Kamis, 22 September 2011
Indonesia Butuhkan UU Penanganan Konflik Sosial
Aspek negatif konflik sosial berupa perusakan
patung hingga bentrokan antar pemeluk agama menjadi latarbelakang
dibutuhkannya UU Penanganan Konflik Sosial di Indonesia.
Foto: Reuters
Konflik sosial saat ini terus marak terjadi di Indonesia. Baru-baru
ini terjadi perusakan patung wayang di Kabupaten Purwakarta oleh
sekelompok massa. Perusakan itu dilakukan setelah mereka dilaporkan
mendengarkan khutbah dari tokoh agama.
Peristiwa semacam ini bukan merupakan yang pertama kali, sebelumnya
di Bekasi, kelompok massa yang mengatasnamakan agama menuntut agar
patung tiga mojang diturunkan. Di Tanjung Balai, Sumatera Utara ada
ormas mendesak penurunan patung budha atau pembubaran acara budaya di
Solo, Jawa Tengah. Selain itu juga ada konflik sosial yang terjadi di
Ambon beberapa waktu lalu.
Untuk itu, menurut Wakil Ketua Pansus Rancangan Undang-undang
Penanganan Konflik Sosial Yahya Sacarwiria, Indonesia sangat membutuhkan
payung hukum yang komprehensif dan kuat agar dapat mengatasi berbagai
konflik sosial yang terjadi.
Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki konsep, sistem maupun
strategi penanganan konflik sosial secara menyeluruh. "Undang-undang
tentang konflik sosial yang nanti bisa digunakan sebagai panduan dan
kita juga melihat betapi pentingnya Undang-undang tersebut untuk
memberikan rambu yang jelas kepada siapa-siapa yang harus berperan.
Contohnya, siapa sih yang menjadi leading sector kalau ada penanganan masalah. Siapa yang menangani pada saat masih menjadi embrio," demikian ungkap Yahya Sacawiria.
Wakil ketua Institute for Democracy and Peace, Bonar Tigor Naipospos mendukung disyahkannya Rancangan Undang-undang Penanganan Konflik Sosial menjadi Undang-undang.
Menurut Tigor, Undang-undang ini dapat menjadi alat bagi pemerintah
untuk melakukan sejumlah tindakan yang bisa mencegah terjadinya konflik
sosial sejak dini.
"Jadi dengan adanya Undang-undang ini menjadi jelas apa yang harus dilakukan oleh government dan
kemudian menjadi jelas juga bagi kita sebagai masyarakat sipil untuk
kemudian melakukan sesuatu untuk mendesak pemerintah agar menjalankan
kebijakan sesuai dengan undang-undang yang ada. Itu keuntungannya saja,"
jelas Bonar Togar Naipospos.
Kebutuhan RUU penanganan sosial juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Wahid Institute Ahmad Suedy tetapi dengan catatan undang-undang ini tidak seperti kemanan nasional yang dimiliki Malaysia atau Singapura.
Ahmad menyebutkan penanganan konflik sosial tetap harus melakukan
pendekatan sosial dan memberikan tugas kepada pemerintah untuk
menyelesaikan masalah konflik. "Undang-undang yang harus dilakukan ini
adalah kewajiban pemerintah untuk menuntaskan masalah-masalah pasca
konflik itu seperti retitusi ekonomi kepada yang tertinggal misalnya.
Dan juga mediasi konflik-konflik yang timbul pasca konflik itu sendiri,"
kata Ahmad Suedy.
Rencananya DPR akan mensyahkan Rancangan Undang-undang Penanganan Konflik Sosial ini pada akhir tahun 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar