namun ada pula sebagian kecil masyarakat Dayak kini mengkonversi
agamanya dari agama Kaharingan menjadi agama Buddha (Buddha versi
Tionghoa), yang pada mulanya muncul karena adanya perkawinan antarsuku
dengan etnis Tionghoa yang beragama Buddha, kemudian semakin meluas disebarkan oleh para Biksu di kalangan masyarakat Dayak misalnya terdapat pada masyarakat Dayak yang tinggal di kecamatan Halong di Kalimantan Selatan. Di Kalimantan Barat, agama Kristen diklaim
sebagai agama orang Dayak, tetapi hal ini tidak berlaku di propinsi
lainnya sebab orang Dayak juga banyak yang memeluk agama-agama selain
Kristen misalnya ada orang Dayak yang sebelumnya beragama Kaharingan
kemudian masuk Islam namun tetap menyebut dirinya sebagai suku Dayak.
Agama sejati orang Dayak adalah Kaharingan. Di wilayah
perkampungan-perkampungan Dayak yang masih beragama Kaharingan berlaku
hukum adat Dayak, namun tidak semua daerah di Kalimantan tunduk kepada
hukum adat Dayak, kebanyakan kota-kota di pesisir Kalimantan dan
pusat-pusat kerajaan Islam, masyarakatnya tunduk kepada hukum adat
Melayu/Banjar seperti suku-suku Melayu-Senganan, Kedayan, Banjar,
Bakumpai, Kutai, Paser, Berau, Tidung, dan Bulungan. Bahkan di wilayah
perkampungan-perkampungan Dayak yang telah sangat lama berada dalam
pengaruh agama Kristen yang kuat kemungkinan tidak berlaku hukum adat
Dayak/Kaharingan. Di masa kolonial, orang-orang bumiputera
Kristen dan orang Dayak Kristen di perkotaan disamakan kedudukannya
dengan orang Eropa dan tunduk kepada hukum golongan Eropa. Belakangan
penyebaran agama Nasrani mampu menjangkau daerah-daerah Dayak terletak
sangat jauh di pedalaman sehingga agama Nasrani dianut oleh hampir semua
penduduk pedalaman dan diklaim sebagai agama orang Dayak.
Jika kita melihat sejarah pulau Borneo dari awal. Orang-orang dari Sriwijaya, orang Melayu yang mula-mula migrasi ke Kalimantan. Etnis Tionghoa Hui Muslim Hanafi menetap di Sambas sejak tahun 1407, karena pada masa Dinasti Ming, bandar Sambas menjadi pelabuhan transit pada jalur perjalanan dari Champa ke Maynila, Kiu kieng (Palembang) maupun ke Majapahit.[40] Banyak penjabat Dinasti Ming adalah orang Hui Muslim yang memiliki pengetahuan bahasa-bahasa asing misalnya bahasa Arab.[41]
Laporan pedagang-pedagang Tionghoa pada masa Dinasti Ming yang
mengunjungi Banjarmasin pada awal abad ke-16 mereka sangat khawatir
mengenai aksi pemotongan kepala yang dilakukan orang-orang Biaju di saat
para pedagang sedang tertidur di atas kapal. Agamawan Nasrani dan
penjelajah Eropa yang tidak menetap telah datang di Kalimantan pada abad
ke-14 dan semakin menonjol di awal abad ke-17 dengan kedatangan para
pedagang Eropa. Upaya-upaya penyebaran agama Nasrani selalu mengalami
kegagalan, karena pada dasarnya pada masa itu masyarakat Dayak memegang
teguh kepercayaan leluhur (Kaharingan) dan curiga kepada orang asing,
seringkali orang-orang asing terbunuh. Penduduk pesisir juga sangat
sensitif terhadap orang asing karena takut terhadap serangan bajak laut
dan kerajaan asing dari luar pulau yang hendak menjajah mereka.
Penghancuran keraton Banjar di Kuin tahun 1612 oleh VOC Belanda dan
serangan Mataram atas Sukadana tahun 1622 dan potensi serangan Makassar
sangat mempengaruhi kerajaan-kerajaan di Kalimantan. Sekitar tahun 1787,
Belanda memperoleh sebagian besar Kalimantan dari Kesultanan Banjar dan
Banten. Sekitar tahun 1835 barulah misionaris Kristen mulai
beraktifitas secara leluasa di wilayah-wilayah pemerintahan Hindia
Belanda yang berdekatan dengan negara Kesultanan Banjar. Pada tanggal 26 Juni 1835, Barnstein, penginjil
pertama Kalimantan tiba di Banjarmasin dan mulai menyebarkan agama
Kristen. Pemerintah lokal Hindia Belanda malahan merintangi upaya-upaya
misionaris.[42][43][44][45][46]
[sunting] Konflik
[sunting] Keterlibatan
Dayak (istilah kolektif untuk masyarakat asli Kalimantan) telah
mengalami peningkatan dalam konflik antar etnis. Di awal 1997 dan
kemudian pada tahun 1999, bentrokan-bentrokan brutal terjadi antara
orang-orang Dayak dan Madura di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
Puncak dari konflik ini terjadi di Sampit pada tahun 2001.
Konflik-konflik ini pun kemudian menjadi topik pembicaraan di
koran-koran di Indonesia. Sepanjang konflik tahun 1997, sejumlah besar
penduduk (baik Dayak maupun Madura) tewas. Muncul berbagai perkiraan
resmi tentang jumlah korban tewas, mulai dari 300 hingga 4.000 orang
menurut sumber-sumber independen.[47] Pada tahun 1999, orang-orang Dayak, bersama dengan kelompok-kelompok Melayu dan Cina memerangi para pendatang Madura; 114 orang tewas.[48]
Menurut seorang tokoh masyarakat Dayak, konflik yang terjadi belakangan
itu pada awalnya bukan antara orang-orang Dayak dan Madura, melainkan
antara orang-orang Melayu dan Madura.[49]
Kendati terdapat fakta bahwa hanya ada beberapa orang Dayak saja yang
terlibat, tetapi media massa membesar-besarkan keterlibatan Dayak.
Sebagian karena orang-orang Melayu yang terlibat menggunakan
simbol-simbol budaya Dayak saat kerusuhan terjadi.
[sunting] Lihat pula
- Rumpun Dayak
- Dayak Besar
- Tanah Dayak
- Tanah Dusun
- Seni Tradisional Dayak
- Partai Persatuan Dayak
- Partai Bansa Dayak Sarawak
- Kongres Dayak Malaysia
- Majelis Adat Dayak Nasional
- Daftar tokoh Dayak
[sunting] Referensi
- ^ Ethnicity and territory in the late colonial imagination
- ^ (Inggris) Sellato, Bernard (2002). Innermost Bornéo: studies in Dayak cultures. NUS Press. hlm. 19. ISBN 2914936028.ISBN 978-2-914936-02-6
- ^ (Inggris)Davis, Joseph Barnard (1867). Thesaurus craniorum: Catalogue of the skulls of the various races of man, in the collection of Joseph Barnard Davis. Printed for the subscribers.
- ^ (Inggris)Malayan miscellanies (1820). Malayan miscellanies. Malayan miscellanies.
- ^ (Inggris)MacKinnon, Kathy (1996). The ecology of Kalimantan. Oxford University Press. ISBN 9780945971733.ISBN 0-945971-73-7
- ^ (Inggris)East India Company (1821). The Asiatic journal and monthly miscellany. 12. Wm. H. Allen & Co.
- ^ (Inggris) University of Calcutta (1869). Calcutta review. 48-49. University of Calcutta. hlm. 171.
- ^ (Inggris) (1865) The London review of politics, society, literature, art, & science. 11. J.K. Sharpe. hlm. 121.
- ^ (Inggris) Wood, John George (1870). Uncivilized races of men in all countries of the world: being a comprehensive account of their manners and customs, and of their physical, social, mental, moral and religious characteristics. 2. J. B. Burr & co.. hlm. 1110.
- ^ (Inggris) (1841) The London Saturday journal. pp. 80.
- ^ ? Kata "daya" serumpun dengan misalnya kata "raya" dalam nama "Toraya" yang berarti "orang (di) atas, orang hulu". Berdasarkan bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di Gua Niah (Sarawak) dan Gua Babi (Kalimantan Selatan), penghuni pertama Kalimantan memiliki ciri-ciri Austro-Melanesia, dengan proporsi tulang kerangka yang lebih besar dibandingkan dengan penghuni Kalimantan masa kini
- ^ King, 1993:29
- ^ (Inggris) Leeming, David Adams (2010). Creation myths of the world: an encyclopedia. 1 (edisi ke-2). ABC-CLIO. hlm. 99. ISBN 1598841742.ISBN 978-1-59884-174-9
- ^ King, 1993:30
- ^ (Indonesia) Maunati, Yekti. Identitas Dayak. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 8. ISBN 979949298X.ISBN 978-979-9492-98-2
- ^ (Inggris) Tegg, Thomas (1829). London encyclopaedia; or, Universal dictionary of science, art, literature and practical mechanics: comprising a popular view of the present state of knowledge. 4. Printed for Thomas Tegg. hlm. 338.
- ^ (Inggris) (1838) Foreign missionary chronicle. s.n.. hlm. 261.
- ^ King, 1993.
- ^ Rousseau, 1990
- ^ Commans, 1987: 6
- ^ Lahajir et al., 1993:4
- ^ Lahajir et al., 1993:3
- ^ Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977-1978
- ^ Templat:Mhy icon NANSARUNAI USAK JAWA
- ^ (Indonesia) Usak Jawa
- ^ Fridolin Ukur, 1971
- ^ (Indonesia) Susanto, A. Budi (2007). Masihkah Indonesia. Kanisius. hlm. 216. ISBN 9792116575.ISBN 978-979-21-1657-1
- ^ http://eprints.lib.ui.ac.id/12976/1/82338-T6811-Politik%20dan-TOC.pdf
- ^ Sarwoto Kertodipoero, 1963
- ^ Hukum Adat dan Istiadat Kalimantan Barat, J.U. Lontaan. 1975
- ^ http://perpustakaan.kaltimprov.go.id/deposit-13-lungun-dan-upacara-adat-kematian-suku-dayak-benuaq.html
- ^ http://berita.liputan6.com/read/42277/tempelaaq_tempat_tulang_belulang_leluhur_suku_dayak
- ^ http://reverendum.blogspot.com/2011/06/6-kuburan-paling-aneh-di-indonesia.html
- ^ http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1985/06/15/KRI/mbm.19850615.KRI39073.id.html
- ^ Lathief. H., Upacara adat kwangkay Dayak Benuaq Ohong di Mancong. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996 - Social Science - 220 pages
- ^ http://catalogue.nla.gov.au/Record/1156006
- ^ www.youtube.com/watch?v=kThegt6b3CE
- ^ http://budimasnet.blogspot.com/2011/03/adat-kematian.html
- ^ Kawi and Pallawa inscriptions, 4th-12th centuries
- ^ (Indonesia) Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 61. ISBN 9798451163.ISBN 978-979-8451-16-4
- ^ (Indonesia) Kong, Yuanzhi (2000). Hembing Wijayakusuma. ed. Muslim Tionghoa Cheng Ho: misteri perjalanan muhibah di Nusantara. Yayasan Obor Indonesia. hlm. 54. ISBN 9794613614.ISBN 978-979-461-361-0
- ^ (Indonesia) Ukur, Fridolin (2000). Tuaiannya sungguh banyak: sejarah Gereja Kalimantan Evanggelis sejak tahun 1835. BPK Gunung Mulia. hlm. 42. ISBN 9789799290588. ISBN 979-9290-58-9
- ^ (Inggris) Evangelical (1836). Evangelical magazine and missionary chronicle,. 14. s.n. pp. 578.
- ^ (Indonesia) End, Th. van den (1987). Ragi Carita 1, Jilid 1 dari Ragi carita: sejarah gereja di Indonesia. BPK Gunung Mulia. ISBN 979-415-188-2.ISBN 978-979-415-188-4
- ^ (Inggris) (1837) Foreign missionary chronicle. 5. Board of Foreign Missions and of the Board of Missions of the Presbyterian Church.. hlm. 87.
- ^ (Belanda) Steenbrink, Karel A. (2003). Catholics in Indonesia, 1808-1942: A modest recovery 1808-1903. KITLV Press. hlm. 149. ISBN 9067181412.ISBN 978-90-6718-141-9
- ^ MacDougall, 1999
- ^ Mac Dougall, 1999
- ^ lihat, misalnya Manuntung, 22 Maret 1999
[sunting] Referensi
- Cfr. Tom Harrisson, "The Prehistory of Borneo", dalam Pieter van de Velde (ed.), Prehistoric Indonesia a Reader (Dordrecht-Holland: Foris Publications, 1984), hlm. 299-322
- Bellwood, Peter, “The Prehistory of Borneo”, Borneo Research Bulletin, 24/9 (1992), hlm. 7-13
- Kathy MacKinnon, The Ecology of Indonesian Series Volume III: The Ecology of Kalimantan, (Singapore: Periplus Editions Ltd., 1996), hlm. 255-363
- bdk. P.J. Veth, "The Origin of the Name Dayak", dalam Borneo Research Bulletin, 15/2 (September 1983), hlm. 118-121
- Fridolin Ukur, "Kebudayaan Dayak", dalam Kalimantan Review, 22/I (Juli-Desember 1992), hlm. 3-10
- Keragaman Suku Dayak di Kalimantan, Institut Dayakologi, Pontianak
- Edi Petebang, Dayak Sakti, Institut Dayakologi
- Edi Petebang, Eri Sutrisno, Konflik Etnis di Sambas, ISAI, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar