Memahami Seluk Beluk Konflik antar Etnis Bersama Michael E. Brown
Reza A.A Wattimena
Pada bab ini, saya
akan mencoba untuk menganalisis konflik antar etnis. Analisis yang saya
lakukan akan mencoba untuk meneropong faktor-faktor yang kiranya
mendorong terjadinya konflik etnis, sekaligus mencoba
mengajukanalternatif solusi berhadapan dengan konflik antar etnis yang
sudah terjadi. Argumen di dalam bab ini banyak diinspirasikan dari
pembacaan saya terhadap tulisan Michael E. Brown.
Setelah perang
dingin berakhir dengan pecahnya Uni Soviet, banyak pihak berharap bahwa
masa-masa perdamaian akan datang. Beberapa ahli di dalam ilmu-ilmu
sosial bahkan berpendapat, bahwa sejarah sudahlah berakhir dengan
berakhirnya perang dingin. Sejarah berakhir dengan kemenangan demokrasi
dan liberalisme. Para pemimpin dunia memimpikan sebuah tatanan dunia
baru yang makmur dan damai. Tata dunia baru ini akan mencegah setiap
bentuk peperangan, gesit di dalam menanggapi berbagai bencana alam, dan
secara aktif melakukan pemerataan sumber daya demi kemakmuran seluruh
bangsa. (Brown, 1997)
Semua harapan
tersebut tidak pernah menjadi kenyataan faktual. Beberapa tahun
belakangan ini, dunia diwarnai dengan berbagai konflik etnis yang
melibatkan beragam kepentingan politik dan ekonomi. Pada beberapa
konflik, skala kekerasan yang terjadi begitu besar, dan bahkan dapat
disebut sebagai genosida. Banyak orang tertegun dengan keluasan maupun
kedalaman konflik yang terjadi. Perang di Bosnia-Herzegovina pada 1999
menarik banyak perhatian dan simpati dari seluruh dunia. Beberapa
konflik lainnya, seperti di Afganistan, Angola, Armenia, Azerbajian,
Burma, Georgia, India, Indonesia, Liberia, Sri Lanka, Sudan,
Tajikistan, Bangladesh, Belgium, Bhutan, Burundi, Estonia, Ethiopia,
Guatemala, Iraq, Latvia, Lebanon, Mali, Moldova, Niger, Irlandia Utara,
Pakistan, Filipina, Romania, Rwanda, Afrika Selatan, Spanyol, dan
Turki, juga memiliki skala massal yang tidak bisa diabaikan begitu
saja. Konflik politik di Tibet, Cina, dan Russia juga tampak siap
meletus menjadi konflik berdarah. (Brown, 1997, 80)
Harapan bahwa PBB
akan menjadi kekuatan politik yang berpengaruh, yang siap mencegah
meledaknya berbagai konflik etnis, tampaknya juga terlalu berlebihan.
Pada konflik di Bosnia-Herzegovina, negara-negara Eropa dan Amerika
Serikat lebih sibuk memutuskan, apakah konflik yang terjadi sudah dapat
disebut genosida atau belum. Praktis, tidak ada tindakan real yang
dilakukan, ketika orang-orang dibantai dan pesawat-pesawat tempur
menjatuhkan bom ke kota-kota. PBB tampaknya tidak terlalu peduli dengan
konflik ini, terutama karena kepentingan negara-negara maju yang ada
di balik PBB tidak langsung terkait dengan konflik tersebut.
Tujuan dari tulisan
ini adalah untuk menganalisis sebab-sebab dan akibat-akibat yang
muncul dari terjadinya konflik etnis. Tulisan ini juga hendak
memberikan beberapa rekomendasi untuk meminimalisir terjadinya konflik
etnis dan kekerasan massal. Pada bagian pertama, saya akan mencoba
mendefinisikan arti konflik etnis secara spesifik. Kemudian, saya akan
mencoba mencari akar penyebab dari terjadinya konflik etnis, baik dari
penyebab sistemik, domestik, sampai cara pandang. Pada bagian ketiga,
saya akan mencoba melihat beberapa implikasi dari terjadinya konflik
etnis. Brown berpendapat, bahwa terjadinya konflik etnis biasanya akan
bermuara pada satu dari tiga hal ini, yakni terjadinya rekonsiliasi
damai, perpecahan etnis secara damai, atau pada terjadinya perang
saudara yang berkepanjangan. Akibat yang terakhir ini biasanya akan
membawa dampak yang sangat besar, baik secara moral maupun secara
politis, bagi dunia internasional. Pada bagian akhir, berbekal beberapa
argumentasi dari Brown, saya akan mencoba memberikan beberapa
rekomendasi untuk mencegah ataupun menangani terjadinya konflik etnis.
Komunitas Etnis dan Konflik Etnis
Menurut Brown, kata
‘konflik etnis’ seringkali digunakan secara fleksibel. Bahkan, dalam
beberapa penggunaannya, kata ini justru digunakan untuk menggambarkan
jenis konflik yang sama sekali tidak mempunya basis etnis. (hal. 81)
Contohnya adalah konflik di Somalia. Banyak pihak mengkategorikan
konflik yang terjadi di Somalia sebagai konflik etnis. Padahal, Somalia
adalah negara paling homogen dalam hal etnisitas di Afrika. Konflik di
Somalia terjadi bukan karena pertentangan antar etnis, melainkan
karena pertentangan antara penguasa lokal satu dengan penguasa lokal
lainnya, yang keduanya berasal dari etnis yang sama.
Disini jelas
diperlukan suatu definisi yang cukup spesifik tentang apa yang dimaksud
dengan konflik etnis. Menurut Anthony Smith, komunitas etnis adalah
suatu konsep yang digunakan untuk menggambarkan sekumpulan manusia yang
memiliki nenek moyang yang sama, ingatan sosial yang sama (Wattimena,
2008), dan beberapa elemen kultural. Elemen-elemen kultural itu adalah
keterkaitan dengan tempat tertentu, dan memiliki sejarah yang kurang
lebih sama. Kedua hal ini biasanya menjadi ukuran bagi solidaritas dari
suatu komunitas (Smith, seperti dalam Brown, 1997, hal. 81).
Smith melanjutkan, bahwa setidaknya ada enam hal yang harus dipenuhi
sebelum sebuah kelompok dapat menyebut diri mereka sebagai ‘komunitas
etnis’.
Pertama, sebuah
kelompok haruslah memiliki namanya sendiri. Kriteria ini tidaklah
mengada-ada. Tidak adanya nama spesifik untuk suatu kelompok, menurut
Smith, menandakan belum terbentuknya identitas sosial yang cukup solid
untuk dapat disebut sebagai suatu komunitas etnis. Kedua, orang-orang
di dalam kelompok tersebut haruslah yakin, bahwa mereka memiliki nenek
moyang yang sama. Keyakinan ini sangatlah penting, dan bahkan lebih
penting daripada ikatan biologis. Ikatan biologis mungkin saja ada,
tetapi tidak menjadi inti dari keyakinan, bahwa suatu kelompok memiliki
leluhur yang sama.
Ketiga, orang-orang
yang berada di dalam kelompok tersebut haruslah memiliki ingatan
sosial yang sama. Kesamaan itu biasanya ditandai dengan adanya
mitos-mitos maupun legenda-legenda yang sama, yang disampaikan dari
satu generasi ke generasi berikutnya secara lisan. Keempat, kelompok
tersebut haruslah berbagi kultur yang sama. Kesamaan kultur tersebut
dapat dilihat dalam berbagai kombinasi antara bahasa, agama, norma-norma
adat, pakaian, musik, karya seni, arsitektur, dan bahkan makanan.
Kelima, orang-orang yang ada di dalam kelompok tersebut haruslah merasa
terikat pada suatu teritori tertentu, terutama teritori yang sedang
mereka tempati. Dankeenam, orang-orang yang berada di dalam kelompok
itu haruslah merasa dan berpikir bahwa mereka adalah bagian dari satu
kelompok yang sama. Hanya dengan begitulah suatu kelompok dapat disebut
sebagai komunitas etnis.
Dari kriteria ini
sebenarnya bisa ditarik kesimpulan sederhana, bahwa konflik etnis
adalah konflik terkait dengan permasalahan-permasalahan mendesak
mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teritorial antara dua
komunitas etnis atau lebih. (Brown, 1997, hal. 82) Konflik etnis
seringkali bernuansa kekerasan, tetapi bisa juga tidak. Konflik etnis
di Bosnia dan Angola memiliki dimensi kekerasan yang luar biasa besar.
Sementara, permintaan orang-orang Quebec untuk memperoleh otonomi lebih
besar dari pemerintah Kanada hampir tidak memiliki dimensi kekerasan
sama sekali.
Yang juga harus
ditegaskan adalah, banyak konflik lokal suatu masyarakat sama sekali
tidak memiliki basis etnisitas. Jadi, konflik-konflik tersebut tidak
bisa disebut sebagai konflik etnis. Pertempuran antara pemerintah
Kamboja dengan tentara Khmer Merah tidak pernah bisa disebut sebagai
konflik etnis, karena hakekat konflik adalah persoalan ideologi, dan
bukan persoalan etnis.
Konflik etnis juga,
menurut Brown, biasanya berangkat dari konflik lokal yang sama sekali
tidak memiliki basis etnisitas, tetapi kemudian melebar cangkupannya,
bahkan sampai melintasi batas-batas negara (Brown, 1997). Biasanya,
negara tetangga dari komunitas yang berkonflik memilih satu dari dua
bentuk intervensi berikut ini, yakni entah mereka memilih untuk menutup
perbatasan guna mencegah penyebaran konflik lebih jauh, atau mereka
memilih untuk intervensi ke komunitas yang tengah berkonflik untuk
melindungi kepentingan ekonomi maupun politik mereka. Komunitas
internasional juga bisa melakukan intervensi atas dasar kemanusiaan,
terutama ketika konflik yang terjadi mulai menyebar dan melukai banyak
warga sipil.
Akar-akar Konflik Etnis
Biasanya, orang
beranggapan bahwa konflik etnis lebih disebabkan oleh robohnya rezim
otoriter tertentu, yang kemudian mendorong pihak-pihak di dalam suatu
negara tertentu untuk saling berebut kekuasaan. Seolah-olah tekanan
yang lama menindas mereka kini sudah hancur, sehingga dendam lama,
terutama dendam akibat konflik di masa lalu, kini tampil ke depan.
Banyak ahli yang berpendapat, bahwa penjelasan ini tidaklah memadai.
(Brown, 1997, hal. 83) Argumen ini tidak bisa menjelaskan, mengapa di
beberapa tempat yang satu terjadi konflik, sementara di tempat lain
tidak. Argumen ini juga gagal menjelaskan, mengapa konflik yang satu
memiliki skala kekejaman yang lebih besar daripada konflik lainnya.
Dengan kata lain, akar-akar penyebab konflik etnis tidak bisa
dikembalikan hanya kepada satu faktor penyebab saja.
Di dalam
tulisannya, Brown mengajukan tiga level analisis untuk memahami
akar-akar penyebab konflik etnis. Level pertama adalah level sistemik.
Level kedua adalah level domestik, dan level ketiga adalah level
persepsi. (Brown, 1997) Saya akan coba membedah satu per satu. Pada
level sistemik, penyebab pertama terjadinya konflik etnis adalah
lemahnya otoritas negara, baik nasional maupun internasional, untuk
mencegah kelompok-kelompok etnis yang ada untuk saling berkonflik.
Otoritas yang ada juga sangat lemah, sehingga tidak mampu menjamin
keselamatan individu-individu yang ada di dalam kelompok tersebut. “..
di dalam sistem dimana tidak adanya penguasa”, demikian tulis Brown, “
yakni, dimana anarki berkuasa, semua kelompok haruslah menyediakan
pertahanan dirinya sendiri-sendiri…” (Brown, 1997) Setiap kelompok
resah, apakah kelompok lain akan menyerang mereka, atau ancaman dari
kelompok lain akan memudar dengan berjalannya waktu. Masalahnya adalah,
sikap pertahanan diri suatu kelompok, yakni dengan memobilisasi
tentara dan semua peralatan militer, bisa dianggap sebagai tindakan
mengancam oleh kelompok lainnya. Pada akhirnya, hal ini akan memicu
tindakan serupa dari kelompok lain, sekaligus meningkatkan ketegangan
politis di antara dua kelompok tersebut. Inilah yang disebut Brown
sebagai dilema keamanan (security dilemma). (Brown, 1997) Artinya,
suatu kelompok seringkali tidak menyadari dampak dari tindakannya
terhadap kelompok lainnya. Memang dalam banyak kasus, suatu kelompok
menyadari dilema keamanan ini. Akan tetapi, mereka tetap bertindak,
karena mereka sendiri merasa terancam oleh tindakan dari kelompok lain.
Inilah yang biasanya terjadi pada masyarakat pasca rezim otoriter.
Penguasa tunggal sudah roboh, dan kini setiap kelompok harus berusaha
menjaga eksistensinya masing-masing, dan itu seringkali dengan
mengancam eksistensi kelompok lainnya.
Brown lebih jauh
menambahkan, bahwa ada dua kondisi yang memungkinkan terjadi
ketidastabilan politis. (Brown, 1997, hal. 84) Pertama, kondisi ketika
pihak yang menyerang dan pihak yang bertahan tidak lagi bisa dibedakan.
Suatu kelompok tidak lagi bisa menentukan, apakah mereka dalam posisi
bertahan, atau posisi menyerang. Mereka akan mempersiapkan kekuatan
militernya yang digunakan untuk bertahan. Akan tetapi, kelompok lainnya
akan mengira, bahwa kelompok tersebut sedang mempersiapkan kekuatan
militernya untuk menyerang. Ketegangan antara kedua kelompok pun tidak
lagi terelakkan.
Kedua, jika
kekuatan penyerangan lebih besar dari kekuatan bertahan, maka suatu
kelompok akan cenderung untuk melakukan penyerangan terlebih dahulu.
Menurut Brown, kedua kondisi ini biasanya muncul, ketika rezim otoriter
yang berkuasa tiba-tiba roboh, dan ini membuat setiap kelompok yang
ada di dalam masyarakat tersebut terpaksaberusaha untuk mempertahankan
eksistensinya masing-masing. Di dalam situasi ini, siapa pihak yang
menyerang dan siapa pihak yang bertahan amatlah sulit untuk dibedakan.
Biasanya, kelompok-kelompok yang saling bertempur pasca jatuhnya suatu
rezim otoriter tidak menggunakan teknologi perang yang canggih. Mereka
hanya bersandar pada kekuatan infanteri. Efektivitas infanteri tersebut
bersandar pada kekuatan motivasi dan kuantitas pasukan. Mobilisasi
infanteri dari suatu kelompok tertentu, menurut Brown, biasanya akan
mendorong kelompok lainnya untuk melakukan hal yang sama. (Brown, 1997)
Brown lebih jauh
berpendapat, bahwa ketika rezim otoriter yang memerintah sebelumnya
telah roboh, maka situasi politis yang ada biasanya lebih mendorong
kelompok-kelompok yang ada untuk mengambil sikap menyerang daripada
bertahan. Dengan sikap ini, kelompok etnis yang ada seringkali juga
berusaha memusnahkan etnis minoritas yang ada di dalam masyarakat
mereka. Teror akan semakin besar, jika penyerangan secara nyata
ditujukan kepada masyarakat sipil. Penyerangan semacam ini tidak
membutuhkan teknologi militer yang canggih, cukup beberapa tentara
infanteri yang membawa senjata api. Akibat dari penyerangan semacam ini
adalah terciptanya situasi politis yang semakin tidak stabil. Situasi
ini biasanya akan berkembang menjadi konflik etnis dengan skala yang
lebih besar. (Brown, 1997)
Keberadaan senjata
nuklir juga bisa memperumit terjadinya konflik. Senjata nuklir membuat
pasukan infanteri tampak tidak berarti, membuat pertahanan menjadi jauh
lebih efektif, dan dapat menjadi kekuatan tawar yang signifikan di
dalam proses perjanjian. Di tangan rezim otoriter tertentu, senjata
nuklir bisa menjadi alat penjaga kestabilan yang efektif.
Level analisis
kedua mengenai akar-akar penyebab konflik etnis berada di level
domestik. Menurut Brown, level domestik ini terkait dengan kemampuan
pemerintah untuk memenuhi kehendak rakyatnya, pengaruh nasionalisme dan
relasi antar kelompok etnis di dalam masyarakat, serta pengaruh dari
proses demokratisasi dalam konteks relasi antar kelompok etnis. (Brown,
1997, hal. 85)
Setiap orang selalu
mengharapkan agar pemerintahnya menyediakan keamanan dan stabilitas
ekonomi. Kedua hal ini akan bermuara pada terciptanya kemakmuran
ekonomi yang merata di dalam masyarakat. Apa yang disebut nasionalisme,
menurut Brown, sebenarnya adalah “konsep yang menggambarkan kebutuhan
untuk mendirikan suatu negara yang mampu mewujudkan tujuan-tujuan ini.”
(Brown, 1997) Tuntutan ini akan semakin besar, ketika pemerintah yang
berkuasa tidak mampu mewujudkan cita-cita tersebut. Di dalam masyarakat
pasca pemerintahan rezim otoriter, pemerintah yang berkuasa sedang
mengalami proses adaptasi, dan seringkali belum mampu mewujudkan
kestabilian ekonomi maupun politik. Akibatnya, tingkat inflasi dan
pengangguran meningkat tajam. Prospek perkembangan ekonomi pun suram.
Dalam banyak kasus, kelompok etnis minoritas menjadi kambing hitam dari
semua permasalahan ini. (Brown, 1997) Mereka menjadi tumbal dari
kekacauan yang terjadi.
Problem ini semakin
rumit, ketika logika yang bergerak bukanlah lagi logika nasionalisme,
melainkan logika fundamentalisme etnis. Begini, ketika pemerintah yang
berkuasa sangatlah lemah, paham nasionalisme biasanya lebih didasarkan
pada perbedaan etnis, dan bukan pada suatu pemikiran bahwa setiap orang
yang hidup di suatu negara memiliki hak dan kewajiban yang sama. Pada
hakekatnya, menurut Brown, paham nasionalisme didasarkan pada hak-hak
universal dari setiap warga negara di dalam suatu negara, dan hak-hak
tersebut dilindungi oleh hukum. Hukum yang sama juga melindungi
kebebasan warga negara tersebut untuk menyampaikan pandangan-pandangan
mereka. Akan tetapi, nasionalisme yang didasarkan pada fundamentalisme
etnis tidak mengenali pandangan tersebut, melainkan lebih menekankan
pada kesamaan etnis dan kultur.(Brown, 1997) Tidaklah mengherankan
bahwa di Indonesia, dimana struktur pemeritahan pasca reformasi masih
belum stabil, dan insitusi-institusi pemerintahan masih jauh dari
sempurna di dalam menjalankan fungsi mereka, banyak kelompok-kelompok
etnis mendirikan organisasi-organisasi berbasiskan etnis tertentu,
serta menganut fundamentalisme etnis sebagai pandangan dasar mereka.
Keberadaan
kelompok-kelompok yang menganut fundamentalisme etnis sebagai pandangan
dasar mereka membuat peluang terjadinya konflik etnis semakin besar.
“Bangkitnya nasionalisme etnis pada satu kelompok”, demikian analisis
Brown, “akan dilihat sebagai ancaman bagi kelompok lainnya dan akan
menciptakan perkembangan dari sentimen yang sama di tempat-tempat
lainnya.” (Brown, 1997) Jika sudah seperti ini, maka pertentangan antar
kelompok etnis akan semakin besar. Dan biasanya, kelompok minoritaslah
yang akan menjadi korban, jika konflik sungguh terjadi. Kelompok
minoritas akan menjadi kambing hitam, dan di banyak tempat, kelompok
minoritas lalu menuntut untuk mendirikan negara mereka sendiri. Konflik
pun akan semakin besar.
Di sisi lain, paham
nasionalisme yang didasarkan pada fundamentalisme etnis akan membuat
suatu kelompok dapat dengan mudah memobilisasi massa, dan membentuk
suatu pasukan yang memiliki motivasi berperang yang tinggi. Jika sudah
seperti ini, kekuatan militer akan menjadi suatu kekuatan yang sangat
kejam. Perang dengan skala kekejaman yang masif pun tidak lagi bisa
terelakkan.
Di dalam
penelitiannya, Donald Horowitz berpendapat bahwa proses demokratisasi
institusi pemerintahan memiliki dampak besar bagi terjadinya konflik
antar etnis. Bahkan dapat pula dikatakan, bahwa proses
demokratisasi secara langsung dapat menciptakan suasana ketidakstabilan
politis yang lebih besar, dan dengan demikian justru membuka peluang
lebih besar bagi terjadinya konflik antar etnis. Proses demokratisasi
justru meningkatkan intensitas konflik etnis yang telah terjadi.
Tentu saja, hal ini
sangat tergantung dari tingkat ketegangan antar kelompok etnis, ketika
proses demokratisasi sedang berlangsung. (1) Jika rezim otoriter yang
berkuasa sebelumnya adalah suatu bentuk tirani minoritasterhadap
kelompok etnis yang lebih mayoritas, maka tingkat ketegangan antar
etnis sangatlah besar. Dalam konteks ini, proses demokratisasi akan
mengalami kesulitan besar sejak dari awal. Dan jika rezim otoriter
tersebut melakukan tindak kekerasan kolektif terhadap kelompok etnis
tertentu, maka proses demokratisasi akan sangat problematis dan
memiliki resiko tinggi. Dalam hal ini, tingkat emosional suatu kelompok
etnis tertentu menuntut perhatian yang sangat besar. Dan jika, di sisi
lain, rezim otoriter yang berkuasa sebelumnya memberikan porsi yang
seimbang, baik dalam pemerintahan maupun dalam ekonomi, bagi semua
kelompok etnis yang ada di dalam masyarakat, maka proses demokratisasi
justru akan berdampak positif bagi semua problematika terkait dengan
perbedaan etnis yang ada. (Brown, 1997, hal. 86)
(2) Faktor
berikutnya terkait dengan prosentase jumlah etnis minoritas dan
mayoritas di dalam suatu masyarakat. Jika suatu kelompok etnis secara
substansial lebih besar jumlahnya daripada kelompok etnis yang lain,
maka yang terjadi adalah dominasi kelompok etnis mayoritas tersebut
terhadap kelompok minoritas. Dalam hal ini, kepentingan kelompok etnis
minoritas seringkali tidak terwakili. Dan sebaliknya, jika prosentase
jumlah etnis minoritas dan mayoritas di suatu masyarakat tidak terlalu
jauh perbedaannya, maka biasanya kepentingan semua kelompok etnis akan
terwakili dengan baik. Kasus yang kedua merupakan kondisi yang ideal
bagi proses demokratisasi.
(3) Jika militer
memiliki kesetiaan hanya pada satu kelompok etnis tertentu, dan bukan
pada pemerintah yang berkuasa, maka proses pencegahan dan pemadaman
konflik etnis akan tersendat. Dan sebaliknya, jika militer memiliki
kesetiaan terhadap pemerintahan yang berkuasa secara sah, apapun etnis
mayoritas yang ada di dalam masyarakat tersebut, maka prospek menuju
perdamaian dan demokrasi akan cukup besar. (Brown, 1997)
(4) Dan jika rezim
otoriter yang berkuasa sebelumnya roboh dengan tiba-tiba, maka biasanya
proses demokratisasi pun akan dilaksanakan dengan tergesa-gesa.
Problem ketegangan antar kelompok etnis pun seringkali terabaikan. Yang
terjadi adalah, kelompok etnis yang memiliki jumlah lebih besar akan
menguasai politik masyarakat tersebut. “Euforia yang dialami ketika
rezim lama jatuh dari kekuasaan akan menghasilkan momen kesatuan
nasional”, demikian tulis Brown, “akan tetapi momen ini tidak akan
bertahan lama jika masalah mendasarnya diabaikan.” (Brown, 1997)
Dan sebaliknya,
jika jatuhnya rezim sebelumnya memakan waktu yang lama, maka pimpinan
oposisi biasanya memiliki waktu yang cukup untuk mengindentifikasi
berbagai problematika etnis, ketika mereka berkuasa. Dalam kondisi ini,
pimpinan oposisi biasanya akan memiliki kesempatan yang lebih besar
untuk membentuk aliansi politik, guna memperat kerja sama antar
berbagai kelompok etnis yang ada. Salah satu cara, untuk mencegah
meluasnya konflik antar etnis selama proses transisi ke pemerintahan
demokratis, adalah dengan menghadapi berbagai problem etnis tersebut
sedini mungkin. Jika problem yang menciptakan ketegangan antar etnis
dapat ditanggapi secepat mungkin, maka konflik etnis dapatlah dicegah,
atau setidaknya diminimalisir efek destruktifnya.
(5) Horowitz lebih
jauh berpendapat, bahwa di dalam masyarakat multi etnis, banyak partai
politik mendasarkan ideologi mereka melulu berdasarkan sentimen etnis
semata. (Horowitz, 1985) Ketika ini terjadi, maka partai politik
bukanlah bentuk rigid dari suatu keyakinan politik, melainkan lebih
merupakan cerminan dari identitas etnis semata. Dalam situasi ini,
proses pemilihan umum tidak akan bisa efektif. Akibatnya, minoritas
akan kehilangan kesempatan untuk menyampaikan dan memperjuangkan
kepentingan-kepentingan mereka. Kelompok etnis minoritas menjadi korban
dari tirani etnis mayoritas. Demokrasi hanya selubung dari suatu
kekuasaan primitif yang didasarkan pada mekanisme hukum rimba.
(6) Juga di dalam
masyarakat multi etnis, para politikus yang ada seringkali menggunakan
sentimen-sentimen etnis untuk mendapatkan dukungan bagi kampanye
politis mereka. Sepanjang perjalanan kampanye ini, semua problematika
sosial seringkali dilemparkan begitu kepada etnis minoritas sebagai
penyebabnya. Proses ‘pengkambinghitaman’ ini mudah sekali ditemukan di
berbagai belahan dunia, ketika proses pemilihan umum sedang
berlangsung. Di dalam masyarakat pasca pemerintahan otoriter, kompromi
dan deliberasi publik adalah suatu proses yang asing. Hal ini tentu
saja sama sekali tidak kondunsif untuk proses demokratisasi dan upaya
penyelesaian berbagai konflik etnis yang ada. Media massa juga
seringkali digunakan sebagai alat propaganda kepentingan politis
tertentu, yang justru semakin merusak hubungan antar kelompok etnis
yang ada. (Brown, 1997, hal. 87)
(7) Dan terakhir,
banyak negara belum memiliki ketentuan hukum yang memadai untuk
melindungi hak-hak kelompok etnis minoritas. Bahkan di negara-negara
yang secara formal sudah memiliki ketentuan hukum tersebut,
pelaksanaannya juga masih mengalami banyak hambatan. Oleh sebab itu
dibutuhkanlah suatu perubahan konstitusional dan perubahan komitmen
politis yang signifikan, sehingga berbagai problematika penyebab dan
akibat terjadinya konflik etnis dapat ditanggapi secara tepat.
Beberapa ahli
berpendapat, bahwa penyebab terjadinya konflik etnis adalah, karena
adanya pemahaman sejarah yang tidak tepat mengenai relasi antara dua
atau lebih kelompok etnis. (Brown, 1993) Sejarah yang mereka yakini
bukanlah hasil dari penelitian yang punya dasar metodis dan
obyektivitas, melainkan dari rumor, gosip, dan legenda, yang biasanya
diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Cerita-cerita
tersebut kemudian menjadi bagian dari adat istiadat. Dengan berlalunya
waktu, cerita-cerita ini semakin jauh dari realitas, dan semakin banyak
bagian yang dilebih-lebihkan. Di dalam cerita-cerita tersebut,
kelompok etnis lain seringkali memperoleh cap buruk, sementara kelompok
etnis sendiri memperoleh nama baik yang seringkali berbeda dengan
realitasnya. Kelompok etnis lain dipandang sebagai suatu kelompok yang
secara inheren jahat dan agresif. Anggota kelompok etnis setempat
memandang pemahaman ini sebagai suatu bentuk kebijaksanaan leluhur yang
diturunkan ke generasi mereka.
Tidaklah
mengherankan, bahwa cerita-cerita adat istiadat melibatkan suatu
pertarungan wacana yang merupakan cerminan dari pandangan kelompok yang
satu kepada kelompok lainnya. Orang-orang Serbia, misalnya, memandang
diri mereka sendiri sebagai penjaga Eropa. Mereka juga memandang
orang-orang Kroasia sebagai bangsa yang kejam. Di sisi lain,
orang-orang Kroasia merasa bahwa mereka adalah korban dari kekejaman
agresi orang-orang Serbia yang biadab. Di dalam cara pandang semacam
itu, semua peristiwa yang terjadi akan meningkatkan intensitas
kecurigaan yang sudah tertanam di dalam kultur masing-masing etnis. Dan
semua kejadian negatif akan dipandang sebagai suatu afirmasi terhadap
mitos yang sudah ada sebelumnya, sekaligus dipandang sebagai
alasanuntuk melakukan tindakan agresif. Hal inilah yang membuat konflik
antar etnis sulit dihindari, dan jika terjadi, dampak destruktifnya
akan sulit untuk diredam. Semua kepercayaan yang bersifat mitologis dan
ideologis ini menciptakan tekanan yang semakin memperbesar skala
konflik. Konflik pun nantinya juga bisa semakin diperparah oleh
propaganda para politikus yang ingin memanfaatkan kepercayaan ini untuk
kepentingan-kepentingan mereka. (Lihat, Brown, 1997, hal. 88)
Problematika
semacam ini biasa dialami oleh suatu masyarakat yang hidup pasca
pemerintahan otoriter, yang seringkali memanipulasi sejarah demi untuk
menciptakan mitos-mitos politik yang dapat mendukung
kepentingan-kepentingan rezim. Rezim pemerintahan otoriter juga
seringkali tidak memiliki basis ilmiah yang kuat untuk membuktikan
mitos sejarah tersebut. Hal ini tentunya akan semakin memperkuat akar
mitos politik yang ada di masyarakat, yang sangat mungkin menjadi
faktor meningkatnya intensitas konflik antar etnis sampai pada skalanya
yang paling masif.
Kesimpulan sementara
Dengan demikian,
Brown telah menawarkan tiga level analisis kepada kita untuk memahami
akar-akar penyebab terjadinya konflik etnis. Tiga level itu adalah
level sistemik, level domestik, dan level persepsi. Sayangnya, tiga
level analisis ini tidaklah bisa dijadikan sebagai satu grand theory
yang berguna untuk menyoroti semua bentuk konflik etnis di seluruh
dunia. Sangatlah sulit bagi kita untuk merumuskan suatu pisau analisis
yang universal untuk menggambarkan mengapa konflik etnis yang satu
memiliki skala yang lebih besar daripada konflik etnis lainnya. Akan
tetapi, kita masihlah dapat untuk memberikan beberapa alternatif
hipotesis penjelasan atas akar-akar penyebab terjadinya konflik etnis,
seperti yang sudah diajukan oleh Brown.
Pertama, konflik
etnis dapat terjadi, jika dua etnis yang berbeda hidup dan beraktivitas
di dalam area yang berdekatan. Kedua, pemerintahan yang berkuasa
biasanya adalah pemerintahan yang lemah, sehingga tidak mampu mencegah
dua kelompok etnis yang berbeda untuk saling berseteru, ataupun untuk
menjamin keamanan dari individu maupun kelompok di masyarakat tersebut.
Apakah penjelasan sistemik ini cukup memadai untuk menjelaskan
akar-akar penyebab terjadinya konflik etnis? Tampaknya tidak, karena
masih ada faktor-faktor lainnya, seperti faktor domestik dan faktor
persepsi, yang dapat mendorong terjadinya konflik etnis, seperti yang
sudah dijelaskan di atas. Pada bagian berikutnya, saya akan menunjukkan
dampak-dampak yang mungkin terjadi, jika konflik etnis pada akhirnya
pecah.
Dampak dari Konflik Etnis
Apakah dampak yang
ditimbulkan oleh konflik etnis bagi negara-negara sekitar dan bagi
komunitas internasional secara keseluruhan? Menurut Brown, jawaban atas
pertanyaan ini sangatlah tergantung pada jenis konflik yang terjadi,
dan bagaimana alur konflik tersebut berlangsung. (Brown, 1997, hal. 89)
Setidaknya, ada tiga kemungkinan yang bisa terjadi sebagai akibat dari
pecahnya konflik etnis, yakni terjadinya rekonsiliasi secara damai,
perpisahan etnis secara damai, dan perang saudara. Dengan kata lain,
kelompok-kelompok yang berperang bisa setuju untuk hidup bersama secara
damai, setuju secara damai untuk berpisah, atau terus berperang untuk
menentukan siapa yang berhak menjadi penguasa atas semuanya.
Dalam beberapa
kasus, kelompok-kelompok etnis yang terlibat dalam ketegangan politis
dapat tetap bekerja sama dalam kerangka politik dan hukum tertentu.
Dalam ketegangan tersebut justru biasanya, hak-hak minoritas dan
hak-hak individual akan diangkat ke dalam perdebatan, dan memperoleh
pemaknaan yang baru. Austria, Belgia, dan Swiss telah banyak membuat
perjanjian politis yang menjamin bahwa etnis-etnis yang berada di negara
tersebut tidak terlibat di dalam aksi kekerasan, namun menempuh jalan
dialog dan kompromi. Etnis Catalan, Galician, dan Basque di Spanyol
telah berdamai setelah menempuh dialog berkepanjangan tentang hak-hak
mereka. Walaupun sering berdebat, tetapi mereka tidak pernah jatuh ke
dalam konflik etnis yang memiliki skala kekerasan masif. Pertentangan
antara pemerintah India di satu sisi dan separatis Naga, Mizo, dan
Gharo di sisi lain, telah berakhir dengan jalan dialog dan kompromi
politis. (Brown, 1997)
Ketika kelompok
etnis yang saling berbeda pendapat dapat menyelesaikan pertentangan
mereka melalui jalan dialog, maka pengaruh pertentangan tersebut
sangatlah kecil bagi negara di sekitarnya, atau bagi masyarakat
internasional secara keseluruhan. Jalan dialog biasanya juga akan
mendapatkan dukungan besar dari komunitas internasional, sehingga
walaupun saling bertentangan, tetapi hak-hak individu dan hak-hak kaum
minoritas dapat tetap terjamin. Maksimal, jika jalan dialog berhasil,
satu-satunya yang perlu dirancang ulang adalah perjanjian dagang antara
komunitas yang saling bertentangan. Di luar itu, dampak yang dirasakan
biasanya sangat kecil.
Pada kasus-kasus
lain, kelompok-kelompok etnis yang saling bertentangan tidak dapat
merumuskan suatu perjanjian yang mampu menampung kepentingan semua
pihak. Oleh karena itu, satu-satunya jalan yang dapat ditempuh adalah
dengan memutuskan hubungan legal dan politis yang sudah ada sebelumnya.
Pada beberapa kasus, seperti pada pecahnya Uni Soviet dan pecahnya
Czechoslovakia, perpisahan legal-politis ini dapat bermuara pada
terjadinya pertumpahan darah, walaupun skalanya tidaklah besar.
Walaupun begitu, perpisahan legal-politis ini biasanya hanyalah di
tataran makro saja. Pada tataran mikro, kelompok-kelompok etnis yang
saling berperang merasa perpisahan tersebut akan mengancam totalitas
identitas mereka, yang bermuara pada terancamnya pengaruh politis
mereka di dunia internasional. Maka, walaupun terpisah secara
legal-politis, kelompok etnis yang saling bertentangan biasanya tetap
memiliki hubungan yang erat satu sama lain.
Walaupun begitu,
perpisahan legal politis ini tetap membawa dampak besar bagi komunitas
internasional. Setidaknya, menurut Brown, ada enam dampak yang langsung
kelihatan (Brown, 1997, hal. 90). Pertama, apa yang sebelumnya
dianggap sebagai tapal batas dari negara tertentu, kini harus dipahami
sebagai tapal batas dari negara lain, atau tapal batas milik komunitas
internasional. Kedua, komunitas internasional juga harus memutuskan,
apakah mereka akan mengakui kedaulatan dari negara yang baru, atau
tidak. Jika jawabannya positif, maka bentuk dan mekanisme pengakuan
kedaulatan atas negara baru tersebut haruslah dipikirkan lebih jauh.
Ketiga, komunitas internasional juga harus memutuskan status
keanggotaan negara baru tersebut di dalam organisasi-organisasi
internasional, seperti European Community, ASEAN, atau PBB.
Keempat,
perjanjian-perjanjian internasional yang melibatkan negara terkait juga
harus dirumuskan ulang. Misalnya, perjanjian pengurangan penggunaan
senjata strategis antara Uni Soviet dan Amerika Serikat haruslah
dirumuskan ulang pada 1992, karena pecahnya Uni Soviet yang
mengakibatkan terbentuknya empat negara, yakni Russia, Ukraina,
Kazahkstan, dan Belarus. Keempat negara tersebut kini haruslah
merumuskan pernjanjian ulang terkait dengan isu senjata strategis.
Secara umum, komunitas internasional haruslah yakin, bahwa negara yang
baru terbentuk akan mengambil bagian di dalam perjanjian internasional
terkait dengan isu-isu yang penting.
Kelima, perjanjian
ekonomi dan finansial juga haruslah dirumuskan ulang, yang juga berarti
dibutuhkan suatu pendampingan ekonomi dan finansial yang intensif bagi
negara yang baru terbentuk. Dan keenam, komunitas internasional juga
harus juga harus melihat dampak dari terbentuknya negara baru tersebut
bagi stabilitas regional dengan negara-negara sekitarnya, sekaligus
dampaknya bagi keseimbangan kekuasaan di level internasional. Dampak
ini sangatlah berpengaruh besar. Contoh yang paling jelas adalah
pecahnya Uni Soviet. Dalam konteks ini, komunitas internasional harus
memutuskan bagaimana mereka harus bersikap terhadap negara baru yang
terbentuk, misalnya dalam hal aliansi persenjataan. Beberapa negara
bekas Uni Soviet memutuskan untuk bergabung dengan NATO.
Banyak hal-hal di
atas akan menjadi problem, baik sebelum maupun sesudah negara baru
terkait resmi terbentuk. Dengan demikian, menurut Brown, komunitas
internasional haruslah segera membuat keputusan mengenai keenam hal di
atas secepat mungkin (Brown, 1997, hal. 91). Jika keputusan terlambat
dibuat, maka kemungkinan akan terjadi kekacauan di negara baru
tersebut, atau malah terjadi konflik etnis yang melibatkan kekerasan.
Kestabilan dan keamanan internasional adalah taruhannya di sini.
Pada kasus-kasus
lainnya, kelompok-kelompok etnis yang saling bertentangan tidak mampu
membuat persetujuan bersama, baik dalam hal rekonsiliasi ataupun
perpisahan legal politis secara damai. Banyak pertentangan antar etnis
justru bermuara pada konflik yang melibatkan kekerasan pada skala yang
masif. Tentu saja, motif-motif yang mengakibatkan terjadinya konflik ini
beragam. Kelompok etnis minoritas bisa menuntut untuk membentuk negara
mereka sendiri, atau menuntut otonomi politik dalam bentuk federal
guna menentukan nasib mereka sendiri. Sebaliknya, kelompok etnis
mayoritas biasanya hendak memperbesar kekuasaan mereka atas seluruh
teritori, termasuk kekuasaan mereka atas kelompok minoritas.
Pada beberapa
kasus, kelompok etnis minoritas kalah, dan pemerintah yang berkuasa
berhasil mewujudkan tatanan politis yang mereka inginkan. Hal ini
paling jelas di dalam kasus Tibet. Kasus-kasus semacam ini, menurut
Brown, memiliki dampak sangat kecil bagi komunitas internasional, tepat
karena status kekuasaan tidaklah berubah (Brown, 1997, hal. 92). Hal
yang menjadi perdebatan biasanya adalah, apakah komunitas internasional
akan memberikan tekanan politis kepada kelompok etnis mayoritas untuk
menghormati hak-hak dasar kelompok etnis minoritas, atau tidak?
Pada kasus-kasus
lainnya, kelompok etnis minoritas berhasil memberontak, dan membentuk
negara mereka sendiri. Hal ini dapat dilihat pada kasus Bangladesh dan
Slovenia. Jika hal ini terjadi, maka komunitas internasional juga harus
menghadapi enam konsekuensi, seperti pada perpisahan secara damai.
Komunitas internasional juga harus membantu negara baru tersebut untuk
pulih kembali setelah mengalami perang saudara. Akan tetapi, ada juga
kasus-kasus, di mana tidak ada satu pihak pun yang menang di dalam
pertempuran. Konflik pun berkembang semakin besar, dan bermuara pada
kebuntuan. Kasus ini bisa ditemukan di Angola, Cyprus, dan Sri Lanka.
Tidak ada solusi politik ataupun militer yang bisa menyelesaikan
konflik di sana.
Pertanyaan
reflektif dari semua ini adalah, mengapa kita harus mempedulikan
hal-hal semacam itu? Mengapa kita harus mempedulikan terjadinya perang
antar etnis di negara yang letaknya sangat jauh dari negara kita
sendiri? Apakah kita memiliki kewajiban untuk melakukan intervensi di
dalam konflik-konflik tersebut? Ada dua jawaban atas pertanyaan ini.
Pertama, skala konflik etnis menciptakan semacam kewajiban moral di
dalam diri kita yang mendengarnya untuk melakukan intervensi, sehingga
skala kekerasan bisa diminimalisir, ataupun dihilangkan sama sekali.
Ada semacam panggilan kepada kita untuk mengurangi penderitaan, apapun
bentuknya, terutama yang diakibatkan oleh perang. Kedua, beberapa
konflik etnis secara langsung mengancam kepentingan komunitas
internasional secara keseluruhan. Secara khusus, menurut Brown, ada
enam aspek dari kehidupan komunitas internasional yang mendapatkan
pengaruh (Brown, 1997).
(1) Konflik etnis
bisa bermuara pada pembantaian rakyat sipil. Mengapa ini terjadi?
Menurut Brown, konflik antar etnis biasanya tidak menggunakan teknologi
militer yang canggih. Biasanya, pasukan yang bertempur adalah pasukan
yang baru terbentuk, dan terdiri dari milisi yang sebelumnya merupakan
warga negara sipil (Brown, 1997). Di dalam pasukan tersebut terdapat
pembagian kerja, dan warga sipil biasanya menjadi pemasok makanan
strategis yang menjamin pasukan dari sisi logistik. Penyerangan kepada
warga sipil bertujuan untuk memutus pasokan logistik ini. Kedua, sebuah
kelompok militer yang lemah biasanya akan mengandalkan strategi perang
gerilya, dan strategi pengeboman tempat-tempat yang mereka anggap
strategis, seperti kota, dan tempat-tempat umum lainnya. Dengan cara
ini, adanya korban masyarakat sipil tampak tidak terelakkan.
Ketiga, di dalam
pertempuran, kelompok militer dan kelompok sipil seringkali bercampur
baur, terutama jika pertempuran terjadi di arena terbuka ataupun tempat
umum. Dalam situasi itu, korban yang berasal dari masyarakat sipil
tidaklah terhindarkan. Dan keempat, konflik antar etnis biasanya
merupakan kulminasi dari pertempuran untuk merebut suatu wilayah
tertentu. Untuk mengamankan suatu wilayah dari kekuasaan kelompok etnis
lainnya, milisia ataupun militer biasanya mengusir masyarakat sipil
yang tinggal di daerah tersebut. Pengusiran tersebut bisa dilakukan
dengan cara mengancam, membunuh, memperkosa, ataupun melakukan
pembersihan etnis. Menurut Brown, banyak konflik antar etnis melibatkan
terjadinya tindak kekerasan massal dan pembantaian sistematis terhadap
rakyat sipil (Brown, 1997). Suatu tindakan yang sekarang banyak
dikenal sebagai genosida.
Mengapa kita harus
peduli dengan semua itu? Mengapa kita harus peduli dengan konflik yang
letaknya ribuan kilo meter dari tempat kita hidup? Salah satu alasannya
adalah, karena konflik tersebut melanggar nilai-nilai yang diakui oleh
masyarakat internasional, dan dengan demikian mempengaruhi masyarakat
internasional secara keseluruhan. Menanggapi ini, banyak usaha telah
dilakukan untuk membedakan secara jelas yang mana pihak yang
memberontak, dan yang mana pihak yang secara sah memiliki otoritas atas
suatu wilayah. Salah satunya adalah dengan merumuskan semacam kode etik
peperangan. Akan tetapi, dalam realitas, hal ini seringkali diabaikan,
terutama ketika kedua pihak yang berperang mulai secara sistematis dan
disengaja menjadikan masyarakat sipil sebagai sasaran mereka.
Alasan lainnya
adalah, karena pembiaran terhadap semua bentuk pembantaian masyarakat
sipil adalah suatu tindakan yang melanggar moralitas universal kita
sebagai manusia. Kekejaman yang terjadi di Jerman pada perang dunia
kedua, atau pembersihan etnis yang terjadi di Bosnia pada akhir abad
kedua puluh lalu, menyentuh rasa kemanusiaan di dalam diri kita untuk
melakukan intervensi guna mencegah terjadinya korban lebih banyak lagi.
Jadi, ada kewajiban moral dan kewajiban legal yang mengikat komunitas
internasional untuk melakukan intervensi terhadap semua bentuk konflik
etnis, terutama yang secara nyata menjadikan warga sipil sebagai korban
mereka.
(2) Terjadinya
konflik etnis biasanya bermuara pada terciptanya begitu banyak
pengungsi, terutama karena konflik biasanya melebar menjadi penyerangan
terhadap warga sipil. Misalnya, sekitar 100.000 orang kehilangan
tempat tinggal, ketika perang di Khasmir meletus. Perang antara Armenia
dan Azerbaijan membuat sekitar 600.000 orang harus kehilangan tempat
tinggal mereka. Perang di Bosnia membuat sekitar 600.000 orang harus
meninggalkan kampung halaman mereka, dan menuju Balkan. Pengungsi karena
konflik-konflik lainnya, seperti di Bhutan, Birma, Kamboja, Iraq, dan
Darfur, juga tak kalah besar.
Dengan jumlah
sebanyak itu, kehadiran para pengungsi tersebut tentunya memiliki
pengaruh terhadap komunitas internasional sebagai keseluruhan. Pertama,
jika para pengungsi pergi ke negara tetangga, di mana kelompok etnis
mereka juga memiliki jumlah yang besar di sana, maka ada kemungkinan
akan tercipta solidaritas antar anggota etnis yang sama. Pada akhirnya,
negara tetangga, yang awalnya tidak terlibat konflik, juga bisa
terlibat di dalam perang yang sebenarnya bukan perang mereka. Hal ini
tentu saja memperluas skala perang.
Kedua, kehadiran
para pengungsi dalam jumlah besar tentunya akan meningkatkan biaya
ekonomi bagi negara terkait. Para pengungsi memerlukan makanan dan
tempat tinggal untuk menunjang hidup mereka. Bahkan, dalam beberapa
kasus, negara tetangga harus menampung para pengungsi untuk jangka
waktu yang tidak bisa ditentukan. Ketiga, kehadiran para pengungsi dalam
jumlah besar juga dapat mengancam keutuhan identitas kultural dari
negara yang ditempati, terutama juga para pengungsi mendirikan sekolah,
surat kabar, organisasi-organisasi berbasiskan etnis, dan rumah ibadah
mereka sendiri.
Keempat, kehadiran
para pengungsi dalam jumlah besar juga bisa menjadi suatu bentuk
kekuatan politis tertentu. Kekuatan politis ini akan mempengaruhi
persepsi negara yang mereka tempati dalam hal kebijakan luar negeri,
terutama mengenai negara asal para pengungsi tersebut, yang memang
sedang mengalami konflik. Beberapa negara khawatir, bahwa para pengungsi
akan berbalik menentang mereka, jika mereka membuat kebijakan yang
bertentangan dengan kepentingan para pengungsi tersebut. (Brown, 1997,
hal. 93). Dan kelima, jika kehadiran para pengungsi, dengan segala
problematika yang muncul bersamanya, sungguh menjadi ancaman bagi
negara sekitarnya, maka PBB punya kewajiban untuk melakukan intervensi
pada krisis yang tengah terjadi.
(3) Penggunaan
senjata nuklir dan senjata-senjata pemusnah massal lainnya sungguh
memberikan suatu dimensi baru di dalam arti kata perang, ataupun kata
konflik etnis. Sangatlah mungkin, bahwa pihak-pihak yang saling
bertempur menggunakan senjata pemusnah massal tersebut. Sejauh saya
mendapatkan informasi, India dan Pakistan masing-masing memiliki senjata
nuklir. Ketegangan politis di antara dua negara tersebut terus
meningkat. Hal yang sama kiranya terjadi antara Russia dan Ukraina.
Walaupun dalam jangka waktu dekat dapatlah dipastikan bahwa tidak akan
pecah konflik besar di negara-negara tersebut, tetapi kemungkinkan
terjadinya konflik yang melibatkan senjata pemusnah massal di masa
depan tetaplah harus diperhatikan.
Kemungkinan
lainnya, menurut Brown, adalah bahwa pemerintah pusat yang terkait
dengan konflik yang terjadi mengambil langkah-langkah drastis dengan
menggunakan senjata pemusnah massal untuk mempertahankan diri. (Brown,
1997, hal. 94) Semua kejadian ini secara jelas langsung mempengaruhi
situasi keamanan internasional. Jika konflik dengan menggunakan senjata
pemusnah massal sampai terjadi, maka itu sudah menghancurkan semua
perjanjian internasional yang telah dibangun sebelumnya. Contoh paling
jelas adalah tentang bagaimana pemerintah Irak menggunakan senjata kimia
untuk menghancurkan pemberontakan suku Kurdi pada dekade 1980-an.
(3) Menurut Brown,
konflik antar etnis juga memiliki efek berantai. (Brown, 1997) Konflik
antar etnis dapat menyebar dengan beberapa cara. Jika suatu negara yang
terdiri dari beragam etnis mulai pecah serta memperbolehkan beberapa
kelompok untuk melepaskan diri, maka kelompok-kelompok lainnya pun akan
ikut menuntut otonomi, atau bahkan kemerdekaan. Hal semacam ini
terjadi di Uni Soviet, di mana 14 republik berhasil melepaskan diri dari
kekuasaan Moskwa. Kelompok-kelompok etnis minoritas lainnya di Uni
Soviet, seperti Chechnia, Kalmyk, Tatarstan, dan Tymen, kini terus
berusaha memperoleh otonomi dari Moskwa.
Masalah lainnya
juga muncul, ketika negara A memberikan kebebasan bagi kelopmok B untuk
membentuk negaranya sendiri. Biasanya, kelompok minoritas di dalam B
juga akan menuntut untuk melepaskan diri dari B. Jika kelompok
minoritas tersebut memiliki ikatan etnis dengan negara A, maka mereka
biasanya ingin kembali untuk bergabung dengan negara A. Hampir semua
efek berantai dari konflik antar etnis ini memiliki skala kekerasan yang
besar. Besarnya tingkat kekerasan yang terjadi ini tentu saja
memberikan pengaruh besar bagi dunia internasional.Pertama, karena
kekerasan semacam itu bisa menciptakan ketidakstabilan regional yang
bermuara pada terjadinya kekacauan yang mempengaruhi lalu lintas
ekonomi maupun kondisi politik daerah terkait. Kedua, terjadinya
kekacauan politis maupun ekonomi ini bisa memicu munculnya kekuatan
politis garis keras yang hendak merebut kekuasaan. Kekuatan garis keras
ini biasanya berpegang pada ideologi ataupun agama tertentu sebagai
basis dari organisasi mereka. Mereka hendak memaksakan cara pandang
mereka untuk diterapkan sebagai ideologi dasar.
Ada efek berantai
lainnya yang seringkali terlewatkan, yakni bahwa berhasilnya gerakan
perlawanan di tempat yang satu biasanya akan menjadi inspirasi bagi
gerakan perlawanan di tempat lainnya. Semakin berkembangnya teknologi
komunikasi memungkinkan berita tentang berhasilnya suatu gerakan
perlawanan di kawasan tertentu untuk segera diketahui oleh seluruh
dunia. Hal ini tentu saja berpotensi untuk menimbulkan gerakan
perlawanan secara massal yang memiliki cangkupan internasional.
(4) Dalam banyak
kasus, menurut Brown, pengaruh dari kepentingan-kepentingan negara lain
juga bisa mempengaruhi jalannya konflik antar etnis. (Brown, 1997,
hal. 96) Misalnya, pada 1990, Amerika Serikat mengirimkan tentaranya ke
Liberia untuk menyelamatkan warga negaranya yang terperangkap akibat
konflik di sana. Pada tahun yang sama, Perancis dan Belgia mengirimkan
tentaranya ke Rwanda dengan alasan yang sama. Amerika Serikat melakukan
intervensi pada perang saudara Irak, karena sadar bahwa kepentingan
industri mereka akan minyak sedang terancam akibat perang. Hal ini
menegaskan apa yang sudah saya tulis sebelumnya, bahwa kepentingan
politik dan ekonomi negara lain akan mempengaruhi jalannya konflik
antar etnis yang tengah terjadi.
(5) Konflik antar
etnis, jika biarkan terus berlangsung, akan mengancam kredibilitas
banyak organisasi internasional. Salah satu alasan keberadaan NATO
sekarang ini adalah untuk menjaga stabilitas di kawasan Atlantik Utara,
yakni Amerika dan Eropa. Akan tetapi, ketika konflik di Yugoslavia
terjadi, organisasi ini nyaris tidak berbuat apapun. Hal yang sama
kiranya terjadi, ketika Amerika Serikat melanggar perintah dari PBB
untuk tidak melakukan penyerangan ke Irak pada awal abad ke-21. Yang
terakhir ini sekaligus membuktikan lemahnya kekuatan politik dan
kredibilitas PBB sebagai lembaga internasional yang berusaha menjaga
perdamaian dunia. Hal ini tentunya menjadi preseden buruk bagi dunia
internasional, karena dengan mudah suatu negara bisa menciptakan
konflik tanpa ada halangan apapun dari komunitas internasional yang
seharusnya memiliki otoritas untuk mencegahnya.
Secara umum,
pelanggaran terang-terangan terhadap norma-norma etis internasional
akan memotong semua prinsip-prinsip yang menjadi dasar bagi kehidupan
bersama di level internasional. Dengan kata lain, konflik antar etnis
yang dibiarkan berlanjut tanpa intervensi akan mengancam tidak hanya
keberadaan tatanan regional, tetapi juga kredibilitas tatanan
internasional sebagai keseluruhan. (Brown, 1997)
Apa yang bisa dilakukan?
Apa yang bisa
dilakukan untuk meminimalisir akibat dari konflik antar etnis, yang
seringkali memiliki cangkupan kekerasan yang luas? Pandangan umum
mengatakan, bahwa pihak asing tidak memiliki banyak hal yang bisa
dilakukan menghadapi konflik antar etnis, karena konflik ini tepat
berakar pada kebencian yang diwariskan dari masa lalu yang partikular.
Kebijakan yang umum dilakukan adalah dengan menarik diri dari konflik,
serta melihat bagaimana konflik berjalan dan mengakhiri dirinya
sendiri. (Brown, 1997, hal. 97) Di samping itu, penyebab dari
terjadinya konflik antar etnis juga sangatlah banyak. Beberapa aspek
juga bisa memperbesar skala kekerasan di dalam konflik yang tengah
terjadi. Aspek-aspek tersebut juga seringkali merupakan hasil dari
pengaruh “kekuatan asing” di luar etnis-etnis yang tengah berseteru.
Menurut Brown, cara
yang paling tepat untuk menghadapi konflik antar etnis adalah dengan
menanganinya sedini mungkin, sebelum masalah menjadi semakin rumit, dan
kekerasan yang lebih besar terjadi. (Brown, 1997) Lebih dari itu,
pencegahan terjadinya konflik etnis jauh lebih baik daripada berusaha
menyelesaikan apa yang telah terjadi.
Pada level ini, ada
baiknya saya mengajukan satu pertanyaan penting, yakni apakah yang
dapat dilakukan oleh pihak-pihak luar untuk meredakan tegangan yang
muncul akibat terjadinya konflik antar etnis? Pada level sistemik, hal
pertama yang perlu menjadi perhatian adalah soal isu keamanan. Jika
komunitas internasional menyediakan senjata bagi salah satu kelompok
yang tengah dalam konflik, maka kemungkinan besar, senjata tersebut
justru akan meningkatkan intensitas konflik yang terjadi. Tindakan ini
juga akan dianggap sebagai ancaman dari kelompok lainnya.
Di samping itu,
jika komunitas internasional menyediakan senjata bagi kedua belah pihak
yang tengah berkonflik, supaya terjadi keseimbangan kekuatan, maka hal
ini jugalah problematis. Potensi korban dan ketegangan politis untuk
akan bertambah. Dengan demikian, tindak pemberian senjata bagi kelompok
apapun di dalam konflik antar etnis adalah suatu tindakan yang kontra
produktif, baik bagi kedua kelompok yang tengah berseteru, maupun bagi
komunitas internasional yang pasti akan terpengaruh oleh konflik
tersebut.
Pada level
domestik, menurut Brown, ada tiga hal yang perlu diperhatikan. (Brown,
1997, 98) Pertama, komunitas internasional haruslah berusaha membantu
kelompok yang dominan di dalam konflik untuk menciptakan negara efektif
(effective states). Negara efektif adalah negara yang didasarkan tidak
lagi melulu pada nasionalisme, tetapi lebih pada kesepakatan bersama
yang kemudian dilegalisasi di dalam hukum yang memiliki kekuatan
mengikat. Dengan terbentuknya negara efektif ini, nasionalisme semu dan
etnosentrisme pun akan berkurang intensitasnya. Akan tetapi, komunitas
internasional juga harus berhati-hati, jangan sampai pembentukan
negara efektif ini malah jatuh ke dalam totalitarisme baru, yang justru
akan memperbesar skala dan intensitas konflik.
Kedua, komunitas
internasional juga bisa membantu kelompok-kelompok terkait untuk
menciptakan suatu pemerintahan yang bersifat representatif
(representative governments). Di dalam pemerintahan semacam ini, tidak
ada satu pun kelompok, seminoritas apapun dia, dijauhkan dari pembagian
kekuasaan. Institusi politik yang ada harus ditata dengan kepastian,
bahwa setiap kelompok memiliki perwakilannya di birokrasi dan parlemen,
serta bahwa setiap kepentingan mereka dapat dipenuhi semaksimal
mungkin oleh sistem yang ada. Untuk mencapai ini, pemilu dengan sistem
‘pemenang akan mendapatkan segalanya’ tidaklah boleh diterapkan. Selain
berperan sebagai penasehat, perwakilan dari komunitas internasional
juga bisa berperan sebagai mediator di antara kelompok-kelompok yang
berseteru. Komunitas internasional juga bisa memberikan pendampingan di
bidang ekonomi (economic assistance), terutama bagi kelompok yang
sistem ekonomi maupun politiknya masih beroperasi secara tidak efektif.
(Brown, 1997, 98)
Ketiga, menurut
Brown, komunitas internasional haruslah mendorong masyarakat dan
kelompok-kelompok etnis terkait untuk sungguh menghormati dan
memberdayakan perbedaan-perbedaan kultural. (Brown, 1997) Atau minimal,
komunitas internasional haruslah menekan masyarakat dan
kelompok-kelompok etnis terkait untukmencegah terjadinya diskriminasi
pada kelompok yang minoritas. Setiap kelompok etnis haruslah memiliki
kesetaraan status di hadapan hukum. Setiap kelompok etnis juga haruslah
memiliki hak-hak ekonomi maupun politik yang sama. Hak untuk beragama
dan beribadah juga haruslah dijamin. Dan sejauh itu memungkinkan,
setiap kelompok etnis haruslah diperbolehkan menggunakan bahasa mereka
sendiri di sekolah-sekolah maupun di komunitas lokal, di mana mereka
hidup dan beraktivitas.
Pada Desember 1992,
PBB telah melakukan deklarasi penghormatan terhadap hak-hak kultural
setiap orang. Akan tetapi, menurut Brown, seperti banyak deklarasi
mengenai hak asasi manusia lainnya, deklarasi ini tidak memiliki ikatan
hukum. Bahkan bisa dikatakan, bahwa instrumen HAM yang dirumuskan PBB
ini sangatlah lemah, sehingga hampir tidak punya otoritas di hadapan
komunitas internasional. Untuk menambal kelemahan itu, PBB perlu secara
agresif bekerja untuk menciptakan negara efektif, yang pada akhirnya
bertujuan untuk memastikan penerapan instrumen HAM di berbagai belahan
dunia. Tidak hanya itu, PBB dan komunitas internasional secara
keseluruhan harus mulai menerapkan sanksi, baik itu sanksi ekonomi,
politik, bahkan militer, bagi negara-negara yang gagal melindungi HAM
warganya.
Pada level
persepsi, komunitas internasional dapat membantu setiap negara
menuliskan sejarahnya sendiri-sendiri secara tepat. Sejarah yang
ditulis haruslah terbuka terhadap diskusi dengan kelompok lain yang
mungkin sekali mempunyai kepentingan yang berbeda. Proses ini sendiri
melibatkan akademisi dan perwakilan dari setiap kelompok yang ada di
masyarakat. Memang, beberapa pertemuan tidak akan menghapus kebencian
dan dendam yang diturunkan sebagai bentuk kesalahpahaman terhadap
sejarah. Akan tetapi, pertemuan-pertemuan dalam bentuk konferensi dan
seminar tersebut merupakan suatu usaha yang perlu terus dilakukan,
walaupun hasilnya hanya bisa dilihat dan dirasakan di dalam proses.
Lalu, apa yang
harus dilakukan oleh komunitas internasional, jika tindak pencegahan
konflik gagal, dan perang antar etnis pun terjadi? Menurut Robert
Cooper dan Mats Berdal, ada empat hal yang harus dilakukan. (Brown,
1997, 99)Pertama, komunitas internasional harus menyatakan suatu
ketegasan moral dan politis untuk melakukan intervensi. Kedua,
intervensi yang dilakukan haruslah memiliki tujuan politis yang
obyektif. Artinya, tujuan dari intervensi, terutama intervensi militer,
haruslah demi kebaikan sebanyak mungkin pihak yang terlibat.
Ketiga, komunitas
internasional juga harus mampu menunjukkan sikap konsistensi di dalam
melakukan internvensi konflik. Perang antar etnis seringkali
berlangsung lama. Kelompok-kelompok yang saling berseteru memiliki
motivasi berperang yang besar, terutama karena mereka merasa bahwa
keberadaan mereka terancam. Jika komunitas internasional ingin melakukan
intervensi semacam itu, maka mereka haruslah memiliki legitimasi
politik maupun hukum yang kuat. Dan keempat, komunitas internasional
juga harus sudah memutuskan, kapan mereka harus menarik diri dari
konflik antar etnis yang tengah terjadi. Jika ini tidak dipertimbangkan
terlebih dahulu, komunitas internasional juga bisa terlibat di dalam
konflik yang berlarut-larut, dan malah memperbesar skala konflik.
Brown juga
berpendapat bahwa proses diplomasi di dalam konflik antar etnis tidak
akan pernah berjalan, jika tidak ada ancaman dalam bentuk sanksi
ekonomi maupun militer. (Brown, 1997) Yang juga penting diingat adalah,
bahwa pendekatan yang bersifat militeristik tidak akan bisa
menyelesaikan problem sampai pada akar-akarnya. Pendekatan militer
paling maksimal hanya bisa menjadi penengah antara dua pihak yang
tengah berseteru dengan menggunakan senjata api, tetapi tidak pernah
bisa menciptakan perdamaian. Pendekatan militer, pada dirinya sendiri,
tidak akan pernah menyelesaikan problem politis dan perseptual yang
sungguh berakar di antara kelompok-kelompok etnis yang berperang.
“Kunci kepada suatu resolusi konflik yang sesungguhnya”, demikian tulis
Brown, “adalah pengembangan masyarakat sipil dalam suatu komunitas
politis yang otentik.” (Brown, 1997, 100) Inilah yang masih harus kita
pelajari bersama.
Penulis adalah Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya
Tulisan ini diinspirasikan dari pembacaan saya terhadap Michael E.
Brown, “Causes and Implications of Ethnic Conflict”, dalam The
Ethnicity Reader. Nationalism, Multiculturalism, and Migration,
Guibernau dan John Rex (eds), Great Britain, Polity Press, 1997, hal.
80-100.
Lihat A.D. Smith, The Ethnic Origins of Nations, Oxford, Basil Blackwell, 1986.
Lihat Donald Horowitz, Ethnic Groups in Conflict, Berkeley, University of California Press, 1985.
Lihat
Arend Lijphart, “The Power-Sharing Approach”, dalam Conflict and
Peacemaking in Multiethnic Societies, Lexington, Lexington Books, 1990,
hal. 491-509.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar