Budaya, Posisi, dan Mungkin
Minggu, 18/12/2011 06:29 WIB
Jakarta
Sering kali membaca budaya lebih menggeliat kala kita
membahasakan secara fragmentis. Dimensi tafsir dibutuhkan saat dimana
budaya ditempatkan. Epos-epos budaya terpakai diatas landasan batas.
Relevansi kehidupan menambah ketidakjelasan. Akibat kontruksi sosial
pula budaya dilemahkan secara konformis.
Selalu melahirkan pandangan tinggi dan rendah. Antara cocok dan tidak. Lebih parah jika sudah pada tataran baik dan buruk. Padahal, semua itu hanya pada persoalan dikotomi. Lantas, haruskah mendikotomikan hal semacam itu?
Para pemikir sendiri tak ada yang berani secara tegas menanggalkan sebuah budaya. Budaya yang berpijak sebagai unit terkecil pembentuk peradaban sepintas jadi ujian realita. Budaya dibangun demi membentuk identitas diri dan sosial.
Berpola sirkuit ala Stuart Hall. Berjalan atas dasar proses atau proyek sebagai konsekuen. Di Indonesia sendiri lebih mudah dijumpai karena menyangkut "cara hidup". Cukup kaya bila Anda mengkaji apalagi mendalami secara utuh.
Budaya terus terkulminasikan demi merajut peradaban yang lebih baik. Dan pastinya manusia sebagai subyek utama peletak dasar. Dari sinilah malah terjadi pergeseran paradigma. Menjabarkan posisi dimana manusia sebagai pembentuk atau terbentuk.
Permainan kesadaran, relasi kekuasaan, hegemoni ideologi sampai diskursus pengetahuan merupakan artikulasi yang tak terpisahkan. Semua itu mendapat porsi yang berarti dalam kajian budaya.
Menukik ke relasi budaya dan pengetahuan. Dari Hoggart sampai ke Lyotard ada kesepahaman bahwa budaya bisa berafirmasi melalui pengetahuan. Karena pengetahuan lah yang mampu menjaga budaya.
Meski begitu perlu juga menjaga pengetahuan. Kalau saya ambil sari pati dari pengetahuan adalah pendidikan. Pendidikan ini yang kedepan berfungsi sebagai "penjaga hari". Pendidikan harus jelih melihat, mengklarifikasi dan mengayomi peranan budaya.
Sayangnya, lagi-lagi kita tak bisa loncat dari jebakan. Kita dihadapkan pada penyimpangan kontruksi sosial. Pendidikan terlebih dalam konteks formal (sekolah atau perguruan tinggi) seolah mati.
Sekedar menyuguhi dan menampung pengetahuan mirip gaya bank. Nampak penolakan seperti ini yang menelurkan metode pengajaran baru seperti bimbel, short course maupun homeschooling yang marak belakangan ini. Tak lebih, semua itu kekecewaan dari sekolah. Atau bisa juga malah mengikuti nafsu kurikulum pendidikan formal.
Dan akan lebih parah. Bila kita tarik garis ke atas terkait power. Makanya, tak salah jika sang terdidik hanya bisa menemukan "kepuasan" diluar lingkungan pendidikan formal. Malah budaya luar ini yang berperan intim dalam pembentuk kehidupan mereka.
Di sekolah ia hanya disuguhi buku paket. Mereka tak pernah menemukan literasi kritis. Seolah hampir dimatikan demi mengejar nilai-nilai pragmatisme. Tak heran, virus korupsi hanya dijadikan kekecewaan. Bukan pada level pemahaman budaya. Praktis, ada pemahaman yang putus dari lembaga pendidikan tentang makna dan fungsi budaya.
Saya mengingat betul akan esai Mudji Sutrisno. Ia melihat bahwa harusnya kita sudah mulai menemukan strategi kebudayaan sebagai tantangan atas perkembangan. Ia bukan lagi "benda" stagnan. Inilah yang ia sebut global genius, local wisdom. Dinamika budaya akan serba mungkin. Ia bisa dimungkinkan dari kemungkinan itu. Dimanakah kita memposisikan?
*Penulis adalah Mahasiswa dan Aktif di Lembaga Kajian Mahasiswa UNJ
Naufal Azizi
Jl. Praktekan No.11 Rawamangun, Jakarta Timur
naufaltamanhati@gmail.com
08568856188
Selalu melahirkan pandangan tinggi dan rendah. Antara cocok dan tidak. Lebih parah jika sudah pada tataran baik dan buruk. Padahal, semua itu hanya pada persoalan dikotomi. Lantas, haruskah mendikotomikan hal semacam itu?
Para pemikir sendiri tak ada yang berani secara tegas menanggalkan sebuah budaya. Budaya yang berpijak sebagai unit terkecil pembentuk peradaban sepintas jadi ujian realita. Budaya dibangun demi membentuk identitas diri dan sosial.
Berpola sirkuit ala Stuart Hall. Berjalan atas dasar proses atau proyek sebagai konsekuen. Di Indonesia sendiri lebih mudah dijumpai karena menyangkut "cara hidup". Cukup kaya bila Anda mengkaji apalagi mendalami secara utuh.
Budaya terus terkulminasikan demi merajut peradaban yang lebih baik. Dan pastinya manusia sebagai subyek utama peletak dasar. Dari sinilah malah terjadi pergeseran paradigma. Menjabarkan posisi dimana manusia sebagai pembentuk atau terbentuk.
Permainan kesadaran, relasi kekuasaan, hegemoni ideologi sampai diskursus pengetahuan merupakan artikulasi yang tak terpisahkan. Semua itu mendapat porsi yang berarti dalam kajian budaya.
Menukik ke relasi budaya dan pengetahuan. Dari Hoggart sampai ke Lyotard ada kesepahaman bahwa budaya bisa berafirmasi melalui pengetahuan. Karena pengetahuan lah yang mampu menjaga budaya.
Meski begitu perlu juga menjaga pengetahuan. Kalau saya ambil sari pati dari pengetahuan adalah pendidikan. Pendidikan ini yang kedepan berfungsi sebagai "penjaga hari". Pendidikan harus jelih melihat, mengklarifikasi dan mengayomi peranan budaya.
Sayangnya, lagi-lagi kita tak bisa loncat dari jebakan. Kita dihadapkan pada penyimpangan kontruksi sosial. Pendidikan terlebih dalam konteks formal (sekolah atau perguruan tinggi) seolah mati.
Sekedar menyuguhi dan menampung pengetahuan mirip gaya bank. Nampak penolakan seperti ini yang menelurkan metode pengajaran baru seperti bimbel, short course maupun homeschooling yang marak belakangan ini. Tak lebih, semua itu kekecewaan dari sekolah. Atau bisa juga malah mengikuti nafsu kurikulum pendidikan formal.
Dan akan lebih parah. Bila kita tarik garis ke atas terkait power. Makanya, tak salah jika sang terdidik hanya bisa menemukan "kepuasan" diluar lingkungan pendidikan formal. Malah budaya luar ini yang berperan intim dalam pembentuk kehidupan mereka.
Di sekolah ia hanya disuguhi buku paket. Mereka tak pernah menemukan literasi kritis. Seolah hampir dimatikan demi mengejar nilai-nilai pragmatisme. Tak heran, virus korupsi hanya dijadikan kekecewaan. Bukan pada level pemahaman budaya. Praktis, ada pemahaman yang putus dari lembaga pendidikan tentang makna dan fungsi budaya.
Saya mengingat betul akan esai Mudji Sutrisno. Ia melihat bahwa harusnya kita sudah mulai menemukan strategi kebudayaan sebagai tantangan atas perkembangan. Ia bukan lagi "benda" stagnan. Inilah yang ia sebut global genius, local wisdom. Dinamika budaya akan serba mungkin. Ia bisa dimungkinkan dari kemungkinan itu. Dimanakah kita memposisikan?
*Penulis adalah Mahasiswa dan Aktif di Lembaga Kajian Mahasiswa UNJ
Naufal Azizi
Jl. Praktekan No.11 Rawamangun, Jakarta Timur
naufaltamanhati@gmail.com
08568856188
Tidak ada komentar:
Posting Komentar