Struktur Sosial serta Berbagai Faktor Penyebab Konflik dan Mobilitas Sosial
A. Pengertian Struktur Sosial
Struktur sosial merupakan susunan atau konfigurasi dari unsur-unsur
sosial yang pokok dalam masyarakat, yaitu kelompok, kelas sosial,
nilai dan norma sosial, dan lembaga sosial.
Struktur sosial merupakan ruang abstrak dalam masyarakat, sebagaimana
ruang geografi yang kita kenal dan lebih konkrit. Kalau dalam ruang
geografi kita dapat mempunyai alamat geografik (titik posisi atau lokasi
kita berada), misalnya SMA Negeri 3 Yogyakarta berlokasi di Jalan Yos
Sudarso 7, Kaluarhan Kota Baru, Kecamatan Gondokusuman, Kota
Yogyakarta, maka demikian jugalah di ruang sosial, maka di ruang sosial
atau struktur sosial, kita pun punya alamat sosial. Di manakan posisi
SMA Negeri 3 Yogyakarta di ruang sosial? Tergantung pada parameter apa
yang kita gunakan, apakah nilai dan norma, kelompok, status atau kelas
sosial, atau kah lembaga sosial.
Perhatikan bagan berikut!
Apabila unsur nilai dan norma kita gunakan untuk mengetahui posisi
atau alamat sosial kita, maka apakah kita termasuk orang kebanyakan
(normal), orang yang dijadikan panutan (super ordinat), ataukah orang
menyimpang (deviant). Apabila menggunakan status atau kelas, maka apakah
kita berada pada kelas atas, menengah atau bawah. Di lembaga manakah
kita beraktivitas? Pendidikan, keluarga, politik, ekonomi, hokum,
ataukah agama.
Struktur sosial dan peluang hidup (life chance)
Struktur sosial identik dengan struktur peluang hidup (life chance), semakin tinggi posisi dalam struktur sosial, semakin baik peluang hidupnya.
Struktur sosial dan fakta sosial
Struktur sosial merupakan fakta sosial, yaitu cara bertindak,
berfikir, dan berperasaan yang berada diluar individu tetapi mengikat.
Sehingga, kelas sosial tertentu identik dengan cara hidup tertentu.
Kelas sosial bukanlah sekedar kumpulan dari orang-orang yang pendidikan
atau penghasilannya relative sama, tetapi lebih merupakan kumpulan
orang-orang yang memiliki cara atau gaya hidup yang relative sama.
Jawablah:
(1) mengapa musik dangdut sering diidentikan dengan musiknya kelas
bawah, sementara music klasik atau jazz diidentikkan dengan kelas atas?
(2) mengapa orang-orang kelas atas diidentikkan dengan orang-orang berdasi dan bersepatu?
(3) Mengapa kelas sosial tertentu juga identik dengan merk mobil,
merk sepatu, merek parfum, merek baju tertentu, juga aktivitas mengisi
waktu luang dan olahraga tertentu?
Paramater struktur sosial.
Terdapat dua macam parameter yang dapat digunaan untuk menganalisis struktur sosial, yaitu
(1) Parameter Graduated/berjenjang, meliputi antara lain: kekuasaan,
keturunan/kasta, tingkat pendidikan, kekayaan, usia, dst., dan
(2) paramater Nominal/tidak berjenjang, meliputi antara lain:
sukubangsa, ras, golongan/kelompok, jenis kelamin, agama, dan
seterusnya.
Konfigurasi atau pemilahan struktur sosial berdasarkan
parameter-parameter graduated disebut stratifikasi sosial (diferensiasi
rank/tingkatan).
Sedangkan, konfigurasi atau pemilahan struktur sosial berdasarkan
parameter nominal disebut diferensiasi sosial (diferensiasi fungsi, dan
custom/adat).
Status, kedudukan, atau posisi individu atau kelompok dalam struktur
sosial tidak bersifat statis atau tetap, melainkan dapat mengalami
perubahan atau perpindahan. Perpindahan posisi dalam struktur sosial
yang dialami oleh individu ataupun kelompok dalam struktur sosial
disebut mobilitas sosial.
B. Diferensiasi Sosial
Diferensiasi sosial merupakan pemilahan atau konfigurasi struktur
sosial berdasarkan parameter-parameter yang sifatnya nominal atau tidak
berjenjang. Hasilnya dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok atau
golongan sosial.
1. Diferensiasi sosial berdasarkan ras.
Ras merupakan penggolongan manusia berdasarkan ciri-ciri fisik-biologis manusia dengan kecenderungan yang besar.
Ciri fisik :
Fenotipe (tampak luar):
1) Kualitatif: warna kulit, warna dan bentuk rambut, warna dan bentuk mata
2) Kuantitatif: tinggi dan berat badan, ukuran kepala, ukuran hidung, dll.
Genotype (tidak tampak luar): golongan darah
Manusia dari seluruh dunia dapat diklasifikasikan ke dalam tiga ras utama, yaitu kaukasoid, mongoloid, dan negroid.
Dalam prakteknya terdapat kesulitan penggolongan ras, antara lain
karena: (1) ciri fisik yang tumpang tindih, dan (2) terjadinya
perkawinan campuran (amalgamasi).
2. Diferensiasi sosial berdasarkan sukubangsa/etnis
Sukubangsa adalah golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan
identitas akan kesatuan kebudayaan, yang sering dikuatkan dengan
kesatuan bahasa.
Sukubangsa sering disamakan dengan kelompok etnik (ethnic Group).
Namun, kelompok etnik tidak selalu berarti sukubangsa. Misalnya kelompok
etnik Tionghoa.
Disebut kelompok etnik apabila secara sosial telah mengembangkan SUBKULTUR-nya sendiri.
Lima cirri pengelompokan sukubangsa:
- Bahasa/dialek yang memelihara keakraban dan kebersamaan di antara warga sukubangsa
- Pola-pola sosial-kebudayaan (adat istiadat, cita-cita dan ideologi)
- Ikatan sebagai satu kelompok
- Kecenderungan menggolongkan diri ke dalam kelompok asli
- Perasaan keterikatan kelompok karena kekerabatan/genealogis dan kesadaran teritorial di antara warga sukubangsa
Untuk kepentingan administrasi dan politik, di masa orde baru dibedakan antara
(1) masyarakat sukubangsa,
(2) masyarakat terasing, dan
(3) keturunan asing.
Masyarakat sukubangsa adalah kelompok etnis yang asalnya dari dalam
wilayah Indonesia, dan mampu berinteraksi dan komunikasi dengan dunia
luarnya, masyarakat terasing adalah kelompok etnis yang asalnya dari
dalam wilayah Indonesia, tetapi terisolasi atau mengalami keterbatasan
hubungan dengan dunia luarnya, sedangkan keturunan asing memiliki daerah
asal di luar wilayah Indonesia. Ada tiga keturunan asing yang menonjol,
yaitu China, India dan Arab,
3. Diferensiasi sosial berdasarkan agama
Agama merupakan sistem terpadu terdiri atas keyakinan dan praktek, berhubungan dengan sesuatu yang dianggap sacred
(suci/sakral) menyatukan pengikutnya ke dalam suatu komunitas moral
yang disebut umat. Sesuatu yang sakral disebut TUHAN (God, Allah, Elia,
Devon, Deva, Devi, dst.)
Diferensisasi agama merupakan diferensiasi customs.
Karena letak Indonesia di posisi silang, dalam masyarakatnya terdapat
penganut dari lima agama besar dunia, Islam, Kristen, Katholik, Hindu,
dan Budha.
4. Diferensiasi sosial berdasarkan profesi
Profesi merupakan pekerjaan yang untuk dapat melaksanakannya
memerlukan keahlian. Misalnya: dosen, guru, dokter, jurnalis, artis,
penyiar radio, penyiar televisi, ahli komputer, designer, politikus,
perawat, birokrat, militer, pengusaha, pedagang, dan sebagainya.
Dirensiasi profesi merupakan diferensiasi fungsi.
5. Diferensiasi sosial berdasarkan jenis kelamin
Jenis kelamin merupakan pembedaan antara laki-laki dengan perempuan
berdasarkan ciri fisik biologis yang tidak dapat dipertukarkan.
Gender merupakan pembedaan antara laki-laki dengan perempuan
berdasarkan ciri-ciri sosial dan budaya yang sebenarnya dapat
dipertukarkan, karena diperoleh melalui proses belajar. Misalnya
perempuan bekerja di dalam rumah, dan laki-laki bekerja di luar rumah.
Maka, jenis kelamin (seks) merupakan pembedaan berdasarkan konstruksi
biologis, sedangkan gender berdasarkan konstruksi sosial dan budaya,
yang sering dikuatkan oleh ajaran agama.
C. Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial merupakan konfigurasi atau pemilahan struktur
sosial menggunakan parameter graduated/berjenjang. Hasilnya adalah dalam
masyarakat terdapat kelas-kelas sosial.
Kriteria yang digunakan dapat berupa kriteria (1) sosial, (2)
ekonomi, dan (3) politik. Kriteria sosial meliputi: pendidikan, profesi
atau pekerjaan, dan keturunan atau keanggotaan dalam kasta dan
kebangsawanan. Kriteria ekonomi meliputi pendapatan/penghasilan dan
pemilikan/kekayaan. Kriteria politik meliputi kekuasaan.
Stratifikasi sosial berdasarkan kriteria sosial
Menurut Weber, para anggota masyarakat dapat dipilah secara vertikal
berdasarkan atas ukuran-ukuran kehormatan, sehingga ada orang-orang
yang dihormati dan disegani dan orang-orang yang dianggap biasa-biasa
saja, atau orang kebanyakan, atau bahkan orang-orang yang dianggap hina.
Orang-orang yang dihormati atau disegani pada umumnya adalah mereka
yang memiliki jabatan atau profesi tertentu, keturunan bangsawan atau
orang-orang terhormat, atau berpendidikan tinggi.
Ukuran-ukuran penempatan anggota masyarakat dalam stratifikasi sosial
yang dapat dikategorikan sebagai kriteria sosial antara lain, (1)
profesi, (2) pekerjaan, (3) tingkat pendidikan, (4) keturunan, dan (5)
kasta.
1. Profesi
Yang dimaksud profesi adalah pekerjaan-pekerjaan yang untuk dapat
melaksanakannya memerlukan keahlian, misalnya dokter, guru, wartawan,
seniman, pengacara, jaksa, hakim, dan sebagainya. Orang-orang yang
menyandang profesi-profesi tersebut disebut kelas profesional.
Di samping kelas profesional, dalam masyarakat terdapat juga
kelas-kelas tenaga terampil dan tidak terampil, yang pada umumnya
ditempatkan pada posisi yang lebih rendah dalam stratifikasi sosial
masyarakat.
2. Pekerjaan.
Berdasarkan tingkat prestise atau gengsinya, pekerjaan-pekerjaan
dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi: (1) pekerjaan kerah putih
(white collar), dan (2) pekerjaan kerah biru (blue collar). Pekerjaan
kerah putih merupakan pekerjaan-pekerjaan yang lebih menuntut penggunaan
pikiran atau daya intelektual, sedangkan pekerjaan-pekerjaan kerah biru
lebih menuntut penggunaan energi atau kekuatan fisik. Pada umumnya
anggota masyarakat lebih memberikan penghargaan atau gengsi yang lebih
tinggi pada pekerjaan-pekerjaan kerah putih. Walaupun, tidak selalu
bahwa pekerjaan kerah putih memberikan dampak ekonomi atau finansial
yang lebih besar daripada pekerjaan kerah biru.
3. Pendidikan
Pada zaman sekarang ini pendidikan sudah dianggap sebagai kebutuhan
yang harus dipenuhi oleh sebagian besar anggota masyarakat. Orang-orang
yang berpendidikan tinggi akan menempati posisi dalam stratifikasi
sosial yang lebih tinggi. Sehingga tamatan S-3 dipandang lebih tinggi
kedudukannya daripada tamatan S2, S1, SMA/SMK, SMP, SD, dan mereka yang
tidak pernah sekolah.
4. Keturunan
Keturunan raja atau bangsawan dalam masyarakat dipandang memiliki
kedudukan yang tinggi. Bahkan, pada masyarakat feodal, hampir tidak ada
pengakuan terhadap simbol-simbol yang berasal dari luar istana, termasuk
tata kota, arsitektur, pemilihan hari-hari penting, pakaian, seni, dan
sebagainya. Penempatan orang dalam posisi-posisi penting dalam
masyarakat akan selalu mempertimbangkan faktor keturunan, dan keaslian
keturunan dipandang sangat penting.
5. Kasta
Kasta merupakan pemilahan anggota masyarakat yang dikenal pada
masyarakat Hinduisme. Masyarakat dipilah menjadi kasta-kasta, seperti:
Brahmana, Ksatria, Weisyia, dan Sudra. Kemudian ada orang-orang yang
karena tindakannya dihukum dikeluarkan dari kasta, digolongkan menjadi
paria.
Sebagian besar orang menganggap pemilahan dalam kasta bersifat
graduated atau berjenjang, mengingat orang-orang yang berasal dari kasta
yang berbeda akan memiliki gengsi (prestige) dan hak-hak istimewa
(privelege) yang berbeda. Namun, tokoh-tokoh Hinduisme menyatakan bahwa
kasta bukanlah pemilahan vertikal, melainkan hanyalah merupakan catur
warna.
Stratifikasi sosial berdasarkan kriteria ekonomi
Kriteria ekonomi yang digunakan sebagai dasar stratifikasi sosial dapat meliputi penghasilan dan pemilikan atau kekayaan.
Apabila dipilah menggunakan kriteria ekonomi, maka masyarakat akan terdiri atas
- Kelas atas, yaitu orang-orang yang karena penghasilan atau kekayaannya dengan leluasa dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya
- Kelas menengah, yaitu orang-orang yang karena penghasilan dan kekayaannya dapat leluasa memenuhi kebutuhan hidup mendasarnya, tetapi tidak leluasa untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya
- Kelas bawah, yaitu orang-orang yang dengan sumberdaya ekonominya hanya dapat memenuhi kebutuhan hidup mendasarnyanya, tetapi tidak leluasa, atau bahkan tidak mampu untuk itu.
Stratifikasi sosial berdasarkan kriteria politik
Ukuran yang digunakan untuk memilah masyarakat atas dasar dimensi
atau kriteria politik adalah distribusi kekuasaan. Kekuasaan (power)
berbeda dengan kewenangan (otoritas). Seseorang yang berkuasa tidak
selalu memiliki kewenangan.
Yang dimaksud kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi
individu-individu lain dalam masyarakat, termasuk mempengaruhi pembuatan
keputusan kolektif. Sedangkan wewenang adalah hak untuk berkuasa. Apa
yang terjadi apabila orang mempunyai wewenang tetapi tidak memiliki
kekuasaan? Mana yang lebih efektif, orang mempunyai kekuasaan saja, atau
wewenang saja?
Meskipun seseorang memiliki hak untuk berkuasa, artinya ia memiliki
wewenang, tetapi kalau dalam dirinya tidak memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi pihak lain, maka ia tidak akan dapat melaksanakan hak itu
dengan baik. Sebaliknya, apabila seseorang memiliki kemampuan
mempengaruhi pihak lain, meskipun ia tidak punya wewenang untuk itu,
pengaruh itu dapat berjalan secara efektif. Untuk lebih memahami hal
ini, dapat diperhatikan pengaruh tokoh masyarakat, seperti seorang tokoh
agama atau orang yang dituakan dalam masyarakat.
Sudah beradab-abad menjadi pemikiran dalam dalil politik, bahwa
kekuasaan dalam masyarakat selalu terdistribusikan tidak merata. Gaetano
Mosca (1939) menyatakan bahwa dalam setiap masyarakat selalu terdapat
dua kelas penduduk: satu kelas yang menguasai dan satu kelas yang
dikuasai. Kelas pertama yang jumlahnya lebih kecil, menjalankan semua
fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan yang
diberikan oleh kekuasaan itu, sedangkan kelas kedua, yang jumlahnya
lebih besar, diatur dan dikendalikan oleh kelas pertama itu.
Vilfredo Pareto, Gaetano Mosca, dan Robert Michels memberikan
pengertian bahwa beberapa asas umum yang menjadi dasar bagi terbentuknya
stratifikasi sosial, khususnya yang berkaitan dengan kekuasaan politik,
adalah:
1. Kekuasaan politik tidak dapat didistribusikan secara merata
2. Orang-orang dikategorikan ke dalam dua kelompok: yang memegang kekuasaan dan yang tidak memilikinya
3. Secara internal, elite itu bersifat homogen, bersatu, dan memiliki kesadaran kelompok
4. Keanggotaan dalam elite berasal dari lapisan yang sangat terbatas
5.Kelompok elite pada hakikatnya bersifat otonom, kebal akan gugatan
dari siapa pun di luar kelompoknya mengenai keputusan-keputusan yang
dibuatnya
Di dalam masyatakat yang demokratis, pembagian dikotomis antara yang
berkuasa dan tidak berkuasa tidak sesederhana yang dikemukakan Mosca dan
kawan-kawannya. Biarpun kelas berkuasa jumlah orangnya selalu lebih
sedikit, tetapi pada umumnya distribusi kekuasaan lebih terfragmentasi
ke berbagai kelompok-kelompok. Dalam masyarakat yang demokratis,
kelompok elite tidak memiliki otonomi sebagaimana pada masyarakat
diktator. Kekuasaan elite dalam masyarakat demokratis selalu dapat
dikontrol oleh kelompok-kelompok yang ada di luar kelompok elite, dan
jumlahnya lebih dari satu.
Dominasi
Dominasi merupakan kekuasaan yang nyaris tidak dapat ditolak oleh siapapun. Kekuasaan yang sifatnya hampir multlak.
Kekuasaan dalam masyarakat berdasarkan sumbernya dapat dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu: (1) kekuasaan tradisional, (2) kekuasaan
kharismatik, dan (3) kekuasaan legal-rasional.
Kekuasasan tradisional adalah kekuasaan yang sumbernya berasal dari
tradisi masyarakat, misalnya raja. Kekuasaan kharismatik bersumber dari
kewibawaan atau kualitas diri seseorang, dan kekuasaan legal rasional
bersumber dari adanya wewenang yang didasarkan pada pembagian kekuasaan
dalam birokrasi, misalnya pemerintahan.
Mengapa dominasi?
Dominasi dapat terjadi karena unsur-unsur kekuasaan seperti
kharisma, tradisi dan legal rasional dimiliki oleh seseorang. Dalam
batas-batas tertentu, Sultan Yogyakarta memiliki ketiga unsur kekuasaan
tersebut.
Status sosial
Unsur penting dalam stratifikasi sosial adalah status. Apakah status?
Status adalah Posisi atau kedudukan atau tempat seseorang atau kelompok
dalam struktur sosial masyarakat atau pola hubungan sosial tertentu.
Status seseorang dapat diperoleh sejak kelahirannya (ascribed status), diberikan karena jasa-jasanya (assigned status), atau karena prestasi dan perjuangannya (achived status).
Masyarakat modern lebih menghargai status-status yang diperoleh melalui
prestasi atau perjuangan, masyarakat feudal lebih menghargai status
yang diperoleh sejak lahir.
Apakah kelas sosial?
- Segolongan orang yang menyandang status relatif sama
- Memiliki cara hidup tertentu
- Sadar akan privelege (hak istimewa) tertentu, dan
- memiliki prestige (gengsi kemasyarakatan) tertentu
Apakah simbol status?
- Simbol “sesuatu” yang oleh penggunanya diberi makna tertentu
- Ciri-ciri/tanda-tanda yang melekat pada diri seseorang atau kelompok yang secara relatif dapat menunjukkan statusnya
- Antara lain: cara berpakaian,cara berbicara, cara belanja, desain rumah, cara mengisi waktu luang, keikutsertaan dalam organisasi, tempat tinggal,cara berbicara, perlengkapan hidup, akses informasi, dst.
Konsekuensi perbedaan status dalam pelapisan sosial masyarakat?
- Cara hidup (cara berfikir, berperasaan dan bertindak) yang berbeda: sikap politik, kepedulian sosial, keterlibatan dalam kelompok sosial, dst.). Ingat: PS = f(S + K), bahwa perilaku sosial pada dasarnya merupakan fungsi dari struktur sosial dan kebudayaan. Jawablah: mengapa seorang individu menyebut orangtuanya sebagai mama dan papa, bukan ayah dan ibu, bukan bapak dan ibu, atau bapak dan simbok?
- Prestige (gengsi/kehormatan sosial) yang berbeda
- Privilege (hak istimewa) yang berbeda
- PELUANG HIDUP YANG BERBEDA
D. Konflik Sosial
Konflik sosial merupakan salah satu konsekuensi dari adanya
perbedaan-perbedaan dalam masyarakat, misalnya peluang hidup, gengsi,
hak istimewa, dan gaya hidup.
Sumber konflik:
- Perbedaan kepentingan
- Perbedaan individual
- Perbedaan kebudayaan
- Perubahan sosial
Macam-macam konflik
- Individu atau kelompok (berdasarkan pelakunya perorangan atau kelompok)
- Horizontal atau vertical (berdasarkan status pihak-pihak yang terlibat, sejajar atau bertingkat)
Konflik horizontal = antar-etnis, antar-agama, antar-aliran, dll.
Konflik vertical = antara buruh dengan majikan, pemberontakan atau gerakan separatis/makar terhadap kekuasaan negara
- Ideologis atau politis (berdasarkan tingkat konflik, apabila sebatas pemikiran/ideologi, disebut konflik tingkat ideologis (misalnya pertentangan ideology antara santri denan abangan dan priyayi), apabila sampai muncul di tingkat tindakan disebut tingkat politis (misalnya: riot/kerusuhan, demonstrasi, pemberontakan, makar, dan sebagainya)
- Konflik terbuka, konflik laten dan konflik permukaan
Penjelasan:
- TANPA KONFLIK: dalam kesan umum adalah lebih baik, namun setiap masyarakat atau kelompok yang hidup damai, jika ingin keadaan ini terus berlangsung, mereka harus hidup bersemangat dan dinamis. Memanfaatkan konflik perilaku dan tujuan, serta mengelola konflik secara kreatif.
- KONFLIK LATEN: sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan agar dapat ditangani secara effektif
- KONFLIK TERBUKA: berakar dalam, dan sangat nyata. à memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya.
- KONFLIK DI PERMUKAAN: memiliki akar yang dangkal/tidak memiliki akar, muncul hanya karena kesalah fahaman mengenai sasaran yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi
E. Mobilitas Sosial
Pengertian Mobilitas Sosial
Istilah mobilitas (Ing: mobility) berasal darai kata mobilis (Latin) yang artinya bergerak atau berpindah. Meskipun demikian mobilitas sosial tidak sama dengan gerakan sosial.
Yang dimaksud gerakan sosial (social movement) suatu kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelas atau golongan sosial untuk memperoleh tujuan-tujuan yang diinginkan.
Mobilitas sosial merupakan perubahan posisi atau kedudukan orang atau kelompok orang dalam struktur sosial,
misalnya dari satu lapisan ke lapisan lain yang lebih atas ataupun
lebih bawah, atau dari satu kelompok/golongan ke kelompok/golongan lain.
Struktur sosial
Sebagaimana disebut di bagian awal ringkasan materi ini, struktur
sosial merupakan salah satu konsep paling esensial dalam sosiologi.
Struktur sosial berkaitan dengan posisi-posisi individu atau kelompok
dalam masyarakat. Kalau dalam ruang geografi seseorang atau sekelompok
orang memiliki lokasi/tempat tinggal atau dalam bahasa yang lebih
populer ”alamat”, maka dalam ruang sosial seseorang juga memiliki
”lokasi”, ”tempat”, atau ”alamat”. Anda dan keluarga Anda memiliki
posisi tertentu dalam struktur sosial, posisi itu sering disebut sebagai
status atau kedudukan sosial. SMA di mana Anda sekarang ini bersekolah
juga memiliki posisi tertentu dalam struktur sosial masyarakat.
Bagaimana mengetahui posisi kita? Sama dengan ruang geografik, ruang
sosial juga memiliki dimensi horizontal dan vertikal. Di ruang
geografik seseorang memiliki alamat ”Jl. Sultan Agung Nomor 8 Lantai 7”,
maka di ruang sosial seseorang dapat memiliki alamat ”orang tua atau
muda, beragama Islam, Kristen-Protestan, Kristen-Katholik, Hindu, atau
Budha, bekerja sebagai petani, pedagang, pegawai pemerintah, pegawai
swasta, atau bekerja di sektor nonformal perkotaan, miskin, setengah
kaya, atau kaya raya, berbudi bekerti luhur dan berhati mulia atau
dikenal sebagai penjahat, pengikut setia Bung Karno, Bung Hatta, Gus
Dur, Amien Rais, atau yang lain, dan seterusnya.
Dalam ruang imaginer ”struktur sosial”, setiap orang punya tempat
tinggal, dan sama dengan di ruang geografi, tempat tinggal itu dapat
berubah-ubah. Orang dan sekelompok orang dapat bermigrasi dalam ruang
geografi, dari Jawa ke Sumatra, atau sebaliknya. Maka, dalam ruang
sosial, orang atau sekelompok orang dapat mengalami ”mobilitas sosial”,
dari orang kaya menjadi orang miskin, atau sebaliknya, dari orang miskin
menjadi orang kaya. Dari pemimpin menjadi orang biasa. Dari orang baik
menjadi orang jahat, atau sebaliknya dari orang jahat menjadi orang
baik.
Macam-macam Mobilitas sosial
Di samping manusia hidup dan bergerak
dalam sebuah ruang geografik, manusia juga hidup dalam sebuah ruang yang
unik, yaitu struktur sosial yang di dalamnya terdapat
pemilahan-pemilahan vertikal maupun horizontal. Sehingga, di samping
manusia dapat berpindah dari satu ruang geografik (wilayah) ke ruang
geografik yang lain, dalam sebuah ruang sosial yang unik tadi, manusia
juga dapat berpindah dari satu strata atau kelas sosial ke strata atau
kelas sosial yang lain, ataupun dari satu golongan ke golongan yang
lain.
Mobilitas dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni:
- Mobilitas geografik, yakni perpindahan orang dari satu tempat/daerah ke tempat/daerah yang lain
- Mobilitas sosial, yakni perpindahan posisi dari suatu kelas sosial atau kelompok sosial ke kelas sosial atau kelompok sosial yang lain.
Berdasarkan arah perpindahan, mobilitas sosial dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
- Mobilitas sosial horizontal, yakni perpindahan posisi individu atau kelompok individu dari satu kelompok atau golongan sosial ke kelompok atau golongan sosial lain yang sederajat
- Mobilitas sosial vertikal, yaitu perpindahan posisi atau kedudukan individu atau kelompok individu dari satu strata sosial ke strata sosial lain, baik yang lebih tinggi maupun yang lebih rendah.
Mobilitas sosial vertikal dapat dibedakan menjadi:
1. Mobilitas sosial vertikal naik (social climbing), dapat berupa:
- masuknya individu dari kedudukan rendah ke kedudukan tinggi
- pembentukan kelompok baru yang derajatnya lebih tinggi
2. Mobilitas sosial vertikal turun (social sinking), dapat berupa:
- turunnya individu dari kedudukan yang lebih tinggi ke kedudukan yang lebih rendah
- turunnya derajat sekelompok individu karena disintegrasi kelompok (sering disebut sebagai dislokasi sosial)
3. Mobilitas sosial antar-generasi, yang dimaksud adalah mobilitas yang terjadi pada generasi yang berbeda, misalnya:
- orang tua berkedudukan sebagai petani atau buruh, anak-anaknya menjadi pengajar di perguruan tinggi atau majikan. Contoh mobilitas dalam bentuknya yang demikian banyak terjadi di daerah-daerah yang mengalami industrialisasi. Banyak orang yang akhirnya meninggalkan pekerjaan sebagai petani atau pekerjaan agraris yang lain sebagaimana yang ditekuni oleh para orangtua mereka karena tertarik untuk bekerja di pabrik-pabrik/industri.
- Atau sebaliknya, orang tuanya sebagai majikan atau pejabat negara, sedangkan anak-anaknya menjadi buruh atau pegawai biasa di instansi pemerintah.
Di samping dua macam mobilitas di atas,
sering pula dijumpai istilah mobilitas mental, yang artinya perubahan
sikap dan perilaku individu atau sekelompok individu karena didorong
oleh rasa ingin tahu, tuntutan penyesuaian diri, hasrat meraih prestasi,
dan sebagainya. Sedangkan faktor penghambatnya dapat berupa sikap malas
dan kepasrahan terhadap nasib maupun isolasi sosial.
Faktor-faktor yang mendorong dan menghambat mobilitas social
Menurut berbagai pengamatan terdapat beberapa faktor yang mendorong terjadinya mobilitas sosial, antara lain:
- Status sosial
Ketidakpuasan seseorang atas status yang diwariskan oleh orangtuanya,
karena orang pada dasarnya tidak dapat memilih oleh siapa ia
dilahirkan, dapat menjadi dorongan untuk berupaya keras memperoleh
status atau kedudukan yang lebih baik dari status atau kedudukan
orangtuanya.
- Keadaan ekonomi
Keadaan ekonomi yang tidak menguntungkan, misalnya yang dialami oleh
masyarakat di daerah minus, mendorong mereka untuk berurbanisasi ke
kota-kota besar dengan harapan memperoleh kehidupan ekonomi yang lebih
baik.
- Situasi politik
Situasi politik yang tidak menentu, biasanya juga berakibat pada
jaminan keamanan yang juga tidak menentu, dapat mendorong orang untuk
meninggalkan tempat itu menuju ke tempat lain.
- Motif-motif keagamaan
Mobilitas sosial yang didorong oleh motif keagamaan tampak pada
peristiwa orang berhaji. Orang yang melakukan ibadah haji lazim disebut
naik haji. Istilah “naik” jelas menunjuk adanya peristiwa mobilitas
sosial, bahwa status orang tersebut akan menjadi berbeda antara sebelum
dan sesudah menjalankan ibadah haji. Demikian juga fenomena-fenomena
dalam kehidupan agama yang lain, misalnya yang dilakukan oleh kaum
misionaris atau zending.
- Faktor kependudukan/demografi
Bertambahnya jumlah dan kepadatan penduduk yang berimplikasi pada
sempitnya permukiman, kualitas lingkungan yang buruk, kesempatan kerja
yang menyempit, kemiskinan, dan sebagainya, dapat mendorong orang untuk
melakukan migrasi ke tempat lain.
- Keinginan melihat daerah lain
Hal ini tampak pada fenomena tourisme, orang mengunjungi daerah atau
tempat tertentu dengan tujuan sekedar melihat sehingga menambah
pengalaman atau bersifat rekreasional.
Di samping faktor-faktor yang mendorong ada pula faktor-faktor yang menghambat mobilitas sosial, misalnya:
- Perangkap kemiskinan
- Diskriminasi gender, ras, agama, kelas sosial
- Subkultur kelas sosial, misalnya apa yang oleh Oscar Lewis disebut sebagai the culture of poverty, ataupun rendahnya hasrat meraih prestasi, yang oleh David McClelland disebut sebagai need for achievement (n-Ach).
Prinsip-prinsip Mobilitas Sosial
- Hampir tidak terdapat masyarakat yang sistem pelapisan sosialnya secara mutlak tertutup, sehingga mobilitas sosial – meskipun terbatas – tetap akan dijumpai pada setiap masyarakat
- Sekalipun suatu masyarakat menganut sistem pelapisan sosial yang terbuka, namun mobilitas sosial tidak dapat dilakukan sebebas-bebasnya
- Tidak ada mobilitas sosial yang umum berlaku bagi semua masyarakat; artinya setiap masyarakat memiliki karakteristiknya sendiri dalam hubungannya dengan mobilitas sosial
- Laju mobilitas sosial yang disebabkan faktor-faktor ekonomi, politik maupun pekerjaan tidaklah sama
- Tidak ada kecenderungan yang kontinyu mengenai bertambah atau berkurangnya laju mobilitas sosial
Saluran-saluran Mobilitas Sosial
Pitirim A. Sorokin menyatakan bahwa mobilitas sosial vertikal mempunyai saluran-saluran yang disebut social circulation sebagai berikut:
- Angkatan bersenjata (tentara); terutama dalam masyarakat yang dikuasai oleh sebuah rezim militer atau dalam keadaan perang
- Lembaga keagamaan. Contohnya tokoh organisasi massa keagamaan yang karena reputasinya kemudian menjadi tokoh atau pemimpin di tingkat nasional
- Lembaga pendidikan; sekolah sering merupakan saluran yang paling konkrit untuk mobilitas sosial, sehingga disebut sosial elevator yang utama. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang berhasil diraih seseorang semakin terbuka peluangnya untuk menempati posisi atau kedudukan tinggi dalam struktur sosial masyarakatnya.
- Organisasi politik, ekonomi dan keahlian (profesi); seorang tokoh organisasi politik yang pandai beragitasi, berorganisasi, memiliki kepribadian yang menarik, penyalur aspirasi yang baik, akan lebih terbuka peluangnya memperoleh posisi yang tinggi dalam masyarakat.
- Perkawinan; melalui perkawinan seorang rakyat jelata dapat masuk menjadi anggota kelas bangsawan. Status sosial seseorang yang bersuami/beristerikan orang ternama atau menempati posisi tinggi dalam struktur sosial ikut pula memperoleh penghargaan-penghargaan yang tinggi dari masyarakat.
Konsekuensi Mobilitas Sosial
Terjadinya mobilitas sosial di dalam
masyarakat menimbulkan berbagai konsekuensi, baik positif maupun
negatif. Apakah konsekuensi tersebut positif atau negatif ditentukan
oleh kemampuan individu atau kelompok individu menyesuaikan dirinya
terhadap “situasi” baru: kelompok baru, orang baru, cara hidup baru.
Apabila individu atau kelompok individu
yang mengalami mobilitas sosial mampu menyesuaikan dirinya dengan
situasi yang baru maka akan memperoleh hal-hsl posiitif sebagai
konsekuensi mobilitas sosial, antara lain:
- mengalami kepuasan, kebahagiaan dan kebanggaan.
- Peluang mobilitas sosial juga berarti kesempatan bagi individu atau kelompok individu untuk lebih maju.
- Kesempatan mobilitas sosial yang luas akan mendorong orang-orang untuk mau bekerja keras, mengejar prestasi dan kemajuan sehingga dapat meraih kedudukan yang dicita-citakan.
Apabila individu atau kelompok individu
tidak mampu menyesuaikan dirinya dengan situasi baru, maka akan terjadi
konsekuensi-konsekuensi sebagai berikut:
- Konflik antar-kelas
Konflik ini terjadi karena benturan
kepentingan antar-kelas sosial. Misalnya konflik antara majikan dengan
buruh yang menghendaki kenaikan upah.
- Konflik antar-kelompok
Konflik antar-kelompok (konflik
horizontal) bisa melibatkan ras, etnisitas, agama atau aliran/golongan.
Konflik jenis ini dapat terjadi karena perebutan peluang mobiitas
sosial, misalnya kesempatan memperoleh sumber-sumber ekonomi, rekrutmen
anggota, peluang memperoleh kekuasasan politik atau pengakuan
masyarakat.
- Konflik antar-individu
Konflik antar-individu dapat terjadi
misalnya karena masuknya individu ke dalam kelompok tidak diterima oleh
anggota kelompok yang lain. Misalnya lingkungan organisasi atau
seseorang tidak dapat menerima kehadiran seseorang yang dipromosikan
menduduki suatu jabatan tertentu.
- Konflik antar-generasi
Konflik ini terjadi dalam hubungannya
mobilitas antar-generasi. Fenomena yang sering terjadi adalah ketika
anak-anak berhasil meraih posisi yang tinggi, jauh lebih tinggi dari
posisi sosial orang tuanya, timbul ethnosentrisme generasi.
Masing-masing generasi –orang tua maupun anak— saling menilai
berdasarkan ukuran-ukuran yang berkembang dalam generasinya sendiri.
Generasi anak memandang orang tuanya sebagai generasi yang tertinggal,
kolot, kuno, lambat mengikuti perubahan, dan sebagainya. Sementara itu
generasi tua mengganggap bahwa cara berfikir, berperasaan dan bertindak
generasinya lebih baik dan lebih mulia dari pada yang tumbuh dan
berkembang pada generasi anak-anaknya.
- Konflik status dan konflik peran
Seseorang yang mengalami mobilitas
sosial, naik ke kedudukan yang lebih tinggi, atau turun ke kedudukan
yang lebih rendah, dituntut untuk mampu menyesuaikan dirinya dengan
kedudukannya yang baru.
Kesulitan menyesuaikan diri dengan statusnya yang baru akan menimbulkan konflik status dan konflik peran.
Konflik status adalah pertentangan
antar-status yang disandang oleh seseorang karena
kepentingan-kepentingan yang berbeda. Hal ini berkaitan dengan banyaknya
status yang disandang oleh seseorang.
Konflik peran merupakan keadaan ketika
seseorang tidak dapat melaksanakan peran sesuai dengan tuntutan status
yang disandangnya. Hal ini dapat terjadi karena statusnya yang baru
tidak disukai atau tidak sesuai dengan kehendak hatinya. Post Power Syndrome merupakan bentuk konflik peran yang dialami oleh orang-orang yang harus turun dari kedudukannya yang tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar