Anis Baswedan: Pemimpin Sekarang Lebih Suka Meratap
M Agus Fauzul Hakim | Tri Wahono |
Rabu, 22 Februari 2012 | 23:26 WIB
M. AGUS FAUZUL HAKIMAnies
Baswedan, saat memberikan paparan pada Halaqoh Majlis Syariah Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), di Kediri, Jawa Timur, Rabu (22/2/2012).
KEDIRI, KOMPAS.com —
Mental pemimpin negeri saat ini jauh dari optimisme, bahkan kepada
masyarakat cenderung memberi ratapan daripada harapan. Dibutuhkan figur
pemimpin yang mempunyai integritas dan mampu mengantisipasi perubahan
untuk membawa bangsa menuju kejayaan.
Hal tersebut disampaikan
oleh Anies Baswedan saat memberikan paparannya di hadapan para peserta
Halaqoh Nasional Ulama Partai Persatuan Pembangunan (PPP), di Hotel
Bukit Daun, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Rabu (22/2/2012) malam.
"Pemimpin
saat ini lebih banyak hadir di masyarakat dengan ratapan, bukan
harapan," kata Anis. Dalam kegiatan yang bertemakan "Menatap Tantangan,
Menimbang Kepemimpinan Nasional" ini, Anies mengingatkan pentingnya
mengembalikan rasa optimisme dan memberi pesan positif kepada bangsa
Indonesia.
Rektor Universitas Paramadina ini mencontohkan, para
pemimpin sebelum maupun pada awal kemerdekaan dihadapkan situasi bangsa
yang penuh dengan keterbelakangan, kemiskinan, maupun masalah keamanan.
Namun, dengan kondisi tersebut, para pemimpin itu dapat membawa
republik ini menuju perubahan.
Ia menggarisbawahi, para pemimpin
masa prakemerdekaan itu dapat keluar dari keterpurukan dengan hadir di
masyarakat dengan pandangan optimistis dan integritas yang tinggi.
Meskipun dalam situasi yang negatif, pesan-pesannya mampu didengar di
segala penjuru negeri dan mampu menggerakkan gelora rakyat untuk
berubah.
"Karena mereka tidak melihat republik sebagai mata
pencaharian, mereka tidak melihat posisinya di politik, pemerintahan,
sebagai kesempatan mengeruk kekuasaan, ekonomi. Tapi mereka melihatnya
sebagai kepentingan bangsa Indonesia," tandasnya.
Sebagai dampak
hilangnya optimisme itu, lanjut pencetus gerakan "Indonesia Mengajar"
ini, adalah ketertinggalan bangsa Indonesia dalam tataran dunia global.
Hal itu terjadi bukan hanya akibat tergerus arus globalisasi maupun
ketidakmampuan, melainkan kegagalan dalam mengantisipasi perubahan yang
akan datang.
"Saat ini, kalau kita melihat perspektif ke depan,
mengantisipasi yang akan datang, kita seharusnya menjadi bangsa yang
besar," ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar