Yogyakarta - Enam provinsi; DKI Jakarta, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Nanggroe Aceh Darussalam, dan Sulawesi Selatan, akan terlibat dalam pembahasan rencana aksi pendidikan inklusif yang akan diterapkan secara nasional.
Pembahasan rencana aksi pendidikan inklusif (sekolah yang menerima murid-murid berkebutuhan khusus) tersebut digelar dalam bentuk lokakarya di Yogyakarta, pada Rabu (14/3), dan telah dibuka secara resmi oleh Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Suyanto di Yogyakarta, Selasa malam (13/3).
"Ada banyak tantangan dalam menjalankan pendidikan inklusif, meskipun perkembangannya dalam beberapa tahun terakhir ini menunjukkan kecenderungan semakin baik," kata Suyanto usai membuka lokakarya tersebut.
Ia mengatakan, jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) usia sekolah yang telah mengikuti pendidikan di sekolah inklusi, khususnya SD dan SMP, sudah semakin bertambah dari tahun ke tahun.
Orangtua, lanjut dia, sudah mulai memiliki kesadaran tentang arti pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka yang berkebutuhan khusus.
"Namun, orangtua dari anak-anak yang normal juga perlu terus diberi pengertian dan sosialisasi tentang pendidikan inklusi ini. Biasanya, mereka tidak ingin anaknya belajar bersama dengan anak berkebutuhan khusus," katanya.
Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jumlah sekolah inklusi di seluruh Indonesia mencapai 1.200 sekolah, dengan rata-rata jumlah siswa berkebutuhan khusus adalah lima orang per sekolah.
Ia berharap, jumlah sekolah inklusi tersebut dapat terus dipertahankan untuk tahun mendatang atau ada penambahan dari jumlah siswa berkebutuhan khusus yang mengenyam pendidikan formal di sekolah inklusi.
"Karena, tidak semua anak berkebutuhan khusus bisa masuk sekolah inklusi. Hanya cacat ringan yang bisa masuk inklusi seperti tuna rungu, tuna netra atau tuna daksa," katanya.
Sementara itu, untuk lebih meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB), maka mulai tahun anggaran 2012, telah dialokasikan dana sebesar Rp50 juta untuk biaya penyelenggaraan sekolah.
"Biaya penyelenggaraan SLB lebih mahal dibanding sekolah reguler, karenanya ada biaya operasional yang diberikan pemerintah," katanya.
Di Indonesia tercatat sebanyak 1.800 SLB dengan tidak kurang mendidik 75.000 siswa.
Sedangkan Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta Baskara Aji mengatakan, di DIY sudah ada 83 persen anak berkebutuhan khusus usia sekolah yang mendapatkan pendidikan formal baik di SLB ataupun di sekolah inklusi.
"Masih ada 17 persen yang belum mengikuti pendidikan formal. Dalam tiga tahun terakhir, jumlah anak berkebutuhan khusus yang mengikuti pendidikan inklusi sudah meningkat sekitar 30 persen," kata Baskara.
Ia mengatakan, telah bekerja sama dengan Balai Latihan Pendidikan Teknik (BLPT) untuk memberikan pendidikan keterampilan bagi anak berkebutuhan khusus tersebut, sehingga diharapkan mampu meningkatkan kemandirian anak selepas dari pendidikan formal.
"Harapannya mereka mampu mandiri, baik membuka lapangan kerja sendiri atau bekerja di perusahaan," lanjutnya.
Lokakarya pendidikan inklusif tersebut juga didukung oleh lembaga Helen Keller Indonesia (HKI) dan USAID. HKI telah melakukan penelitian di sejumlah daerah tentang pendidikan inklusi.
Hasil dari penelitian tersebut adalah kegiatan belajar mengajar masih belum dilakukan secara khusus, misalnya tidak ada tambahan penggunaan sarana bagi anak berkebutuhan khusus.
Selain itu, pengajar masih menekankan pada pencapaian kurikulum dan bukan karakteristik anak, serta penilaian hasil belajar masih menggunakan sistem untuk siswa secara umum. [TMA, Ant]