PENETRASI BUDAYA PADA ISLAM | untuk semuanya |
BAB III
Dalam buku "Muhammad: A Western Attempt To Understand Islam" (Muhammad : Upaya Barat Memahami Islam) karya Karen Armstrong telah dituliskan ; "...setelah Muhammad (melakukan) hijrah pada tahun 622 M, masyarakat Islam yang kecil telah melangkahkan kakinya yang pertama menuju kekuasaan politik. Sepuluh tahun kemudian hampir seluruh Jazirah Arab dikuasai umat Islam dan telah meletakkan dasar atau Fondasi Sistem Politik Arab baru., hingga kaum Muslim dapat mengasai beberapa kerajaan dengan kekuasaan teritorial sangat besar selama ribuan tahun. Tentu saja konsekusensi dari keberhasilan politik ini telah mengundang masalah baru dan upaya perjuangan terus menerus. Tahun-tahun yang penuh gejolak di Madinah telah menunjukkan betapa sulitnya dan betapa beresikonya (riskan) membangun kembali tatanan masyarakat sesuai dengan rencana Tuhan."
Seandainya agama Islam (Syiar Islam) dapat berjalan seperti sejarahnya yang pertama, Dan tidak terjadi 'fitnah' di antara kaum muslimin ; Niscaya agama Islam dapat menguasai seluruh dunia. - Waltz -
Islam adalah agama yang praktis dan realistis, yang melihat intelegensi manusia dan wahyu Ilahi 'berada', 'berdampingan' serta 'bekerjasama' secara serasi. - Karen Armstrong -
Menjelang tahun 622 M, seolah kehendak Tuhan terjadi di Jazirah Arabia. Berbeda dengan Nabi-nabi terdahulu, Muhammad SAW, bukan saja mengajarkan laki-laki dan perempuan tentang visi harapan baru, tetapi beliau juga berusaha memikul tugas untuk menyelamatkan sejarah manusia serta menciptakan masyarakat yang adil, dan memberikan peluang kepada setiap manusia, laki-laki dan perempuan, untuk mengaktualkan potensinya yang sebenarnya.
Keberhasilan politik yang dilakukan umat secara berkesinambungan hampir menjadi semacam sakramen bagi kaum muslim. Ini merupakan pertanda lahir dari kehadiran 'tak terlihat' Tuhan di tengah-tengah mereka. Ada spirit atau motivasi baru dimana kegiatan politik umat akan terus menjadi tanggung jawab suci dan keberhasilan kekuasaan Islam dikemudian hari menjadi signal, manusia secara keseluruhan dapat diselamatkan. Demikianlah Karen Amstrong mantan biarawati katolik Roma ini menulis tentang Nabi Muhammad SAW.
Namun keselamatan individu tak dapat dicapai akibat rangkaian pertumpahan darah yang tak kunjung berakhir serta penindasan berlangsung terus di Jazirah Arabia : Masyarakat yang korup dan centang-perenang, tidak bisa tidak, akan melahirkan 'imoralitas', 'kemandekan', dan keputus-asaan (hopeless) pada seluruh anggota masyarakat, terkecuali pada segelintir 'pahlawan'. Jadi, situasi Jazirah Arabia pada abad ke tujuh masehi menuntut rancangan 'keselamatan umat Muslim secara menyeluruh (social sekaligus individual).
Muhammad al-Musthafa SAW beserta para sahabat terpilih telah berjuang tanpa lelah. Perjuangan itu menghasilkan sekian kecemerlangan, dengan bersatunya umat manusia dalam satu panji Al-Islam. 'Al-Islam yang damai dan memberikan kedamaian, membawa keselamatan dan persatuan dan persaudaraan.
Sayang sekali , semua itu berlalu besama risalah beliau, Muhammad wafat meninggalkan umat dalam kondisi belia, mereka berusaha terus 'eksist' dan bersikukuh di hadapan kekuasaan dunia. Setelah beliau wafat, umatnya berubah begitu cepat. Sejarah Islam berubah dalam wajah yang lain. Yang menyeramkan sekaligus menggelikan.
MULA PENOLAKAN ZAKAT
Beberapa Ahli sejarah menyatakan bahwa setelah Nabi Muhammad SAW meninggal, dalam kaum Muslim saat itu muncul persoalan antara lain : ada yang mengaku Nabi , ada yang meninggalkan ajaran Islam dan menobatkan diri sebagai raja, ada juga yang tidak mau membayar zakat. Problem utama kaum Muslim ini dikenal oleh kalangan sejarahwan sebagai jaman "kemurtadan".
Dari persoalan tersbeut dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok ;
a. Kelompok pertama adalah orang-orang yang mengaku Nabi atau mendapat wahyu angkat diri menjadi utusan Allah.
b. Kelompok kedua adalah orang-orang yang keluar dari Islam dan kembali ke keyakinan semula, yaitu keyakinan yang dianut sejak zaman Jahiliyah.
c. Kelompok ketiga adalah orang-orang yang tidak sepakat dan tunduk pada pemerintahan Madinah. Mereka melakukan gerakan tidak mau membayar 'zakat' kepada pemerintahan Madinah. Dalam kelompok ketiga, ada orang-orang yang tidak mengakui pemerintahan kalifah Abu Bakar RA.
Selanjutnya tulisan ini membatasi studi pada kelompok ketiga saja.
Setelah nabi Muhammad wafat pemerintahan Madinah di pimpin oleh Khulafa Ar Rashidin
Adapun nama-nama para khalifah pada masa khulafaur Rasyidin sebagai berikut:
1.Abu Bakar ash-Shiddiq ra (tahun 11-13 H/632-634 M)
2.Umar bin Chattab ra (tahun 13-23 H/634-644 M)
3.Utsman bin 'Affan ra (tahun 23-35 H/644-656 M)
4.Ali bin Abi Thalib ra (tahun 35-40 H/656-661 M)
5.Al-Hasan bin Ali ra (tahun 40 H/661 M)
Dalam catatan sejarah menunjukkan beberapa suku telah dianggap 'murtad' hanya karena melakukan menolak kewajiban membayar zakat kepada pemerintah Madinah. Sebagai contoh, sekelompok orang dari suku 'Yamamah' dimana mereka menerima 'prinsip' kewajiban bayar 'zakat' sebagai sebuah kebenaran, namun tidak mau membayar dan menyerahkan 'zakat' kepada pemerintahan kalifah Abu Bakar.
Kaum 'Yamamah' sering berkata "Kami menghimpun zakat dari orang-orang kaya suku kami. Lalu kami bagikan kepada kaum fakir miskin di kalangan kami sendiri. Kami tak akan pernah membayar atau menyerahkan zakat kepada orang yang tak direkomendasikan oleh al-Qur'an dan Sunnah." (lihat Al-Ifshah, hal.121).
Ashim Minqari mencatat '"Qais mendapat tugas Nabi Muhammad SAW untuk menghimpun zakat dari sukunya. Setelah Nabi wafat, Qais tetap menghimpun zakat, namun bukan diserahkan kepada pemerintahan kalifah Abu Bakar. Alih-alih Qais membagikannya kepada kaum fakir miskin dari kalangan sukunya. Tindakan Qais ini dianggap pemerintahan Abu Bakar sebagai tindak kejahatan," (lih. Ad-Durrah al-Fakhirah, hal.324, Majma' al-Amtsal 2/65).
Ibnu Katsir juga menjelaskan saat itu banyak Muslim yang tak mau serahkan zakat mereka kepada pemerintahan Abu Bakar (al-Bidayah wa an-Nihayah 6/311). Bahkan Naubakhti mencatat ada sekelompok orang menyatakan tak mau melakukan kewajiban zakat kecuali tahu siapa yang memegang pemerintahan. Karena itu mereka membagikan zakat kepada kaum fakir miskin di dalam sukunya (lih. Firaq asy-Syi'ah, hal.4).
Selain tidak mengakui pemerintahan Abu Bakar, suku-suku yang menolak kewajiban zakat ini, setelah mendengar kabar wafatnya Nabi Muhammad, mereka segera memutuskan hubungan pemerintahan dengan Madinah, mereka beranggapan hubungan suku mereka dengan Madinah adalah hubungan keagamaan. Maka ketika kabar Nabi Muhammad wafat menyebar ke semua penjuru, mereka merasa tak perlu menerima pemerintahan orang lain. Karena mereka tidak perlu melakukan kewajiban zakat untuk diberikan kepada pemerintah Madinah, konsekuensinya maka mereka dicap murtad oleh pemerintahan Madinah. (Tarikh al-'Arab wa al-Islam, hal.71 / Tathawwur al-Fikr as-Siyasi 'Ind ahli Sunnah, hal.38).
Bagaimana dengan pihak Madinah sendiri?
Ilmuan Islam Ibnu A'tsam menjelaskan, problem yang mengemuka pada masyarakat Madinah hanya masalah kekhalilafahan Abu Bakar As- Shidiq. Ada peristiwa dimana Abu Bakar memanggil Umar ibnu Chatab untuk mewujudkan niatnya memerangi suku-suku 'Kinda'.
Kepada Umar khalifah Abu Bakar mengatakan, "Aku bermaksud mengutus Ali Bin Abi Thalib untuk memerangi mereka, karena dia adil, berani, sangat tinggi kualitasnya, tahu dan juga dapat menangani urusan." Umar berkata
"Anda benar, Ali memang seperti yang anda sebutkan. Namun aku takut satu hal. Aku takut dia tidak mau memerangi mereka. Jika dia tidak mau, maka tak ada orang lain yang dapat menggantikannya (lih. al-Futuh 1/71-72). Dan seperti kata Umar, Ali Bin Abi Thalib memang menentang keputusan Abu Bakar.
Maqdisi mengatakan, penentangan dalam internal Muslim tetap ada. Sebagian muslim ada keyakinan untuk memerangi orang-orang yang tak mau menyerahkan zakat kepada pemerintah merupakan sebuah kesalahan (lih. al-Bad' wa at-Tarikh 5/123). Tak dapat disangkal lagi mayoritas dari mereka adalah sahabat Nabi SAW. Apabila ada suku yang tidak setuju dengan khalifah ide Abu Bakar untuk memerangi orang-orang yang tak mau membayar atau menyerahkan zakat kepadanya (lih. Jami' al-Bayan al-'Ilm 2/104/1255).
Menurut Ibn A'tsam, ketika Abu Bakar ingin membunuh para tawanan perang 'Raddah' (Abu Bakar menugaskan Khalid bin Walid untuk membunuh sebagian kaum Raddah, untuk membakar mereka, untuk menawan anak-anak dan wanita mereka, dan untuk membagi harta mereka) Umar berkata: "Orang-orang ini mengimani Islam, dan mereka juga telah menegaskan keyakinan dan kebenaran akan Islam. Penjarakan mereka untuk sementara waktu demi mengetahui apa yang akan terjadi nanti." Menurut Syahristani, karena belum percaya bahwa suku-suku ini telah murtad, maka Umar membebaskan para tawanan ketika menjadi khalifah kedua (lih. al-Milal wa an-Nihal 1/31, Jami al-Bayan al-'Ilm 2/129).
Bagaimana dengan Abu Bakar sendiri?
"Jika mereka tidak mau menyerahkan zakat kepadaku, zakat yang biasa mereka serahkan kepada Nabi SAW setiap tahun, maka aku akan perangi mereka," kata Abu Bakar. Betulkah suku-suku itu telah murtad? Atau bolehkah memerangi suku-suku ini? Aksi-aksi memerangi ini dapat dijelaskan sebagai taktik yang dibutuhkan untuk menjaga keselamatan atau mempertahankan pemerintahan sang Khalifah. Abu Bakar bersikeras memungut zakat dari semua suku yang ada di jazirah Arab. Kenapa demikian? Karena Abu Bakar bermaksud memperkuat pemerintahannya di Madinah.
Umar Bin Chattab dengan Ka'ab al-Akhbar
Sejarawan mencatat mengenai sumber-sumber pemikiran agama dan politik Khalifah Umar bin Chattab. Selain apa yang didapat dapat dari ajaran Islam, Umar berupaya memperkaya pemikirannya dengan mengambil dari sumber-sumber lain, di antaranya adalah ilmu pengetahuan yang dimiliki para ahlulkitab, salah satu diantaranya berasal dari negeri Hijaz berpenduduk kaum Yahudi, mereka memiliki banyak pengetahuan seperti itu.
Pertama-tama harus diakui bahwa seluruh kelompok-kelompok Islam saat itu mengecam langkah yang dipilih Umar bi Chattab, seperti ini. Kecaman ini terutama didasarkan pada landasan bahwa kaum Yahudi sangat dipandang hina oleh al-Qur'an serta Hadits, dan tentu saja oleh sebagian Muslim.
Perlu diketahui bahwa ada jejak atau pengaruh ahlullitab pada umumnya serta kaum Yahudi pada khususnya dalam teks-teks sejarah atau hadits. Pengaruh tersebut terlihat pada hampir semua kelompok Muslim. Namun ada sebagian teks yang menunjukkan bahwa posisi ahlulkitab dalam mesyarakat baru ini dengan andalan pengetahuan dan ilmu mereka dan bertumpu pada pengaruh budaya yang mereka warisi dari jaman Jahiliyah.
Ketika Umar bin Chattab berkuasa, ia bertemu dengan seorang Yahudi dari Yaman yang baru masuk Islam, orang ini bernama Ka'ab bin Mati' Himyari yang dikenal dengan nama Ka'ab al-Akhbar. Ka'ab kemudian tercatat sebagai seorang Yahudi yang sangat mengetahui Taurat, dari dia jugalah Umar kemudian sering meminta saran, nasehat dan ilmu pengetahuan umum. Ka'ab masuk Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat, yaitu pada zaman khalifah Abu Bakar dan Umar, kemudian Ka'ab datang ke Madinah.
Ka'ab al Akhbar meninggal pada tahun 32 atau 33 H di kota Himsh Mesir. Pada saat itu sebuah makam yang berkubah tinggi dibangun untuknya di Mesir. Ka'ab al-Akhbar menjadi sumber andal dan terpercaya selama berabad-abad, sehingga ia banyak dijadikan rujukan dalam buku-buku sejarah dan tafsir (lih. Hilyat al-Awliya' 5/6). Namun sekarang ini sekalipun sudah banyak dilakukan penelitian-penelitian baru, sosok Ka'ab al-Akhbar tetap diliputi misteri.
Syahab Zuhri menyebutkan, "Mereka yang mula-mula memberikan sebutan Faruq kepada Umar adalah para ahlulkitab. Tak ada berita yang sampai ke kita mengindikasikan bahwa sebutan tersebut diberikan oleh Nabi Muhammad (lih. Tarikh Madinah al-Munawwarah 1/66, al-Muntakhab Min Dziyl al-Mudzayyal, hal. 40. dikutip dari perkataan Ka'ab al-Akhbar kepada Mu'awiyah, "Umar al-Faruq adalah gelar atau sebutan yang ada dalam kitab Taurat." Lihat juga Mutkhtashar Tarikh Dimasyq 21/186).
Umar juga terkenal sangat mendengar nasihat Ka'ab yang selalu melegitimasi perkataannya dengan "sabda Tuhan dan kitab Tuhan" yaitu Taurat. Seperti kasus dimana Umar ingin bepergian ke Irak, Ka'ab mengatakan kepada Umar, "Jangan pergi ke Irak karena di Irak banyak jin-nya, dan sembilan persepuluh ilmu hitam atau sihir juga ada di sana," Kejadian ini bersumber dari Saif Bin Umar, yang menyebutkan ketika terjadi wabah di Irak, Umar meminta para pembantunya untuk memberikan saran tentang berbagai kota. Ka'ab kemudian memberi nasihat tersbeut dalam rangka menanggapi langkah Umar saat meminta saran. (lih. Tarikh Thabari 4/59-60).
Tentang kematiannya Umar pun sangat mempercayai perkataan Ka'ab. Ka'ab pernah berkata kepada Umar, bahwa setelah dirinya membaca dalam Taurat ada kesimpulan khalifah Umar adalah seorang Imam yang adil lagi syahid. Ka'ab juga tahu persis kapan dan sebab apa Umar terbunuh telah tertulis dalam Taurat.
Muazin Umar mengatakan, "khalifah Umar menugaskan aku untuk menjemput Uskup. Aku bawa Uskup itu, lalu dia duduk bersama Umar di bawah satu naungan." Umar bertanya,"Benarkah anda mendapati namaku termaktub dalam kitab-kitab anda?" "Benar" sahut si Uskup. Umar bertanya, "Seperti apa?" "Seperti tanduk" jawab Uskup. Umar kemudian mengangkat cemeti dan berkata "Ada apa di tandukku?" si Uskup menjawab "Sebuah tanduk besi yang bagus lagi kuat,"……(lih.Ma'rifat as-Shahabah 1/213).
Demikianlah sekilas sejarah khalifah Umar bin Chattab salah satu Khulafa ar-Rasyidin. Ini berjalan berjalan bersama "dongeng-dongeng" Ka'ab al-Akhbar si Yahudi. Ironisnya -seperti yang telah disinggung terdahulu- orang-orang Yahudi ini malah mendapat tempat istimewa di tengah kaum Muslim.
Suasana pemerintahan Khalifah setelah Umar bin Chattab yakni Utsman bin 'Affan, Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin Ali ra mulai dipenuhi perselisihan antar Muslim dan ekspansi perluasan wilayah kekuasaan kerajaan Islam.
***
@Bila tulisan ini ingin dicopy jangan lupa cantumkan link feedback
Aida Khadijah
Dalam buku "Muhammad: A Western Attempt To Understand Islam" (Muhammad : Upaya Barat Memahami Islam) karya Karen Armstrong telah dituliskan ; "...setelah Muhammad (melakukan) hijrah pada tahun 622 M, masyarakat Islam yang kecil telah melangkahkan kakinya yang pertama menuju kekuasaan politik. Sepuluh tahun kemudian hampir seluruh Jazirah Arab dikuasai umat Islam dan telah meletakkan dasar atau Fondasi Sistem Politik Arab baru., hingga kaum Muslim dapat mengasai beberapa kerajaan dengan kekuasaan teritorial sangat besar selama ribuan tahun. Tentu saja konsekusensi dari keberhasilan politik ini telah mengundang masalah baru dan upaya perjuangan terus menerus. Tahun-tahun yang penuh gejolak di Madinah telah menunjukkan betapa sulitnya dan betapa beresikonya (riskan) membangun kembali tatanan masyarakat sesuai dengan rencana Tuhan."
Seandainya agama Islam (Syiar Islam) dapat berjalan seperti sejarahnya yang pertama, Dan tidak terjadi 'fitnah' di antara kaum muslimin ; Niscaya agama Islam dapat menguasai seluruh dunia. - Waltz -
Islam adalah agama yang praktis dan realistis, yang melihat intelegensi manusia dan wahyu Ilahi 'berada', 'berdampingan' serta 'bekerjasama' secara serasi. - Karen Armstrong -
Menjelang tahun 622 M, seolah kehendak Tuhan terjadi di Jazirah Arabia. Berbeda dengan Nabi-nabi terdahulu, Muhammad SAW, bukan saja mengajarkan laki-laki dan perempuan tentang visi harapan baru, tetapi beliau juga berusaha memikul tugas untuk menyelamatkan sejarah manusia serta menciptakan masyarakat yang adil, dan memberikan peluang kepada setiap manusia, laki-laki dan perempuan, untuk mengaktualkan potensinya yang sebenarnya.
Keberhasilan politik yang dilakukan umat secara berkesinambungan hampir menjadi semacam sakramen bagi kaum muslim. Ini merupakan pertanda lahir dari kehadiran 'tak terlihat' Tuhan di tengah-tengah mereka. Ada spirit atau motivasi baru dimana kegiatan politik umat akan terus menjadi tanggung jawab suci dan keberhasilan kekuasaan Islam dikemudian hari menjadi signal, manusia secara keseluruhan dapat diselamatkan. Demikianlah Karen Amstrong mantan biarawati katolik Roma ini menulis tentang Nabi Muhammad SAW.
Namun keselamatan individu tak dapat dicapai akibat rangkaian pertumpahan darah yang tak kunjung berakhir serta penindasan berlangsung terus di Jazirah Arabia : Masyarakat yang korup dan centang-perenang, tidak bisa tidak, akan melahirkan 'imoralitas', 'kemandekan', dan keputus-asaan (hopeless) pada seluruh anggota masyarakat, terkecuali pada segelintir 'pahlawan'. Jadi, situasi Jazirah Arabia pada abad ke tujuh masehi menuntut rancangan 'keselamatan umat Muslim secara menyeluruh (social sekaligus individual).
Muhammad al-Musthafa SAW beserta para sahabat terpilih telah berjuang tanpa lelah. Perjuangan itu menghasilkan sekian kecemerlangan, dengan bersatunya umat manusia dalam satu panji Al-Islam. 'Al-Islam yang damai dan memberikan kedamaian, membawa keselamatan dan persatuan dan persaudaraan.
Sayang sekali , semua itu berlalu besama risalah beliau, Muhammad wafat meninggalkan umat dalam kondisi belia, mereka berusaha terus 'eksist' dan bersikukuh di hadapan kekuasaan dunia. Setelah beliau wafat, umatnya berubah begitu cepat. Sejarah Islam berubah dalam wajah yang lain. Yang menyeramkan sekaligus menggelikan.
MULA PENOLAKAN ZAKAT
Beberapa Ahli sejarah menyatakan bahwa setelah Nabi Muhammad SAW meninggal, dalam kaum Muslim saat itu muncul persoalan antara lain : ada yang mengaku Nabi , ada yang meninggalkan ajaran Islam dan menobatkan diri sebagai raja, ada juga yang tidak mau membayar zakat. Problem utama kaum Muslim ini dikenal oleh kalangan sejarahwan sebagai jaman "kemurtadan".
Dari persoalan tersbeut dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok ;
a. Kelompok pertama adalah orang-orang yang mengaku Nabi atau mendapat wahyu angkat diri menjadi utusan Allah.
b. Kelompok kedua adalah orang-orang yang keluar dari Islam dan kembali ke keyakinan semula, yaitu keyakinan yang dianut sejak zaman Jahiliyah.
c. Kelompok ketiga adalah orang-orang yang tidak sepakat dan tunduk pada pemerintahan Madinah. Mereka melakukan gerakan tidak mau membayar 'zakat' kepada pemerintahan Madinah. Dalam kelompok ketiga, ada orang-orang yang tidak mengakui pemerintahan kalifah Abu Bakar RA.
Selanjutnya tulisan ini membatasi studi pada kelompok ketiga saja.
Setelah nabi Muhammad wafat pemerintahan Madinah di pimpin oleh Khulafa Ar Rashidin
Adapun nama-nama para khalifah pada masa khulafaur Rasyidin sebagai berikut:
1.Abu Bakar ash-Shiddiq ra (tahun 11-13 H/632-634 M)
2.Umar bin Chattab ra (tahun 13-23 H/634-644 M)
3.Utsman bin 'Affan ra (tahun 23-35 H/644-656 M)
4.Ali bin Abi Thalib ra (tahun 35-40 H/656-661 M)
5.Al-Hasan bin Ali ra (tahun 40 H/661 M)
Dalam catatan sejarah menunjukkan beberapa suku telah dianggap 'murtad' hanya karena melakukan menolak kewajiban membayar zakat kepada pemerintah Madinah. Sebagai contoh, sekelompok orang dari suku 'Yamamah' dimana mereka menerima 'prinsip' kewajiban bayar 'zakat' sebagai sebuah kebenaran, namun tidak mau membayar dan menyerahkan 'zakat' kepada pemerintahan kalifah Abu Bakar.
Kaum 'Yamamah' sering berkata "Kami menghimpun zakat dari orang-orang kaya suku kami. Lalu kami bagikan kepada kaum fakir miskin di kalangan kami sendiri. Kami tak akan pernah membayar atau menyerahkan zakat kepada orang yang tak direkomendasikan oleh al-Qur'an dan Sunnah." (lihat Al-Ifshah, hal.121).
Ashim Minqari mencatat '"Qais mendapat tugas Nabi Muhammad SAW untuk menghimpun zakat dari sukunya. Setelah Nabi wafat, Qais tetap menghimpun zakat, namun bukan diserahkan kepada pemerintahan kalifah Abu Bakar. Alih-alih Qais membagikannya kepada kaum fakir miskin dari kalangan sukunya. Tindakan Qais ini dianggap pemerintahan Abu Bakar sebagai tindak kejahatan," (lih. Ad-Durrah al-Fakhirah, hal.324, Majma' al-Amtsal 2/65).
Ibnu Katsir juga menjelaskan saat itu banyak Muslim yang tak mau serahkan zakat mereka kepada pemerintahan Abu Bakar (al-Bidayah wa an-Nihayah 6/311). Bahkan Naubakhti mencatat ada sekelompok orang menyatakan tak mau melakukan kewajiban zakat kecuali tahu siapa yang memegang pemerintahan. Karena itu mereka membagikan zakat kepada kaum fakir miskin di dalam sukunya (lih. Firaq asy-Syi'ah, hal.4).
Selain tidak mengakui pemerintahan Abu Bakar, suku-suku yang menolak kewajiban zakat ini, setelah mendengar kabar wafatnya Nabi Muhammad, mereka segera memutuskan hubungan pemerintahan dengan Madinah, mereka beranggapan hubungan suku mereka dengan Madinah adalah hubungan keagamaan. Maka ketika kabar Nabi Muhammad wafat menyebar ke semua penjuru, mereka merasa tak perlu menerima pemerintahan orang lain. Karena mereka tidak perlu melakukan kewajiban zakat untuk diberikan kepada pemerintah Madinah, konsekuensinya maka mereka dicap murtad oleh pemerintahan Madinah. (Tarikh al-'Arab wa al-Islam, hal.71 / Tathawwur al-Fikr as-Siyasi 'Ind ahli Sunnah, hal.38).
Bagaimana dengan pihak Madinah sendiri?
Ilmuan Islam Ibnu A'tsam menjelaskan, problem yang mengemuka pada masyarakat Madinah hanya masalah kekhalilafahan Abu Bakar As- Shidiq. Ada peristiwa dimana Abu Bakar memanggil Umar ibnu Chatab untuk mewujudkan niatnya memerangi suku-suku 'Kinda'.
Kepada Umar khalifah Abu Bakar mengatakan, "Aku bermaksud mengutus Ali Bin Abi Thalib untuk memerangi mereka, karena dia adil, berani, sangat tinggi kualitasnya, tahu dan juga dapat menangani urusan." Umar berkata
"Anda benar, Ali memang seperti yang anda sebutkan. Namun aku takut satu hal. Aku takut dia tidak mau memerangi mereka. Jika dia tidak mau, maka tak ada orang lain yang dapat menggantikannya (lih. al-Futuh 1/71-72). Dan seperti kata Umar, Ali Bin Abi Thalib memang menentang keputusan Abu Bakar.
Maqdisi mengatakan, penentangan dalam internal Muslim tetap ada. Sebagian muslim ada keyakinan untuk memerangi orang-orang yang tak mau menyerahkan zakat kepada pemerintah merupakan sebuah kesalahan (lih. al-Bad' wa at-Tarikh 5/123). Tak dapat disangkal lagi mayoritas dari mereka adalah sahabat Nabi SAW. Apabila ada suku yang tidak setuju dengan khalifah ide Abu Bakar untuk memerangi orang-orang yang tak mau membayar atau menyerahkan zakat kepadanya (lih. Jami' al-Bayan al-'Ilm 2/104/1255).
Menurut Ibn A'tsam, ketika Abu Bakar ingin membunuh para tawanan perang 'Raddah' (Abu Bakar menugaskan Khalid bin Walid untuk membunuh sebagian kaum Raddah, untuk membakar mereka, untuk menawan anak-anak dan wanita mereka, dan untuk membagi harta mereka) Umar berkata: "Orang-orang ini mengimani Islam, dan mereka juga telah menegaskan keyakinan dan kebenaran akan Islam. Penjarakan mereka untuk sementara waktu demi mengetahui apa yang akan terjadi nanti." Menurut Syahristani, karena belum percaya bahwa suku-suku ini telah murtad, maka Umar membebaskan para tawanan ketika menjadi khalifah kedua (lih. al-Milal wa an-Nihal 1/31, Jami al-Bayan al-'Ilm 2/129).
Bagaimana dengan Abu Bakar sendiri?
"Jika mereka tidak mau menyerahkan zakat kepadaku, zakat yang biasa mereka serahkan kepada Nabi SAW setiap tahun, maka aku akan perangi mereka," kata Abu Bakar. Betulkah suku-suku itu telah murtad? Atau bolehkah memerangi suku-suku ini? Aksi-aksi memerangi ini dapat dijelaskan sebagai taktik yang dibutuhkan untuk menjaga keselamatan atau mempertahankan pemerintahan sang Khalifah. Abu Bakar bersikeras memungut zakat dari semua suku yang ada di jazirah Arab. Kenapa demikian? Karena Abu Bakar bermaksud memperkuat pemerintahannya di Madinah.
Umar Bin Chattab dengan Ka'ab al-Akhbar
Sejarawan mencatat mengenai sumber-sumber pemikiran agama dan politik Khalifah Umar bin Chattab. Selain apa yang didapat dapat dari ajaran Islam, Umar berupaya memperkaya pemikirannya dengan mengambil dari sumber-sumber lain, di antaranya adalah ilmu pengetahuan yang dimiliki para ahlulkitab, salah satu diantaranya berasal dari negeri Hijaz berpenduduk kaum Yahudi, mereka memiliki banyak pengetahuan seperti itu.
Pertama-tama harus diakui bahwa seluruh kelompok-kelompok Islam saat itu mengecam langkah yang dipilih Umar bi Chattab, seperti ini. Kecaman ini terutama didasarkan pada landasan bahwa kaum Yahudi sangat dipandang hina oleh al-Qur'an serta Hadits, dan tentu saja oleh sebagian Muslim.
Perlu diketahui bahwa ada jejak atau pengaruh ahlullitab pada umumnya serta kaum Yahudi pada khususnya dalam teks-teks sejarah atau hadits. Pengaruh tersebut terlihat pada hampir semua kelompok Muslim. Namun ada sebagian teks yang menunjukkan bahwa posisi ahlulkitab dalam mesyarakat baru ini dengan andalan pengetahuan dan ilmu mereka dan bertumpu pada pengaruh budaya yang mereka warisi dari jaman Jahiliyah.
Ketika Umar bin Chattab berkuasa, ia bertemu dengan seorang Yahudi dari Yaman yang baru masuk Islam, orang ini bernama Ka'ab bin Mati' Himyari yang dikenal dengan nama Ka'ab al-Akhbar. Ka'ab kemudian tercatat sebagai seorang Yahudi yang sangat mengetahui Taurat, dari dia jugalah Umar kemudian sering meminta saran, nasehat dan ilmu pengetahuan umum. Ka'ab masuk Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat, yaitu pada zaman khalifah Abu Bakar dan Umar, kemudian Ka'ab datang ke Madinah.
Ka'ab al Akhbar meninggal pada tahun 32 atau 33 H di kota Himsh Mesir. Pada saat itu sebuah makam yang berkubah tinggi dibangun untuknya di Mesir. Ka'ab al-Akhbar menjadi sumber andal dan terpercaya selama berabad-abad, sehingga ia banyak dijadikan rujukan dalam buku-buku sejarah dan tafsir (lih. Hilyat al-Awliya' 5/6). Namun sekarang ini sekalipun sudah banyak dilakukan penelitian-penelitian baru, sosok Ka'ab al-Akhbar tetap diliputi misteri.
Syahab Zuhri menyebutkan, "Mereka yang mula-mula memberikan sebutan Faruq kepada Umar adalah para ahlulkitab. Tak ada berita yang sampai ke kita mengindikasikan bahwa sebutan tersebut diberikan oleh Nabi Muhammad (lih. Tarikh Madinah al-Munawwarah 1/66, al-Muntakhab Min Dziyl al-Mudzayyal, hal. 40. dikutip dari perkataan Ka'ab al-Akhbar kepada Mu'awiyah, "Umar al-Faruq adalah gelar atau sebutan yang ada dalam kitab Taurat." Lihat juga Mutkhtashar Tarikh Dimasyq 21/186).
Umar juga terkenal sangat mendengar nasihat Ka'ab yang selalu melegitimasi perkataannya dengan "sabda Tuhan dan kitab Tuhan" yaitu Taurat. Seperti kasus dimana Umar ingin bepergian ke Irak, Ka'ab mengatakan kepada Umar, "Jangan pergi ke Irak karena di Irak banyak jin-nya, dan sembilan persepuluh ilmu hitam atau sihir juga ada di sana," Kejadian ini bersumber dari Saif Bin Umar, yang menyebutkan ketika terjadi wabah di Irak, Umar meminta para pembantunya untuk memberikan saran tentang berbagai kota. Ka'ab kemudian memberi nasihat tersbeut dalam rangka menanggapi langkah Umar saat meminta saran. (lih. Tarikh Thabari 4/59-60).
Tentang kematiannya Umar pun sangat mempercayai perkataan Ka'ab. Ka'ab pernah berkata kepada Umar, bahwa setelah dirinya membaca dalam Taurat ada kesimpulan khalifah Umar adalah seorang Imam yang adil lagi syahid. Ka'ab juga tahu persis kapan dan sebab apa Umar terbunuh telah tertulis dalam Taurat.
Muazin Umar mengatakan, "khalifah Umar menugaskan aku untuk menjemput Uskup. Aku bawa Uskup itu, lalu dia duduk bersama Umar di bawah satu naungan." Umar bertanya,"Benarkah anda mendapati namaku termaktub dalam kitab-kitab anda?" "Benar" sahut si Uskup. Umar bertanya, "Seperti apa?" "Seperti tanduk" jawab Uskup. Umar kemudian mengangkat cemeti dan berkata "Ada apa di tandukku?" si Uskup menjawab "Sebuah tanduk besi yang bagus lagi kuat,"……(lih.Ma'rifat as-Shahabah 1/213).
Demikianlah sekilas sejarah khalifah Umar bin Chattab salah satu Khulafa ar-Rasyidin. Ini berjalan berjalan bersama "dongeng-dongeng" Ka'ab al-Akhbar si Yahudi. Ironisnya -seperti yang telah disinggung terdahulu- orang-orang Yahudi ini malah mendapat tempat istimewa di tengah kaum Muslim.
Suasana pemerintahan Khalifah setelah Umar bin Chattab yakni Utsman bin 'Affan, Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin Ali ra mulai dipenuhi perselisihan antar Muslim dan ekspansi perluasan wilayah kekuasaan kerajaan Islam.
***
@Bila tulisan ini ingin dicopy jangan lupa cantumkan link feedback
Aida Khadijah
Kata kunci: islam
Sebelumnya:MULA PENGKHIANATAN PADA MUHAMMAD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar