Judul : Negara Paripurna ; Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila
Pengarang : Yudi Latif
Penerbit : Kompas Gramedia
Harga : Rp. 150.000,-
Tahun Terbit : 2011
Jumlah Halaman : 667 halaman
Kelahiran Pancasila 1 Juni 1945 tak perlu diperdebatkan lagi.
Bung Karno menyampaikan pidato bersejarah tanggal 1 Juni 1945 itu
benar-benar menjawab tantangan Dr. Radjiman Wediidiningrat tentang
perlunya suatu philoshopiche grondslag bagi negara Indonesia yang merdeka. Lantas seperti apa kisah ideologi negara ini?
SEJAK disahkan secara konstitusional pada 18 Agustus
1945, Pancasila dapat dikatakan sebagai dasar (falsafah) negara,
pandangan hidup, ideologi nasional, dan pemersatu dalam perikehidupan
kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Singkat kata, Pancasila adalah
dasar yang mempersatukan yang mengarahkan bangsa dalam mencapai
tujuannya.
Apa daya, beragam pemerintah yang telah maupun sedang berkuasa di
negeri ini tidak ada satu pun yang benar-benar mampu mewujudkan
sebagaimana diidealisasikan oleh nilai-nilai Pancasila. Entah karena
Pancasila sendiri yang teramat tinggi idealnya sehingga sulit dijangkau,
atau justru karena minimnya tingkat keseriusan para penguasa untuk
mengimplementasikan Pancasila itu sendiri.
Bahkan, semenjak bergulirnya reformasi 1998, citra Pancasila semakin
dilupakan seiring dengan lebarnya jurang pemisah antara nilai-nilai
ideal yang dikandungnya, dengan realitas sosial yang terjadi. Pancasila
semakin menanggung beban berat di punggungnya.
Kondisi demikian ternyata memunculkan kegelisahan yang mendalam
terhadap Yudi Latif, intelektual muda mantan Pembantu Rektor Universitas
Paramadina. Hingga lahirlah buku berjudul Negara Paripurna; Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila ini. Buku setebal enam ratus enam puluh tujuh halaman ini bak novel yang menceritakan kisah pancasila sebagai tokoh utama.
Dalam memulai buku ini, Yudi Latif menggunakan pengantar berbentuk
wacana terlebih dahulu. Mula-mula ia melukiskan geografis kepulauan
Nusantara dalam perkembangannya sejak puluhan ribu tahun sebelum masehi.
Hal ini ia dilakukan sepertinya untuk mendudukkan pikiran kita tentang
kisah awal Pancasila itu sendiri. Karena menurutnya terbentuknya
ideologi Pancasila hanya bisa dipahami dalam konteks masyarakat majemuk
dan multiagama.
Selanjutnya penulis mengisahkan perjalanan Pancasila dalam beberapa
fase. Secara historis, penggodokannya melintasi rangkaian panjang tiga
fase; pembuahan, perumusan dan pengesahan.
Fase pembuahan setidaknya dimulai pada 1920-an dalam bentuk
rintisan-rintisan gagasan untuk mencari sintesis antarideologi dan
gerakan, seiring dengan proses penemuan Indonesia sebagai kode
kebangsaan bersama (civic nationalism). Setiap fase, melibatkan
partisipasi berbagai unsur dan golongan, sehingga Pancasila benar-benar
dapat disebut sebagai karya bersama milik bangsa.
Fase perumusan dimulai pada masa persidangan pertama BPUPK dengan
pidato Soekarno (1 Juni) yang memunculkan istilah Pancasila. Disini
Pancasila digodok dengan membentuk Panitia Sembilan yang menyempurnakan
rumusan Pancasila dari pidato Soekarno dalam versi Piagam Jakarta. Dalam
fase ini, Pancasila mendapat banyak cobaan. Mulai dari perdebatan
tentang kata-kata di dalamnya maupun pro-kontra keputusannya.
Kisah selanjutnya dinamakan fase Pengesahan yang dimulai sejak 18
agustus 1945 yang mengikat secara konstitusional dalam kehidupan
bernegara. Sejak ini, Pancasila telah memiliki legitimasi yang lebih
kuat.
Kisah sang Pancasila tak selesai sampai di situ. Penulis
melanjutkannya dengan membahas poin per poin sila dan menghubungkannya
dengan kehidupan masyarakat di Indonesia. Setiap sila memiliki nilai
historisitas, rasionalitas dan aktualitasnya, yang jika dipahami,
dihayati, dipercayai, dan diamalkan secara konsisten dapat menopang
pencapaian-pencapaian agung peradaban bangsa.
Pemaparan Yudi mengenai sila per sila ini dikemas seperti novel yang
memiliki alur cerita. Sepertinya ia ingin membuat pembaca agar tidak
jenuh membaca tentang Pancasila. Rekonstruksi, catatan-catatan sidang
BPUPKI dan sidang lainnya membuat buku ini seperti novel yang valid.
Ada satu yang unik dari kisah Pancasila ini. Dalam paparannya Yudi
Latif mengganti kata-kata dalam Pancasila menjadi: Ketuhanan yang
berkebudayaan, Kemanusiaan Universal, Persatuan dalam Kebhinekaan,
Demokrasi Permusyawaratan, dan Keadilan Sosial. Penggantian kata itu
hanya sekedar memudahkan kita dalam memahami pancasila seperti apa
seharusnya dan bagaimana sebelumnya.
Di akhir halaman dengan bangga kita akan yakin bahwa Indonesia bukan
fotokopi dari negara manapun di dunia. Pancasila menjawab
semuanya. Pancasila memiliki kisah yang dapat membuat sebuah
negara paripurna. Walaupun baru tertulis dalam buku Negara Paripurna,
namun harapan Indonesia masih bisa terwujud untuk menjadi negara
paripurna dengan adanya Pancasila. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar