Chandra Sasadara
Ono kidung rumekso ing wengi
Teguh hayu luputo ing loro
Luputo bilahi kabeh
Jim setan datan purun
Paneluhan tan ono wani
Miwah kang nggawe olo
Geni atemahan tirto
Maling adoh tan ono ngarah ing mami
Guno duduk pan sirno….
Teguh hayu luputo ing loro
Luputo bilahi kabeh
Jim setan datan purun
Paneluhan tan ono wani
Miwah kang nggawe olo
Geni atemahan tirto
Maling adoh tan ono ngarah ing mami
Guno duduk pan sirno….
Kidung yang dilaras istrinya itu tidak mampu mengusir galau Samuji. Hanya kopi dan asap rokok klobotlintingan yang tidak henti dinikmatinya. Setiap kali mengeluh kepada istrinya, Samuji hanya mendapat jawaban “jalani saja, semua telah menjadi keputusan para petani.” Kalaupun ia mau menerima tugas yang diputuskan dalam rapat di balai desa itu tidak lebih karena kegiatan yang akan dilakukan merupakan tradisi tahunan desa. Tidak ada yang istimewa dengan acara untuk memulai menanam padi itu. Ia bepikir bahwa kegiatan tahun ini juga akan berjalan secara baik seperti tahun-tahun sebelumnya. Lagi pula dirinya tidak mungkin menolak keputusan orang banyak dalam rembug desa.
Sebenarnya ia tidak akan ambil pusing kalau hanya menjadi anggota dalam kepanitiaan, tapi kali ini tanggung jawab sebagi ketua panitia membuat bumi yang dipijaknya bergoyang setiap kakinya melangkah. Sejauh ini dirinya belum mekakukan persiapan apapun untuk menyelenggarakan tedhun di desanya. Ulu ulu sudah menanyakan tentang persiapan kegiatan tersebut. Ulu ulu berkepentingan dengan pembagian jatah air irigasi. Jika tedhun di desanya terlambat dilakukan maka jatah air yang diterima desa bagian hilir akan terlambat. Itu akan menyulut kembali konflik air yang pernah terjadi beberapa tahun lalu.
Ketika Samuji menyampaikan kendala persiapan kegiatan kepada kepala desa, ia mendapat jawaban yang justru tidak diinginkan. Para petani ada di belakang Samuji, tidak perlu ada yang dikhawatirkan kata kepala desa. Padahal bukan itu jawaban yang diharapkan oleh Samuji dari orang nomor satu desanya. Ia menginginkan kepala desa bisa mendamaikan dua pihak yang berselisih soal pelaksanaan tedhun tahun ini.
Kalau ia mau, tidak ada yang perlu dikhawatirkan untuk melaksanakan tedhun, seperti kata kepala desa. Ia yakin bahwa masyarakat petani dan pejabat desa pasti berdiri dibelakangnya, membelanya. Ibarat orang maju perang, kemenangan telah berada dalam genggamanya. Tapi justru itu yang membuat dirinya galau, kemenangan macam apa yang harus dinikmati kalau harus mengoyak persaudaraan warga desa. Yudistitra sekalipun akan tetap dihantui kematian saudara-saudaranya dari pihak kurawa, kakek Bhisma, Guru Drona dan anak-anak pandawa meskipun berhasil merebut Hastina Pura, Indraprasta dan jajahanya dalam bharatayuda.
Samuji tidak mau tedhun tahun ini justru merusak kehangatan dan kekeluargaan masyarakat di desanya. Ia sangat khawatir sebagian warga desa tidak saling bertegur sapa ketika berpapasan. Tidak saling uluksalam saat kenduri bahkan saling membuang muka ketika berada di dalam masjid desa. Ia tidak berani membayangkan kalau sampai hal tesebut terjadi. Duh Gusti, cobaan apa ini. Batin Samuji tertekan.
*****
Malam itu keringat Samuji belum kering setelah membantu istrinya mengaduk nasi ketan bercampur ragi untuk dibuat tape. Tiba-tiba tiga orang tamu datang. Bukan orang lain, mereka Pak Wahab dan dua orang muridnya. Setelah mempersilakan tamunya duduk, Samuji masuk ke dapur untuk memberi tahu istrinya bahwa ada tiga orang tamu. Beberapa saat istri Samuji keluar dari dapur dengan tape di piring dan empat cangkir kopi. Pak Wahab tanya kabar, kesehatan dan usaha tape yang dikelola Samuji dan istrinya. Samuji menjawab dengan kalimat “alhamdulillah” sambil terus tersenyum kepada tiga tamunya itu.
“Maaf Pak Wahab, kalau boleh tahu ada hal penting apa yang membuat bapak datang ke rumah kami.”
“Begini, kami dengar Pak Samuji telah ditunjuk oleh petani untuk menjadi panitia tedhun musim tanam tahun ini.”
“Tidak salah Pak.”
“Kapan rencana kegiatan tersebut akan dilakukan?”
“Menurut perhitungan harus dilakukan Kamis Kliwon Pak.”
“Mengapa harus Kamis Kliwon?”
“Itu hari dan pasaran yang baik untuk melakukan tedhun menurut leluhur desa ini.”
“Pak Samuji tahu bahwa percaya terhadap hari baik atau buruk itu tidak boleh dalam Islam, itu tahayul.”
“Saya hanya menjalankan tradisi yang telah berlaku sejak dulu Pak Wahab.”
“Pak Samuji perlu tahu, kami datang di sini untuk mencegah agar kegiatan tedhun mulai tahun ini tidak boleh dilakukan. Tedhun itu perbuatan syirik, menyekutukan Allah.”
“Kalau soal itu saya tidak tahu Pak, bapak bisa bicarakan dengan kepala desa atau Modin Marjuki.”
“Bukankah Pak Samuji ketua panitia?”
“Betul Pak Wahab, tapi saya tidak mengerti urusan yang bapak bicarakan.”
“Pak Samuji! kalau bapak sebagai ketua panitia tidak bisa diingatkan dengan lisan maka kami tidak bertangung jawab kalau ada keributan di desa ini sebelum atau sesudah perbuatan syirik itu dilakukan.” Salah seorang murid Pak Wahab memberi tekanan.
Tiba-tiba dunia terasa gelap. Samuji lemas, berkunang-kunang dan kepalanya sangat berat. Sebagai petani, belum pernah Samuji menerima ancaman seperti itu, apalagi datang dari orang-orang yang dianggapnya lebih tahu urusan agama dibanding dirinya. Samuji terus bertanya, bagian mana yang dianggap menyekutukan Allah dari kegiatan tedhun. Bukankah dalam ajaran agama perbuatan menyekutuan Allah itu tidak bisa diampuni. Apakah selama ini leluhur desa tidak tahu kalau tedhun itu perbuatan yang membuat Gusti Allah murka. Duh Gusti, berikan petunjuk.
Selesai berjamaah subuh di masjid, Samuji sengaja menemui Modin Marjuki untuk membicarakan ancaman dari Pak Wahab dan dua orang santrinya. Ia juga ingin mendapat penjelasan tentang tedhun dalam ajaran Islam. Modin Marjuki adalah orang yang dianggap tahu tentang agama selain Pak Wahab. Ia yang biasa menjadi rujukan warga desa setiap ada pertanyaan tentang agama.
“Saya sudah tahu, kamu akan mendapat kesulitan dari Wahab,” kata Modin Marjuki sambil mengalungkan sorbanya di leher.
“Dari siapa Mbah Modin tahu?”
“Saya sudah lama mengamati cara Wahab menyampaikan da’wahnya.”
“Lalu apa yang harus saya lakukan Mbah?”
“Lakukan tugasmu sebagai ketua panitia tedhun dengan baik, jangan pikirkan yang lain.”
“Tapi mereka mengancam Mbah.”
“Apa kamu lupa kalau negara ini punya hukum dan polisi?” suara Modin Marjuki terdengar tinggi.
“Mbah, apa betul tedhun itu perbuatan menyekutukan Gusti Allah dan menggunakan petungan nogo dinoitu tahayul yang dilarang agama?”
Sebelum menjawab pertanyaan terakhir yang diajukan oleh Samuji, Modin Marjuki tertawa sampai terbatuk-batuk. Perhitungan tentang waktu itu dimiliki oleh semua kebudayaan manusia, Mbah Modin mulai menjelaskan. Bukan hanya orang Jawa, orang arab juga memiliki perhitungan tentang waktu bahkan setelah Kanjeng Nabi datang membawa Islam. Orang arab sebelum Islam menjadikan Dzulkaidah, Dzulhijah dan Muharam sebagai bulan untuk melaksanakan ritual agama, salah satunya haji. Sedangkan bulan Rajab dipilih sebagai bulan untuk berdagang. Pada saat Islam datang, Dzulhijah masih dipertahankan sebagai bulan untuk melakukan ibadah haji.
Ramadhan ditetapkan sebagai bulan suci untuk mejalankan ibadah puasa sedangkan tanggal-tanggal gajil di paruh ketiga bulan itu dipercaya sebagai malam turunya lailatul qodar, malam penuh pahala dan ampunan. Al-Qur’an di yakini diturunkan pertama kali pada bulan Ramadhan, karena itu setiap bulan Ramadhan umat Islam memperingati Nuzul Al-Qur’an. Kalau bulan-bulan itu bukan waktu yang baik, lalu untuk apa dipilih dan terpilih. Seperti kita dianjurkan puasa Senin dan Kamis oleh Kanjeng Nabi. Begitu pula Kamis Kliwon yang dipilih untuk melakukan tedhun.
Sampai di situ penjelasan Modin Marjuki bisa diterima oleh Samuji meskipun masih menyimpan pertanyaan. Apa mungkin petungan nogo dino bisa disamakan dengan bulan-bulan atau hari suci yang ada dalam kepercayaan agama Islam. Bagaimana kalau petungan itu salah dan menyesatkan, tapi untuk apa dipertahankan hingga saat ini kalau memang menyesatkan. Mungkin betul penjelasan Modin Marjuki bahwapetungan Jawa itu untuk menemukan waktu yang terpilih. Samuji terus bertanya dan berusaha menemukan jwabanya sendiri dalam hati.
Tedhun itu tradisi yang kita warisi dari leluhur desa ini. Mbah Modin meneruskan. Tentu saja memiliki pesan.Tedhun dilakukan sebagai bentuk syukur kepada Gusti Allah yang telah memberikan kesuburan tanah, air melimpah, ternak yang kuat dan kesehatan para petani sehingga bisa melakukan tandur. Nenek moyang dulu menggunakan kegiatan itu untuk membangun kesadaran petani agar rela berbagi wineh, air irigasi dan tenaga saat tanam dan panen. Pesan kesadaran itu disimbolkan dalam lampa mbisu dan uborampe sepertitumbak sewu dan tumpengan.
Lampa mbisu itu mengingatkan agar petani giat bekerja, tidak banyak bicara dan saling membantu. Tumbak sewu memuat pesan bahwa kerja keras harus disertai dengan sikap berserah diri kepada Gusti Allah. Sedangkan tumpengan agar semua warga yang hadir bisa makan bersama, guyub dan rukun. Jadi makanan itu tidak untuk dipersembahkan kepada penunggu sawah atau kuburan. Kalaupun penunggu sawah itu ada, mungkin mereka tidak akan menang berebut tumpeng dengan kita. Modin Marjuki mengkhiri kalimatnya sambil tertawa.
Samuji masih menyimpan satu pertanyaan, mengapa lampa sewu harus dimulai dan berdo’a di cungkup punden deso. Mungkin kegiatan itu yang dianggap oleh Pak Wahab dan murid-muridnya sebagai perbuatan syirik. Belum sempat ditanyakan oleh Samuji, Modin Marjuki sudah mulai menjelaksan. Ritual di cungkup punden deso bertujuan untuk mendo’akan leluhur desa, orang-orang yang merintis berdirinya desa ini. Agar amal dan ibadahnya diterima oleh Gusti Allah.
“Kalau sekedar mendo’akan leluhur bukankah bisa di rumah atau di masjid?” Samuji penasaran.
“Di jamban juga bisa,” jawab Modin Marjuki sinis.
“Maksud Mbah Modin?”
“Kapan lagi kalian ingat, menengok, membersikan kuburan dan berdo’a untuk leluhur kalau tidak saattedhun?”
“Ya Mbah Modin,” jawab Samuji sambil tersenyum.
*****
Pak Wahab datang di desa ini dua tahun sebagai pedagang madu keliling sambil menawarkan jasa bekam. Ia bukan hanya jualan di desa ini saja, namun juga berkeliling di desa tetangga. Ia tidur di serambi masjid sambil mengajar baca Al-qu’an kepada anak-anak setelah magrib. Pada bulan ketiga ia sudah mengontrak rumah yang terletak di pojok desa. Agak jauh dari rumah-rumah lain di desa. Anak-anak yang sebelumnya mengaji di masjid, sebagian ada yang ikut pindah ke rumah kontrakan Pak Wahab agar tetap bisa diajar membaca Al-qur’an.
Pada bulan kelima, orang-orang yang mengaji di tempat Pak Wahab bertambah banyak termasuk beberapa orang dari desa lain dan dua orang yang mengaku satu daerah dengan Pak Wahab. Pak Wahab bukan hanya mengajar mengaji bacaan Al-qur’an, juga mengajar tentang akidah dan syari’ah. Ia juga sering diundang oleh warga untuk memberikan ceramah pada acara keluarga seperti sunatan, pengantenan dan akiqah. Namun ia tidak pernah mau datang kalau diundang untuk menghadiri yasinan atau tahlilan.
Dalam beberapa kesempatan Pak Wahab menjelaskan bahwa yasinan dan tahlilan itu perbuatan bid’ah dalam Islam karena tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad. Bahkan menurutnya peringatan Maulid Nabi dan peringatan Isra’ Mi’raj juga haram untuk dilakukan karena termasuk perbuatan tashabuh, penyerupaan. Peringatan maulid nabi dianggap menyerupai peringatan Natal sedangkan Isra’ Mi’raj dianggap menyerupai peringatan hari kebangkitan Jesus Kristus dalam tradisi kristiani.
Pada suatu pengajian Pak Wahab menyampaikan bahwa tedhun yang setiap musim tanam padi dilakukan oleh para petani itu perbuatan syirik yang dosanya tidak dapat diampuni. Menurutnya, orang-orang yang tidak mengkafirkan para pelaku syirik itu bisa digolongkan sebagai kafir dan mereka boleh diperangi.
Usaha Pak Wahab untuk menggagalkan tudhen tahun ini semakin gencar, bukan hanya melalui ceramah dan mengacam Samuji. Bahkan dua orang murid yang mengaku berasal dari satu daerah denganya pernah mendatangi cungkup punden deso untuk dirobohkan. Hampir saja terjadi pekelaian antara dua murid Pak Wahab dengan beberapa penggembala kambing yang sedang berteduh di cungkup itu.
*****
Pagi itu Kamis Kliwon. Sebelum matahari mulai menyengat tubuh, para petani mulai berkumpul di cungkup punden deso yang terletak di utara desa. Untuk mencapai cungkup itu warga harus melewati kuburan desa dan kebun warga. Hampir semua warga desa hadir, duduk melingkari cungkup. Tumpeng, bekakak, nasi dengan berbagai lauk pauk, jajanan pasar, sayur sayuran, kacang-kacangan ditata di tengah-tengah lingkaran tempat duduk warga. Mereka semua diam, Modin Marjuki mulai memimpin bacaan surah-surah pendek Al-qur’an, kemudian Surah Yasin, disusul bacaan tahlil secara bersamaan dan diakhiri dengan do’a untuk kebaikan penghuni kubur.
Selesai berdo’a Modin Marjuki meminta semua warga yang hadir untuk beridiri dan membawa semua makanan, termasuk tumpeng dan tumbak sewu dengan cara disunggi dan tanpa berbicara. Ini ritual lampa mbisu, berjalan mengular melewati pematang sawah menuju pohon doro tunggal di tengah hamparan sawah, satu-satunya pohon yang ada di hamparan sawah desa. Sampai di tempat yang dituju semua makanan diturunkan, ditata melingkar dengan tumbak sewu sebagai pusatnya.
Hanya Samuji yang tidak dapat mengikuti ritual tedhun secara kusyuk. Sejak ritul do’a di cungkup punden desa ia tidak bisa menutupi kegelisahan hatinya mengingat ancaman Pak Wahab dan muridnya. Berkali-kali ia melempar pandanganya keliling hamparan sawah. Samuji takut ritual yang sedang berlangsung itu tiba-tiba diobrak-abrik Pak Wahab dan para muridnya. Ia ingin sekali membisikan kepada Modin Majuki agar segera menutup ritual dengan ucapan syukur dan do’a keselamatan.
Sudah puluhan kali Samuji mengikuti ritual tedhun, baru sekali ini ucapan syukur dan do’a modin terasa panjang. Tidak mungkini ia meminta modin mempercepat do’anya. Kegelisahan Samuji tidak lagi bisa ditahan. Ia sengaja mengeraskan suara “amin” di antara bacaan do’a Modin Marjuki. Do’a selesai dibacakan, semua yang hadir membaca Surah Al-fatiha sebagai tanda berakhirnya ritual tedhun. Samuji cepat berdiri, memimpin pembagian isi tumbak sewu yang terbuat dari singkong, wortel, dan lobak utuh kepada warga sebelum orang-orang dipersilakan makan bersama.
Namun sebelum do’a makan dibaca oleh Samuji. Seorang polisi berseragam datang dan berbisik kepada kepala desa. Sesaat kemudiaan kepala desa menyampaikan kepada warga bahwa Pak Wahab telah ditangkap oleh satuan khusus polisi karena dituduh menyembunyikan dua orang buronan. Semua yang hadir diam, Modin Marjuki memejamkan mata. Samuji lemas, merasa kehilangan keluarganya. Sambil berlinang air mata Samuji meminta kepada semua warga yang hadir untuk berdiri, berdo’a bersama meminta ampunan, keselamatan dan kebaikan bagi Pak Wahab serta keluarganya.
Daftar Kata :
Tedhun: ritual memulai tanam padi
Laras: bernyanyi
Klobot: kulit jagung
Rembug: musyawarah
Ulu-ulu: pengelola air irigasi tingkat desa
Uluk: mengucapkan
Modin: orang yang menangani urusan keagamaan di desa
Petungan nogo dino: perhitungan untuk mencari hari dan pasaran yang baik dalam budaya Jawa
Wineh: bibit tanaman padi
Lampa mbisu: jalan tanpa berbicara
Uborampe: persyaratan ritual
Tumbak sewu: salah satu sesaji yang terdiri dari hasil tani yang berbentuk lonjong (singkong, labu, wortel dll)
Akidah: tentang ketuhanan
Syari’ah: tentang hukum Islam
Tumpengan: nasi putih yang berbentuk kerucut
Cungkup: bangunan beratap yang didirikan di atas kuburan
Punden (pepunden): leluhur
Jamban: tempat buang air
Yasinan: tradisi membaca Surah Yassin (Surah Pendek dalam Al-qur’an)
Tahlilan: tradiri membaca kalimat “la illaha illa Allah”
Disunggi: di letakkan di atas kepala
Read more: http://baltyra.com/2012/03/06/tedhun/#ixzz1pt8Jt300
Tidak ada komentar:
Posting Komentar