Dampak Penetrasi Budaya
Posted by: sulaiman on: Desember 17, 2008
Rate This
Perdagangan
di Nusantara melalui VOC. telah mendatangkan keuntungan yang sangat
besar, walaupun kerajaan Belanda telah menjadi kaya raya, namun karena
didorong oleh sifat ketamakan dan keserakahan serta ambisi kekuasaan,
akhirnya berusaha menjajah seluruh Nusantara.
Penjajahan di Nusantara sampai +
350 tahun lamanya dengan berbagai upaya untuk mempertahankannya, dengan
bersikap aktif mengadakan penyerangan militer untuk meluaskan
kekuasaannya yang didukung teknologi yakni dilengkapi dengan senjata api
dan meriam. Jika penyerangan militer mengalami kekalahan, maka Belanda
berupaya untuk :
1. Mengadakan perundingan untuk melaksanakan tipu daya selanjutnya.
2. Menangkap
para ektrimis lalu membunuhnya atau membuangnya ke pengasingan oleh
tentara marsose. (ekstrimis adalah tokoh kuat penggerak perlawanan
terhadap penjajahan Belanda – marsose adalah tentara yang dilatih khusus
untuk mengejar, menculik dan menangkap para ektrimis)
3. Merangkul
para kooperatif sebanyak-banyaknya. (para kooperatif adalah tokoh kuat
yang tidak menentang atau bersikap masa bodoh dengan penjajahan Belanda)
4. Menunda penyerangan militer untuk menghimpun kekuatan yang lebih besar dan melakukan serangan kembali.
Upaya lain yang mungkin kurang mendapat perhatian para ahli sejarah adalah penetrasi budaya, masuknya budaya secara dipaksakan Penetrasi kekerasan(penetration violante) yakni pemaksaan “semacam
budaya barbar” seperti yang telah berlaku umum di masyarakat Belanda
pada masyarakat di Nusantara, cirinya antara lain :
1. Buka paha tinggi-tinggi, buka dada lebar-lebar dan mempertontonkan telanjangnya keindahan tubuh manusia. (buka aurat)
2. Kebiasaan pesta yang disertai bermabuk-mabukan.
3. Tersebarnya paham freedom, free love, free sex dan samenleven. (kumpul kebo)
Budaya ini sebenarnya bertentangan dengan budaya yang telah berlaku umum di seluruh Nusantara, buktinya :
1. Seluruh pakaian adat tradisional tidak ada yang membuka telanjangnya keindahan tubuh manusia. (tidak ada yang membuka aurat)
2. Berkumpulnya
seluruh anggota keluarga seperti acara arisan dengan hidangan nyamikan
yang tidak memabukkan, sehingga timbul istilah : “makan, tidak makan,
asal kumpul”
3. Siapapun
yang melakukan samenleven (kumpul kebo) akan dihukum dengan diarak
keliling kampung, lalu dibuang ke hutan, tidak diakui sebagai warga
kampung dan tidak boleh kembali lagi ke kampung. (ini adalah hukum
sosial terberat saat itu) Terkadang hukum ini masih diterapkan pada
sebagian daerah di Nusantara.
4. Hukuman
yang berlaku di keraton lebih berat lagi, yakni dibunuh tanpa ampunan.
Walaupun permaisuri yang melakukannya tetap dibunuh. Hukuman ini berlaku
pada seluruh kerajaan di Nusantara. Dampaknya adalah :
a. Isu perselingkuhan dalam keraton menjadi isu yang sangat sensitif sekali
b. Hanya raja yang boleh poligami, sehingga masyarakat Indonesia sangat membenci poligami dan poliandri sampai saat ini.
Adapun
budaya barbar yang sesungguhnya, penuh dengan kekejaman, kesadisan, dan
perbudakan, tidak ada batasan moral, antara orang tua dan anak bisa
saling bunuh, atau berhubungan sex, perampasan harta dan wanita, juga
tidak mengenal agama. Di negara Arab dikenal dengan “budaya jahiliyah”
salah seorang tokohnya adalah Abu jahal. Menurut bahasa abu jahal adalah
“bapaknya atau biangnya kebodohan”.Padahal sebenarnya dia seorang tokoh
yang sangat jenius, dan mungkin IQ-nya di atas 200, dia tidak mengenal
agama dan menentang ajaran agama.
Belanda
mengetahui, akan ada penolakan terhadap budaya ini pada awalnya, karena
masyarakat Nusantara telah memiliki budaya yang tinggi. Tapi untuk
mempertahankan penjajahannya, maka dipaksakan berkembang budaya ini
dengan dua cara sekaligus :
1. Cara pertama dari bawah,
yakni penyebaran budaya ini melalui pergaulan dan pendekatan pribadi,
antara pendatang dan pedagang Belanda dengan masyarakat Nusantara yang
terkenal ramah dan terbuka terhadap orang asing. Cara penyebaran budaya
ini seperti yang pernah terjadi di Yunani pertama kali, sebelum masa
Socrates, karena masyarakat Yunani sangat suka bergaul dan merantau dan
kembali lagi, berkembanglah budaya ini dan mereka menerimanya dengan
rasa senang.
2. Cara kedua dari atas, yakni
penyebaran budaya melalui kerajaan, melalui hubungan kerajaan Belanda
dengan semua kerajaan di Nusantara. Para priyayi, pangeran, bangsawan,
diajak berpesta dengan makanan yang lezat-lezat, musik dan dansa-dansa
pada awalnya. Penyebaran budaya ini seperti yang terjadi di Romawi
pertama kali, karena kerajaan Romawi mempunyai hubungan yang sangat
dekat dengan kerajaan Yunani dan masyarakat Yunani, berkembanglah budaya
ini dan diterima dengan rasa senang. Karena masyarakat Belanda
mempunyai hubungan dekat dengan masyarakat Romawi, maka budaya ini
berkembang ke Belanda.
Pemerintah
Belanda memanfaatkan para pangeran, priyayi, bangsawan yang telah
terbius dengan budaya barbar ini, mereka juga diberi uang, kemewahan,
kenikmatan lainnya dan juga wanita, (disuguhi noni-noni dan amoi-amoi
pilihan tercantik sebagai persembahan gratis). Langkah terakhirnya
adalah mengajak mereka yang terbius untuk melaksanakan pemberontakan
terhadap rajanya dengan rencana yang diatur oleh Belanda, dan dijanjikan
diberi kekuasaan yang sangat besar.(seringkali janji Belanda ini palsu,
dan mereka yang memberontak menyesal sesudah kerajaannya hancur, tapi sudah tidak berguna lagi penyesalannya)
Para
“Bek” (penguasa wilayah ciptaan Belanda), dan para “Begundal” (kaki
tangan Belanda) semuanya sudah terbius oleh budaya barbar, mereka
ketagihan dengan mabuk-mabukan dan samenleven, ditambah mendapatkan uang
yang banyak dari Belanda. Hidup mereka senang tapi tidak aman, jika
sedang sendiri dan tidak ada penjagaan tentara Belanda, rakyat tiba-tiba
mengamuk dan membunuh bek atau begundal, dampaknya adalah berkembanglah
budaya “amuk orang banyak atau amuk masa” di seluruh wilayah Nusantara.
Janganlah kita mengira bahwa di daerah terpencil yang penduduknya
kelihatan lugu-lugu dan terkebelakang tidak ada potensi “amuk masa”. Hal
ini yang dikhawatirkan oleh orang asing, sehingga sering muncul “Travel
Warning” bagi warga asing di Indonesia. Dan semua ini sangat merepotkan
kepolisian karena tidak bisa diprediksi gejalanya dari awal-awal.
Budaya
“amuk masa” ini sangat mengejutkan, karena sekumpulan orang tiba-tiba
mengamuk, dan sekarang banyak muncul kejadian yang sejenis, seperti :
“demonstrasi anakhis”, “tawuran masal”, “tawuran antar kampung”,
“tawuran antar sekolah”, “tawuran antar universitas”, “tawuran antar
fakultas”, “pengeroyokan masa” dan lain-lain. Gejala
terjadinya “amuk masa” ini buka saja terjadi di masyarakat, tapi terjadi
juga di parlemen dengan cara-cara yang lebih sopan dan beradab,
misalnya “ Partai besar dikeroyok oleh sekelompok partai kecil”.
(dikeroyok dalam pengertian masing-masing mengadu argumentasi – jika
seluruh argumennya hanya berdasarkan ambisi kekuasaan saja, maka
kemungkinan keadaan Indonesia akan semakin terpuruk ?). Adapun ciri-cirinya secara umum, adalah :
1. Diawali
terdapatnya kebencian terhadap seseorang yang biasanya bersikap sangat
sombong. (di jaman Belanda benci terhadap bek atau begundal)
2. Terdapatnya
kebencian terhadap suatu keadaan yang diperkirakan serupa dengan
penjajahan, penindasan, pemerasan, dan pelanggaran hak asasi manusia.
3. Berkembangnya
isu negatif yang dilebih-lebihkan, seperti dianggap telah
menginjak-injak harga diri, sehingga memunculkan amarah dan angkara
murka.
4. Sekumpulan
orang yang terpropokasi, lalu secara spontan membentuk suatu kelompok
yang bertingkah laku sama, terbakar emosi dan bertindak destruktif.
Berkembangnya budaya “amuk masa” ini, seharusnya bisa diarahkan dan dikelola untuk hal-hal yang positif, karena :
1. Asal mula akar permasalahan budaya ini adalah keinginan mengubah cara-cara penjajahan kepada cara-cara yang lebih baik.
2. Mengembalikan kesadaran akan tujuan yang benar, sebab tujuan semula adalah kemerdekaan.
3. Mengembalikan
kemandirian setiap orang, untuk tidak terbawa arus orang banyak yang
sedang melakukan pengrusakan, yang belum tentu benar.
Sebaliknya jika kita semua bersikap masa bodoh, berarti kita membiarkan masyarakat Indonesia mulai “memasuki budaya barbar yang sesungguhnya” maka budaya ini dapat dimanfaatkan untuk hal-hal yang negatif, antara lain :
1. Dimanfaatkan
oleh saingan politik untuk menjatuhkan seseorang, seperti :
mendemonstrasi kepala desa, bupati, gubernur, kepala bagian dan
lain-lain.
2. Dimanfaatkan
oleh saingan ekonomi, seperti : mengajak buruh untuk demonstrasi sampai
kemajuan perusahaan terhambat atau sampai bangkrut.
3. Dimanfaatkan
oleh orang yang hasad/dengki, (yang selalu merasa sakit hati bila orang
lain maju) seperti : mempropokasi sekelompok orang untuk mengamuk, lalu
dia kabur atau cuci tangan.
4. Dimanfaatkan oleh kelompok teroris, seperti untuk mengembangkan jaringannya yang tertutup. Padahal
kalau memang terorisme benar dan disenangi oleh orang banyak mengapa
tidak terbuka? Bukakah semua orang menerima kebenaran?
Berkembangnya
budaya ini di Nusantara, dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap para
ektrimis, seperti tersebarnya berita, bahwa : ”salah satu pendekar
betawi yaitu Bang Ji-i‘ telah melakukan semenleven dengan noni-noni
Belanda”. Berita ini harus ditinjau dari dua kemungkinan :
1. Kemungkinan
pertama, berita itu benar, berarti noni-noni Belanda yang
cantik-cantik, centil-centil dan kegatelan ikut mencari sang pendekar,
karena tentara Belanda sudah kelelahan dan tidak menemukannya. Setelah
ketemu dirayu dan diajak samenleven (kucing diberi daging, mana ada yang
nolak-apalagi kucing garong), ketika sedang terlena dan terbius oleh
kenikmatan semenleven lalu ditangkap.
2. Kemungkinan
kedua, berita itu tidak benar, berarti disebarkannya berita itu dengan
maksud untuk menjatuhkan nama baik, menghancurkan reputasi, dan akan
muncul tuduhan bermuka dua terhadap pahlawan/pendekar tersebut, akhirnya
dijauhi oleh para pendukungnya sehingga mudah ditangkap.
Mungkin
inilah konsekwensi dari sikap ramah tamah, sopan santun dan terbuka
terhadap orang asing, yang memang merupakan kebiasaan dan adat istiadat
seluruh masyarakat Nusantara. Berkembangnya budaya ini merupakan salah
satu sebab dari banyaknya kerajaan di Nusantara yang punah/lenyap.(
terutama disebabkan oleh pemberontakan dari orang dalam yang didukung
oleh Belanda)
Sikap
kerajaan-kerajaan di Nusantara sangat berbeda dengan kerajaan Jepang
yang bersikap “menutup pintu rapat-rapat” agar budaya barbar tidak masuk
dikerajaan, dan selalu melestarikan budaya kerajaannya yang turun
temurun, sehingga kerajaan atau kekaisaran Jepang masih tetap kokoh dan
eksis, serta masih dihormati dan disegani oleh seluruh rakyat Jepang
sampai saat ini.
Sebagai penutup timbul beberapa pertanyaan yang tidak bisa saya jawab :
1. Mungkinkah
sekarang masih terdapat orang kooperatif (seperti bek, begundal,
pangeran yang terbius) yang menggandrungi budaya barbar?
2. Mungkinkah
sekarang masih terdapat orang yang berpaham Freedom yang mengartikan
kemerdekaan sebagai kebebasan untuk berbuat sebebas-bebasnya dalam
segala hal?
3. Mungkinkah sekarang di masyarakat kita sedang berkembang budaya barbar yang sesungguhnya, yang ditandai dengan semakin banyaknya
: (a) kasus pembunuhan, (b) kasus pelecehan seksual, (c) kasus penipuan
dan perdagangan wanita, serta (d) kejadian yang sejenis dengan “amuk
masa” yang tidak terkendali ?
Like this:
Be the first to like this post.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar