ORANG MISKIN DI NEGERI KAYA
(SEBUAH KADO TANTANGAN UNTUK PRESIDEN
TERPILIH)
Husamah
Poverty
have become the phenomenal problem along with the history of Indonesia as a
nation. The number of poverty in 2009 is estimated to be 41,1 billion people (21,92%).
In narrow sense, poverty is known as condition of having not enough money and
stuffs to ensure the continuing of life. In broader sense, poverty is a
multifaces and multidimentional phenomenon. Furthermore, it has variation of
its own manifestation and it has limited society’s rights. The main pillars of to
overcome poverty are pro the poor fund, good governance and social development,
and process of empowerment on micro economy as pilar of development.
Pendahuluan
Kemiskinan terus
menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia sebagai nation state, sejarah
sebuah negara yang salah memandang dan mengurus kemiskinan. Kita selalu dibuat
tertegun, prihatin, dan mengelus dada, saat membaca atau mendengar berita di
berbagai media massa tentang kemiskinan di Indonesia. Bagaimana tidak, setiap
tahunnya angka kemiskinan selalu menjadi kenyataan pahit yang menyedihkan. Kemiskinan kemudian lebih sering digunakan untuk sekadar untuk mendongkrak popularitas. Data kemiskinan dipolitisir dan “diplintir” untuk menaikkan
pamor menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres),
sementara rakyat yang berkubang dalam lumpur kemiskinan tetap saja sebagai
penderita atau korban. Rakyat persis
sama dengan apa yang diutarakan oleh tokoh bangsa terkenal, Sutan Sjahrir. “Aku cinta
negeri ini dan orang-orangnya....Terutama barangkali karena mereka selalu
kukenal sebagai penderita, sebagai orang yang kalah. Jadi biasa saja, simpati
kepada underdogs, orang-orang yang ditindas”.
Berdasarkan data
Biro Pusat Statistik (BPS), hingga 2004, jumlah orang miskin di Indonesia
mencapai 36,1 juta orang atau setara dengan 16,66 persen dari jumlah penduduk
Indonesia. Dari jumlah itu, Provinsi Jawa Timur menduduki posisi puncak dalam
daftar penduduk miskin di tanah air. Di provinsi ini, jumlah penduduk miskin
sekitar 7,3 juta atau sama dengan 23 persen dari jumlah penduduk miskin di
Indonesia. Daerah lain di luar Pulau Jawa yang memiliki angka kemiskinan
tertinggi adalah Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat,
Papua, dan Sumatera Selatan. Dari angka ini dapat dipastikan
masih ada sekitar 30 persen masyarakat miskin yang akan semakin miskin.[1]
Menteri Sosial
Bachtiar Chamsyah mengungkapkan jumlah masyarakat miskin di tanah air tahun
2005 mencapai 36,1 persen dari total penduduk sekitar 220 juta jiwa,
termasuk di dalamnya penduduk fakir miskin sebanyak 14,8 juta jiwa.[2]
Data BPS memperlihatkan, jumlah
rakyat miskin pada tahun 2006 meningkat menjadi 39,05 juta orang dari tahun
sebelumnya 35 juta orang. Meski jumlah penduduk miskin turun menjadi 37,17 juta
orang atau 16,58% dari total penduduk Indonesia selama periode Maret 2006
hingga Maret 2007, angka tersebut masih cukup rawan. Menurut versi Bank Dunia,
jumlah penduduk miskin di Indonesia di atas 100 juta orang atau 42,6% dari
jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 232,9 juta orang pada 2007 dan 236,4
juta orang pada 2008.[3]
Angka kemiskinan
pada 2009 tentunya tidak banyak berubah. Berdasarkan analisis Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), jumlah penduduk miskin pada akhir 2008 atau awal
2009 akan mencapai 41,1juta jiwa (21,92%), naik 4,7 juta jiwa
dibandingkan Maret 2007 yang sebesar 37,2 juta jiwa (16,58%). Kondisi ini
terjadi karena beban hidup masyarakat terus bertambah, ditambah lagi dengan
krisis ekonomi global yang berimbas besar bagi Indonesia.[4]
Analisis ini seakan menegaskan prediksi kritis Tim Indonesia Bangkit (TIB) bahwa
angka kemiskinan tidak akan turun. TIB
mengingatkan bahwa angka kemiskinan
hanya akan turun dengan dua kemungkinan. Pertama, melakukan perubahan
dan rekayasa metodologi perhitungan. Kedua,
melakukan perubahan atau “pembersihan” sampel data, yang
merupakan cara-cara sangat vulgar dan manipulatif, serta sangat memalukan baik
secara moral maupun intelektual. Rekayasa tersebut dapat terjadi karena
pemerintah dan tim ekonomi dengan sengaja memilih kebijakan ekonomi monetaris
dan neoliberal yang tidak pro-rakyat dan menjadi penyebab meningkatnya
pengangguran dan kemiskinan.[5]
Konsep Ringkas
Kemiskinan
Konsep tentang
kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekadar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan
memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang
lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Ada pendapat yang mengatakan
bahwa kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam suatu
masyarakat. Kemiskinan juga dapat diartikan sebagai ketidakberdayaan sekelompok
masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh suatu pemerintahan sehingga
mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi (kemiskinan
struktural). Untuk memahami
pengertian tentang kemiskinan, ada berbagai pendapat yang dikemukakan.
Dalam arti
sempit, kemiskinan dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk
menjamin kelangsungan hidup. Dalam arti luas, kemiskinan merupakan suatu
fenomena multiface atau multidimensional.[6]
Menurut Suparlan, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai suatu standar tingkat
hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah
atau golongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku
dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara
langsung tampak pengaruhnya terhadap tingkat
kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang
tergolong sebagai orang miskin.[7]
Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menjelaskan kemiskinan adalah
situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena dikehendaki oleh si miskin,
melainkan karena tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya.[8]
Pendapat lain dikemukakan oleh Ala yang menyatakan kemiskinan adalah adanya gap atau jurang antara nilai-nilai utama
yang diakumulasikan dengan pemenuhan kebutuhan akan nilai-nilai tersebut secara
layak.[9]
Chambers dalam
Nasikun, mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu integrated concept
yang memiliki lima dimensi, yaitu: (1) kemiskinan (poverty), (2)
ketidakberdayaan (powerless), (3) kerentanan menghadapi situasi darurat
(state of emergency), (4) ketergantungan (dependence), dan (5)
keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Hidup
dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan tingkat pendapatan
rendah, tetapi juga banyak hal lain, seperti: tingkat kesehatan, pendidikan
rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak
kriminal, ketidakberdayaan menghadapi kekuasaan, dan ketidakberdayaan dalam
menentukan jalan hidupnya sendiri.[10]
Masih menurut
Chambers, kemiskinan dapat dibagi dalam empat bentuk, yaitu: Pertama,
kemiskinan absolut: bila pendapatannya di bawah garis kemiskinan atau tidak
cukup untuk memenuhi pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang
diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kedua, kemiskinan relatif:
kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau
seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan pada pendapatan. Ketiga,
kemiskinan kultural: mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat
yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki
tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari
pihak luar. Keempat, kemiskinan struktural: situasi miskin yang
disebabkan karena rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu
sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung pembebasan
kemiskinan, tetapi kerap menyebabkan suburnya kemiskinan.[11]
Perkembangan
terakhir, menurut Jarnasy kemiskinan struktural lebih banyak
menjadi sorotan sebagai penyebab tumbuh dan berkembangnya ketiga kemiskinan
yang lain.[12]
Sementara dalam telaah Mas'oed kemiskinan juga dapat dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu kemiskinan alamiah dan kemiskinan buatan Pertama,
kemiskinan alamiah berkaitan dengan kelangkaan sumber daya alam dan prasarana
umum, serta keadaan tanah yang tandus. Kedua, kemiskinan buatan lebih
banyak diakibatkan oleh sistem modernisasi atau pembangunan yang membuat
masyarakat tidak dapat menguasai sumber daya, sarana, dan fasilitas ekonomi
yang ada secara merata.[13]
Menurut Salim, ciri-ciri kelompok (penduduk) miskin
yaitu: (1) rata-rata tidak memunyai faktor produksi sendiri seperti tanah,
modal, peralatan kerja, dan keterampilan, (2) memunyai tingkat pendidikan yang
rendah, (3) kebanyakan bekerja atau berusaha sendiri dan bersifat usaha kecil
(sektor informal), setengah menganggur atau menganggur (tidak bekerja), (4)
kebanyakan berada di perdesaan atau daerah tertentu perkotaan (slum area),
dan (5) kurangnya kesempatan untuk memperoleh (dalam jumlah yang cukup): bahan
kebutuhan pokok, pakaian, perumahan, fasilitas kesehatan, air minum,
pendidikan, angkutan, fasilitas komunikasi, dan kesejahteraan sosial lainnya.[14]
Kemiskinan adalah
satu hal, tapi pemiskinan adalah soal lain. Lebih dari seabad lalu
filsuf sosial William Sumner menekankan bahwa sebagian kesulitan hidup manusia
adalah bagian kodrati dari eksistensinya dalam pergumulannya dengan alam.
Seseorang tidak memiliki dasar untuk menyalahkan orang lain atas suratan
tangan. Jika seseorang dapat mengatasi kesulitan semacam itu dengan baik atau
lebih baik dari saya, hal itu tidaklah menjadi dasar bagi persoalan
eksistensial saya. Menjadi tua dan memudarnya produktivitas, misalnya, adalah
bagian alamiah dalam hidup manusia. Setiap individu tumbuh dengan mengembangkan
keterampilan tertentu; ia diberkahi bakat dan temperamen tertentu, dan terlahir
dalam keluarga tertentu di wilayah tertentu. Semua faktor ini memastikan bahwa
masing-masing kita akan bergelut dengan tantangan alamiah dengan tingkat
keberhasilan yang berbeda-beda.[15]
Sumner juga
mencatat perbedaan penting tentang sifat perjuangan hidup manusia. Menurutnya,
ada pula kemalangan yang disebabkan oleh orang lain dan akibat tidak
sempurnanya atau kesalahan institusi sosial kita. Ini mirip dengan konsep
kontemporernya, pemiskinan. Jika kesulitan jenis pertama hanya dapat
diatasi lewat upaya dan energi manusia yang bersangkutan, jenis kedua dapat
dikoreksi melalui upaya bersama. Ini tidak menjadi soal sejauh proyek
kemanusiaan tersebut dilakukan oleh sesama individu atas dasar derma atau
kerelaan. Kesulitan mulai timbul jika jenis pertama ini terus menerus disatukan
dan digeneralisir serta dijadikan objek politik bagi proyek kemanusiaan/sosial.[16]
Total kemiskinan penduduk Indonesia menurut pemerintah Indonesia dan Bank Dunia berbeda cukup
signifikan. Data BPS menyebutkan bahwa persentase penduduk miskin di Indonesia sebanyak 17,76% pada
tahun 2006. Sedangkan Bank Dunia melaporkan sebanyal 49%. Hal ini disebabkan
karena indikator yang digunakan berbeda. Indikator kemiskinan menurut Bank
Dunia adalah pengeluaran dibawah $2 per hari. Sedangkan menurut Pemerintah
Republik Indonesia adalah pengeluaran dibawah $1.55. Untuk mengukur kemiskinan,
BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs
approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai
ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan
bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dengan pendekatan ini, dapat
dihitung Head Count Index (HCI), yaitu persentase penduduk yang berada
di bawah Garis Kemiskinan. penduduk yang hidup di bawah 1 dollar AS per hari
dan 2 dollar AS per hari.[17]
Dampak Kemiskinan
Dalam negara yang
salah urus, tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan.
Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang
berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya
investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan,
kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga. Selain itu, arus
urbanisasi ke kota semakin menguat, dan yang lebih parah, kemiskinan
menyebabkan jutaan rakyat tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan
papan.[18]
Kemiskinan memiliki
variasi manifestasi mencakup kekurangan pendapatan, sumberdaya produktif untuk
menjamin kehidupan yang layak dan langgeng, kelaparan dan gizi kurang, keterbatasan
akses terhadap pendidikan dan layanan dasar, morbiditas dan mortalitas karena
penyakit meningkat, perumahan yang tidak layak bahkan tidak memiliki rumah, lingkungan
tidak aman, diskriminasi dan eksklusi sosial.[19],[20]
Kemiskinan telah
membatasi berbagai hak rakyat seperti (1) hak rakyat untuk memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan; (2) hak
rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum; (3) hak rakyat untuk memperoleh
rasa aman; (4) hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang,
pangan, dan papan) yang terjangkau; (5) hak rakyat untuk memperoleh akses atas
kebutuhan pendidikan; (6) hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan
kesehatan; (7) hak rakyat untuk memperoleh keadilan; (8) hak rakyat untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan pemerintahan; (9) hak
rakyat untuk berinovasi; (10) hak rakyat menjalankan hubungan
spiritualnya dengan Tuhan, dan (11) hak rakyat untuk berpartisipasi dalam
menata dan mengelola pemerintahan dengan baik.[21]
Kemiskinan menjadi
alasan yang sempurna rendahnya Human Development Index (HDI) atau Indeks
Pembangunan Manusia Indonesia. Secara
menyeluruh, kualitas manusia Indonesia relatif masih sangat rendah,
dibandingkan dengan kualitas manusia di negara-negara lain di dunia. Berdasarkan laporan HDI tahun 2004
yang menggunakan data tahun 2002, angka HDI
Indonesia adalah 0,692. Angka indeks tersebut merupakan
komposit dari angka harapan hidup saat lahir sebesar 66,6 tahun, angka melek
aksara penduduk usia 15 tahun ke atas sebesar 87,9 persen, kombinasi angka
partisipasi kasar jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi
sebesar 65 persen, dan Pendapatan Domestik Bruto (PDB)
per kapita yang dihitung berdasarkan paritas daya beli (purchasing
power parity) sebesar US$ 3.230. HDI Indonesia hanya menempati urutan
ke-111 dari 177 negara.[22]
Pendek kata,
kemiskinan merupakan persoalan yang maha kompleks dan kronis. Karena sangat
kompleks dan kronis, maka cara penanggulangan kemiskinan pun membutuhkan
analisis yang tepat, melibatkan semua komponen permasalahan, dan diperlukan
strategi penanganan yang tepat, berkelanjutan dan tidak bersifat temporer.
Sejumlah variabel dapat dipakai untuk melacak persoalan kemiskinan, dan dari
variabel ini dihasilkan serangkaian strategi dan kebijakan penanggulangan
kemiskinan yang tepat sasaran dan berkesinambungan. Dari dimensi pendidikan
misalnya, pendidikan yang rendah dipandang sebagai penyebab kemiskinan. Dari
dimensi kesehatan, rendahnya mutu kesehatan masyarakat menyebabkan terjadinya
kemiskinan. Dari dimensi ekonomi, kepemilikan alat-alat produktif yang
terbatas, penguasaan teknologi dan kurangnya keterampilan, dilihat sebagai
alasan mendasar mengapa terjadi kemiskinan.
Faktor kultur dan
struktural juga kerap kali dilihat sebagai elemen penting yang menentukan
tingkat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Tidak ada yang salah dan
keliru dengan pendekatan tersebut, tetapi dibutuhkan keterpaduan antara
berbagai faktor penyebab kemiskinan yang sangat banyak dengan
indikator-indikator yang jelas, sehingga kebijakan penanggulangan kemiskinan
tidak bersifat temporer, tetapi permanen dan berkelanjutan.
Penyebab Kemiskinan
Berkepanjangan
Sebenarnya banyak
ragam pendapat mengenai penyebab kemiskinan. Namun menurut Buwaethy, secara
garis besarnya ada tiga faktor penyebab kemiskinan yang menimpa
masyarakat saat ini.[23]
Pertama, kemiskinan alamiah, yaitu
kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi alami seseorang; misalnya cacat mental,
cacat fisik, usia lanjut sehingga tidak mampu bekerja, dan lain-lain. Kedua, kemiskinan kultural, yaitu
kemiskinan yang disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM, akibat kultur kebiasaan
masyarakat tertentu; misalnya sifat malas, tidak produktif, bergantung pada
harta orang tua, harta warisan, berjudi, kecanduan narkoba, kebiasan menghayal
tanpa kerja dan lain-lain. Ketiga,
kemiskinan stuktural, yaitu kemiskinan disebabkan oleh kesalahan sistem yang
digunakan negara dalam mengatur urusan rakyat. Misalnya bencana alam dan
pendistribusian bantuan bencana alam, tidak sampainya informasi-informasi
kepada orang miskin baik mengenai keuangan, pendidikan, kesehatan dan informasi lainnya.
Faktor penyebab
kemiskinan pertama dan kedua masuk kategori penyebab faktor utama secara
individu yang tergantung kepada perseorangan atau bergantung kepada orang
tersebut. Kelemahan individu pada nomor dua ini biasanya kelemahan yang
penyebabnya adalah orang itu sendiri, bukan disebabkan oleh orang lain,
walaupun dia berada dalam lingkungan suatu masyarakat yang penuh dengan peluang
rezeki. Sedangkan penyebab ketiga adalah masuk kepada kategori publik (masyarakat) dan
sangat besar pengaruhnya terhadap peningkatan angka kemiskinan. Kemiskinan
jenis inilah yang menjadi fenomena di berbagai negara dewasa saat ini, baik di
negara-negara sedang berkembang maupun di negara-negara maju. Bahkan problema
ekonomi sesungguhnya bukan kelangkaan keuangan di perbendaharaan negara,
melainkan karena buruknya pendistribusian. Fakta menunjukkan, bahwa kemiskinan
terjadi bukan karena tidak ada uang tapi karena uang yang ada tidak sepenuhnya
sampai kepada orang-orang miskin. Demikian juga bukan karena kelangkaan sumber
daya alam (SDA), melainkan disebabkan karena distribusi SDA yang tidak merata.[24]
Menurut Ritonga
pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program
penanggulangan kemiskinan di Indonesia.
Pertama,
program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada
upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Hal itu, antara lain,
berupa beras untuk rakyat miskin dan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk orang
miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang
ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan
ketergantungan.
Kedua, kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab
kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak
didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.
Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang digunakan untuk program-program
penanggulangan kemiskinan selama ini adalah data makro hasil Survei Sosial dan
Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro hasil pendaftaran keluarga
prasejahtera dan sejahtera I oleh Badan Koordinasi
Keluarga Berencana nasional (BKKBN).
Kedua data ini pada
dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang sentralistik,
dengan asumsi yang menekankan pada keseragaman dan fokus pada indikator dampak.
Pada kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak akan dapat mencerminkan
tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar
yang mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi,
organisasi sosial, sifat budaya, maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara
lokal.
Solusi Pengentasan
Kemiskinan
Sejak awal
berdirinya Indonesia sampai bergulirnya reformasi, pemerintah telah mempunyai perhatian besar
terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana termuat dalam
alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945. Program-program pembangunan yang
dilaksanakan selama ini selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya
pengentasan kemiskinan. Pada umumnya,
partai-partai peserta Pemilu juga mencantumkan program pengentasan kemiskinan sebagai
program utama dalam platform mereka Meskipun demikian, masalah kemiskinan
sampai saat ini terus-menerus menjadi masalah yang berkepanjangan.
Menurut
Gianto, secara konseptual, penuntasan masalah kemiskinan ini harus dilakukan
melalui kebijakan yang sistematis dan terprogram sebagai sufficient
condition dari pembangunan ekonomi. Akan tetapi, secara faktual program
pengentasan kemiskinan yang dijalankan selama ini selalu terkooptasi oleh
sistem yang terlalu pro pada pertumbuhan. Sebagai contoh, ketika pemerintah
ingin mengurangi kemiskinan masyarakat desa dengan memberi subsidi di sektor
pertanian seperti kredit bersubsidi, pupuk bersubsidi dan sebagainya semua ini
terbentur oleh regulasi dan kebijakan lain yang menuntut pengurangan subsidi
atau terbentur oleh sistem ekonomi yang anti subsidi.[25]
Dampak
yang terjadi akhir-akhir ini adalah program-program penanggulangan kemiskinan
cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin
sebagai program kompensasi atas pencabutan subsidi. Program-program tersebut
antara lain berupa penyaluran beras untuk rakyat miskin, JPS,
BLT dan sebagainya. Upaya seperti ini akan sulit
menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk
pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan. Program bantuan yang
berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral
dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya
lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu
membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak,
program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam
penyalurannya.[26]
Jadi,
program pembangunan (berbasis pertumbuhan) yang dijalankan pemerintah akhir-akhir
ini mengalami banyak kelemahan yang fundamental dalam mengentaskan kemiskinan.
Untuk mengubah paradigma pembangunan ini dalam scope nasional tidaklah
mudah karena membutuhkan upaya jangka panjang yang melibatkan seluruh unsur
dalam negara. Di sisi lain, kemiskinan akan terus bertambah dan mungkin tak
terpecahkan. Sehingga dalam jangka pendek dibutuhkan upaya-upaya atau gerakan
penanggulangan kemiskinan yang tumbuh dari kesadaran unsur negara di luar
pemerintah, termasuk dalam hal ini mahasiswa sebagai pelopor gerakan itu. Upaya
atau gerakan penanggulangan kemiskinan yang dilakukan harus mengacu pada
program pemberdayaan masyarakat miskin.
Kemiskinan memang merupakan
masalah kompleks yang tidak mudah diatasi. Namun, dengan pendekatan yang tepat,
kemiskinan akan lebih mudah didekati. Penanggulangan kemiskinan memerlukan
pemahaman mengenai dimensi dan pengukuran kemiskinan yang operasional. Setelah
kemiskinan dapat dipotret secara akurat, strategi anti kemiskinan dapat
dikembangkan. Strategi tersebut sebaiknya menyentuh pendekatan langsung dan
tidak langsung, mikro dan makro, yang dilakukan secara simultan dan
berkelanjutan.
Dalam
pandangan Edi Suharto, penanggulangan kemiskinan dapat diibaratkan dengan
analogi ikan dan kail. Sering dikatakan bahwa memberi ikan kepada si miskin
tidak dapat menyelesaikan masalah. Si miskin akan menjadi tergantung. Kemudian,
banyak orang percaya memberi kail akan lebih baik. Si miskin akan lebih
mandiri. Analogi ini perlu diperluas. Memberi kail saja ternyata tidak cukup.
Meskipun orang punya kail, kalau ia tidak memiliki cara mengail ikan tentunya
tidak akan memperoleh ikan. Pemberian keterampilan (capacity building)
kemudian menjadi kata kunci dalam proses pemberdayaan masyarakat.[27]
Setelah orang punya
kail dan memiliki ketrampilan mengkail, tidak dengan serta merta ia dapat
mengumpulkan ikan, jikalau lautan, sungai dan kolam dikuasai kelompok “elit”.
Karenanya, penanganan kemiskinan memerlukan pendekatan makro kelembagaan.
Perumusan kebijakan sosial adalah salah satu piranti penciptaan keadilan yang
sangat penting dalam mengatasi kemiskinan. Strategi untuk mengatasi krisis
kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi saja (pendekatan
ekonomi), tetapi memerlukan diagnosa yang lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap
semua aspek yang menyebabkan kemiskinan secara lokal.
Untuk menghilangkan
atau mengurangi kemiskinan di tanah air diperlukan suatu strategi dan bentuk
intervensi yang tepat, dalam arti cost effectiveness-nya tinggi.
Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu
dimensi saja (pendekatan ekonomi), tetapi memerlukan diagnosa yang lengkap dan
menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan secara
lokal. Jika ada upaya yang terencana, terpadu, berkelanjutan dan terukur, maka
peningkatan insiden kemiskinan akan dapat dibatasi, bahkan diturunkan dan
diminimalkan jumlahnya.
Kebijakan apa yang
diperlukan untuk mengentaskan dan keluar dari kemiskinan? Pilar utama strategi
pengurangan kemiskinan yakni anggaran pro kemiskinan (pro-poor)
yang peka terhadap perbedaan-perbedaan sosial dan ekonomi. Menurut Hardojo dkk
penganggaran pro-poor merupakan suatu cara untuk menangani
ketidaksetaraan dan ketidakadilan di dalam proses penganggaran biasa. Anggaran
yang pro-poor lebih peka terhadap berbagai perbedaan sumber daya dan
secara aktif menangani perbedaan tersebut.[28]
Suatu anggaran pro-poor
terutama akan bermanfaat dalam upaya menangani konsekuensi negatif kebijakan
yang pincang oleh pemerintah dan mengalokasikan dana publik kepada mereka yang
memiliki sedikit pilihan pelayanan publik dan yang perlu dilindungi. Anggaran
pro-poor merupakan alat untuk mengalokasikan dana bagi orang miskin dan
mereka yang paling membutuhkan. Ia adalah suatu proses untuk keluarga-keluarga
miskin terlibat dalam proses perencanaan dan penganggaran.
Secara konseptual
anggaran pro-poor merupakan bagian dari kebijakan yang berpihak pada
kaum miskin. Pro-poor policy ialah tindakan politik yang bertujuan
mengalokasikan hak-hak dan sumber daya kepada individu, organisasi, dan wilayah
yang terpinggirkan oleh pasar dan negara. Dengan kata lain anggaran pro-poor
merupakan tindakan afirmatif dalam pengarusutamaan kemiskinan dalam kebijakan
pembangunan. Anggaran ini mengombinasikan tiga perspektif kemiskinan, yakni
struktural, gender, dan institusional.
Solusi selanjutnya
adalah pemerintahan yang baik (good governance) dan pembangunan sosial. Untuk
mendukung strategi tersebut diperlukan intervensi-intervensi pemerintah yang
sesuai dengan sasaran atau tujuan yang bila di bagi menurut waktu yaitu,
intervensi jangka pendek terutama pembangunan sektor pertanian dan ekonomi
pedesaan, intervensi jangka menengah dan panjang, pembangunan sektor swasta,
kerjasama regional, APBN dan administrasi, desentralisasi, pendidikan dan
kesehatan, penyediaan air bersih serta pembangunan perkotaan dan pedesaan.
Solusi yang tidak
kalah penting dan layak diterapkan dalam upaya pengentasan kemiskinan adalah
proses pemberdayaan ekonomi mikro sebagai pilar pembangunan. Strategi-strategi
yang di gunakan berupa adanya kerjasama yang mutalisme antara pemerintah, wakil
rakyat (DPR-DPRD), swasta serta elemen masyarakat menengah (LSM, Akademisi,
Wartawan, Profesional dan lain-lain) untuk bisa mendorong ekonomi mikro untuk
bisa menjadi salah satu tembok dalam pengentasan dan menghindari kemiskinan.[29]
Program-program
bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah justru dapat memperburuk
moral dan perilaku masyarakat miskin seperti ketergantungan sudah saatnya
ditinjau kembali atau bahkan dihentikan. Program bantuan untuk orang miskin
seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan
mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain
pihak, program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam
penyalurannya. Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung
digunakan untuk peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah,
seperti Sekolah
Dasar (SD)
sampai Sekolah
Menengah Atas (SMA), serta dibebaskannya biaya-biaya pengobatan di
pusat-pusat kesehatan masyarakat.
Indonesia Negeri Kaya
Indonesia dikenal
sebagai zamrud khatulistiwa dan disebut sebagai “sebidang tanah yang diturunkan
dari surga” karena kesuburan tanahnya. Hampir setiap tanaman dapat tumbuh subur
di negeri ini. Bahkan sebatang tongkat yang ditancap pun akan tumbuh menjadi
tanaman yang rindang. Indonesia memiliki hutan tropis yang sangat luas dengan
berbagai flora-fauna endemik, yang hanya ada di Indonesia. Bahkan ada yang
menyebut kekayaan alam, flora dan fauna Indonesia adalah yang terlengkap dari
semua negara yang ada di dunia ini.
Tidak itu saja, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia
dengan jumlah pulau sekitar 17.484 buah dan garis pantai sepanjang 81.000 km.[30]
Negara kita dikenal dengan kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) laut yang melimpah. SDA yang dapat pulih (renewable resources) seperti
perikanan tangkap, perikanan budidaya pantai dan marikultur, mangrove, terumbu
karang, padang lamun, dan rumput laut. Sumberdaya alam yang tidak dapat pulih (non-renewable
resources) seperti minyak dan gas bumi, dan mineral lainnya serta jasa-jasa
lingkungan (environmental services), yang meliputi energi, kawasan
rekreasi dan pariwisata.[31]
Pertanyaannya kita,
dengan begitu melimpahnya kekayaan negeri ini tetapi mengapa jutaan orang masih
juga berada di bawah garis kemiskinan? Mengapa negeri ini tidak dapat keluar
dari jeratan kemiskinan berkepanjangan? Jawabannya, selain berbagai faktor yang telah dikemukaan sebelumnya, kita
memiliki kekayaan alam yang luar biasa dan sampai sekarang belum tergarap
dengan maksimal karena kita belum sadar akan potensi yang kita miliki, sehingga
semua kelebihan itu belum tertata dan tergarap secara sempurna dan terpadu.
Lebih dari itu, fokus perhatian pemerintah terhadap masalah tersebut justru
dinilai kurang. Dan celakanya pemerintah lebih terjebak kepada pembangunan
properti mewah, seperti apartemen dan mal-mal yang tersebar hampir di semua
kota besar di Indonesia. Sementara sektor pertanian, nelayan, buruh, dan
pedagang yang menjadi kekuatan besar dari bangsa ini belum tergarap dengan
benar. Artinya, kalau pun sudah disentuh, porsi yang diberikan pemerintah belum
sepadan dengan kebutuhan rakyat atau masyarakat.
Penutup
Sampai tulisan ini ditulis, hasil
quick count atau perhitungan cepat
yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga survei misalnya LP3ES, Lembaga Riset
Indonesia, Lembaga Survei Indonesia, dan Lingkaran Survei Indonesia menunjukkan
bahwa pasangan dengan nomor urut dua (SBY-Boediono) memenangkan Pilpres secara
mutlak dengan mendapat ± 60% suara. Jika
perhitungan resmi KPU tidak berbeda, maka mereka berhak memimpin bangsa ini selama lima tahun ke depan
(2014).
SBY-Boediono
dalam visinya antara lain mencantumkan kata terwujudnya Indonesia yang
sejahtera. Ini juga dapat dikonotasikan bahwa pasangan tersebut memiliki
komitmen dalam pengentasan kemiskinan. Dalam konteks ini, pasangan SBY-Boediono
yang selama ini dituding mewakili neolib atau neoliberal pun, yakin akan mampu
membangun perekonomian rakyat. Keduanya sadar, bahwa bangsa Indonesia memiliki
kekayaan SDM dan SDA yang sangat luar biasa. Kesadaran inilah yang mendorong
keduanya akan membangun perekonomian bangsa melalui dua pilar yang dipadukan
menjadi satu, yakni ekonomi kerakyatan dengan ekonomi modern.
Kesadaran yang
muncul tersebut sejatinya merupakan kabar baik dan harapan besar rakyat
Indonesia. Namun tentunya SBY perlu memperbaiki berbagai sisi negatif selama
kepemimpinannya terdahulu. Faktanya banyak pihak menilai bahwa selama ini
ekonomi Indonesia tidak pernah berkembang maksimal dan ekonomi riil juga tidak
berkembang dengan baik karena SBY tidak tegas dalam mengambil keputusan yang
diperlukan. Ia lebih mementingkan kebijakan populisnya untuk mengangkat citra diri
dan mendapat dukungan dalam pemilu. Paket stimulus yang amat diperlukan bila
ekonomi anjlok juga tidak didukungnya secara penuh. Jumlah pengangguran dan
kemiskinan meningkat, tetapi angka-angka yang diumumkan untuk menutupinya
bermasalah.[32]
Akhirnya, patut disadari pemimpin
adalah wujud kristalisasi keringat dari seorang pemimpi. Ketika seseorang
ingin menjadi pemimpin, ia harus banyak menyampaikan impian dan harapannya
kepada khalayak yang mau dan akan dipimpinnya. Dan kini telah tiba saatnya, akhirnya
rakyat menitipkan suara terbesarnya kepada salah satu pasangan calon terpilih,
SBY-Boediono. Sudah saatnya mereka
melaksanakan visi-misi yang telah disampaikan, mengoptimalkan pemanfaatan
potensi SDA dan SDM berkelanjutan, menjaga dan memegang erat-erat titipan suara
rakyat lewat berbagai program dan kebijakan pemerintahan menuju Indonesia yang
bebas dari kemiskinan, sejahtera, maju dan bermartabat. Semoga.
Daftar Pustaka
ACC/SCN. “Nutrition and Human Rights” SCN News 10. Geneva:
United Nations Administrative Committee on Coordination-Subcommittee on Nutrition. 1995.
Ala, Andre Bayo. Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan. Yogyakarta: Penerbit Liberty. 1996.
LKBN
Antara. “Jumlah Masyarakat
Miskin Indonesia Capai 36,1%”. Edisi 10
Juni 2007.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Panduan Program Inpres Desa Tertinggal. 1993.
Buwaethy, Ahmad. “Fenomena Kemiskinan”. Media Informasi Ummat Edisi 06
February 2009.
Dahuri, Rokhmin. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2003.
Gianto. “Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Melalui Perluasan Akses Terhadap Moda”. Makalah
Pengantar Diskusi Rapat Kerja Community Development. Jakarta: UI. 2009.
Hamudy, Moh Ilham A. Pengentasan Rakyat Miskin dan Pembangunan
Manusia di Jawa Barat. Bandung: PPS FISIP UNPAD. 2008.
Hardojo, Antonio Pradjasto, dkk. Mendahulukan Si Miskin, Buku Sumber Bagi Anggaran Prorakyat. Yogyakarta:
Prakarsa dan LKIS. 2008.
Herdiana, Sony. ”Potret Kemiskinan Jawa Barat”. Pikiran
Rakyat. 16 Februari 2005.
Jarnasy, Owin. Keadilan, Pemberdayaan dan
Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta: Belantika. 2004.
Liputan 6 SCTV. Benang Kusut Kemiskinan Indonesia. 30 Oktober 2008.
Nasikun. Isu dan Kebijakan
Penanggulangan Kemiskinan. Diktat Kuliah Program
Magister Administrasi Publik, Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada Press. 2001.
Mas'oed, M. Politik, Birokrasi dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1997.
Maulana, Delly. “Strategi Merealisasikan Kekuatan Ekonomi Mikro
dalam Pengentasan Kemiskinan”. Suara Publik
Edisi 08 September
2008.
PAB-Indonesia. ”BBM Naik, Jumlah Penduduk Miskin dan Pengangguran
Melonjak”. Edisi Kamis, 29 Mei 2008.
Prihartini,
Diah Aryati. Perbandingan Total Kemiskinan Versi Pemerintah Indonesia Dan Bank Dunia
Dengan Peran Strategis Dari Usaha Mikro Untuk Pengentasan Kemiskinan. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas
Gunadarma. 2007.
Pulungan,
Thomas. ”Beri Kail, Jangan Ikannya!”, Koran Sindo. Senin 24 Maret 2008.
Sahdan, Gregorius. ”Menanggulangi Kemiskinan Desa”. Jurnal Ekonomi Nasional. Yogyakarta:
UGM, 2006.
Salim, E. Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan.
Jakarta: Idayu Bappenas dan UNDP Indonesia. 1980.
Suharto, Edi. “Konsep Kemiskinan dan Strategi Penanggulangannya”. Agenda Strategi DEPSOS RI 2005.
Sumner, William. What Social Classes Owe to Each
Other 1883.
1974.
Suparlan, Parsudi. Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1995.
Wanandi, Jusuf. Tantangan bagi Presiden Terpilih. Kompas Edisi 03 April 2009.
World Development Report (WDR). Attacking Poverty. September 2000.
[3] Thomas
Pulungan, “Beri Kail, Jangan Ikannya!” Sindo, 24 Maret
2008. Lihat pula Edi Suharto, Islam, Modal Sosial dan Pengentasan Kemiskinan, makalah pada
”Indonesia Social Economic Outlook”, Dompet Dhuafa, Jakarta 8 Januari 2008.
[4] Lihat PAB-Indonesia, “BBM Naik,
Jumlah Penduduk Miskin dan Pengangguran Melonjak,” Edisi Kamis, 29
Mei 2008.
[5] Rilis Tim Indonesia
Bangkit (TIB). “2007: Orang
Miskin Indonesia Makin Banyak.” Edisi 1 Juli 2007.
[6] Moh Ilham A Hamudy, Pengentasan Rakyat Miskin dan Pembangunan Manusia di
Jawa Barat, PPS FISIP UNPAD, Bandung, 2008.
[9] Andre Bayo Ala, Kemiskinan dan Strategi Memerangi
Kemiskinan, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1996.
[10] Nasikun, Isu dan
Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan, Diktat
Kuliah Program Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta, 2001.
[14] E. Salim,. Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan,
Idayu Bappenas, dan UNDP Indonesia, Jakarta, 1980.
[17] Diah
Aryati Prihartini, Perbandingan Total Kemiskinan Versi
Pemerintah Indonesia Dan Bank Dunia Dengan Peran Strategis Dari Usaha Mikro
Untuk Pengentasan Kemiskinan, Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma,
Jakarta, 2007, hal. 1-9.
[19] ACC/SCN, Nutrition
and Human Rights,
SCN News
10, United Nations
Administrative Committee on
Coordination-Subcommittee on Nutrition, Geneva, 1995, hal.9 -12.
[21] Gregorius Sahdan, ”Menanggulangi Kemiskinan Desa”, Jurnal Ekonomi Nasional, UGM, 2006, hal.
18. Lihat pula Hamonangan Ritonga, “Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan?” Kompas, 10 Februari
2004.
[25] Gianto, Pemberdayaan
Ekonomi Masyarakat Melalui Perluasan Akses Terhadap Modal. Makalah Pengantar
Diskusi Rapat Kerja Community Development, Universitas Indonesia, Jakarta, 2009.
[27] Edi Suharto, Konsep Kemiskinan dan Strategi Penanggulangannya, Agenda Strategi DEPSOS RI 2005.
Lihat juga Edi Suharto, Coping
Strategies dan Keberfungsian Sosial: Mengembangkan Pendekatan Pekerjaan Sosial
dalam Mengkaji dan Menangani Kemiskinan makalah dalam seminar
“Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial: Merancang-Kembangkan Program Pembangunan
Kesejahteraan Sosial yang Bernuansa Pekerjaan Sosial”. Institut Pertanian Bogor, Bogor 17 Desember 2002.
[28] Antonio Pradjasto Hardojo, dkk., Mendahulukan
Si Miskin, Buku Sumber Bagi Anggaran Prorakyat, Prakarsa dan LKiS, Yogyakarta, 2008.
[29] Delly
Maulana,
“Strategi Merealisasikan Kekuatan Ekonomi Mikro
dalam Pengentasan Kemiskinan” Suara
Publik, 08
September 2008.
[30] Pada awalnya
Indonesia memiliki 17.508 buah pulau,
namun sebanyak 24 pulau telah tenggelam akibat naiknya permukaan air laut
sebagai efek global warming dan pencurian pasir. Data ini berdasar Pidato
Menteri Kelautan RI, Freddy Numberi dalam Wisuda ke-50 di Universitas
Muhammadiyah Malang tanggal 29 November 2008.
[31] Rokhmin
Dahuri, Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2003.
[32] Jusuf Wanandi, “Tantangan Bagi Presiden Terpilih”, Kompas, 3 April 2009.
Catatan: "Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, kalau kaum tersebut tidak mau merubahnya sendiri"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar