Jumat, 17 Februari 2012

Dampak Penetrasi Budaya

Dampak Penetrasi Budaya

Posted by: sulaiman on: Desember 17, 2008
 
 
 
 
 
 
Rate This
demonstrasi1Perdagangan di Nusantara melalui VOC. telah mendatangkan keuntungan yang sangat besar, walaupun kerajaan Belanda telah menjadi kaya raya, namun karena didorong oleh sifat ketamakan dan keserakahan serta ambisi kekuasaan, akhirnya berusaha menjajah seluruh Nusantara.
     Penjajahan di Nusantara sampai + 350 tahun lamanya dengan berbagai upaya untuk mempertahankannya, dengan bersikap aktif mengadakan penyerangan militer untuk meluaskan kekuasaannya yang didukung teknologi yakni dilengkapi dengan senjata api dan meriam. Jika penyerangan militer mengalami kekalahan, maka Belanda berupaya untuk :
1.    Mengadakan perundingan untuk melaksanakan tipu daya selanjutnya.
2.    Menangkap para ektrimis lalu membunuhnya atau membuangnya ke pengasingan oleh tentara marsose. (ekstrimis adalah tokoh kuat penggerak perlawanan terhadap penjajahan Belanda – marsose adalah tentara yang dilatih khusus untuk mengejar, menculik dan menangkap para ektrimis)
3.    Merangkul para kooperatif sebanyak-banyaknya. (para kooperatif adalah tokoh kuat yang tidak menentang atau bersikap masa bodoh dengan penjajahan Belanda)
4.    Menunda penyerangan militer untuk menghimpun kekuatan yang lebih besar dan melakukan serangan kembali.
      Upaya lain yang mungkin kurang mendapat perhatian para ahli sejarah adalah penetrasi budaya,  masuknya budaya secara dipaksakan Penetrasi kekerasan(penetration violante) yakni pemaksaan “semacam budaya barbar” seperti yang telah berlaku umum di masyarakat Belanda pada masyarakat di Nusantara, cirinya antara lain :
1.    Buka paha tinggi-tinggi, buka dada lebar-lebar dan mempertontonkan telanjangnya keindahan tubuh manusia. (buka aurat)
2.    Kebiasaan pesta yang disertai bermabuk-mabukan.
3.    Tersebarnya paham freedom, free love, free sex dan samenleven. (kumpul kebo)
     Budaya ini sebenarnya bertentangan dengan budaya yang telah berlaku umum di seluruh Nusantara, buktinya :
1.    Seluruh pakaian adat tradisional tidak ada yang membuka telanjangnya keindahan tubuh manusia. (tidak ada yang membuka aurat)
2.   Berkumpulnya seluruh anggota keluarga seperti acara arisan dengan hidangan nyamikan yang tidak memabukkan, sehingga timbul istilah : “makan, tidak makan, asal kumpul”
3.    Siapapun yang melakukan samenleven (kumpul kebo) akan dihukum dengan diarak keliling kampung, lalu dibuang ke hutan, tidak diakui sebagai warga kampung dan tidak boleh kembali lagi ke kampung. (ini adalah hukum sosial terberat saat itu) Terkadang hukum ini masih diterapkan pada sebagian daerah di Nusantara.
4.   Hukuman yang berlaku di keraton lebih berat lagi, yakni dibunuh tanpa ampunan. Walaupun permaisuri yang melakukannya tetap dibunuh. Hukuman ini berlaku pada seluruh kerajaan di Nusantara.  Dampaknya adalah :
a.    Isu perselingkuhan dalam keraton menjadi isu yang sangat sensitif sekali
b.    Hanya raja yang boleh poligami, sehingga masyarakat Indonesia sangat membenci poligami dan poliandri sampai saat ini.
     Adapun budaya barbar yang sesungguhnya, penuh dengan kekejaman, kesadisan, dan perbudakan, tidak ada batasan moral, antara orang tua dan anak bisa saling bunuh, atau berhubungan sex, perampasan harta dan wanita,  juga tidak mengenal agama. Di negara Arab dikenal dengan “budaya jahiliyah” salah seorang tokohnya adalah Abu jahal. Menurut bahasa abu jahal adalah “bapaknya atau biangnya kebodohan”.Padahal sebenarnya dia seorang tokoh yang sangat jenius, dan mungkin IQ-nya di atas 200, dia tidak mengenal agama dan menentang ajaran agama.
     Belanda mengetahui, akan ada penolakan terhadap budaya ini pada awalnya, karena masyarakat Nusantara telah memiliki budaya yang tinggi. Tapi untuk mempertahankan penjajahannya, maka dipaksakan berkembang budaya ini dengan dua cara sekaligus :
1.    Cara pertama dari bawah, yakni penyebaran budaya ini melalui pergaulan dan pendekatan pribadi, antara pendatang dan pedagang Belanda dengan masyarakat Nusantara yang terkenal ramah dan terbuka terhadap orang asing. Cara penyebaran budaya ini seperti yang pernah terjadi di Yunani pertama kali, sebelum masa Socrates, karena masyarakat Yunani sangat suka bergaul dan merantau dan kembali lagi, berkembanglah budaya ini dan mereka menerimanya dengan rasa senang.
2.    Cara kedua dari atas, yakni penyebaran budaya melalui kerajaan, melalui hubungan kerajaan Belanda dengan semua kerajaan di Nusantara. Para priyayi, pangeran, bangsawan, diajak berpesta dengan makanan yang lezat-lezat, musik dan dansa-dansa pada awalnya. Penyebaran budaya ini seperti yang terjadi di Romawi pertama kali, karena kerajaan Romawi mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan kerajaan Yunani dan masyarakat Yunani, berkembanglah budaya ini dan diterima dengan rasa senang. Karena masyarakat Belanda mempunyai hubungan dekat dengan masyarakat Romawi, maka budaya ini berkembang ke Belanda.
    Pemerintah Belanda memanfaatkan para pangeran, priyayi, bangsawan yang telah terbius dengan budaya barbar ini, mereka juga diberi uang, kemewahan, kenikmatan lainnya dan juga wanita, (disuguhi noni-noni dan amoi-amoi pilihan tercantik sebagai persembahan gratis). Langkah terakhirnya adalah mengajak mereka yang terbius untuk melaksanakan pemberontakan terhadap rajanya dengan rencana yang diatur oleh Belanda, dan dijanjikan diberi kekuasaan yang sangat besar.(seringkali janji Belanda ini palsu, dan mereka yang memberontak menyesal  sesudah kerajaannya hancur,  tapi sudah tidak berguna lagi penyesalannya)
    Para “Bek” (penguasa wilayah ciptaan Belanda), dan para “Begundal” (kaki tangan Belanda) semuanya sudah terbius oleh budaya barbar, mereka ketagihan dengan mabuk-mabukan dan samenleven, ditambah mendapatkan uang yang banyak dari Belanda. Hidup mereka senang tapi tidak aman, jika sedang sendiri dan tidak ada penjagaan tentara Belanda, rakyat tiba-tiba mengamuk dan membunuh bek atau begundal, dampaknya adalah berkembanglah budaya “amuk orang banyak atau amuk masa” di seluruh wilayah Nusantara. Janganlah kita mengira bahwa di daerah terpencil yang penduduknya kelihatan lugu-lugu dan terkebelakang tidak ada potensi “amuk masa”.  Hal ini yang dikhawatirkan oleh orang asing, sehingga sering muncul “Travel Warning” bagi warga asing di Indonesia. Dan semua ini sangat merepotkan kepolisian karena tidak bisa diprediksi gejalanya dari awal-awal.
     Budaya “amuk masa” ini sangat mengejutkan, karena sekumpulan orang tiba-tiba mengamuk, dan sekarang banyak muncul kejadian yang sejenis, seperti : “demonstrasi anakhis”, “tawuran masal”, “tawuran antar kampung”, “tawuran antar sekolah”, “tawuran antar universitas”, “tawuran antar fakultas”, “pengeroyokan masa” dan lain-lain.  Gejala terjadinya “amuk masa” ini buka saja terjadi di masyarakat, tapi terjadi juga di parlemen dengan cara-cara yang lebih sopan dan beradab, misalnya “ Partai besar dikeroyok oleh sekelompok partai kecil”. (dikeroyok dalam pengertian masing-masing mengadu argumentasi – jika seluruh argumennya hanya berdasarkan ambisi kekuasaan saja, maka kemungkinan keadaan Indonesia akan semakin terpuruk ?).  Adapun ciri-cirinya secara umum, adalah :
1.    Diawali terdapatnya kebencian terhadap seseorang yang biasanya bersikap sangat sombong. (di jaman Belanda benci terhadap bek atau begundal)
2.    Terdapatnya kebencian terhadap suatu keadaan yang diperkirakan serupa dengan penjajahan, penindasan, pemerasan, dan pelanggaran hak asasi manusia.
3.    Berkembangnya isu negatif yang dilebih-lebihkan, seperti dianggap telah menginjak-injak harga diri, sehingga memunculkan amarah dan angkara murka.
4.    Sekumpulan orang yang terpropokasi, lalu secara spontan membentuk suatu kelompok yang bertingkah laku sama, terbakar emosi dan bertindak destruktif.
     Berkembangnya budaya “amuk masa” ini, seharusnya bisa diarahkan dan dikelola untuk hal-hal yang positif, karena :   
1.    Asal mula akar permasalahan budaya ini adalah keinginan mengubah cara-cara penjajahan kepada cara-cara yang lebih baik.
2.  Mengembalikan kesadaran akan tujuan yang benar, sebab tujuan semula adalah kemerdekaan.
3.    Mengembalikan kemandirian setiap orang, untuk tidak terbawa arus orang banyak yang sedang melakukan pengrusakan, yang belum tentu benar.
Sebaliknya jika kita semua bersikap masa bodoh, berarti kita membiarkan masyarakat Indonesia mulai “memasuki budaya barbar yang sesungguhnya” maka budaya ini dapat dimanfaatkan untuk hal-hal yang negatif, antara lain :
1.   Dimanfaatkan oleh saingan politik untuk menjatuhkan seseorang, seperti : mendemonstrasi kepala desa, bupati, gubernur, kepala bagian dan lain-lain.
2.   Dimanfaatkan oleh saingan ekonomi, seperti : mengajak buruh untuk demonstrasi sampai kemajuan perusahaan terhambat atau sampai bangkrut.
3.    Dimanfaatkan oleh orang yang hasad/dengki, (yang selalu merasa sakit hati bila orang lain maju) seperti : mempropokasi sekelompok orang untuk mengamuk, lalu dia kabur atau cuci tangan.
4.    Dimanfaatkan oleh kelompok teroris, seperti untuk mengembangkan jaringannya yang tertutup.  Padahal kalau memang terorisme benar dan disenangi oleh orang banyak mengapa tidak terbuka? Bukakah semua orang menerima kebenaran?
     Berkembangnya budaya ini di Nusantara, dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap para ektrimis, seperti tersebarnya berita, bahwa : ”salah satu pendekar betawi yaitu Bang Ji-i‘ telah melakukan semenleven dengan noni-noni Belanda”. Berita ini harus ditinjau dari dua kemungkinan :
1.  Kemungkinan pertama, berita itu benar, berarti noni-noni Belanda yang cantik-cantik, centil-centil dan kegatelan ikut mencari sang pendekar, karena tentara Belanda sudah kelelahan dan tidak menemukannya. Setelah ketemu dirayu dan diajak samenleven (kucing diberi daging, mana ada yang nolak-apalagi kucing garong), ketika sedang terlena dan terbius oleh kenikmatan semenleven lalu ditangkap.
2.    Kemungkinan kedua, berita itu tidak benar, berarti disebarkannya berita itu dengan maksud untuk menjatuhkan nama baik, menghancurkan reputasi, dan akan muncul tuduhan bermuka dua terhadap pahlawan/pendekar tersebut, akhirnya dijauhi oleh para pendukungnya sehingga mudah ditangkap.
     Mungkin inilah konsekwensi dari sikap ramah tamah, sopan santun dan terbuka terhadap orang asing, yang memang merupakan kebiasaan dan adat istiadat seluruh masyarakat Nusantara. Berkembangnya budaya ini merupakan salah satu sebab dari banyaknya kerajaan di Nusantara yang punah/lenyap.( terutama disebabkan oleh pemberontakan dari orang dalam yang didukung oleh Belanda)
     Sikap kerajaan-kerajaan di Nusantara sangat berbeda dengan kerajaan Jepang yang bersikap “menutup pintu rapat-rapat” agar budaya barbar tidak masuk dikerajaan, dan selalu melestarikan budaya kerajaannya yang turun temurun, sehingga kerajaan atau kekaisaran Jepang masih tetap kokoh dan eksis, serta masih dihormati dan disegani oleh seluruh rakyat Jepang sampai saat ini.
     Sebagai penutup timbul beberapa pertanyaan yang tidak bisa saya jawab :
1.    Mungkinkah sekarang masih terdapat orang kooperatif (seperti bek, begundal, pangeran yang terbius) yang menggandrungi budaya barbar?
2.    Mungkinkah sekarang masih terdapat orang yang berpaham Freedom yang mengartikan kemerdekaan sebagai kebebasan untuk berbuat sebebas-bebasnya dalam segala hal?
3.    Mungkinkah sekarang di masyarakat kita sedang berkembang budaya barbar yang sesungguhnya, yang ditandai dengan semakin banyaknya : (a) kasus pembunuhan, (b) kasus pelecehan seksual, (c) kasus penipuan dan perdagangan wanita, serta (d) kejadian yang sejenis dengan “amuk masa” yang tidak terkendali ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar