Senin, 20 Februari 2012

Memahami Seluk Beluk Konflik antar Etnis Bersama Michael E. Brown


Memahami Seluk Beluk Konflik antar Etnis Bersama Michael E. Brown



Reza A.A Wattimena
Pada bab ini, saya akan mencoba untuk menganalisis konflik antar etnis. Analisis yang saya lakukan akan mencoba untuk meneropong faktor-faktor yang kiranya mendorong terjadinya konflik etnis, sekaligus mencoba mengajukanalternatif solusi berhadapan dengan konflik antar etnis yang sudah terjadi. Argumen di dalam bab ini banyak diinspirasikan dari pembacaan saya terhadap tulisan Michael E. Brown.
Setelah perang dingin berakhir dengan pecahnya Uni Soviet, banyak pihak berharap bahwa masa-masa perdamaian akan datang. Beberapa ahli di dalam ilmu-ilmu sosial bahkan berpendapat, bahwa sejarah sudahlah berakhir dengan berakhirnya perang dingin. Sejarah berakhir dengan kemenangan demokrasi dan liberalisme. Para pemimpin dunia memimpikan sebuah tatanan dunia baru yang makmur dan damai. Tata dunia baru ini akan mencegah setiap bentuk peperangan, gesit di dalam menanggapi berbagai bencana alam, dan secara aktif melakukan pemerataan sumber daya demi kemakmuran seluruh bangsa. (Brown, 1997)
Semua harapan tersebut tidak pernah menjadi kenyataan faktual. Beberapa tahun belakangan ini, dunia diwarnai dengan berbagai konflik etnis yang melibatkan beragam kepentingan politik dan ekonomi. Pada beberapa konflik, skala kekerasan yang terjadi begitu besar, dan bahkan dapat disebut sebagai genosida. Banyak orang tertegun dengan keluasan maupun kedalaman konflik yang terjadi. Perang di Bosnia-Herzegovina pada 1999 menarik banyak perhatian dan simpati dari seluruh dunia. Beberapa konflik lainnya, seperti di Afganistan, Angola, Armenia, Azerbajian, Burma, Georgia, India, Indonesia, Liberia, Sri Lanka, Sudan, Tajikistan, Bangladesh, Belgium, Bhutan, Burundi, Estonia, Ethiopia, Guatemala, Iraq, Latvia, Lebanon, Mali, Moldova, Niger, Irlandia Utara, Pakistan, Filipina, Romania, Rwanda, Afrika Selatan, Spanyol, dan Turki, juga memiliki skala massal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Konflik politik di Tibet, Cina, dan Russia juga tampak siap meletus menjadi konflik berdarah. (Brown, 1997, 80)
Harapan bahwa PBB akan menjadi kekuatan politik yang berpengaruh, yang siap mencegah meledaknya berbagai konflik etnis, tampaknya juga terlalu berlebihan. Pada konflik di Bosnia-Herzegovina, negara-negara Eropa dan Amerika Serikat lebih sibuk memutuskan, apakah konflik yang terjadi sudah dapat disebut genosida atau belum. Praktis, tidak ada tindakan real yang dilakukan, ketika orang-orang dibantai dan pesawat-pesawat tempur menjatuhkan bom ke kota-kota. PBB tampaknya tidak terlalu peduli dengan konflik ini, terutama karena kepentingan negara-negara maju yang ada di balik PBB tidak langsung terkait dengan konflik tersebut.
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menganalisis sebab-sebab dan akibat-akibat yang muncul dari terjadinya konflik etnis. Tulisan ini juga hendak memberikan beberapa rekomendasi untuk meminimalisir terjadinya konflik etnis dan kekerasan massal. Pada bagian pertama, saya akan mencoba mendefinisikan arti konflik etnis secara spesifik. Kemudian, saya akan mencoba mencari akar penyebab dari terjadinya konflik etnis, baik dari penyebab sistemik, domestik, sampai cara pandang. Pada bagian ketiga, saya akan mencoba melihat beberapa implikasi dari terjadinya konflik etnis. Brown berpendapat, bahwa terjadinya konflik etnis biasanya akan bermuara pada satu dari tiga hal ini, yakni terjadinya rekonsiliasi damai, perpecahan etnis secara damai, atau pada terjadinya perang saudara yang berkepanjangan. Akibat yang terakhir ini biasanya akan membawa dampak yang sangat besar, baik secara moral maupun secara politis, bagi dunia internasional. Pada bagian akhir, berbekal beberapa argumentasi dari Brown, saya akan mencoba memberikan beberapa rekomendasi untuk mencegah ataupun menangani terjadinya konflik etnis.
Komunitas Etnis dan Konflik Etnis
Menurut Brown, kata ‘konflik etnis’ seringkali digunakan secara fleksibel. Bahkan, dalam beberapa penggunaannya, kata ini justru digunakan untuk menggambarkan jenis konflik yang sama sekali tidak mempunya basis etnis. (hal. 81) Contohnya adalah konflik di Somalia. Banyak pihak mengkategorikan konflik yang terjadi di Somalia sebagai konflik etnis. Padahal, Somalia adalah negara paling homogen dalam hal etnisitas di Afrika. Konflik di Somalia terjadi bukan karena pertentangan antar etnis, melainkan karena pertentangan antara penguasa lokal satu dengan penguasa lokal lainnya, yang keduanya berasal dari etnis yang sama.
Disini jelas diperlukan suatu definisi yang cukup spesifik tentang apa yang dimaksud dengan konflik etnis. Menurut Anthony Smith, komunitas etnis adalah suatu konsep yang digunakan untuk menggambarkan sekumpulan manusia yang memiliki nenek moyang yang sama, ingatan sosial yang sama (Wattimena, 2008), dan beberapa elemen kultural. Elemen-elemen kultural itu adalah keterkaitan dengan tempat tertentu, dan memiliki sejarah yang kurang lebih sama. Kedua hal ini biasanya menjadi ukuran bagi solidaritas dari suatu komunitas (Smith, seperti dalam Brown, 1997, hal. 81). Smith melanjutkan, bahwa setidaknya ada enam hal yang harus dipenuhi sebelum sebuah kelompok dapat menyebut diri mereka sebagai ‘komunitas etnis’.
Pertama, sebuah kelompok haruslah memiliki namanya sendiri. Kriteria ini tidaklah mengada-ada. Tidak adanya nama spesifik untuk suatu kelompok, menurut Smith, menandakan belum terbentuknya identitas sosial yang cukup solid untuk dapat disebut sebagai suatu komunitas etnis. Kedua, orang-orang di dalam kelompok tersebut haruslah yakin, bahwa mereka memiliki nenek moyang yang sama. Keyakinan ini sangatlah penting, dan bahkan lebih penting daripada ikatan biologis. Ikatan biologis mungkin saja ada, tetapi tidak menjadi inti dari keyakinan, bahwa suatu kelompok memiliki leluhur yang sama.
Ketiga, orang-orang yang berada di dalam kelompok tersebut haruslah memiliki ingatan sosial yang sama. Kesamaan itu biasanya ditandai dengan adanya mitos-mitos maupun legenda-legenda yang sama, yang disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara lisan. Keempat, kelompok tersebut haruslah berbagi kultur yang sama. Kesamaan kultur tersebut dapat dilihat dalam berbagai kombinasi antara bahasa, agama, norma-norma adat, pakaian, musik, karya seni, arsitektur, dan bahkan makanan. Kelima, orang-orang yang ada di dalam kelompok tersebut haruslah merasa terikat pada suatu teritori tertentu, terutama teritori yang sedang mereka tempati. Dankeenam, orang-orang yang berada di dalam kelompok itu haruslah merasa dan berpikir bahwa mereka adalah bagian dari satu kelompok yang sama. Hanya dengan begitulah suatu kelompok dapat disebut sebagai komunitas etnis.
Dari kriteria ini sebenarnya bisa ditarik kesimpulan sederhana, bahwa konflik etnis adalah konflik terkait dengan permasalahan-permasalahan mendesak mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teritorial antara dua komunitas etnis atau lebih. (Brown, 1997, hal. 82) Konflik etnis seringkali bernuansa kekerasan, tetapi bisa juga tidak. Konflik etnis di Bosnia dan Angola memiliki dimensi kekerasan yang luar biasa besar. Sementara, permintaan orang-orang Quebec untuk memperoleh otonomi lebih besar dari pemerintah Kanada hampir tidak memiliki dimensi kekerasan sama sekali.
Yang juga harus ditegaskan adalah, banyak konflik lokal suatu masyarakat sama sekali tidak memiliki basis etnisitas. Jadi, konflik-konflik tersebut tidak bisa disebut sebagai konflik etnis. Pertempuran antara pemerintah Kamboja dengan tentara Khmer Merah tidak pernah bisa disebut sebagai konflik etnis, karena hakekat konflik adalah persoalan ideologi, dan bukan persoalan etnis.
Konflik etnis juga, menurut Brown, biasanya berangkat dari konflik lokal yang sama sekali tidak memiliki basis etnisitas, tetapi kemudian melebar cangkupannya, bahkan sampai melintasi batas-batas negara (Brown, 1997). Biasanya, negara tetangga dari komunitas yang berkonflik memilih satu dari dua bentuk intervensi berikut ini, yakni entah mereka memilih untuk menutup perbatasan guna mencegah penyebaran konflik lebih jauh, atau mereka memilih untuk intervensi ke komunitas yang tengah berkonflik untuk melindungi kepentingan ekonomi maupun politik mereka. Komunitas internasional juga bisa melakukan intervensi atas dasar kemanusiaan, terutama ketika konflik yang terjadi mulai menyebar dan melukai banyak warga sipil.
Akar-akar Konflik Etnis
Biasanya, orang beranggapan bahwa konflik etnis lebih disebabkan oleh robohnya rezim otoriter tertentu, yang kemudian mendorong pihak-pihak di dalam suatu negara tertentu untuk saling berebut kekuasaan. Seolah-olah tekanan yang lama menindas mereka kini sudah hancur, sehingga dendam lama, terutama dendam akibat konflik di masa lalu, kini tampil ke depan. Banyak ahli yang berpendapat, bahwa penjelasan ini tidaklah memadai. (Brown, 1997, hal. 83) Argumen ini tidak bisa menjelaskan, mengapa di beberapa tempat yang satu terjadi konflik, sementara di tempat lain tidak. Argumen ini juga gagal menjelaskan, mengapa konflik yang satu memiliki skala kekejaman yang lebih besar daripada konflik lainnya. Dengan kata lain, akar-akar penyebab konflik etnis tidak bisa dikembalikan hanya kepada satu faktor penyebab saja.
Di dalam tulisannya, Brown mengajukan tiga level analisis untuk memahami akar-akar penyebab konflik etnis. Level pertama adalah level sistemik. Level kedua adalah level domestik, dan level ketiga adalah level persepsi. (Brown, 1997) Saya akan coba membedah satu per satu. Pada level sistemik, penyebab pertama terjadinya konflik etnis adalah lemahnya otoritas negara, baik nasional maupun internasional, untuk mencegah kelompok-kelompok etnis yang ada untuk saling berkonflik. Otoritas yang ada juga sangat lemah, sehingga tidak mampu menjamin keselamatan individu-individu yang ada di dalam kelompok tersebut. “.. di dalam sistem dimana tidak adanya penguasa”, demikian tulis Brown, “ yakni, dimana anarki berkuasa, semua kelompok haruslah menyediakan pertahanan dirinya sendiri-sendiri…” (Brown, 1997) Setiap kelompok resah, apakah kelompok lain akan menyerang mereka, atau ancaman dari kelompok lain akan memudar dengan berjalannya waktu. Masalahnya adalah, sikap pertahanan diri suatu kelompok, yakni dengan memobilisasi tentara dan semua peralatan militer, bisa dianggap sebagai tindakan mengancam oleh kelompok lainnya. Pada akhirnya, hal ini akan memicu tindakan serupa dari kelompok lain, sekaligus meningkatkan ketegangan politis di antara dua kelompok tersebut. Inilah yang disebut Brown sebagai dilema keamanan (security dilemma). (Brown, 1997) Artinya, suatu kelompok seringkali tidak menyadari dampak dari tindakannya terhadap kelompok lainnya. Memang dalam banyak kasus, suatu kelompok menyadari dilema keamanan ini. Akan tetapi, mereka tetap bertindak, karena mereka sendiri merasa terancam oleh tindakan dari kelompok lain. Inilah yang biasanya terjadi pada masyarakat pasca rezim otoriter. Penguasa tunggal sudah roboh, dan kini setiap kelompok harus berusaha menjaga eksistensinya masing-masing, dan itu seringkali dengan mengancam eksistensi kelompok lainnya.
Brown lebih jauh menambahkan, bahwa ada dua kondisi yang memungkinkan terjadi ketidastabilan politis. (Brown, 1997, hal. 84) Pertama, kondisi ketika pihak yang menyerang dan pihak yang bertahan tidak lagi bisa dibedakan. Suatu kelompok tidak lagi bisa menentukan, apakah mereka dalam posisi bertahan, atau posisi menyerang. Mereka akan mempersiapkan kekuatan militernya yang digunakan untuk bertahan. Akan tetapi, kelompok lainnya akan mengira, bahwa kelompok tersebut sedang mempersiapkan kekuatan militernya untuk menyerang. Ketegangan antara kedua kelompok pun tidak lagi terelakkan.
Kedua, jika kekuatan penyerangan lebih besar dari kekuatan bertahan, maka suatu kelompok akan cenderung untuk melakukan penyerangan terlebih dahulu. Menurut Brown, kedua kondisi ini biasanya muncul, ketika rezim otoriter yang berkuasa tiba-tiba roboh, dan ini membuat setiap kelompok yang ada di dalam masyarakat tersebut terpaksaberusaha untuk mempertahankan eksistensinya masing-masing. Di dalam situasi ini, siapa pihak yang menyerang dan siapa pihak yang bertahan amatlah sulit untuk dibedakan. Biasanya, kelompok-kelompok yang saling bertempur pasca jatuhnya suatu rezim otoriter tidak menggunakan teknologi perang yang canggih. Mereka hanya bersandar pada kekuatan infanteri. Efektivitas infanteri tersebut bersandar pada kekuatan motivasi dan kuantitas pasukan. Mobilisasi infanteri dari suatu kelompok tertentu, menurut Brown, biasanya akan mendorong kelompok lainnya untuk melakukan hal yang sama. (Brown, 1997)
Brown lebih jauh berpendapat, bahwa ketika rezim otoriter yang memerintah sebelumnya telah roboh, maka situasi politis yang ada biasanya lebih mendorong kelompok-kelompok yang ada untuk mengambil sikap menyerang daripada bertahan. Dengan sikap ini, kelompok etnis yang ada seringkali juga berusaha memusnahkan etnis minoritas yang ada di dalam masyarakat mereka. Teror akan semakin besar, jika penyerangan secara nyata ditujukan kepada masyarakat sipil. Penyerangan semacam ini tidak membutuhkan teknologi militer yang canggih, cukup beberapa tentara infanteri yang membawa senjata api. Akibat dari penyerangan semacam ini adalah terciptanya situasi politis yang semakin tidak stabil. Situasi ini biasanya akan berkembang menjadi konflik etnis dengan skala yang lebih besar. (Brown, 1997)
Keberadaan senjata nuklir juga bisa memperumit terjadinya konflik. Senjata nuklir membuat pasukan infanteri tampak tidak berarti, membuat pertahanan menjadi jauh lebih efektif, dan dapat menjadi kekuatan tawar yang signifikan di dalam proses perjanjian. Di tangan rezim otoriter tertentu, senjata nuklir bisa menjadi alat penjaga kestabilan yang efektif.
Level analisis kedua mengenai akar-akar penyebab konflik etnis berada di level domestik. Menurut Brown, level domestik ini terkait dengan kemampuan pemerintah untuk memenuhi kehendak rakyatnya, pengaruh nasionalisme dan relasi antar kelompok etnis di dalam masyarakat, serta pengaruh dari proses demokratisasi dalam konteks relasi antar kelompok etnis. (Brown, 1997, hal. 85)
Setiap orang selalu mengharapkan agar pemerintahnya menyediakan keamanan dan stabilitas ekonomi. Kedua hal ini akan bermuara pada terciptanya kemakmuran ekonomi yang merata di dalam masyarakat. Apa yang disebut nasionalisme, menurut Brown, sebenarnya adalah “konsep yang menggambarkan kebutuhan untuk mendirikan suatu negara yang mampu mewujudkan tujuan-tujuan ini.” (Brown, 1997) Tuntutan ini akan semakin besar, ketika pemerintah yang berkuasa tidak mampu mewujudkan cita-cita tersebut. Di dalam masyarakat pasca pemerintahan rezim otoriter, pemerintah yang berkuasa sedang mengalami proses adaptasi, dan seringkali belum mampu mewujudkan kestabilian ekonomi maupun politik. Akibatnya, tingkat inflasi dan pengangguran meningkat tajam. Prospek perkembangan ekonomi pun suram. Dalam banyak kasus, kelompok etnis minoritas menjadi kambing hitam dari semua permasalahan ini. (Brown, 1997) Mereka menjadi tumbal dari kekacauan yang terjadi.
Problem ini semakin rumit, ketika logika yang bergerak bukanlah lagi logika nasionalisme, melainkan logika fundamentalisme etnis. Begini, ketika pemerintah yang berkuasa sangatlah lemah, paham nasionalisme biasanya lebih didasarkan pada perbedaan etnis, dan bukan pada suatu pemikiran bahwa setiap orang yang hidup di suatu negara memiliki hak dan kewajiban yang sama. Pada hakekatnya, menurut Brown, paham nasionalisme didasarkan pada hak-hak universal dari setiap warga negara di dalam suatu negara, dan hak-hak tersebut dilindungi oleh hukum. Hukum yang sama juga melindungi kebebasan warga negara tersebut untuk menyampaikan pandangan-pandangan mereka. Akan tetapi, nasionalisme yang didasarkan pada fundamentalisme etnis tidak mengenali pandangan tersebut, melainkan lebih menekankan pada kesamaan etnis dan kultur.(Brown, 1997) Tidaklah mengherankan bahwa di Indonesia, dimana struktur pemeritahan pasca reformasi masih belum stabil, dan insitusi-institusi pemerintahan masih jauh dari sempurna di dalam menjalankan fungsi mereka, banyak kelompok-kelompok etnis mendirikan organisasi-organisasi berbasiskan etnis tertentu, serta menganut fundamentalisme etnis sebagai pandangan dasar mereka.
Keberadaan kelompok-kelompok yang menganut fundamentalisme etnis sebagai pandangan dasar mereka membuat peluang terjadinya konflik etnis semakin besar. “Bangkitnya nasionalisme etnis pada satu kelompok”, demikian analisis Brown, “akan dilihat sebagai ancaman bagi kelompok lainnya dan akan menciptakan perkembangan dari sentimen yang sama di tempat-tempat lainnya.” (Brown, 1997) Jika sudah seperti ini, maka pertentangan antar kelompok etnis akan semakin besar. Dan biasanya, kelompok minoritaslah yang akan menjadi korban, jika konflik sungguh terjadi. Kelompok minoritas akan menjadi kambing hitam, dan di banyak tempat, kelompok minoritas lalu menuntut untuk mendirikan negara mereka sendiri. Konflik pun akan semakin besar.
Di sisi lain, paham nasionalisme yang didasarkan pada fundamentalisme etnis akan membuat suatu kelompok dapat dengan mudah memobilisasi massa, dan membentuk suatu pasukan yang memiliki motivasi berperang yang tinggi. Jika sudah seperti ini, kekuatan militer akan menjadi suatu kekuatan yang sangat kejam. Perang dengan skala kekejaman yang masif pun tidak lagi bisa terelakkan.
Di dalam penelitiannya, Donald Horowitz berpendapat bahwa proses demokratisasi institusi pemerintahan memiliki dampak besar bagi terjadinya konflik antar etnis. Bahkan dapat pula dikatakan, bahwa proses demokratisasi secara langsung dapat menciptakan suasana ketidakstabilan politis yang lebih besar, dan dengan demikian justru membuka peluang lebih besar bagi terjadinya konflik antar etnis. Proses demokratisasi justru meningkatkan intensitas konflik etnis yang telah terjadi.
Tentu saja, hal ini sangat tergantung dari tingkat ketegangan antar kelompok etnis, ketika proses demokratisasi sedang berlangsung. (1) Jika rezim otoriter yang berkuasa sebelumnya adalah suatu bentuk tirani minoritasterhadap kelompok etnis yang lebih mayoritas, maka tingkat ketegangan antar etnis sangatlah besar. Dalam konteks ini, proses demokratisasi akan mengalami kesulitan besar sejak dari awal. Dan jika rezim otoriter tersebut melakukan tindak kekerasan kolektif terhadap kelompok etnis tertentu, maka proses demokratisasi akan sangat problematis dan memiliki resiko tinggi. Dalam hal ini, tingkat emosional suatu kelompok etnis tertentu menuntut perhatian yang sangat besar. Dan jika, di sisi lain, rezim otoriter yang berkuasa sebelumnya memberikan porsi yang seimbang, baik dalam pemerintahan maupun dalam ekonomi, bagi semua kelompok etnis yang ada di dalam masyarakat, maka proses demokratisasi justru akan berdampak positif bagi semua problematika terkait dengan perbedaan etnis yang ada. (Brown, 1997, hal. 86)
(2) Faktor berikutnya terkait dengan prosentase jumlah etnis minoritas dan mayoritas di dalam suatu masyarakat. Jika suatu kelompok etnis secara substansial lebih besar jumlahnya daripada kelompok etnis yang lain, maka yang terjadi adalah dominasi kelompok etnis mayoritas tersebut terhadap kelompok minoritas. Dalam hal ini, kepentingan kelompok etnis minoritas seringkali tidak terwakili. Dan sebaliknya, jika prosentase jumlah etnis minoritas dan mayoritas di suatu masyarakat tidak terlalu jauh perbedaannya, maka biasanya kepentingan semua kelompok etnis akan terwakili dengan baik. Kasus yang kedua merupakan kondisi yang ideal bagi proses demokratisasi.
(3) Jika militer memiliki kesetiaan hanya pada satu kelompok etnis tertentu, dan bukan pada pemerintah yang berkuasa, maka proses pencegahan dan pemadaman konflik etnis akan tersendat. Dan sebaliknya, jika militer memiliki kesetiaan terhadap pemerintahan yang berkuasa secara sah, apapun etnis mayoritas yang ada di dalam masyarakat tersebut, maka prospek menuju perdamaian dan demokrasi akan cukup besar. (Brown, 1997)
(4) Dan jika rezim otoriter yang berkuasa sebelumnya roboh dengan tiba-tiba, maka biasanya proses demokratisasi pun akan dilaksanakan dengan tergesa-gesa. Problem ketegangan antar kelompok etnis pun seringkali terabaikan. Yang terjadi adalah, kelompok etnis yang memiliki jumlah lebih besar akan menguasai politik masyarakat tersebut. “Euforia yang dialami ketika rezim lama jatuh dari kekuasaan akan menghasilkan momen kesatuan nasional”, demikian tulis Brown, “akan tetapi momen ini tidak akan bertahan lama jika masalah mendasarnya diabaikan.” (Brown, 1997)
Dan sebaliknya, jika jatuhnya rezim sebelumnya memakan waktu yang lama, maka pimpinan oposisi biasanya memiliki waktu yang cukup untuk mengindentifikasi berbagai problematika etnis, ketika mereka berkuasa. Dalam kondisi ini, pimpinan oposisi biasanya akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk membentuk aliansi politik, guna memperat kerja sama antar berbagai kelompok etnis yang ada. Salah satu cara, untuk mencegah meluasnya konflik antar etnis selama proses transisi ke pemerintahan demokratis, adalah dengan menghadapi berbagai problem etnis tersebut sedini mungkin. Jika problem yang menciptakan ketegangan antar etnis dapat ditanggapi secepat mungkin, maka konflik etnis dapatlah dicegah, atau setidaknya diminimalisir efek destruktifnya.
(5) Horowitz lebih jauh berpendapat, bahwa di dalam masyarakat multi etnis, banyak partai politik mendasarkan ideologi mereka melulu berdasarkan sentimen etnis semata. (Horowitz, 1985) Ketika ini terjadi, maka partai politik bukanlah bentuk rigid dari suatu keyakinan politik, melainkan lebih merupakan cerminan dari identitas etnis semata. Dalam situasi ini, proses pemilihan umum tidak akan bisa efektif. Akibatnya, minoritas akan kehilangan kesempatan untuk menyampaikan dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka. Kelompok etnis minoritas menjadi korban dari tirani etnis mayoritas. Demokrasi hanya selubung dari suatu kekuasaan primitif yang didasarkan pada mekanisme hukum rimba.
(6) Juga di dalam masyarakat multi etnis, para politikus yang ada seringkali menggunakan sentimen-sentimen etnis untuk mendapatkan dukungan bagi kampanye politis mereka. Sepanjang perjalanan kampanye ini, semua problematika sosial seringkali dilemparkan begitu kepada etnis minoritas sebagai penyebabnya. Proses ‘pengkambinghitaman’ ini mudah sekali ditemukan di berbagai belahan dunia, ketika proses pemilihan umum sedang berlangsung. Di dalam masyarakat pasca pemerintahan otoriter, kompromi dan deliberasi publik adalah suatu proses yang asing. Hal ini tentu saja sama sekali tidak kondunsif untuk proses demokratisasi dan upaya penyelesaian berbagai konflik etnis yang ada. Media massa juga seringkali digunakan sebagai alat propaganda kepentingan politis tertentu, yang justru semakin merusak hubungan antar kelompok etnis yang ada. (Brown, 1997, hal. 87)
(7) Dan terakhir, banyak negara belum memiliki ketentuan hukum yang memadai untuk melindungi hak-hak kelompok etnis minoritas. Bahkan di negara-negara yang secara formal sudah memiliki ketentuan hukum tersebut, pelaksanaannya juga masih mengalami banyak hambatan. Oleh sebab itu dibutuhkanlah suatu perubahan konstitusional dan perubahan komitmen politis yang signifikan, sehingga berbagai problematika penyebab dan akibat terjadinya konflik etnis dapat ditanggapi secara tepat.
Beberapa ahli berpendapat, bahwa penyebab terjadinya konflik etnis adalah, karena adanya pemahaman sejarah yang tidak tepat mengenai relasi antara dua atau lebih kelompok etnis. (Brown, 1993) Sejarah yang mereka yakini bukanlah hasil dari penelitian yang punya dasar metodis dan obyektivitas, melainkan dari rumor, gosip, dan legenda, yang biasanya diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Cerita-cerita tersebut kemudian menjadi bagian dari adat istiadat. Dengan berlalunya waktu, cerita-cerita ini semakin jauh dari realitas, dan semakin banyak bagian yang dilebih-lebihkan. Di dalam cerita-cerita tersebut, kelompok etnis lain seringkali memperoleh cap buruk, sementara kelompok etnis sendiri memperoleh nama baik yang seringkali berbeda dengan realitasnya. Kelompok etnis lain dipandang sebagai suatu kelompok yang secara inheren jahat dan agresif. Anggota kelompok etnis setempat memandang pemahaman ini sebagai suatu bentuk kebijaksanaan leluhur yang diturunkan ke generasi mereka.
Tidaklah mengherankan, bahwa cerita-cerita adat istiadat melibatkan suatu pertarungan wacana yang merupakan cerminan dari pandangan kelompok yang satu kepada kelompok lainnya. Orang-orang Serbia, misalnya, memandang diri mereka sendiri sebagai penjaga Eropa. Mereka juga memandang orang-orang Kroasia sebagai bangsa yang kejam. Di sisi lain, orang-orang Kroasia merasa bahwa mereka adalah korban dari kekejaman agresi orang-orang Serbia yang biadab. Di dalam cara pandang semacam itu, semua peristiwa yang terjadi akan meningkatkan intensitas kecurigaan yang sudah tertanam di dalam kultur masing-masing etnis. Dan semua kejadian negatif akan dipandang sebagai suatu afirmasi terhadap mitos yang sudah ada sebelumnya, sekaligus dipandang sebagai alasanuntuk melakukan tindakan agresif. Hal inilah yang membuat konflik antar etnis sulit dihindari, dan jika terjadi, dampak destruktifnya akan sulit untuk diredam. Semua kepercayaan yang bersifat mitologis dan ideologis ini menciptakan tekanan yang semakin memperbesar skala konflik. Konflik pun nantinya juga bisa semakin diperparah oleh propaganda para politikus yang ingin memanfaatkan kepercayaan ini untuk kepentingan-kepentingan mereka. (Lihat, Brown, 1997, hal. 88)
Problematika semacam ini biasa dialami oleh suatu masyarakat yang hidup pasca pemerintahan otoriter, yang seringkali memanipulasi sejarah demi untuk menciptakan mitos-mitos politik yang dapat mendukung kepentingan-kepentingan rezim. Rezim pemerintahan otoriter juga seringkali tidak memiliki basis ilmiah yang kuat untuk membuktikan mitos sejarah tersebut. Hal ini tentunya akan semakin memperkuat akar mitos politik yang ada di masyarakat, yang sangat mungkin menjadi faktor meningkatnya intensitas konflik antar etnis sampai pada skalanya yang paling masif.
Kesimpulan sementara
Dengan demikian, Brown telah menawarkan tiga level analisis kepada kita untuk memahami akar-akar penyebab terjadinya konflik etnis. Tiga level itu adalah level sistemik, level domestik, dan level persepsi. Sayangnya, tiga level analisis ini tidaklah bisa dijadikan sebagai satu grand theory yang berguna untuk menyoroti semua bentuk konflik etnis di seluruh dunia. Sangatlah sulit bagi kita untuk merumuskan suatu pisau analisis yang universal untuk menggambarkan mengapa konflik etnis yang satu memiliki skala yang lebih besar daripada konflik etnis lainnya. Akan tetapi, kita masihlah dapat untuk memberikan beberapa alternatif hipotesis penjelasan atas akar-akar penyebab terjadinya konflik etnis, seperti yang sudah diajukan oleh Brown.
Pertama, konflik etnis dapat terjadi, jika dua etnis yang berbeda hidup dan beraktivitas di dalam area yang berdekatan. Kedua, pemerintahan yang berkuasa biasanya adalah pemerintahan yang lemah, sehingga tidak mampu mencegah dua kelompok etnis yang berbeda untuk saling berseteru, ataupun untuk menjamin keamanan dari individu maupun kelompok di masyarakat tersebut. Apakah penjelasan sistemik ini cukup memadai untuk menjelaskan akar-akar penyebab terjadinya konflik etnis? Tampaknya tidak, karena masih ada faktor-faktor lainnya, seperti faktor domestik dan faktor persepsi, yang dapat mendorong terjadinya konflik etnis, seperti yang sudah dijelaskan di atas. Pada bagian berikutnya, saya akan menunjukkan dampak-dampak yang mungkin terjadi, jika konflik etnis pada akhirnya pecah.
Dampak dari Konflik Etnis
Apakah dampak yang ditimbulkan oleh konflik etnis bagi negara-negara sekitar dan bagi komunitas internasional secara keseluruhan? Menurut Brown, jawaban atas pertanyaan ini sangatlah tergantung pada jenis konflik yang terjadi, dan bagaimana alur konflik tersebut berlangsung. (Brown, 1997, hal. 89) Setidaknya, ada tiga kemungkinan yang bisa terjadi sebagai akibat dari pecahnya konflik etnis, yakni terjadinya rekonsiliasi secara damai, perpisahan etnis secara damai, dan perang saudara. Dengan kata lain, kelompok-kelompok yang berperang bisa setuju untuk hidup bersama secara damai, setuju secara damai untuk berpisah, atau terus berperang untuk menentukan siapa yang berhak menjadi penguasa atas semuanya.
Dalam beberapa kasus, kelompok-kelompok etnis yang terlibat dalam ketegangan politis dapat tetap bekerja sama dalam kerangka politik dan hukum tertentu. Dalam ketegangan tersebut justru biasanya, hak-hak minoritas dan hak-hak individual akan diangkat ke dalam perdebatan, dan memperoleh pemaknaan yang baru. Austria, Belgia, dan Swiss telah banyak membuat perjanjian politis yang menjamin bahwa etnis-etnis yang berada di negara tersebut tidak terlibat di dalam aksi kekerasan, namun menempuh jalan dialog dan kompromi. Etnis Catalan, Galician, dan Basque di Spanyol telah berdamai setelah menempuh dialog berkepanjangan tentang hak-hak mereka. Walaupun sering berdebat, tetapi mereka tidak pernah jatuh ke dalam konflik etnis yang memiliki skala kekerasan masif. Pertentangan antara pemerintah India di satu sisi dan separatis Naga, Mizo, dan Gharo di sisi lain, telah berakhir dengan jalan dialog dan kompromi politis. (Brown, 1997)
Ketika kelompok etnis yang saling berbeda pendapat dapat menyelesaikan pertentangan mereka melalui jalan dialog, maka pengaruh pertentangan tersebut sangatlah kecil bagi negara di sekitarnya, atau bagi masyarakat internasional secara keseluruhan. Jalan dialog biasanya juga akan mendapatkan dukungan besar dari komunitas internasional, sehingga walaupun saling bertentangan, tetapi hak-hak individu dan hak-hak kaum minoritas dapat tetap terjamin. Maksimal, jika jalan dialog berhasil, satu-satunya yang perlu dirancang ulang adalah perjanjian dagang antara komunitas yang saling bertentangan. Di luar itu, dampak yang dirasakan biasanya sangat kecil.
Pada kasus-kasus lain, kelompok-kelompok etnis yang saling bertentangan tidak dapat merumuskan suatu perjanjian yang mampu menampung kepentingan semua pihak. Oleh karena itu, satu-satunya jalan yang dapat ditempuh adalah dengan memutuskan hubungan legal dan politis yang sudah ada sebelumnya. Pada beberapa kasus, seperti pada pecahnya Uni Soviet dan pecahnya Czechoslovakia, perpisahan legal-politis ini dapat bermuara pada terjadinya pertumpahan darah, walaupun skalanya tidaklah besar. Walaupun begitu, perpisahan legal-politis ini biasanya hanyalah di tataran makro saja. Pada tataran mikro, kelompok-kelompok etnis yang saling berperang merasa perpisahan tersebut akan mengancam totalitas identitas mereka, yang bermuara pada terancamnya pengaruh politis mereka di dunia internasional. Maka, walaupun terpisah secara legal-politis, kelompok etnis yang saling bertentangan biasanya tetap memiliki hubungan yang erat satu sama lain.
Walaupun begitu, perpisahan legal politis ini tetap membawa dampak besar bagi komunitas internasional. Setidaknya, menurut Brown, ada enam dampak yang langsung kelihatan (Brown, 1997, hal. 90). Pertama, apa yang sebelumnya dianggap sebagai tapal batas dari negara tertentu, kini harus dipahami sebagai tapal batas dari negara lain, atau tapal batas milik komunitas internasional. Kedua, komunitas internasional juga harus memutuskan, apakah mereka akan mengakui kedaulatan dari negara yang baru, atau tidak. Jika jawabannya positif, maka bentuk dan mekanisme pengakuan kedaulatan atas negara baru tersebut haruslah dipikirkan lebih jauh. Ketiga, komunitas internasional juga harus memutuskan status keanggotaan negara baru tersebut di dalam organisasi-organisasi internasional, seperti European Community, ASEAN, atau PBB.
Keempat, perjanjian-perjanjian internasional yang melibatkan negara terkait juga harus dirumuskan ulang. Misalnya, perjanjian pengurangan penggunaan senjata strategis antara Uni Soviet dan Amerika Serikat haruslah dirumuskan ulang pada 1992, karena pecahnya Uni Soviet yang mengakibatkan terbentuknya empat negara, yakni Russia, Ukraina, Kazahkstan, dan Belarus. Keempat negara tersebut kini haruslah merumuskan pernjanjian ulang terkait dengan isu senjata strategis. Secara umum, komunitas internasional haruslah yakin, bahwa negara yang baru terbentuk akan mengambil bagian di dalam perjanjian internasional terkait dengan isu-isu yang penting.
Kelima, perjanjian ekonomi dan finansial juga haruslah dirumuskan ulang, yang juga berarti dibutuhkan suatu pendampingan ekonomi dan finansial yang intensif bagi negara yang baru terbentuk. Dan keenam, komunitas internasional juga harus juga harus melihat dampak dari terbentuknya negara baru tersebut bagi stabilitas regional dengan negara-negara sekitarnya, sekaligus dampaknya bagi keseimbangan kekuasaan di level internasional. Dampak ini sangatlah berpengaruh besar. Contoh yang paling jelas adalah pecahnya Uni Soviet. Dalam konteks ini, komunitas internasional harus memutuskan bagaimana mereka harus bersikap terhadap negara baru yang terbentuk, misalnya dalam hal aliansi persenjataan. Beberapa negara bekas Uni Soviet memutuskan untuk bergabung dengan NATO.
Banyak hal-hal di atas akan menjadi problem, baik sebelum maupun sesudah negara baru terkait resmi terbentuk. Dengan demikian, menurut Brown, komunitas internasional haruslah segera membuat keputusan mengenai keenam hal di atas secepat mungkin (Brown, 1997, hal. 91). Jika keputusan terlambat dibuat, maka kemungkinan akan terjadi kekacauan di negara baru tersebut, atau malah terjadi konflik etnis yang melibatkan kekerasan. Kestabilan dan keamanan internasional adalah taruhannya di sini.
Pada kasus-kasus lainnya, kelompok-kelompok etnis yang saling bertentangan tidak mampu membuat persetujuan bersama, baik dalam hal rekonsiliasi ataupun perpisahan legal politis secara damai. Banyak pertentangan antar etnis justru bermuara pada konflik yang melibatkan kekerasan pada skala yang masif. Tentu saja, motif-motif yang mengakibatkan terjadinya konflik ini beragam. Kelompok etnis minoritas bisa menuntut untuk membentuk negara mereka sendiri, atau menuntut otonomi politik dalam bentuk federal guna menentukan nasib mereka sendiri. Sebaliknya, kelompok etnis mayoritas biasanya hendak memperbesar kekuasaan mereka atas seluruh teritori, termasuk kekuasaan mereka atas kelompok minoritas.
Pada beberapa kasus, kelompok etnis minoritas kalah, dan pemerintah yang berkuasa berhasil mewujudkan tatanan politis yang mereka inginkan. Hal ini paling jelas di dalam kasus Tibet. Kasus-kasus semacam ini, menurut Brown, memiliki dampak sangat kecil bagi komunitas internasional, tepat karena status kekuasaan tidaklah berubah (Brown, 1997, hal. 92). Hal yang menjadi perdebatan biasanya adalah, apakah komunitas internasional akan memberikan tekanan politis kepada kelompok etnis mayoritas untuk menghormati hak-hak dasar kelompok etnis minoritas, atau tidak?
Pada kasus-kasus lainnya, kelompok etnis minoritas berhasil memberontak, dan membentuk negara mereka sendiri. Hal ini dapat dilihat pada kasus Bangladesh dan Slovenia. Jika hal ini terjadi, maka komunitas internasional juga harus menghadapi enam konsekuensi, seperti pada perpisahan secara damai. Komunitas internasional juga harus membantu negara baru tersebut untuk pulih kembali setelah mengalami perang saudara. Akan tetapi, ada juga kasus-kasus, di mana tidak ada satu pihak pun yang menang di dalam pertempuran. Konflik pun berkembang semakin besar, dan bermuara pada kebuntuan. Kasus ini bisa ditemukan di Angola, Cyprus, dan Sri Lanka. Tidak ada solusi politik ataupun militer yang bisa menyelesaikan konflik di sana.
Pertanyaan reflektif dari semua ini adalah, mengapa kita harus mempedulikan hal-hal semacam itu? Mengapa kita harus mempedulikan terjadinya perang antar etnis di negara yang letaknya sangat jauh dari negara kita sendiri? Apakah kita memiliki kewajiban untuk melakukan intervensi di dalam konflik-konflik tersebut? Ada dua jawaban atas pertanyaan ini. Pertama, skala konflik etnis menciptakan semacam kewajiban moral di dalam diri kita yang mendengarnya untuk melakukan intervensi, sehingga skala kekerasan bisa diminimalisir, ataupun dihilangkan sama sekali. Ada semacam panggilan kepada kita untuk mengurangi penderitaan, apapun bentuknya, terutama yang diakibatkan oleh perang. Kedua, beberapa konflik etnis secara langsung mengancam kepentingan komunitas internasional secara keseluruhan. Secara khusus, menurut Brown, ada enam aspek dari kehidupan komunitas internasional yang mendapatkan pengaruh (Brown, 1997).
(1) Konflik etnis bisa bermuara pada pembantaian rakyat sipil. Mengapa ini terjadi? Menurut Brown, konflik antar etnis biasanya tidak menggunakan teknologi militer yang canggih. Biasanya, pasukan yang bertempur adalah pasukan yang baru terbentuk, dan terdiri dari milisi yang sebelumnya merupakan warga negara sipil (Brown, 1997). Di dalam pasukan tersebut terdapat pembagian kerja, dan warga sipil biasanya menjadi pemasok makanan strategis yang menjamin pasukan dari sisi logistik. Penyerangan kepada warga sipil bertujuan untuk memutus pasokan logistik ini. Kedua, sebuah kelompok militer yang lemah biasanya akan mengandalkan strategi perang gerilya, dan strategi pengeboman tempat-tempat yang mereka anggap strategis, seperti kota, dan tempat-tempat umum lainnya. Dengan cara ini, adanya korban masyarakat sipil tampak tidak terelakkan.
Ketiga, di dalam pertempuran, kelompok militer dan kelompok sipil seringkali bercampur baur, terutama jika pertempuran terjadi di arena terbuka ataupun tempat umum. Dalam situasi itu, korban yang berasal dari masyarakat sipil tidaklah terhindarkan. Dan keempat, konflik antar etnis biasanya merupakan kulminasi dari pertempuran untuk merebut suatu wilayah tertentu. Untuk mengamankan suatu wilayah dari kekuasaan kelompok etnis lainnya, milisia ataupun militer biasanya mengusir masyarakat sipil yang tinggal di daerah tersebut. Pengusiran tersebut bisa dilakukan dengan cara mengancam, membunuh, memperkosa, ataupun melakukan pembersihan etnis. Menurut Brown, banyak konflik antar etnis melibatkan terjadinya tindak kekerasan massal dan pembantaian sistematis terhadap rakyat sipil (Brown, 1997). Suatu tindakan yang sekarang banyak dikenal sebagai genosida.
Mengapa kita harus peduli dengan semua itu? Mengapa kita harus peduli dengan konflik yang letaknya ribuan kilo meter dari tempat kita hidup? Salah satu alasannya adalah, karena konflik tersebut melanggar nilai-nilai yang diakui oleh masyarakat internasional, dan dengan demikian mempengaruhi masyarakat internasional secara keseluruhan. Menanggapi ini, banyak usaha telah dilakukan untuk membedakan secara jelas yang mana pihak yang memberontak, dan yang mana pihak yang secara sah memiliki otoritas atas suatu wilayah. Salah satunya adalah dengan merumuskan semacam kode etik peperangan. Akan tetapi, dalam realitas, hal ini seringkali diabaikan, terutama ketika kedua pihak yang berperang mulai secara sistematis dan disengaja menjadikan masyarakat sipil sebagai sasaran mereka.
Alasan lainnya adalah, karena pembiaran terhadap semua bentuk pembantaian masyarakat sipil adalah suatu tindakan yang melanggar moralitas universal kita sebagai manusia. Kekejaman yang terjadi di Jerman pada perang dunia kedua, atau pembersihan etnis yang terjadi di Bosnia pada akhir abad kedua puluh lalu, menyentuh rasa kemanusiaan di dalam diri kita untuk melakukan intervensi guna mencegah terjadinya korban lebih banyak lagi. Jadi, ada kewajiban moral dan kewajiban legal yang mengikat komunitas internasional untuk melakukan intervensi terhadap semua bentuk konflik etnis, terutama yang secara nyata menjadikan warga sipil sebagai korban mereka.
(2) Terjadinya konflik etnis biasanya bermuara pada terciptanya begitu banyak pengungsi, terutama karena konflik biasanya melebar menjadi penyerangan terhadap warga sipil. Misalnya, sekitar 100.000 orang kehilangan tempat tinggal, ketika perang di Khasmir meletus. Perang antara Armenia dan Azerbaijan membuat sekitar 600.000 orang harus kehilangan tempat tinggal mereka. Perang di Bosnia membuat sekitar 600.000 orang harus meninggalkan kampung halaman mereka, dan menuju Balkan. Pengungsi karena konflik-konflik lainnya, seperti di Bhutan, Birma, Kamboja, Iraq, dan Darfur, juga tak kalah besar.
Dengan jumlah sebanyak itu, kehadiran para pengungsi tersebut tentunya memiliki pengaruh terhadap komunitas internasional sebagai keseluruhan. Pertama, jika para pengungsi pergi ke negara tetangga, di mana kelompok etnis mereka juga memiliki jumlah yang besar di sana, maka ada kemungkinan akan tercipta solidaritas antar anggota etnis yang sama. Pada akhirnya, negara tetangga, yang awalnya tidak terlibat konflik, juga bisa terlibat di dalam perang yang sebenarnya bukan perang mereka. Hal ini tentu saja memperluas skala perang.
Kedua, kehadiran para pengungsi dalam jumlah besar tentunya akan meningkatkan biaya ekonomi bagi negara terkait. Para pengungsi memerlukan makanan dan tempat tinggal untuk menunjang hidup mereka. Bahkan, dalam beberapa kasus, negara tetangga harus menampung para pengungsi untuk jangka waktu yang tidak bisa ditentukan. Ketiga, kehadiran para pengungsi dalam jumlah besar juga dapat mengancam keutuhan identitas kultural dari negara yang ditempati, terutama juga para pengungsi mendirikan sekolah, surat kabar, organisasi-organisasi berbasiskan etnis, dan rumah ibadah mereka sendiri.
Keempat, kehadiran para pengungsi dalam jumlah besar juga bisa menjadi suatu bentuk kekuatan politis tertentu. Kekuatan politis ini akan mempengaruhi persepsi negara yang mereka tempati dalam hal kebijakan luar negeri, terutama mengenai negara asal para pengungsi tersebut, yang memang sedang mengalami konflik. Beberapa negara khawatir, bahwa para pengungsi akan berbalik menentang mereka, jika mereka membuat kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan para pengungsi tersebut. (Brown, 1997, hal. 93). Dan kelima, jika kehadiran para pengungsi, dengan segala problematika yang muncul bersamanya, sungguh menjadi ancaman bagi negara sekitarnya, maka PBB punya kewajiban untuk melakukan intervensi pada krisis yang tengah terjadi.
(3) Penggunaan senjata nuklir dan senjata-senjata pemusnah massal lainnya sungguh memberikan suatu dimensi baru di dalam arti kata perang, ataupun kata konflik etnis. Sangatlah mungkin, bahwa pihak-pihak yang saling bertempur menggunakan senjata pemusnah massal tersebut. Sejauh saya mendapatkan informasi, India dan Pakistan masing-masing memiliki senjata nuklir. Ketegangan politis di antara dua negara tersebut terus meningkat. Hal yang sama kiranya terjadi antara Russia dan Ukraina. Walaupun dalam jangka waktu dekat dapatlah dipastikan bahwa tidak akan pecah konflik besar di negara-negara tersebut, tetapi kemungkinkan terjadinya konflik yang melibatkan senjata pemusnah massal di masa depan tetaplah harus diperhatikan.
Kemungkinan lainnya, menurut Brown, adalah bahwa pemerintah pusat yang terkait dengan konflik yang terjadi mengambil langkah-langkah drastis dengan menggunakan senjata pemusnah massal untuk mempertahankan diri. (Brown, 1997, hal. 94) Semua kejadian ini secara jelas langsung mempengaruhi situasi keamanan internasional. Jika konflik dengan menggunakan senjata pemusnah massal sampai terjadi, maka itu sudah menghancurkan semua perjanjian internasional yang telah dibangun sebelumnya. Contoh paling jelas adalah tentang bagaimana pemerintah Irak menggunakan senjata kimia untuk menghancurkan pemberontakan suku Kurdi pada dekade 1980-an.
(3) Menurut Brown, konflik antar etnis juga memiliki efek berantai. (Brown, 1997) Konflik antar etnis dapat menyebar dengan beberapa cara. Jika suatu negara yang terdiri dari beragam etnis mulai pecah serta memperbolehkan beberapa kelompok untuk melepaskan diri, maka kelompok-kelompok lainnya pun akan ikut menuntut otonomi, atau bahkan kemerdekaan. Hal semacam ini terjadi di Uni Soviet, di mana 14 republik berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Moskwa. Kelompok-kelompok etnis minoritas lainnya di Uni Soviet, seperti Chechnia, Kalmyk, Tatarstan, dan Tymen, kini terus berusaha memperoleh otonomi dari Moskwa.
Masalah lainnya juga muncul, ketika negara A memberikan kebebasan bagi kelopmok B untuk membentuk negaranya sendiri. Biasanya, kelompok minoritas di dalam B juga akan menuntut untuk melepaskan diri dari B. Jika kelompok minoritas tersebut memiliki ikatan etnis dengan negara A, maka mereka biasanya ingin kembali untuk bergabung dengan negara A. Hampir semua efek berantai dari konflik antar etnis ini memiliki skala kekerasan yang besar. Besarnya tingkat kekerasan yang terjadi ini tentu saja memberikan pengaruh besar bagi dunia internasional.Pertama, karena kekerasan semacam itu bisa menciptakan ketidakstabilan regional yang bermuara pada terjadinya kekacauan yang mempengaruhi lalu lintas ekonomi maupun kondisi politik daerah terkait. Kedua, terjadinya kekacauan politis maupun ekonomi ini bisa memicu munculnya kekuatan politis garis keras yang hendak merebut kekuasaan. Kekuatan garis keras ini biasanya berpegang pada ideologi ataupun agama tertentu sebagai basis dari organisasi mereka. Mereka hendak memaksakan cara pandang mereka untuk diterapkan sebagai ideologi dasar.
Ada efek berantai lainnya yang seringkali terlewatkan, yakni bahwa berhasilnya gerakan perlawanan di tempat yang satu biasanya akan menjadi inspirasi bagi gerakan perlawanan di tempat lainnya. Semakin berkembangnya teknologi komunikasi memungkinkan berita tentang berhasilnya suatu gerakan perlawanan di kawasan tertentu untuk segera diketahui oleh seluruh dunia. Hal ini tentu saja berpotensi untuk menimbulkan gerakan perlawanan secara massal yang memiliki cangkupan internasional.
(4) Dalam banyak kasus, menurut Brown, pengaruh dari kepentingan-kepentingan negara lain juga bisa mempengaruhi jalannya konflik antar etnis. (Brown, 1997, hal. 96) Misalnya, pada 1990, Amerika Serikat mengirimkan tentaranya ke Liberia untuk menyelamatkan warga negaranya yang terperangkap akibat konflik di sana. Pada tahun yang sama, Perancis dan Belgia mengirimkan tentaranya ke Rwanda dengan alasan yang sama. Amerika Serikat melakukan intervensi pada perang saudara Irak, karena sadar bahwa kepentingan industri mereka akan minyak sedang terancam akibat perang. Hal ini menegaskan apa yang sudah saya tulis sebelumnya, bahwa kepentingan politik dan ekonomi negara lain akan mempengaruhi jalannya konflik antar etnis yang tengah terjadi.
(5) Konflik antar etnis, jika biarkan terus berlangsung, akan mengancam kredibilitas banyak organisasi internasional. Salah satu alasan keberadaan NATO sekarang ini adalah untuk menjaga stabilitas di kawasan Atlantik Utara, yakni Amerika dan Eropa. Akan tetapi, ketika konflik di Yugoslavia terjadi, organisasi ini nyaris tidak berbuat apapun. Hal yang sama kiranya terjadi, ketika Amerika Serikat melanggar perintah dari PBB untuk tidak melakukan penyerangan ke Irak pada awal abad ke-21. Yang terakhir ini sekaligus membuktikan lemahnya kekuatan politik dan kredibilitas PBB sebagai lembaga internasional yang berusaha menjaga perdamaian dunia. Hal ini tentunya menjadi preseden buruk bagi dunia internasional, karena dengan mudah suatu negara bisa menciptakan konflik tanpa ada halangan apapun dari komunitas internasional yang seharusnya memiliki otoritas untuk mencegahnya.
Secara umum, pelanggaran terang-terangan terhadap norma-norma etis internasional akan memotong semua prinsip-prinsip yang menjadi dasar bagi kehidupan bersama di level internasional. Dengan kata lain, konflik antar etnis yang dibiarkan berlanjut tanpa intervensi akan mengancam tidak hanya keberadaan tatanan regional, tetapi juga kredibilitas tatanan internasional sebagai keseluruhan. (Brown, 1997)
Apa yang bisa dilakukan?
Apa yang bisa dilakukan untuk meminimalisir akibat dari konflik antar etnis, yang seringkali memiliki cangkupan kekerasan yang luas? Pandangan umum mengatakan, bahwa pihak asing tidak memiliki banyak hal yang bisa dilakukan menghadapi konflik antar etnis, karena konflik ini tepat berakar pada kebencian yang diwariskan dari masa lalu yang partikular. Kebijakan yang umum dilakukan adalah dengan menarik diri dari konflik, serta melihat bagaimana konflik berjalan dan mengakhiri dirinya sendiri. (Brown, 1997, hal. 97) Di samping itu, penyebab dari terjadinya konflik antar etnis juga sangatlah banyak. Beberapa aspek juga bisa memperbesar skala kekerasan di dalam konflik yang tengah terjadi. Aspek-aspek tersebut juga seringkali merupakan hasil dari pengaruh “kekuatan asing” di luar etnis-etnis yang tengah berseteru.
Menurut Brown, cara yang paling tepat untuk menghadapi konflik antar etnis adalah dengan menanganinya sedini mungkin, sebelum masalah menjadi semakin rumit, dan kekerasan yang lebih besar terjadi. (Brown, 1997) Lebih dari itu, pencegahan terjadinya konflik etnis jauh lebih baik daripada berusaha menyelesaikan apa yang telah terjadi.
Pada level ini, ada baiknya saya mengajukan satu pertanyaan penting, yakni apakah yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak luar untuk meredakan tegangan yang muncul akibat terjadinya konflik antar etnis? Pada level sistemik, hal pertama yang perlu menjadi perhatian adalah soal isu keamanan. Jika komunitas internasional menyediakan senjata bagi salah satu kelompok yang tengah dalam konflik, maka kemungkinan besar, senjata tersebut justru akan meningkatkan intensitas konflik yang terjadi. Tindakan ini juga akan dianggap sebagai ancaman dari kelompok lainnya.
Di samping itu, jika komunitas internasional menyediakan senjata bagi kedua belah pihak yang tengah berkonflik, supaya terjadi keseimbangan kekuatan, maka hal ini jugalah problematis. Potensi korban dan ketegangan politis untuk akan bertambah. Dengan demikian, tindak pemberian senjata bagi kelompok apapun di dalam konflik antar etnis adalah suatu tindakan yang kontra produktif, baik bagi kedua kelompok yang tengah berseteru, maupun bagi komunitas internasional yang pasti akan terpengaruh oleh konflik tersebut.
Pada level domestik, menurut Brown, ada tiga hal yang perlu diperhatikan. (Brown, 1997, 98) Pertama, komunitas internasional haruslah berusaha membantu kelompok yang dominan di dalam konflik untuk menciptakan negara efektif (effective states). Negara efektif adalah negara yang didasarkan tidak lagi melulu pada nasionalisme, tetapi lebih pada kesepakatan bersama yang kemudian dilegalisasi di dalam hukum yang memiliki kekuatan mengikat. Dengan terbentuknya negara efektif ini, nasionalisme semu dan etnosentrisme pun akan berkurang intensitasnya. Akan tetapi, komunitas internasional juga harus berhati-hati, jangan sampai pembentukan negara efektif ini malah jatuh ke dalam totalitarisme baru, yang justru akan memperbesar skala dan intensitas konflik.
Kedua, komunitas internasional juga bisa membantu kelompok-kelompok terkait untuk menciptakan suatu pemerintahan yang bersifat representatif (representative governments). Di dalam pemerintahan semacam ini, tidak ada satu pun kelompok, seminoritas apapun dia, dijauhkan dari pembagian kekuasaan. Institusi politik yang ada harus ditata dengan kepastian, bahwa setiap kelompok memiliki perwakilannya di birokrasi dan parlemen, serta bahwa setiap kepentingan mereka dapat dipenuhi semaksimal mungkin oleh sistem yang ada. Untuk mencapai ini, pemilu dengan sistem ‘pemenang akan mendapatkan segalanya’ tidaklah boleh diterapkan. Selain berperan sebagai penasehat, perwakilan dari komunitas internasional juga bisa berperan sebagai mediator di antara kelompok-kelompok yang berseteru. Komunitas internasional juga bisa memberikan pendampingan di bidang ekonomi (economic assistance), terutama bagi kelompok yang sistem ekonomi maupun politiknya masih beroperasi secara tidak efektif. (Brown, 1997, 98)
Ketiga, menurut Brown, komunitas internasional haruslah mendorong masyarakat dan kelompok-kelompok etnis terkait untuk sungguh menghormati dan memberdayakan perbedaan-perbedaan kultural. (Brown, 1997) Atau minimal, komunitas internasional haruslah menekan masyarakat dan kelompok-kelompok etnis terkait untukmencegah terjadinya diskriminasi pada kelompok yang minoritas. Setiap kelompok etnis haruslah memiliki kesetaraan status di hadapan hukum. Setiap kelompok etnis juga haruslah memiliki hak-hak ekonomi maupun politik yang sama. Hak untuk beragama dan beribadah juga haruslah dijamin. Dan sejauh itu memungkinkan, setiap kelompok etnis haruslah diperbolehkan menggunakan bahasa mereka sendiri di sekolah-sekolah maupun di komunitas lokal, di mana mereka hidup dan beraktivitas.
Pada Desember 1992, PBB telah melakukan deklarasi penghormatan terhadap hak-hak kultural setiap orang. Akan tetapi, menurut Brown, seperti banyak deklarasi mengenai hak asasi manusia lainnya, deklarasi ini tidak memiliki ikatan hukum. Bahkan bisa dikatakan, bahwa instrumen HAM yang dirumuskan PBB ini sangatlah lemah, sehingga hampir tidak punya otoritas di hadapan komunitas internasional. Untuk menambal kelemahan itu, PBB perlu secara agresif bekerja untuk menciptakan negara efektif, yang pada akhirnya bertujuan untuk memastikan penerapan instrumen HAM di berbagai belahan dunia. Tidak hanya itu, PBB dan komunitas internasional secara keseluruhan harus mulai menerapkan sanksi, baik itu sanksi ekonomi, politik, bahkan militer, bagi negara-negara yang gagal melindungi HAM warganya.
Pada level persepsi, komunitas internasional dapat membantu setiap negara menuliskan sejarahnya sendiri-sendiri secara tepat. Sejarah yang ditulis haruslah terbuka terhadap diskusi dengan kelompok lain yang mungkin sekali mempunyai kepentingan yang berbeda. Proses ini sendiri melibatkan akademisi dan perwakilan dari setiap kelompok yang ada di masyarakat. Memang, beberapa pertemuan tidak akan menghapus kebencian dan dendam yang diturunkan sebagai bentuk kesalahpahaman terhadap sejarah. Akan tetapi, pertemuan-pertemuan dalam bentuk konferensi dan seminar tersebut merupakan suatu usaha yang perlu terus dilakukan, walaupun hasilnya hanya bisa dilihat dan dirasakan di dalam proses.
Lalu, apa yang harus dilakukan oleh komunitas internasional, jika tindak pencegahan konflik gagal, dan perang antar etnis pun terjadi? Menurut Robert Cooper dan Mats Berdal, ada empat hal yang harus dilakukan. (Brown, 1997, 99)Pertama, komunitas internasional harus menyatakan suatu ketegasan moral dan politis untuk melakukan intervensi. Kedua, intervensi yang dilakukan haruslah memiliki tujuan politis yang obyektif. Artinya, tujuan dari intervensi, terutama intervensi militer, haruslah demi kebaikan sebanyak mungkin pihak yang terlibat.
Ketiga, komunitas internasional juga harus mampu menunjukkan sikap konsistensi di dalam melakukan internvensi konflik. Perang antar etnis seringkali berlangsung lama. Kelompok-kelompok yang saling berseteru memiliki motivasi berperang yang besar, terutama karena mereka merasa bahwa keberadaan mereka terancam. Jika komunitas internasional ingin melakukan intervensi semacam itu, maka mereka haruslah memiliki legitimasi politik maupun hukum yang kuat. Dan keempat, komunitas internasional juga harus sudah memutuskan, kapan mereka harus menarik diri dari konflik antar etnis yang tengah terjadi. Jika ini tidak dipertimbangkan terlebih dahulu, komunitas internasional juga bisa terlibat di dalam konflik yang berlarut-larut, dan malah memperbesar skala konflik.
Brown juga berpendapat bahwa proses diplomasi di dalam konflik antar etnis tidak akan pernah berjalan, jika tidak ada ancaman dalam bentuk sanksi ekonomi maupun militer. (Brown, 1997) Yang juga penting diingat adalah, bahwa pendekatan yang bersifat militeristik tidak akan bisa menyelesaikan problem sampai pada akar-akarnya. Pendekatan militer paling maksimal hanya bisa menjadi penengah antara dua pihak yang tengah berseteru dengan menggunakan senjata api, tetapi tidak pernah bisa menciptakan perdamaian. Pendekatan militer, pada dirinya sendiri, tidak akan pernah menyelesaikan problem politis dan perseptual yang sungguh berakar di antara kelompok-kelompok etnis yang berperang. “Kunci kepada suatu resolusi konflik yang sesungguhnya”, demikian tulis Brown, “adalah pengembangan masyarakat sipil dalam suatu komunitas politis yang otentik.” (Brown, 1997, 100) Inilah yang masih harus kita pelajari bersama.
Penulis adalah Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya

Tulisan ini diinspirasikan dari pembacaan saya terhadap Michael E. Brown, “Causes and Implications of Ethnic Conflict”, dalam The Ethnicity Reader. Nationalism, Multiculturalism, and Migration, Guibernau dan John Rex (eds), Great Britain, Polity Press, 1997, hal. 80-100.
Lihat A.D. Smith, The Ethnic Origins of Nations, Oxford, Basil Blackwell, 1986.
Lihat Donald Horowitz, Ethnic Groups in Conflict, Berkeley, University of California Press, 1985.
Lihat Arend Lijphart, “The Power-Sharing Approach”, dalam Conflict and Peacemaking in Multiethnic Societies, Lexington, Lexington Books, 1990, hal. 491-509.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar