Konflik Ambon dan Patologi Sosial
Rabu, 14/09/2011 14:48 WIB
Browser anda tidak mendukung iFrame
Jakarta
Ledakan konflik horizontal yang bernuansa suku, agama,
ras dan golongan (SARA) yang terjadi di Ambon pada Ahad (11/9) yang
lalu, adalah tanda bahwa Indonesia sangat rentan terhadap potensi
konflik. Sebagai negara yang plural, maka kita harus antisipatif dalam
membaca dan menalar koflik sebagai problem serius dan harus diselesaikan
secara komprehensif.
Konflik memiliki definisi beragam karena beragamnya latar belakang dan perspektif. Tapi pada dasarnya, ada satu kata yang menjadi kesimpulan bersama para ahli tetang definisi konflik. Yaitu disebabkan karena terjadi disharmoni diantara elemen-elemen yang ada, baik dalam skala individu maupun kelompok.
Newstorm dan Davis (1977), melihat konflik sebagai warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada bangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara terus menerus. Dari perspektif behavioural, Muchlas (1999) menyebut konflik sebagai akibat dari terjadinya minteraktif individu atau kelompok sosial.
Di Indonesia, konflik memiliki sejarah yang panjang. Sebagai negeri multikultural ini, setiap rezim pemerintahan di negeri ini memliki satu tugas yang sama yaitu menciptakan harmonisasi akibat seringnya terjadi konflik dengan berbagai latar belakang.
Dilihat dari strukturnya, ada dua konflik yaitu konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal biasanya bersifat elitis dan politis. Sedang konflik horizontal lebih pada latar belakang suku, agama, ras dan golongan (SARA), budaya dan ekonomi.
Masa yang paling kelam dalam sejarah panjang konflik di Indonesia, terjadi pasca Reformasi tahun 1998. Terjadi ledakan konflik horizontal bernuansa SARA, diantaranya konflik Poso, konflik Ambon, konflik Dayak-Madura di Kalimantan. Serta konflik vertikal GAM hingga tahun 2005. Energi pemerintah mau tidak mau harus dikerahkan untuk meredam konflik hingga recovery pasca konflik.
Tak dapat dinafikan, jika konflik mempengaruhi NKRI secara keseluruhan. Baik kerugian sosial yang menjadi rentan akibat mudahnya masyarakat tersulut provokasi, maupun kerugian ekonomi karena sumber dana untuk menyelesaikan akibat yang ditimbulkan konflik tersebut.
Seiring perjalanan kehidupan, sejarah konflik berkembang dengan motif beragam. Fritjof Chapra di dalam bukunya The Turning Point, menyebut konflik sebagai "penyakit peradaban". Fritjof Chapra membaca patologi sosial ini, sebagai bias dari anomali ekonomi dan krisis budaya.
Dari perspektif ekonomi, konflik lahir dari keterdesakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Sumber daya ekonomi yang terbatas sementara kebutuhan tak terbatas memaksa manusia untuk bertindak nekad demi memenuhi kebutuhan.
Sedang dari perspektif budaya, struktur sosial yang bergolak dan akhirnya melahirkan konflik, merupakan indikasi adanya proses transformasi sehingga menyebabkan rasa keterasingan dan mental ketertinggalan.
Menurut sejarawan Arnold Toynbee sebagaimana dikutif oleh Chapra, pergolakan budaya lahir dari pola interaksi sebagai cara sebuah peradaban melakukan dinamisasi untuk membentuk dirinya, mencari titik equilibrum.
Irama dalam pertumbuhan budaya tersebut menimbulkan fluktuasi yang saling mempengaruhi antara dua kutub, para filusuf Cina menyebutnya Yin dan Yang, Empedocles menyebut sebagai pertarungan cinta dan benci.
Toynbee menyebut hilangnya fleksibilitas di dalam masyarakat multikulural merupakan tanda-tanda keruntuhan sebuah budaya. Struktur sosial dan pola perilaku masyarakat menjadi kaku, masyarakat tidak lagi mampu menyesuaikan diri dalam kreativitas respons.
Kekakuan dan hilangnya fleksibilitas ini menyebabkan pudarnya harmoni secara umum dan mengarahkan masyarakat pada meletusnya perpecahan dan kekacauan sosial.
Si sisi lain, globalisasi yang terjadi begitu derasnya, menyebabkan erosi dan shock budaya. Arus informasi yang menyerang dari berbagai lini kehidupan, merekonstruksi gaya baru dalam diri bangsa tercinta. Pada akhirnya, anak bangsa kehilangan jati diri akibat adanya polarisasi nilai-nilai luhur dan kearifan budaya lokal yang terkontaminasi oleh budaya asing.
Friksi sosial budaya pada akhirnya melahirkan dua kelompok masyarakat (masyarakat konservatif dan masyarakat akomodatif tanpa reserve) tidak rukun. Sehingga disharmoni tersebut menjadi bom waktu bagi negara dengan masyarakat yang plural seperti Indonesia.
Pancasila sebagai dasar kehidupan dan ciri budaya bangsa Indonesia, tidak tertutup dari perubahan. Sehingga nilai-nilai luhur dan pluralitas yang terkandung dalalm Pancasila, dapat merekatkan masyarakat dari semua golongan baik suku, agama, maupun afiliasi politik.
Oleh karenanya, membaca tafsir dan membumikan kembali dasar dan ideologi negara (Pancasila) menjadi salah satu solusi atas konflik sosial yang sering terjadi.
Selain itu, konflik politik yang hari-hari ini justru bergeser pada elit bangsa akibat tarik menarik kepentingan pragmatis, menjadi tugas berat yang harus diakhiri. Karena elit bangsa adalah panutan masyarakat. Sehingga penulis memandang, bahwa sangat mendesak untuk terlebih dahulu menanamkan nilai-nilai Pancasila pada para pemimpin bangsa.
Dibutuhkan peran aktif masyarakat untuk mengeliminir elit yang egois dan lebih mementingkan diri dan kelompoknya. Baik secara kolektif melalui pengawasan, maupun seleksi secara individu saat pemilihan umum.
Pemerintah juga perlu mendorong pemerataan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan yang sering dibangga-banggakan itu, jangan hanya menjadi milik golongan tertentu atau dilakukan pada wilayah tertentu saja. Karena yang kita saksikan, konflik sosial-horizontal sering kali terjadi di wilayah yang mengalami kesenjangan sosial-ekonomi.
Masyarakat harus diangkat strata kesejahteraannya, melalui penciptaan lapangan kerja dan pemberdayaan seluas-luas dan seadil-adilnya. Karena pengangguran dan kemiskinan adalah stimulus yang efektif memicu konflik.
Dari sisi psikologi sosial, konflik merupakan produk dari sikap emosional. Maka kedewasaan dan rasionalitas menyikapi berbagai upaya untuk memperkeruh keadaan menjadi fundamen yang urgen. Bahwa konflik hanya akan membawa kerugain bagi semua fihak. Maka damailah Indonesia!
*Penulis adalah Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
Konflik memiliki definisi beragam karena beragamnya latar belakang dan perspektif. Tapi pada dasarnya, ada satu kata yang menjadi kesimpulan bersama para ahli tetang definisi konflik. Yaitu disebabkan karena terjadi disharmoni diantara elemen-elemen yang ada, baik dalam skala individu maupun kelompok.
Newstorm dan Davis (1977), melihat konflik sebagai warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada bangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara terus menerus. Dari perspektif behavioural, Muchlas (1999) menyebut konflik sebagai akibat dari terjadinya minteraktif individu atau kelompok sosial.
Di Indonesia, konflik memiliki sejarah yang panjang. Sebagai negeri multikultural ini, setiap rezim pemerintahan di negeri ini memliki satu tugas yang sama yaitu menciptakan harmonisasi akibat seringnya terjadi konflik dengan berbagai latar belakang.
Dilihat dari strukturnya, ada dua konflik yaitu konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal biasanya bersifat elitis dan politis. Sedang konflik horizontal lebih pada latar belakang suku, agama, ras dan golongan (SARA), budaya dan ekonomi.
Masa yang paling kelam dalam sejarah panjang konflik di Indonesia, terjadi pasca Reformasi tahun 1998. Terjadi ledakan konflik horizontal bernuansa SARA, diantaranya konflik Poso, konflik Ambon, konflik Dayak-Madura di Kalimantan. Serta konflik vertikal GAM hingga tahun 2005. Energi pemerintah mau tidak mau harus dikerahkan untuk meredam konflik hingga recovery pasca konflik.
Tak dapat dinafikan, jika konflik mempengaruhi NKRI secara keseluruhan. Baik kerugian sosial yang menjadi rentan akibat mudahnya masyarakat tersulut provokasi, maupun kerugian ekonomi karena sumber dana untuk menyelesaikan akibat yang ditimbulkan konflik tersebut.
Seiring perjalanan kehidupan, sejarah konflik berkembang dengan motif beragam. Fritjof Chapra di dalam bukunya The Turning Point, menyebut konflik sebagai "penyakit peradaban". Fritjof Chapra membaca patologi sosial ini, sebagai bias dari anomali ekonomi dan krisis budaya.
Dari perspektif ekonomi, konflik lahir dari keterdesakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Sumber daya ekonomi yang terbatas sementara kebutuhan tak terbatas memaksa manusia untuk bertindak nekad demi memenuhi kebutuhan.
Sedang dari perspektif budaya, struktur sosial yang bergolak dan akhirnya melahirkan konflik, merupakan indikasi adanya proses transformasi sehingga menyebabkan rasa keterasingan dan mental ketertinggalan.
Menurut sejarawan Arnold Toynbee sebagaimana dikutif oleh Chapra, pergolakan budaya lahir dari pola interaksi sebagai cara sebuah peradaban melakukan dinamisasi untuk membentuk dirinya, mencari titik equilibrum.
Irama dalam pertumbuhan budaya tersebut menimbulkan fluktuasi yang saling mempengaruhi antara dua kutub, para filusuf Cina menyebutnya Yin dan Yang, Empedocles menyebut sebagai pertarungan cinta dan benci.
Toynbee menyebut hilangnya fleksibilitas di dalam masyarakat multikulural merupakan tanda-tanda keruntuhan sebuah budaya. Struktur sosial dan pola perilaku masyarakat menjadi kaku, masyarakat tidak lagi mampu menyesuaikan diri dalam kreativitas respons.
Kekakuan dan hilangnya fleksibilitas ini menyebabkan pudarnya harmoni secara umum dan mengarahkan masyarakat pada meletusnya perpecahan dan kekacauan sosial.
Si sisi lain, globalisasi yang terjadi begitu derasnya, menyebabkan erosi dan shock budaya. Arus informasi yang menyerang dari berbagai lini kehidupan, merekonstruksi gaya baru dalam diri bangsa tercinta. Pada akhirnya, anak bangsa kehilangan jati diri akibat adanya polarisasi nilai-nilai luhur dan kearifan budaya lokal yang terkontaminasi oleh budaya asing.
Friksi sosial budaya pada akhirnya melahirkan dua kelompok masyarakat (masyarakat konservatif dan masyarakat akomodatif tanpa reserve) tidak rukun. Sehingga disharmoni tersebut menjadi bom waktu bagi negara dengan masyarakat yang plural seperti Indonesia.
Pancasila sebagai dasar kehidupan dan ciri budaya bangsa Indonesia, tidak tertutup dari perubahan. Sehingga nilai-nilai luhur dan pluralitas yang terkandung dalalm Pancasila, dapat merekatkan masyarakat dari semua golongan baik suku, agama, maupun afiliasi politik.
Oleh karenanya, membaca tafsir dan membumikan kembali dasar dan ideologi negara (Pancasila) menjadi salah satu solusi atas konflik sosial yang sering terjadi.
Selain itu, konflik politik yang hari-hari ini justru bergeser pada elit bangsa akibat tarik menarik kepentingan pragmatis, menjadi tugas berat yang harus diakhiri. Karena elit bangsa adalah panutan masyarakat. Sehingga penulis memandang, bahwa sangat mendesak untuk terlebih dahulu menanamkan nilai-nilai Pancasila pada para pemimpin bangsa.
Dibutuhkan peran aktif masyarakat untuk mengeliminir elit yang egois dan lebih mementingkan diri dan kelompoknya. Baik secara kolektif melalui pengawasan, maupun seleksi secara individu saat pemilihan umum.
Pemerintah juga perlu mendorong pemerataan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan yang sering dibangga-banggakan itu, jangan hanya menjadi milik golongan tertentu atau dilakukan pada wilayah tertentu saja. Karena yang kita saksikan, konflik sosial-horizontal sering kali terjadi di wilayah yang mengalami kesenjangan sosial-ekonomi.
Masyarakat harus diangkat strata kesejahteraannya, melalui penciptaan lapangan kerja dan pemberdayaan seluas-luas dan seadil-adilnya. Karena pengangguran dan kemiskinan adalah stimulus yang efektif memicu konflik.
Dari sisi psikologi sosial, konflik merupakan produk dari sikap emosional. Maka kedewasaan dan rasionalitas menyikapi berbagai upaya untuk memperkeruh keadaan menjadi fundamen yang urgen. Bahwa konflik hanya akan membawa kerugain bagi semua fihak. Maka damailah Indonesia!
*Penulis adalah Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar