Sabtu, 31 Maret 2012

SEJARAH KERATON YOGYAKARTA

Kamis, 29 September 2011

SEJARAH KERATON YOGYAKARTA

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta merupakan istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini berlokasi di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Walaupun kesultanan tersebut secara resmi telah menjadi bagian Republik Indonesia pada tahun 1950, kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal sultan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kesultanan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek wisata di Kota Yogyakarta. Sebagian kompleks keraton merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kesultanan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan salah satu contoh arsitektur istana Jawa yang terbaik, memiliki balairung-balairung mewah dan lapangan serta paviliun yang luas.
Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti di tahun 1755. Lokasi keraton ini konon adalah bekas sebuah pesanggarahan yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.
Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan). Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta. Dan untuk itulah pada tahun 1995 Komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO.

Oleh Radithya Pradipta


Sosial Budaya


Sosial Budaya

 Peta Sosial Budaya

peta_ri.jpg
Secara spesifik keadaan sosial budaya Indonesia sangat kompleks, mengingat penduduk Indonesia kurang lebih sudah di atas 200 juta dalam 30 kesatuan suku bangsa. Oleh karena itu pada bagian ini akan dibicarakan keadaan sosial budaya Indonesia dalam garis besar. Kesatuan politis Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas 6000 buah pulau yang terhuni dari jumlah keseluruhan sekitar 13.667 buah pulau. 
Hampir sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di daerah “rural” sehingga budaya heterogen pedesaan sangat mewarnai kehidupan social rakyat Indonesia. Di sebaran pulau-pulau Indonesia masih ditemui kebudayaan “hunting and gathering” yang terdapat secara terbatas di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan beberapa pulau kecil lain yang kira-kira berjumlah 1-2 juta dengan pola hidup langsung dari alam. Demikian juga kehidupan berkebudayaan nomadis pun masih dijumpai. Hampir semua pula di Indonesia masih banyak kebudayaan masyarakat bercorak agraris, baik dengan bercocok tanam yang berpindah-pindah, pertanian tadah hujan, pertanian irigasi sawah, perkebunan dan pertanian mekanis. Oleh karena unsur budaya agraris masih mendominasi masyarakat Indonesia, maka masih dijumpai masyarakat dengan akar primordialisme yang kuat serta kebiasaan feodal.

Mahasiswa UNY kembangkan dodol kunyit


Mahasiswa UNY kembangkan dodol kunyit

JUMAT, 30 MARET 2012
CetakPDF
Yogyakarta  - Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) mengembangkan cemilan dodol berbahan kunyit kuning (Curcuma domestica Val) untuk menambah variasi makanan sehat khas Indonesia.
"Kunyit kuning dapat digunakan sebagai bahan pembuatan dodol yang menarik dan bermanfaat bagi kesehatan, karena kunyit jenis itu mempunyai warna alami yang cerah, dan mengandung zat-zat yang berguna bagi kesehatan," kata ketua tim mahasiswa pengembang dodol kunyit kuning, Diky Wahyu Priyambudi, di Yogyakarta, Jumat.

Menurut dia, dodol kunyit dapat menarik konsumen karena kunyit mengandung senyawa yang berkhasiat obat, yang disebut kurkuminoid yang terdiri atas kurkumin desmetoksikumin sebanyak 10 persen dan bisdesmetoksikurkumin sebanyak 1-5 persen.

Selain itu, juga mengandung zat-zat bermanfaat lainnya seperti minyak atsiri yang terdiri atas keton sesquiterpen, turmeron, tumeon 60 persen, zingiberen 25 persen, felandren, sabinen, borneol, dan sineil.

"Kunyit juga mengandung lemak sebanyak 1-3 persen, karbohidrat tiga persen, protein 30 persen, pati delapan persen, vitamin C 45-55 persen, dan garam mineral, yaitu zat besi, fosfor, dan kalsium," katanya.

Anggota tim mahasiswa pengembang dodol kunyit kuning lainnya, Andi Wibowo, mengatakan beberapa penelitian secara "in vitro" dan "in vivo" menunjukkan kunyit mempunyai aktivitas sebagai anti-inflamasi (antiperadangan), aktivitas terhadap peptic ulcer, antitoksik, antihiperlipidemia, dan aktivitas antikanker.

Menurut dia, kunyit kuning dalam produk itu dihaluskan dan dicampurkan dalam bahan pembuatan dodol. Produk yang akan dijual adalah dodol kunyit kuning dengan beraneka bentuk penyajian.

"Merek dagang produk yang diproduksi adalah DK Kukreas. DK Kukreas berasal dari kata dodol kunyit kuning kreasi, yang berarti dodol yang berbahan kunyit kuning dengan kreasi bentuk penyajian seperti bintang, hati, lingkaran, segitiga, dan bunga. Bentuk itu dapat dibuat dengan mengunakan cetakan," katanya.

Ia mengatakan dodol itu akan mampu bersaing di pasar karena keunggulannya tersebut. DK Kukreas pun akan mampu meningkatkan jiwa kewirausahaan mahasiswa.

"Dodol kunyit diperkirakan akan digemari masyarakat sehingga memiliki nilai jual yang cukup tinggi. Hal itu diharapkan dapat menambah lapangan kerja bagi mahasiswa," katanya.


http://www.antaranews.com/berita/303900/mahasiswa-uny-kembangkan-dodol-kunyit

Jumat, 30 Maret 2012

Resmi Hadir di Indonesia, Apa Tujuan Google?


Resmi Hadir di Indonesia, Apa Tujuan Google?

Andina Librianty - Okezone
Jum'at, 30 Maret 2012 18:35 wib
 1  30 
detail berita
ilustrasi (foto : Google)
JAKARTA - Google baru saja meresmikan kehadirannya di tanah air dan memperkenalkan Rudy Ramawy sebagai Country Head Indonesia. Lalu apa tujuan utama Google?

"Alasan utama kita masuk ke Indonesia bukan dalam konteks revenue," ujar Country Head Google Indonesia, Rudy Ramawy, di Cyber 2 Tower, Jakarta, Jumat (30/3/2012).

Lebih lanjut diungkapkan Rudy, tujuan utama Google di Indonesia justru ingin lebih dekat dengan mitra yang ada di sini. "Google ingin lebih dekat dengan mitra yang ada di Indonesia, supaya kita bisa bersama membangun ekosistem internet," jelasnya.

Menurut Rudy, dalam jangka panjang, Google melihat Indonesia sebagai negara yang strategis dengan pertumbuhan masyarakatnya, ekonomi hingga tingkat kegiatan online-nya. "Jadi, Google tidak melihat Indonesia dalam hitungan tahun atau bulan, melainkan dalam jangka panjang dan komit untuk itu," katanya.

Bahkan Rudy mengungkapkan, investasi sumber daya yang dialokasikan untuk Indonesia cukup besar. "Salah satu peluang terbesar atau investasi kita adalah mengedukasikan para mitra kerja, seperti developer, iklan dan operator," pungkasnya. (fmh)

Memperkuat Pesona Gunung Padang


Memperkuat Pesona Gunung Padang
Minggu, 4 Maret 2012 | 21:42 WIB
Oleh: Cornelius Helmy dan Herlambang Jaluardi 
Kompas/Rony Ariyanto Nugroho
Pengunjung beristirahat di sekitar susunan batuan Situs Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat, Jumat (10/2). Situs megalitik ini banyak menarik perhatian pengunjung untuk berwisata di atas ketinggian dengan melihat pemandangan.
    Informasi dari mulut ke mulut tentang kebesaran situs megalitik Punden Berundak Gunung Padang sudah terjadi sejak ratusan tahun lalu. Salah seorang yang mendengarnya adalah Bujangga Manik, pertapa dan tokoh spiritual dari Kerajaan Sunda yang melakukan perjalanan Bogor-Bali sekitar tahun 1600-an Masehi.
    Kini, Gunung Padang masih diminati pengunjung. Selama tahun 2011, tercatat sedikitnya 7.000 orang datang. Angka yang luar biasa mengingat masih minimnya perhatian hingga buruknya infrastruktur menuju ke lokasi tersebut.

    Gunung Padang berada di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat (Jabar), atau sekitar 30 kilometer (km) dari pusat kota Kabupaten Cianjur. Masuk ke Kacamatan Campaka dari Kecamatan Warungkondang masih dibutuhkan sekitar 20 km untuk sampai ke lokasi punden berundak raksasa ini.

    Erik Nurdiandi (18), warga Sukabumi, meringis saat gagal mengangkat batu di teras keempat situs megalitik Gunung Padang. Ia penasaran dengan kebenaran mitos ”batu gendong” tersebut. 

    Konon, orang yang bisa mengangkat batu tersebut citacita dan harapannya bakal tercapai. Batu yang akan diangkat itu adalah batu andesit seukuran tas punggung berwarna coklat. Bobotnya tidak diketahui dengan pasti. Namun, batu itu pernah beberapa kali ditimbang, tetapi hasilnya berbeda-beda.
Kompas/Rony Ariyanto Nugroho
Hamparan batu yang tertata di Situs Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat, Jumat (10/2). Situs Gunung Padang di ketinggian 894 meter diatas permukaan laut (mdpl) ini merupakan peningalan peradaban Megalitik sekitar rentang waktu 2500 - 1500 SM dan merupakan situs megalitik terbesar se Asia Tenggara.
    Batu gendong dan mitos Gunung Padang adalah salah satu daya tarik bagi wisatawan Gunung Padang. Ari (32), pengunjung yang mengaku sebagai pemetik kecapi asal Bandung Barat bercerita, bebatuan di teras pertama konon batu-batunya diyakini warga sebagai batu gamelan, yaitu batu yang bersuara nyaring bila diketuk dengan batu lain. 

    Pengunjung memang biasa dan leluasa menguji suara batu-batu itu, melaraskannya dengan tangga nada gamelan Sunda. Batu ini juga kerap didatangi pesinden atau pemusik dengan harapan penampilannya akan menjadi lebih baik.

    ”Ada juga ornamen di teras kelima yang diyakini tempat beristirahat raja karena ada batu pandaringan atau pembaringan. Tempat itu sering dijadikan tempat mencari wangsit memompa kepercayaan diri. Banyak pejabat daerah dan nasional pernah saya lihat datang ke tempat ini,” ujar Ari.

    Potensi wisata bukan hanya ada di dalam areal Gunung Padang. Tahun 2008, saat menjabat Kepala Pusat Perencanaan dan Pengembangan Kepariwisataan Institut Teknologi Bandung (ITB), Budi Brahmantyo mengusulkan salah satu pengembangan paket wisata minat dari Bandung menuju Gunung Padang dengan menggunakan kereta api atap terbuka. Selain meningkatkan jumlah pengunjung, hal itu diyakini bisa menghidupkan potensi wisata di sekitarnya yang belum tergarap.

    Dalam perjalanan Bandung-Gunung Padang, salah satu panorama yang bisa dilihat pengunjung adalah sejarah era Bandung purba. Di antaranya, pemandangan indah di Sungai Cimeta saksi keberadaan Danau Bandung Purba, pegunungan karst yang menyimpan fosil laut di Rajamandala, dan tempat tinggal manusia prasejarah di Goa Pawon.

    Masuk ke Kabupaten Cianjur, pengunjung akan disuguhi kawasan pertanian sangat luas di Cipeuyeum-Ciranjang. 

    Pertengahan tahun adalah saat paling tepat untuk mengamatinya karena para petani sedang panen massal. Suasana pedesaan bisa menjadi daya tarik utama yang bisa dinikmati wisatawan. Tak kalah menariknya keberadaan stasiun kereta api dan terowongan Lampegan buatan Belanda tahun 1879. 

    Keduanya menjadi saksi pembangunan rel kereta api pertama Jakarta-Bandung di Indonesia. Selain itu, 6 km dari Gunung Padang, pesona air terjun berundak Cikondang dan bentukan lava langka bagian Formasi Beser di sekitar Sungai Cikondang menunggu memuaskan minat wisatawan.

    ”Saat ini banyak potensi wisata menuju Gunung Padang belum tergarap. Padahal sudah banyak komunitas dan pencinta wisata minat dalam dan luar negeri yang tertarik,” kata Budi Brahmantyo.

    Namun, perjalanan menuju Gunung Padang bukanlah perjalanan yang mudah. Pengunjung harus melewati jalan rusak dan berbatu sejauh 15 km sebelum Gunung Padang, termasuk meniti jalan sempit yang berbatasan dengan jurang. Celakanya, di jalur-jalur tersebut tidak dibuat penunjuk arah sehingga mudah membingungkan pengunjung yang baru pertama kali mengunjungi daerah ini. 

    Mekanisme tiket tidak berjalan dengan baik. Jika Anda berkunjung ke sana, meskipun ada loket, pengunjung hanya didata menggunakan buku tamu oleh warga dan membayar retribusi secara sukarela. Di loket tersebut tidak ada penerangan karena bohlam lampu tidak ada.

    Susunan batu pun masih dibiarkan tanpa arti. Tanpa adanya papan petunjuk atau keterangan tertulis di sekitar situs, alhasil pengunjung hanya bisa memanfaatkan informasi lisan dari 8 penjaga wisata yang kebanyakan masyarakat setempat. 

    Selain itu, tanpa penataan dan zonasi, injakan kaki pengunjung leluasa mampir di semua kawasan. Tangan jahil pun leluasa memindahkan bebatuan. Situs ini dikhawatirkan akan rusak dan tidak tertutup kemungkinan menghilangkan nilai sejarah yang belum terungkap.

    Budi Brahmantyo mengatakan, Pemerintah Kabupaten Cianjur sebaiknya belajar pengelolaan Stonehenge di Salisbury Plain, Wilshire, Inggris, yang berumur kurang lebih sama dengan Gunung Padang. Pengunjung tidak dibiarkan leluasa masuk kawasan inti. Bahkan, bila ingin memegang susunan batu hanya dilakukan pada hari tertentu dengan biaya sangat tinggi.

    Eko Wiwid, Direktur Lokatmala Institute di Bandung, lembaga yang bergerak dalam bidang pelestarian lingkungan, tidak menampik bahwa mitos-mitos yang berkembang tentang Gunung Padang menjadi daya tarik bagi masyarakat. Namun, hal itu setidaknya bisa diatur dengan memberikan perlindungan pada zona-zona tertentu di situs tersebut.

    ”Seharusnya kawasan situs sudah ditata berdasarkan zona inti dan zona pemanfaatan. Izin kunjungan bisa mengadopsi aturan di taman nasional. Di Taman Nasional Gede Pangrango, misalnya, ada izin untuk pendakian, izin untuk penelitian, dan izin kunjungan wisata. Proteksi seperti itu yang seharusnya ditetapkan,” kata Eko.

    Kepala Subbidang Kepariwisataan di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jabar Agus Saputra mengatakan telah membangun infrastruktur di sekitar Gunung Padang senilai Rp 1,35 miliar pada tahun 2011. 

    Dana tersebut digunakan untuk pembebasan lahan, membuat menara pantau, area parkir, dan perbaikan akses jalan. Dana tambahan kemungkinan besar akan dikucurkan saat kawasan ini sudah ditetapkan sebagai cagar budaya lewat undang-undang yang baru.

    Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Cianjur Imam Haris mengatakan, pengelolaan Gunung Padang masih memerlukan banyak perbaikan meskipun statusnya sebagai kawasan cagar budaya sudah diperoleh berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudyaan tanggal 16 Juni 1968 yang menetapkannya sebagai kawasan cagar budaya bersama 53 situs lainnya.

Jatuh Bangun Brambang Brebes


Jatuh Bangun Brambang Brebes
Selasa, 14 Februari 2012 | 12:29 WIB
Oleh: Sonya Hellen Sinombor dan Siwi Nurbiajanti
Kompas/P Raditya Mahendra Yasa
Buruh membersihkan bawang untuk memenuhi kebutuhan industri mi instan di Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Kamis (19/1). Maraknya bawang merah impor yang masuk di pasaran menyebabkan harga komoditas ini pada tingkat petani merosot hingga Rp 1.000 per kilogram.
    Brebes tak cuma dikenal sebagai kota telur asin yang legendaris. Kota kecil di pesisir utara Provinsi Jawa Tengah ini juga dikenal sebagai sentra brambang atau bawang merah yang kualitasnya nyaris tak tertandingi di seantero Indonesia.
    Tak heran jika bawang merah dari Brebes ini menguasai pasar di Jawa Tengah menembus pasar bawang nasional, bahkan dicari pedagang di Pasar Induk Kramatjati, Jakarta. Begitu terkenalnya brambang Brebes, sampai-sampai bawang merah impor pun harus ”transit” ke Brebes sebelum beredar di Pasar Induk Kramatjati.
    ”Ada pedagang yang mendatangkan bawang merah impor dengan bentuk mirip dengan bawang merah lokal,” ujar Sodikin, Kepala Seksi Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Pemerintah Kabupaten Brebes.
    Kualitas brambang Brebes yang hebat itu, menurut para petani, dipengaruhi embusan ”angin kumbang” yang datang dari Gunung Kumbang. Konon, angin kumbang menjadikan bawang merah Brebes beraroma harum khas dan tidak dimiliki bawang merah lain. Aroma harum melengkapi warna merah menyala, rasa lebih pedas, dan tekstur lebih keras yang dimiliki bawang merah ini.
   Namun, ironisnya, bawang merah impor dari India, Thailand, Filipina, China, dan Vietnam tak sekadar numpang lewat di Brebes. Bawang merah impor itu mengempaskan brambang Brebes ke harga serendah-rendahnya: Rp 500 (lima ratus rupiah!) per kilogram. Petani yang selama ini jatuh bangun melawan serangan hama penyakit dan kondisi alam tak berdaya menghadapi serbuan bawang impor yang masuk bertepatan dengan masa panen raya bawang di Brebes.

   Harga bawang merah lokal, yang pada Februari 2011 mencapai Rp 15.500 per kilogram, pada Desember 2011 turun drastis menjadi Rp 4.500 per kilogram. Pada Januari 2012, harga bawang merah anjlok menjadi Rp 2.000-Rp 2.500 per kilogram. Bahkan, pada minggu ketiga Januari, di Pasar Bawang Klampok, Brebes, harga bawang merah menembus Rp 500-Rp 1.000 per kilogram.
    Sentra bawang merah Brebes pun terguncang. Nasib petani pun tak seharum aroma brambang Brebes itu. ”Harga bawang jatuh dan petani harus mencari cara untuk membayar pinjaman, atau kredit di bank yang dipakai sebagai modal menanam,” papar Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Brebes Juwari.
    Tak kuat menahan kerugian, petani bawang merah akhirnya bangkit. Pertengahan Januari lalu, sekitar 2.000 petani berunjuk rasa di jalur pantai utara Jawa di depan Pasar Bawang Klampok meneriakkan penolakan terhadap bawang merah impor. Perjuangan pun berlanjut hingga ke DPR di Jakarta.
    Selain menembus pasar tradisional dan modern untuk bumbu masakan, brambang Brebes yang terkenal dengan varietas Bima menjadi andalan bumbu masak mi instan yang diproduksi sejumlah perusahaan mi instan dalam negeri.
    Bawang merah juga masuk dalam lingkup farmasi sebagai bagian dari resep obat-obatan tradisional. Karena itu, bagi warga Brebes, brambang bukan sekadar penopang perekonomian, melainkan juga menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial budaya masyarakat Brebes. Selain menjadi ikon dan lambang Kabupaten Brebes, bawang merah adalah nafkah hidup jutaan orang Brebes dalam wujud aktivitas kehidupan sehari-hari lewat slogan, puisi, motif batik, tarian, dan ajang festival.
   Tarian topeng sinok - ikon Kabupaten Brebes - ternyata mengandung gerakan menanam, memanen bawang, hingga gerakan gadis petani yang mempercantik diri.
Kompas/P Raditya Mahendra Yasa
Buruh tani mengangkut hasil panen bawang merah di Limbangan Kulon, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Sabtu (21/1). Maraknya bawang merah impor yang masuk di pasaran menyebabkan harga komoditas pada tingkat petani merosot hingga Rp 1.000 per kilogram.
    Begitu besar pengaruh bawang merah dalam kehidupan petani di Brebes, sampai-sampai hari pernikahan pun ditentukan oleh hasil panen bawang. ”Jika panen bawang baik, pernikahan berlangsung sesuai jadwal. Namun, jika gagal panen, pernikahan ditunda,” ujar budayawan Brebes, Atmo Tan Sidik, yang juga Kepala Humas Pemkab Brebes.
   Pengalaman turun-temurun menanam bawang merah menciptakan karakter petani bawang yang ora kapok-kapok (tidak pernah kapok) menanam bawang merah. ”Ada ungkapan di kalangan petani bawang, mbuh kepriben-kepriben tetap gandulan waton nandure bawang (apa pun yang terjadi, tetap menanam bawang),” ungkap Atmo.
   Pada periode 1999-2001, saat harga panen bagus, banyak petani bawang merah Brebes naik haji. ”Maka, ada istilah haji bawang,” kata Atmo.
    Filosofi bawang merah pun merasuk hingga ke seluruh sendi kehidupan, membentuk kultur masyarakat yang berani dan terbuka. Dalam buku Sejarah Mentalitas Brebes yang disusun Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Brebes (Bappeda, 2009) disebutkan, sikap orang Brebes yang terbuka itu merupakan penggambaran kulit bawang yang melepas diri (brambang lembahing mana).
    Kendati tak ada catatan resmi kapan brambang mulai dibudidayakan di Brebes, cerita tentang kejayaan dan kemakmuran petani brambang Brebes dari 1970-an hingga saat ini adalah cerita lisan yang bisa dipercaya. Kisah buruh tani yang menjadi juragan bawang merah, Carab bin Taswat (almarhum), dan sukses pada tahun 1970-1980-an hingga kini tak pernah habis.
    Carab bin Taswat, ”sang legenda” asal Desa Kemurang Wetan, Kecamatan Tanjung, itu memotivasi semangat petani. Tidak hanya membeli dan menyewa lahan untuk ladang bawang merah, Carab juga membeli 21 bus antardaerah dengan trayek Jakarta-Pemalang dan Jakarta-Purwokerto serta tujuh kapal purse seine. Agar bawang merah Brebes dikenal, semua angkutan itu diberi nama ”Sumber Bawang”.
Kompas
    Saat ini, 11 dari 17 kecamatan di Kabupaten Brebes menjadi sentra pertanian bawang merah, yakni Kecamatan Brebes, Wanasari, Bulukamba, Tonjong, Losari, Kersana, Ketangguhan, Larangan, Songgom, Jatibarang, dan sebagian Banjarharjo. Dari sekitar 1,9 juta jiwa penduduk Brebes, sekitar 70 persen di antaranya adalah petani yang mayoritas menanam bawang merah. Luas panen bawang merah 25.000-30.000 hektar per tahun. Bawang merah juga memberi kontribusi 40,6 persen terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) Kabupaten Brebes. Tahun 2010, angka PDRB Kabupaten Brebes Rp 14,6 triliun.
    Maka, upaya Pemkab Brebes untuk menyusun rancangan peraturan daerah tentang peredaran bawang merah impor di sentra bawang merah perlu didukung pemerintah pusat.

Magersari, Layanan Publik Keraton


Magersari, Layanan Publik Keraton
Senin, 26 Maret 2012 | 14:03 WIB
Oleh: Thomas Pudjo Widiyanto dan Budi Kurniawan 
Kompas/Ferganata Indra Riatmoko
Warga menuntun kendaraan mereka sebagai salah satu bentuk penghormatan terhadap Keraton Yogyakarta saat menggunakan halaman Kemagangan di sisi selatan Keraton Yogyakarta untuk jalan pintas penghubung antarperkampungan di lingkup Benteng Keraton Yogyakarta, Selasa (20/3).
     Berjalan-jalan di Yogyakarta, khususnya di daerah ”jeron mbeteng” atau di dalam lingkup benteng Keraton Yogyakarta, akan terlihat jajaran rumah padat hunian. Bentuknya beragam, mulai dari sekadar tempat berteduh Jawa tradisional hingga gedongan dengan arsitektur ala Belanda. 
    Inilah permukiman yang dihuni oleh masyarakat dan sebagian dari mereka adalah warga komunitas ”magersari”.

    Sebuah permukiman di kawasan perkotaan yang masyarakatnya sama sekali tidak memiliki surat tanah apa pun dari pemerintah, tetapi bisa hidup turun-temurun tanpa terusik oleh siapa pun karena mereka memang hidup dalam tanah paringan ndalem, tanah pemberian Raja Keraton Yogyakarta. Sejak sebelum berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keraton Kasultanan Yogyakarta yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono (HB) VII memberikan tanah hak pakai di kawasan jeron mbeteng kepada masyarakat untuk ditempati sebagai permukiman.
     Kalau lagu ”Yogyakarta” yang diciptakan penyanyi Katon Bagaskara bisa demikian unik, itu karena Katon memang menemukan keunikan di Yogyakarta. Wajar kalau banyak orang juga menyebut Yogyakarta sebagai kota yang unik. Sebuah kota yang tetap menghormati peradaban lama, tetapi juga menapaki peradaban modern. Kota yang terus berkembang dengan kekhasannya sendiri sejak Presiden Soekarno menetapkan sebagai daerah istimewa karena Yogyakarta sebagai sebuah negara (kerajaan) rela menggabungkan diri ke dalam Republik Indonesia.

    Hidup magersari di dalam kawasan benteng keraton adalah peradaban lama yang sampai sekarang masih bertahan. Kehidupan magersari di Yogyakarta ini mencerminkan layanan publik dari seorang penguasa. Masyarakat boleh menempati tanah milik keraton tanpa harus terbebani biaya berat dan bisa berlangsung turun-temurun. Mereka bisa mendapatkan akses hidup di perkotaan dengan mobilitas yang begitu mudah.
    Seperti kehidupan masyarakat di kawasan Taman Sari, sebuah situs permandian milik raja yang terletak di sebelah barat Keraton Yogyakarta. Sekitar 300 keluarga bermukim di sana. Warga yang terdiri dari para abdi dalem (pelayan keraton) dan masyarakat umum sudah menghuni secara turun-temurun di tempat itu tanpa terusik oleh siapa pun. ”Ya, saya sangat berterima kasih atas kebaikan keraton memberikan tempat terbaik untuk hidup sejak nenek moyang,” ujar Titik, pewaris ketiga dari keluarganya yang menetap di kompleks situs Taman Sari.
     Sasongko yang nenek dan ayahnya sebagai abdi dalem keraton merasa tenteram karena percaya pihak keraton tidak akan menggusur semena-mena kepada warga yang hidup di tanah keraton.
     Memang pada zaman modern yang serba komersial ini, Sasongko berpikiran bisa saja pihak keraton melakukan penggusuran, khususnya di kawasan Taman Sari yang memang letaknya strategis di tengah perkotaan. Ketika ada pemindahan pasar burung di Ngasem, tersebar isu bahwa kawasan Pasar Ngasem akan dijadikan kompleks perbelanjaan modern.
    ”Sempat beredar isu bahwa warga Taman Sari juga akan tergusur. Kenyataannya, pihak keraton tetap memberikan jaminan kepada kami tak akan tergusur,” katanya.
Kompas/Ferganata Indra Riatmoko
Ponijem (54) menunjukkan kuitansi pembayaran sewa tanah Magersari senilai Rp 4.200 per enam bulan di depan rumahnya di Kelurahan Ngampilan, Kecamatan Ngampilan, Yogyakarta, yang berdiri di atas tanah Magersari, Selasa (13/3). Warga menghuni tanah milik Keraton Yogyakarta yang dahulunya merupakan areal kuburan tersebut dengan membayar melalui paguyuban dan kemudian disetor ke Keraton Yogyakarta sebesar sekitar Rp 5.000 per rumah setiap enam bulan sekali.
    Kehidupan magersari di Taman Sari memang sebuah contoh betapa masyarakat bisa memperoleh pengayoman, perlindungan. Puluhan tahun masyarakat bisa hidup aman dan nyaman di tempat tinggalnya meski tidak memiliki surat tanah, selain serat kekancingan (surat keterangan) hak pakai dari keraton.
    Barangkali kasus magersari ini bisa memberi sedikit jawaban atas pesimisme Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dr Mochtar Mas’oed dalam pidato Dies Natalis ke-62 UGM tahun 2011 berjudul ”Untuk Apa Negara?”. Ia melihat di berbagai bagian dunia manusia serba mengeluh dan tema pokok mencuat: kekecewaan pada layanan publik yang tidak memadai. Kinerja negara dalam menjalankan kewajiban konstitusionalnya dipertanyakan. Negara di mana-mana digugat.
    Kondisi umum itu sangat jauh berbeda, misalnya dibandingkan dengan warga Taman Sari yang selalu terlindungi.
    Menurut Kepala Kawedanan Hageng Punakawan Wahana Sarta Kriya (Sekretariat) Keraton Yogyakarta Gusti Bendara Pangeran Haryo Hadiwinoto, sejak HB VII, peruntukan tanah keraton sudah tertata. Ada masyarakat yang diberi hak milik—dalam istilah keraton disebut hak andarbe. Ada pula warga masyarakat yang diberi hak anggaduh, yaitu pemilikan tanah yang sifatnya hak milik, tetapi masyarakat bisa memakai tanah keraton untuk tempat tinggal dan bisa berlangsung turun-temurun.
    Menurut Hadiwinoto, pemberian tanah dalam status hak pakai itu dilakukan terus oleh pihak keraton. Entah itu untuk keperluan usaha, permukiman, atau keperluan sosial, seperti untuk makam. Terakhir, keraton baru saja memberikan serat kekancingan tanah hak pakai kepada 350 kepala keluarga di kawasan Ngebong, Kampung Terban, Kota Yogyakarta. ”Dasarnya, ya, hanya pakai, dan masyarakat hanya diwajibkan membayar Rp 150.000 sampai Rp 200.000 per tahun,” kata Hadiwinoto.
    Berapa luas tanah milik Keraton Yogyakarta dan berapa masyarakat yang menggunakan, Hadiwinoto tidak tahu pasti. Sekitar 60 persen dari 3 juta penduduk DI Yogyakarta hidup dari tanah keraton, termasuk lungguh (tanah untuk menggaji perangkat desa) di DI Yogyakarta, semuanya milik keraton.
    ”Sebenarnya khusus di DI Yogyakarta, Pemerintah Republik Indonesia belum pernah memberikan gaji kepada perangkat desa yang gajinya tanah lungguh karena lungguh yang dipakai sekarang adalah tanah keraton,” ujarnya.

Menjaga Sejarah Keraton Yogyakarta


Menjaga Sejarah Keraton Yogyakarta
Senin, 26 Maret 2012 | 13:45 WIB
Oleh : A. Budi Kurniawan dan Thomas Pudjo W
Kompas/Ferganata Indra Riatmoko
Alun-alun Selatan Yogyakarta ramai oleh wisatawan yang hendak mencoba tradisi Masangin (berjalan dengan mata tertutup melewati area di antara dua pohon beringin), Kamis (22/3). Alun-alun Selatan merupakan salah satu kawasan milik Keraton Yogyakarta yang tidak bisa diwariskan dan disebut sebagai Tanah Mahkota.
     Perjuangan gigih Pangeran Mangkubumi melawan pemberontakan Raden Mas Said sampai dengan perlawanannya di tanah Sukawati membuka sejarah baru munculnya Keraton Yogyakarta. Berdasarkan Perjanjian Gianti (1755), Pangeran Mangkubumi mendapat jatah wilayah kekuasaan mulai dari Yogyakarta hingga sebagian Jawa Tengah dan Jawa Timur.
    Kini, wilayah kekuasaan itu tinggal tersisa 1,2 persen dari luas Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta atau sekitar 3.900 hektar. Itu pun masih tercampur dengan tanah Kadipaten Pakualaman.
    Pangeran Mangkubumi mendapat bagian wilayah negara agung di sekitar Surakarta dan Yogyakarta serta wilayah mancanegara yang meliputi Madiun, Magetan, Caruban, sebagian Pacitan, Kertasana, Kalangbret, Ngrawa (Tulungagung), Mojokerto, Bojonegoro, Teras Karas (diperkirakan sekitar Ngawen), Kedu, Sela, Warung (diperkirakan sekitar Kuwu Wirasari), dan Grobogan. Pembagian wilayah ini merupakan bagian dari strategi VOC memecah belah kekuasaan Paku Buwono III di Keraton Surakarta dan Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) I di Yogyakarta (lihat G Moedjanto dalam Kasultanan Yogyakarta & Kadipaten Pakualaman, 1994).
    Moedjanto yang merupakan sejarawan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta mengungkapkan, campur tangan pemerintah kolonial terhadap Keraton Yogyakarta dan Surakarta tidak berhenti di situ.
     Setelah berakhirnya pemberontakan Pangeran Diponegoro tahun 1830 dan mulainya perlawanan Paku Buwono VI, Belanda kembali mengebiri wilayah kekuasaan Yogyakarta dan Surakarta. Daerah kekuasaan Keraton Yogyakarta di Jawa Tengah dan Jawa Timur dicaplok hingga tinggal tersisa wilayah Yogyakarta seperti di dalam peta saat ini.
    Dengan wilayah kekuasaan yang semakin terbatas, Sultan HB V dan HB VI masih bermurah hati memberikan sebagian tanah keraton kepada para abdi dalem. Karena kebijakan inilah hingga saat ini tidak semua kawasan jeron mbeteng (dalam keraton) adalah milik keraton. Pasalnya, sebagian dari wilayah tersebut telah menjadi hak milik abdi dalem beserta keturunannya.
    Pemberian hak milik keraton juga pernah dilakukan Sultan HB VII (1877-1921) saat memberikan dua ndalem (rumah tinggal) kepada dua putranya, Kanjeng Gusti Pangeran Aryo (KGPA) Hangabehi dan Gusti Pangeran Haryo (GPH) Puruboyo. Dari 78 anaknya, hanya dua putra ini yang mendapat warisan hak milik rumah tinggal.
    Kebijakan memberikan hak milik kepada ahli waris ternyata justru membuat aset-aset keraton terlepas. Dua ndalem pemberian Sultan HB VII itu akhirnya dijual kepada salah seorang pengusaha pada era rezim Soeharto. Sampai sekarang tinggal tersisa beberapa ndalem di wilayah keraton, seperti ndalem Pujokesuman, Mangkudiningratan, Suryobratan, Suryowijayan, Mangkubumen, Notoprajan, Benawan, Suryaputran, dan ndalem Joyokusuman.



    Ahli pertanahan sekaligus anggota tim asistensi Rancangan Undang-Undang Keistimewaan DIY, Suyitno, mengungkapkan, seiring perkembangan zaman, tanah-tanah milik Keraton Yogyakarta terus-menerus menyusut. Hingga saat ini, tanah yang terdaftar sebagai Sultan Ground dan Paku Alam Ground hanya tinggal sekitar 3.900 hektar atau 1,2 persen dari 318.518 luas DIY.
    ”Tanah-tanah tersebut tersebar di sebagian wilayah DIY dan tercatat di arsip peta desa. Sejak tahun 1918, sebagian tanah telah diberikan kepada rakyat dan kemudian dikonversi menjadi hak milik,” paparnya.
    Sejak era Sultan HB IX, Keraton Yogyakarta menyediakan tanah-tanah miliknya untuk dimanfaatkan sebagai fasilitas umum, seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), Kantor Gubernur DIY (Kepatihan), Gedung DPRD DIY, dan kantor-kantor bupati/wali kota yang tersebar di lima daerah. Selain itu, rakyat juga dapat memanfaatkan tanah-tanah keraton setelah mengajukan permohonan serat kekancingan.
    Mulai tahun 1946, Keraton Yogyakarta turut merintis berdirinya UGM yang kemudian berkembang pesat menjadi universitas ternama di negeri ini. Ini pertanda Sultan HB IX sangat peduli terhadap pentingnya pendidikan untuk mempersiapkan calon-calon pemimpin bangsa.
Kompas/Ferganata Indra Riatmoko
Suasana pagi hari di perkampungan RT 03/ RW 01, Kelurahan Ngampilan, Kecamatan Ngampilan, Yogyakarta, yang sebagian tanahnya berstatus tanah Magersari, Selasa (13/3). Warga menghuni tanah milik Keraton Yogyakarta yang dahulunya merupakan areal kuburan tersebut dengan membayar melalui paguyuban dan kemudian disetor ke Keraton Yogyakarta sebesar sekitar Rp 5.000 per rumah setiap enam bulan sekali.
    Sultan HV IX merelakan gedung-gedung keraton sebagai tempat kuliah. Kearifan ini juga diikuti para petinggi-petinggi ningrat waktu itu yang juga merelakan rumah-rumah mereka sebagai tempat perkuliahan.
    Sebelum bangunan UGM berdiri, Pagelaran Keraton sempat dimanfaatkan sebagai ruang kuliah fakultas ilmu sosial dan ilmu politik (Fisipol). Beberapa ndalem milik keraton juga digunakan sebagai tempat kuliah, seperti fakultas kedokteran di ndalem Mangkubumen dan fakultas sastra di ndalem Yudhoningratan. Adapun ndalem Notoprajan dijadikan sebagai asrama mahasiswa.
    Kawedanan Hageng Punakawan Wahana Sarta Kriya Keraton Yogyakarta Gusti Bendara Pangeran Haryo (GBPH) Hadiwinoto mengatakan, untuk menjaga sisa-sisa aset keraton, setelah kepemimpinan Sultan HB VII, hak milik atas tanah atau ndalem tidak diberikan kepada keturunan-keturunan sultan. Seluruh kerabat keraton hanya diizinkan mendapat hak pakai atas tanah atau ndalem dan tidak boleh memiliki secara pribadi aset-aset keraton tersebut.
    ”Seluruh putra-putri Sultan HB IX dan HB X tidak ada yang diberi hak milik tanah ataupun ndalem keraton. Bisa dibayangkan, kalau tanah-tanah keraton dibagi-bagi kepada semua ahli waris sejak periode Sultan HB I, maka aset keraton sudah habis sejak lama,” kata Hadiwinoto.
    Bahkan beberapa kawasan keraton yang dahulu merupakan atribut negara sama sekali tak bisa diwariskan, seperti keraton, alun-alun utara dan selatan, Masjid Gedhe, kepatihan, dan Gedung DPRD DIY. Tanah-tanah ini disebut tanah mahkota.
    Ketegasan pihak keraton menjaga aset-asetnya tidak lain untuk memelihara keraton sebagai pusat warisan budaya Yogyakarta. Sejak kepemimpinan Sultan HB X pula, keraton bukan lagi menjadi istana yang tertutup, tetapi justru dibuka lebar-lebar untuk masyarakat umum agar gurat-gurat sejarah dan nilai-nilai di dalamnya tak hilang ditelan zaman.
    Kini, keberlangsungan sejarah Keraton Yogyakarta berada di tangan Sultan HB X dan masyarakat Yogyakarta. Meski tak lagi sebesar dan seluas dahulu, Keraton Yogyakarta tetap diharapkan menjadi prasasti sejarah kebudayaan yang adiluhung.