Dampak Konflik Senyerang Meluas
Sabtu, 21 Januari 2012 | 04:02 WIB
Jambi, Kompas -
Konflik lahan antara petani dan PT Wira Karya Sakti, Jambi (anak usaha
Sinar Mas Forestry) kian meluas. Pemerintah perlu secepatnya
menyelesaikan sengketa yang terjadi di Desa Senyerang, Kecamatan
Senyerang, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, itu. Di Sumatera
Selatan, lahan transmigrasi diduga dijualbelikan.
Berdasarkan
pantauan Kompas, anak-anak kecil tidak bersekolah karena ikut menduduki
lahan bersama orangtuanya. Para petani meninggalkan rumah, lalu
membangun tenda-tenda darurat dalam hutan akasia yang telah berusia
sekitar lima tahun di sepanjang kanal 16 hingga 19. Mereka tidur, makan,
dan mandi di sana, serta menanam tanaman baru di sekitar tanaman
akasia.
”Kami terpaksa meninggalkan rumah untuk menduduki lahan
ini walaupun banyak anak sampai tidak bersekolah untuk sementara waktu,”
ujar Masnah, warga setempat, Jumat (20/1).
Masyarakat Desa
Senyerang sudah sebulan ini menduduki lahan akasia yang dikelola PT Wira
Karya Sakti (WKS). Pendudukan lahan berlatar belakang klaim petani
bahwa lahan sekitar 7.200 hektar tersebut milik mereka, tetapi secara
formal sejak 2001 beralih fungsi menjadi hutan tanaman industri (HTI).
Sejak
pendudukan lahan berlangsung, aktivitas perusahaan di lahan sepanjang
kanal 11 hingga 19 dihentikan sementara. Sebanyak 300 karyawan PT WKS
akibatnya dirumahkan sementara. ”Perusahaan tidak bisa beroperasi
karena lahannya diduduki warga. Karyawan kami yang semestinya bekerja di
lokasi itu ikut terkena dampaknya,” kata Haris dari Humas PT WKS.
Jadi HTI
Bupati
Tanjung Jabung Barat Usman Ermulan mengatakan, Menteri Kehutanan
(Menhut) telah menyetujui realisasi pengelolaan 4.004 hektar lahan HTI
tersebut untuk dikelola masyarakat Senyerang. Petani dapat menanam lahan
dengan bibit karet jenis unggul. Setelah tanaman tidak lagi produktif,
petani wajib bermitra dengan perusahaan. Kayu karet yang telah tua
dipasok ke pabrik untuk menjadi bubur kertas. Hasil penjualannya dibagi
antara petani dan perusahaan.
Namun, hingga kini, persetujuan
tersebut belum tertuang secara formal dalam surat keputusan. ”Jika surat
keputusan ini tidak juga ditandatangani Menhut, kami khawatir
masyarakat yang sekarang menduduki lahan akan menjadi anarkis,”
tuturnya.
Konflik lahan di Senyerang berlangsung sejak 2001, dan
sempat mereda pada 2004 setelah adanya kesepakatan mengenai kewajiban
perusahaan untuk membangun fasilitas publik dan tanaman kehidupan. Pada
2008 konflik kembali merebak. Konflik bahkan mengakibatkan seorang warga
Senyerang, Ahmad Adam, tewas tertembak aparat kepolisian setempat pada
November tahun lalu.
Usman memperkirakan, 145.000 hektar atau 42
persen kawasan hutan di wilayah Tanjung Jabung Barat telah menjadi HTI
akasia yang dikelola PT WKS. ”HTI sudah terlalu luas, sementara
dampaknya terhadap keseimbangan ekologi dan konflik dengan masyarakat
sudah sangat mengkhawatirkan,” katanya.
Sementara itu, lahan
usaha jatah 500 keluarga transmigran di Kota Terpadu Mandiri Sungai
Rambutan, Kecamatan Indralaya Utara, Kabupaten Ogan Ilir (OI), Sumatera
Selatan, terindikasikan dijualbelikan dan dimiliki secara ilegal oleh
pihak lain.
Wakil Gubernur Sumsel Eddy Yusuf mengatakan, masalah
ini akan diselesaikan secepatnya karena lahan ini merupakan hak para
transmigran. Asisten I Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Sumsel
Mukti Sulaiman mengatakan, nama para pelaku kepemilikan ataupun jual
beli lahan itu sudah diketahui. ”Pemprov Sumsel akan kirim surat kepada
Bupati OI agar lahan transmigrasi dibebaskan, disertai nama-nama orang
yang menguasainya,” ujarnya. (ITA/IRE)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar