Dinamika
Kelompok Etnik, Etnisitas, dan Pembangunan Daerah (Konflik Sosial dalam
Perebutan Sumberdaya)
Oleh:
Kusnadi[1]
Dalam
pen-Takdir-annya sebagai negara
kepulauan atau negara maritim yang masyarakatnya bersifat majemuk (plural society), pemerintah dan masyarakat
Indonesia
masih harus belajar banyak dari sejarah perjalanannya sendiri tentang bagaimana mengelola kemajemukan
tersebut agar menjadi modal sosial pembangunan bangsa.[2]
Masyarakat majemuk yang tersusun oleh keragaman kelompok etnik (etnic group) atau suku bangsa beserta
tradisi-budayanya itu, tidak hanya berpeluang menjadikan Indonesia sebagai negara yang kuat di masa
mendatang, tetapi juga berpotensi mendorong timbulnya konflik sosial yang dapat
mengancam sendi-sendi integrasi negara-bangsa (nation-state), jika dinamika kemajemukan sosial-budaya itu tidak
dapat dikelola dengan baik.
Sebagai
unsur pembentuk sistem sosial masyarakat
majemuk, kelompok-kelompok
etnik memiliki kebudayaan,
batas-batas sosial-budaya, dan sejumlah
atribut atau ciri-ciri budaya yang
menandai identitas dan eksistensi mereka. Kebudayaan yang dimiliki kelompok
etnik menjadi pedoman kehidupan mereka dan atribut-atribut budaya yang ada, seperti adat-istiadat,
tradisi, bahasa, kesenian, agama dan paham keagamaan, kesamaan leluhur, asal-usul
daerah, sejarah sosial, pakaian tradisional, atau aliran ideologi politik menjadi ciri pemerlain atau pembeda suatu kelompok etnik dari kelompok etnik yang
lain. Kebudayaan dan atribut sosial-budaya sebagai penanda identitas kelompok
etnik memiliki sifat stabil, konsisten, dan bertahan lama.
Berdasarkan
uraian di atas dan dalam konteks perbandingan
yang setara, orang Jawa disebut sebagai suatu kelompok etnik karena mereka
secara budaya memang berbeda dengan orang Madura. Demikian juga, dalam konteks
perbandingan yang setara pada orang Jawa di Jawa Timur, bahwa orang Jember
tentu berbeda secara kultural dengan orang Surabaya. Orang Jember tidak akan mau disebut
sebagai orang Surabaya,
demikian pula sebaliknya. Karena perbedaan-perbedaan kultural ini keduanya
disebut sebagai sebuah kelompok etnik
yang berbeda, walaupun keduanya berada dalam ruang lingkup orang Jawa, di Jawa Timur. Hal yang sama juga berlaku untuk penyebutan orang Osing,
orang Tengger, orang Pendhalungan, orang
Mataraman, atau orang Samin sebagai sebuah kelompok etnik yang berbeda-beda.[3]
Etnisitas
(ethnicity) atau kesukubangsaan selalu muncul dalam
konteks interaksi sosial pada masyarakat majemuk. Sebagai sebuah realitas
sosial yang wajar dan alamiah, etnisitas akan terjadi secara intensif dalam
masyarakat tradisional atau masyarakat transisional. Dalam proses interaksi
tersebut kelompok etnik atau individu-individu dalam kelompok etnik akan
memanfaatkan atribut-atribut sosial budaya yang dimiliki untuk mencapai tujuan
tertentu. Bentuk-bentuk mana yang dipilih di antara atribut-atribut tersebut sebagai
penanda identitas diri sangat ditentukan oleh konteks interaksi dan tujuan yang
akan dicapai. Pilihan terhadap suatu atribut sosial budaya bagi seorang
individu akan didasarkan pada pilihan rasional (rational choice), yang dipertimbangkannya secara saksama bahwa hal
itu dapat mencapai tujuan yang
diinginkan melalui interaksi sosial tersebut.
Dalam
kaitannya dengan akses dan perebutan sumber daya di daerah yang bersifat
struktural, seperti potensi ekonomi dan kekuasaan politik, manifestasi
etnisitas sering menimbulkan ketegangan dan konflik sosial di antara
pihak-pihak yang terlibat atau yang berkepentingan. Masa otonomi daerah
sekarang ini memberikan peluang yang besar bagi tumbuhnya konflik sosial
berbasis etnisitas, ketika tradisi berdemokrasi, penghormatan terhadap keadilan
sosial, dan penghargaan terhadap prestasi belum menjadi pandangan dan sikap
hidup kita sehari-hari. Kondisi demikian lebih banyak menguntungkan kepentingan
pribadi dan kelompok (etnik) daripada
kepentingan masyarakat. Masalahnya adalah bagaimanakah meminimalkan konflik
sosial berbasis etnisitas yang dapat merugikan kepentingan masyarakat luas?
Secara
normatif, otonomi daerah telah memberikan keleluasaan bagi masyarakat di daerah
(bukan pemerintah daerah) untuk
mengaktualisasikan diri secara optimal dalam manajemen pembangunan daerah. Undang-undang
yang mendasari praktik otonomi daerah memberi pengakuan terhadap eksistensi
masyarakat dan kebudayaannya. Otonomi daerah menandai era penghargaan terhadap
keberagaman dan otonomi masyarakat, setelah Orde Baru memberangusnya selama
masa tiga dasawarsa lebih (Zakaria, 2000).
Dalam ruang politik yang semakin terbuka ini, masyarakat di daerah (indigenous people) menggali kembali
potensi-potensi kelembagaan sosial atau konstruk nilai-nilai budaya lokal yang
dianggap berguna untuk menopang eksistensi mereka di tengah arus globalisasi
dan dinamika pembangunan daerah.
Wujud
dari penggalian di atas adalah hadirnya asosiasi-asosiasi
masyarakat adat Nusantara, pembangkitan kembali satuan-satuan desa adat
tradisional (nagari di Minangkabau, kampong di komunitas Melayu Kalimantan
Barat, dan pakraman di Bali), serta eksplorasi ulang atas revitalisasi
pranata-pranata lokal untuk mengelola sumber daya alam secara lestari dan adil,
seperti sasi di Maluku dan awig-awig di Bali-Lombok. Hal-hal ini untuk membangun kembali fondasi
sosial-budaya masyarakat, khususnya masyarakat di pedesaan agar memiliki
kemampuan otonomi yang kokoh dalam menyikapi gerak pembangunan di bawah
kebijakan otonomi daerah (Siregar dan Wahono (Peny.), 2002; Zakaria, 2004).
Walaupun
demikian di daerah-daerah yang memiliki struktur masyarakat majemuk proses revitalisasi
kebudayaan etnik juga harus memperhatikan eksistensi kebudayaan etnik yang
lain. Misalnya, kasus Osingisasi yang
dilakukan oleh Bupati Banyuwangi, Samsul Hadi, yang ketepatan ia berasal dari
etnik Osing adalah kasus yang kebablasan,
sehingga berpotensi mengundang ketegangan sosial. Kebijakan Bupati Banyuwangi
tersebut adalah mengharuskan para petinggi pemerintah kabupaten yang akan
menghadapnya harus menggunakan bahasa Osing, bahasa Osing sebagai muatan kurikulum
lokal diajarkan pada siswa SD-SMP yang sudah berlangsung tiga tahun terakhir,
dan menginstruksikan kepada seluruh masyarakat Banyuwangi agar merayakan
tradisi endog-endogan dalam rangka
Maulud Nabi Muhammad SAW seperti yang selama ini dilakukan oleh komunitas Osing
(Sunarlan, 2004:170-171).
Bupati
juga memperkuat posisi kesenian Gandrung sebagai ikon Kabupaten Banyuwangi,
dengan membangun patung Gandrung yang menghabiskan dana milyaran rupiah di
daerah Watu Dodol, Ketapang. Kebijakan yang berkaitan dengan kurikulum lokal tersebut
mengundang reaksi sosial dari para pengelola SD-SMP yang lingkungan sosialnya
bukan komunitas Osing, seperti masyarakat Madura di Muncar. Kebijakan politik etnisitas
seperti ini lebih bernuansa politik praktis, yakni memperkuat basis konsolidasi
kekuasaan dan legitimasi politik Bupati di mata publik menyongsong Pilkada 2005,
dengan jalan mengaktifkan beberapa atribut atau unsur kebudayaan Osing: bahasa,
seni, dan tradisi.
Kasus
yang lain bisa kita lihat pada
beredarnya selebaran gelap menjelang pemilihan Bupati Lamongan. Selebaran itu
berisi surat perjanjian
calon bupati Masfuk kepada Forum Rembug Muhammadiyah Lamongan untuk menjadikan
Muhammadiyah sebagai ormas Islam terbesar di Lamongan dibandingkan dengan ormas
yang lain. Surat
perjanjian itu ditandatangani 20 Mei 2005. Kop surat selebaran tertera nama Muhammadiyah dan
Partai Amanat Nasional. Pengurus Daerah
Muhammadiyah dan Dewan Pimpinan Daerah Partai Amanat Nasional Lamongan menilai
selebaran gelap tersebut bisa menyesatkan masyarakat Lamongan. Ketua
Muhammadiyah Lamongan, Afnan Anshari mengatakan, “Muhammadiyah tidak pernah
menggunakan segala cara untuk meraih tujuannya. Isu yang ada dalam selebaran
ini sangat kotor. Kami mendesak agar Panwas Pilkada menindaklanjuti temuan ini
secara hukum” (Kompas Jatim, Senin,
27 Juni 2005: A).
Masih
dalam kaitannya dengan pemilihan kepala daerah, Forum Komunikasi Batak (FKB)
Jawa Timur menyesalkan Calon Wali Kota Surabaya Alisjahbana dari Partai
Kebangkitan Bangsa yang selama ini dianggap enggan mencantumkan nama marga Sitepu dalam berbagai kesempatan. Menurut
Ketua FKB Jawa Timur, RH Batubara, “Nama
marga merupakan ikatan turun-temurun. Seharusnya sebagai orang yang berdarah
Batak, Alisjahbana tetap menggunakan nama marga seperti halnya sejumlah tokoh
lain, yakni Akbar Tanjung dan Sudi Silalahi”.
FKB Jatim juga menunjukkan fotokopi ijazah Alisjahbana saat lulus
sebagai sarjana teknik ITB Bandung tahun 1974, dengan nama lengkap Alisjahbana
Sitepu. Ketika dihubungi wartawan untuk konfirmasi, Alisjahbana mengatakan,
“Nama seseorang merupakan urusan pribadi”. Sejak bekerja di Pemerintah Kota
Surabaya selama tiga puluh tahun lebih, Alisjahbana tidak pernah menggunakan
nama marganya (Kompas Jatim, Senin,
30 Mei 2005: I).
Benar-tidaknya
isi selebaran gelap di Lamongan tersebut, dari perspektif etnisitas mobilisasi
identitas etnik yang terkait dengan paham keagamaan (Muhammadiyah) juga dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan politik yang bersifat negatif atau positif bagi
pihak-pihak yang terlibat dalam persaingan memperebutkan jabatan politik Bupati
Lamongan. Demikian juga, penghilangan (penyembunyian)
nama marga Sitepu bagi Alisjahbana,
bukan tanpa alasan, tetapi ada kepentingan-kepentingan tertentu
(ekonomi-politik) yang akan diraih dalam proses interaksi sosial dan jika nama
marga itu tetap dilekatkan justru akan menghambat pencapaian kepentingan
tersebut. Pilihan tindakan demikian sudah diperhitungkan untung-ruginya bagi
yang bersangkutan. Kasus-kasus serupa banyak ditemukan dalam kehidupan
sehari-hari.
Dalam
konteks otonomi daerah, kasus yang terjadi di Banyuwangi untuk membangun
“hegemoni budaya Osing” sesungguhnya hanya merupakan sarana penguasa daerah
untuk mencapai penguasaan sumber daya ekonomi-politik yang lebih besar. Kasus
seperti ini mirip dengan kebijakan kolonialisme internal (internal colonialism) Pemerintah Thailand terhadap kelompok-kelompok etnik minoritas,
khususnya masyarakat muslim Malaysia di Pattani
di wilayah selatan yang berbatasan
dengan Malaysia, yang berusaha keras untuk menegasikan aspek-aspek identitas
budaya masyarakat Pattani melalui penetrasi kebudayaan Thai dan Buddha. Di
samping terjadinya penetrasi budaya dominan (dominance culture), kebijakan pembangunan regional Pemerintah Thailand yang bersifat
deskriminatif dan hanya menguras sumber daya lokal, telah membangkitkan gerakan
perlawanan bersenjata masyarakat Pattani terhadap Pemerintah Thailand. Hal
yang sama juga dilakukan oleh Penguasa Orde Baru terhadap Aceh, yang mendorong
masyarakat Aceh menjadi anti-Jawa (lihat, Brown, 1994).
Dalam
studi-studi konflik etnik, kebijakan politik etnik negara dan Pemerintah
Thailand memperluas batas-batas sosial budaya identitas suatu kelompok etnik,
khususnya etnik yang dianggap kelompok dominan atau pribumi, seperti
Thai-Buddha, senantiasa berhadapan
dengan penolakan atau resistensi sosial dari kelompok-kelompok etnik yang
terkena kebijakan tersebut, orang Pattani-Muslim. Sementara itu, untuk
menghimpun kekuatan dan modal perjuangan menghadapi hegemoni negara dan
penetrasi kelompok etnik dominan (Thai), kelompok-kelompok etnik minoritas yang
terdiskriminasi, seperti masyarakat Pattani
akan mengaktifkan jaringan etnisitas yang berbasis kesamaan asal-usul
dan leluhur, sejarah sosial, identitas
ke-Islam-an, dan tradisi sosial-budaya
sebagai sarana pengikat sosial dan pembangun solidaritas sosial. Dalam konteks
demikian, etnisitas akan berubah menjadi ideologi
perjuangan untuk menghadapi negara yang telah membuat diri mereka tidak
nyaman dan terancam serta mengganggu kelangsungan hidup kelompok etnik (Brown,
1994: 1-5).
Dalam
banyak kasus, negara dan kebijakan-kebijakan para penguasanya mengambil peranan
yang besar terhadap tumbulnya peristiwa konflik etnik dan kekerasan sosial di
berbagai negara (Renner, 1999: 33-47). Konflik-konflik dan kekerasan sosial
berbasis etnisitas yang terjadi di Indonesia menjelang akhir kekuasaan Orde
Baru hingga sekarang, seperti di Kalimantan Barat-Tengah, Maluku, dan Poso merupakan
akibat dari kesalahan kebijakan pembangunan daerah dan ketidakbecusan penguasa
Orde Baru mengelola kemajemukan masyarakat kita (Kusnadi, 2001). Hal yang sama
bukan tidak mungkin akan dilakukan oleh penguasa Pemerintah Daerah (eksekutif dan legislatif) era otonomi
daerah. Bahkan, saya perkirakan bahwa sifat rakus politik dan serakah ekonomi penguasa di daerah dan
kebijakan-kebijakannya yang tidak memihak kepentingan rakyat akan menjadi
pemicu konflik sosial yang berskala luas di daerah. Konflik sosial ini tidak
hanya terjadi di kalangan internal antar-elite daerah, tetapi juga melibatkan
penguasa daerah dengan rakyat secara keseluruhan dan antarkelompok-kelompok
sosial dalam masyarakat. Ketidakpuasan rakyat yang meluas terhadap perilaku
pemimpinnya dapat mendorong timbulnya revolusi sosial, sebagaimana pernah
terjadi dalam sejarah sosial kita (Lucas, 2004).
Di
saat rakyat harus berjuang melawan kemiskinan, ketidakadilan hukum, busung
lapar, kurang gizi, dan mahalnya biaya pendidikan, para penguasa daerah justru
berpesta-pora menghambur-hamburkan uang rakyat yang diperoleh dengan jalan
menjarah. Walaupun kita telah memasuki era demokrasi dan masyarakat mulai
tumbuh kekuatannya untuk terlibat dalam proses bernegara, tetapi
praktik-praktik kekuasaan yang muncul lebih parah daripada perilaku kuasa rezim
Orde Baru. Substansi berdemokrasi belum memberikan keuntungan bagi rakyat dan
kebijakan-kebijakan publik yang dihasilkan oleh negara juga belum memihak pada
kepentingan rakyat. Beban kehidupan rakyat semakin berat, khususnya untuk
memenuhi kebutuhan primernya (Prasetyo, 2004ab, 2005 dan Putra, 2005).
Dalam
masa otonomi daerah ini yang pendekatan pembangunannya berorientasi pada aspek
kewilayahan, eksplorasi etnisitas sebagai ideologi perjuangan kelompok-kelompok
masyarakat yang dirugikan oleh kebijakan pembangunan daerah akan semakin
berpeluang. Gagasan sebagian mayarakat beberapa waktu yang lalu untuk membentuk
Kabupaten Jember Selatan, Banyuwangi Selatan, atau Kabupaten Sumenep Kepulauan,
harus dilihat sebagai persoalan konflik politik-kebijakan berbasis etnisitas
dengan pemerintah kabupaten setempat. Mereka bisa saja menggunakan basis legitimasi
berdasarkan unsur-unsur etnisitas yang berkaitan dengan kesamaan budaya,
kesejarahan, nasib sosial, dan nilai-nilai baru yang dimunculkan karena faktor
karakteristik geografis. Berdasarkan eksplorasi nilai-nilai budaya di atas,
masyarakat di Jember Selatan, Banyuwangi Selatan, atau Sumenep Kepulauan,
membedakan dirinya dengan masyarakat di Jember Utara, Bayuwangi Utara, dan
Sumenep Daratan.
Demikian
pula, kasus konflik nelayan yang meluas di berbagai daerah perairan Jawa Timur,
merupakan akibat dari kekurangmampuan pemerintah daerah
(propinsi/kabupaten/kota) dalam memahamkan esensi otonomi daerah yang terkait
dengan batas-batas administrasi daerah dan kewenangannya mengelola potensi
sumber daya laut setempat kepada masyarakat nelayan di kawasan pesisir. Aspek
lain yang ikut memberikan kontribusi terhadap timbulnya konflik nelayan
tersebut adalah semakin tingginya kelangkaan sumber daya ekonomi-perikanan dan
kompetisi memperebutkannya (Kusnadi, 2002).
Konflik
nelayan Ujung Pangkah, Gresik dengan nelayan Weru Kompleks, Lamongan, walaupun mereka bagian dari masyarakat Jawa
Pesisiran, tetap dilihat sebagai kasus konflik sosial berbasis etnisitas. Kedua
pihak mendefinisikan identitas dirinya
sebagai kelompok nelayan yang berbeda satu sama lain berdasarkan nilai-nilai
sosial-budaya dan sejarah sosial yang membentuk eksistensi mereka. Hal yang
sama juga berlaku untuk nelayan Madura asal Kraton, Pasuruan dan nelayan
Kwanyar, Bangkalan Selatan, yang telah lama berkonflik memperebutkan sumber
daya perikanan di Perairan Selat Madura. Identitas kebudayaan Madura ternyata
tidak mampu mendamaikan kedua kelompok nelayan tersebut. Masing-masing pihak
mendefinisikan eksistensinya berdasarkan nilai-nilai lokalitas yang
kontekstual, yang dianggapnya lebih tepat dan menguntungkan kehidupannya dalam
interaksi sosial (Kusnadi dkk. 2005).
Pada
dasarnya, konflik sosial berbasis etnisitas yang berlangsung secara masif tidak
ada yang semata-mata terjadi karena perbedaan-perbedaan sosial-budaya yang
bersifat horisontal, seperti agama,
bahasa, tradisi dan adat-istiadat, sejarah sosial, gaya hidup, atau nilai-nilai budaya lainnya.
Aspek-aspek vertikal-struktural,
seperti akses dan penguasaan sumber daya ekonomi-politik (kekuasaan) senantiasa
terlibat. Bahkan semakin tinggi nilai sumber daya yang diperebutkan dan
kondisinya terbatas, maka konflik sosial yang terjadi akan semakin intensif dan
keras (Kusnadi dan Burhanuddin, 1997). Dalam situasi demikian, dampak konflik
secara psikologis sangat mencekam masyarakat dan secara sosial-ekonomi
memberatkan masa depan kehidupan mereka yang terlibat konflik. Upaya untuk
meretas jalan menuju perdamaian abadi juga sangat sulit karena membutuhkan
kesabaran, keseriusan, dan pengorbanan
yang besar.
Berdasarkan
uraian di atas, rezim otonomi daerah dalam masa transisional ini harus belajar
bagaimana meminimalisasi timbulnya konflik-konflik sosial yang berbasis
etnisitas, dengan jalan merumuskan kebijakan pembangunan dan pembuatan regulasi
daerah yang bersifat transparans,
demokratis, berorientasi kerakyatan, dan berdimensi keadilan sosial. Sementara
itu, pada tataran sosial, dengan berbagai cara, penguatan kapasitas masyarakat
harus dilakukan dengan membangun fondasi kesadaran struktural-kultural
bernegara dan berbangsa agar memiliki kemampuan dalam berdikusi dengan elite
daerah untuk memberi arah pada kebijakan pembangunan daerah yang memihak
kepentingan masyarakat luas. Otonomi
daerah harus ditafsiri sebagai otonomi masyarakat untuk membangun daerahnya, bukan
otonomi Pemerintah Daerah, karena esensi pemerintah daerah hanya sebagai alat pembangunan daerah. Di
tengah-tengah karakter rezim otonomi daerah yang masih belum beradab, jalan untuk membangun fondasi kesadaran
struktural-kultural di atas masih sangat panjang. Perjuangan memang tidak
pernah selesai!
*
DAFTAR
PUSTAKA:
Brown,
David. 1994. The State and Ethnic
Politics in Southeast Asia.
London:
Routledge.
Furnivall,
J.S. 1980. “Plural Societies”, dalam Hans-Dieter Evers (Ed.). Sociology of South-East
Asia: Readings
on Social Change and Development. New
York: Oxford
University Press, hal. 86-96.
Horowitz,
Donald L. 1985. Ethnic Groups in Conflict.
Berkeley: University of California Press.
Siregar,
Budi Baik dan Wahono. 2002. Kembali ke
Akar: Kembali ke Konsep Otonomi Masyarakat Asli. Jakarta: FPPM.
Kusnadi
dan Burhanuddin. 1997. “Anatomi Konflik Sosial dalam Masyarakat
Majemuk”,
dalam Harian KOMPAS, 6 Desember, hal.
5.
Kusnadi.
2001. “Negara, Kelompok Etnik, dan Konflik Sosial”, dalam
Harian
KOMPAS, 4 Maret, hal. 29.
______.
2002. Konflik Sosial Nelayan: Kemiskinan
dan Perebutan Sumber Daya Perikanan. Yogyakarta:
LKiS.
Kusnadi
dkk. 2005. Konflik Pemanfaatan Sumber
Daya Perikanan antara Nelayan Ujung Pangkah, Gresik dengan Nelayan Weru
Kompleks, Lamongan. Jember: Pusat Penelitian Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, Lembaga Penelitian, Universitas Jember.
Lucas,
Anton E. 2004. One Soul, One Struggle:
Peristiwa Tiga Daerah. Yogyakarta: Resist
Book.
Prasetyo,
Eko. 2004a. Orang Miskin Dilarang Sekolah.
Yogyakarta: Resist Book.
______.
2004b. Orang Miskin Dilarang Sakit. Yogyakarta: Resist Book.
______.
2005. Demokrasi Tidak untuk Rakyat!. Yogyakarta: Resist Book.
Putra,
Fadillah. 2005. Kebijakan Tidak untuk Publik!
Yogyakarta: Resist Book.
Renner,
Michael. 1999. Ending Violent Conflict.
Washington, DC: Worldwatch Institute.
Sunarlan.
2004. “Rezim Patrimonial di Tingkat Lokal Pasca-Reformasi: Studi Kasus di
Kabupaten Banyuwangi”, dalam Ayu Sutarto dan Setya Yuwana Sudikan (Ed.). Pendekatan Kebudayaan dalam Pembangunan
Provinsi Jawa Timur. Jember: Kompyawisda, hal. 147-180.
Zakaria,
R. Yando. 2000. Abih Tandeh: Masyarakat
Desa di Bawah Rejim Orde Baru. Jakarta:
ELSAM.
______.
2004. Merebut Negara: Beberapa Catatan
Reflektif tentang Upaya-upaya Pengakuan, Pengembalian, dan Pemulihan Otonomi
Desa. Yogyakarta: Lapera.
[1]Antropolog maritim dan
Kepala Puslit Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Lemlit UNEJ. Makalah yang
disampaikan dalam seminar rutin CERIC Universitas Jember, Lemlit UNEJ, pada
hari Sabtu, 2 Juli 2005.
[2]Konsep masyarakat majemuk pertama kali dikemukakan oleh Furnivall
(1980: 86-96) ketika ia memahami fenomena sosial ekonomi masyarakat Indonesia pada
masa kolonial. Ia melihat masyarakat majemuk tersusun oleh kelompok-kelompok
sosial pribumi (kelompok etnik lokal) dan ras pendatang yang masing-masing
terpisah secara sosial-budaya dan
mengambil peran yang berbeda dalam fungsi-fungsi ekonomi masyarakat. Penyatuan politik
masyarakat majemuk ini berpilar pada sistem kekuasaan kolonialisme.
[3]Pendefinisian kelompok etnik yang lebih fleksibel, kompleks, dan dinamis dikemukakan oleh Horowitz (1985:
51-54). Pemahaman yang diberikan oleh Horowitz ini berbeda dengan pengetahuan
kita selama ini yang hanya memahami
kelompok etnik secara sederhana sebagaimana sering kita baca dalam buku-buku
klasik antropologi di Indonesia.
Pemahaman yang sederhana ini membawa implikasi metodologis yang rumit ketika
kita dihadapkan pada pengkajian fenomena konflik sosial di masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar