Batik dan Politik Kekuasaan
Thursday, 16 February 2012
Viewed 748 times, 2 times today | 20 Comments |
Joko Prayitno
Batik beberapa tahun belakangan begitu digandrungi dan dirayakan dengan berbagai acara seremoni megah di beberapa kota di Jawa. Kain atau pun tehnik ini menjadi ikon nasionalisme masyarakat Indonesia khususnya Jawa karena warisan masa lalu yang masih hidup ini telah ditetapkan oleh Unesco sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) sejak 2 Oktober, 2009.
Begitu bangganya, masyarakat di kota Solo mengadakan berbagai acara yang bertemakan batik, dari fashion show hingga yang termegah adalah Solo Batik Carnival. Selain itu murid-murid di sekolah dan para pegawai diwajibkan menggunakan baju batik setiap jumat. Dan ketika hari kemerdekaan RI masyarakat di Solo diwajibkan bergotong-royong menghiasi gapura masuk perkampungan dengan motif batik.
(Koleksi: Perpustakaan Sanapustaka Kraton Kasunanan Surakarta)
Menurut Henk Schulte Nordholt, pada tingkat yang kurang lebih sadar, kebiasaan berpakaian sudah menjadi alat, membentuk dan mereproduksi berbagai kelompok orang-orang dalam arti bahwa batas-batas antara kelompok-kelompok tersebut menjadi sangat jelas dan oleh karena itu sukar dilangkahi. Baik negara maupun kelompok kepentingan menggunakan kode-kode berpakaian untuk menciptakan penampilan kuat dari kontrol negara, kebangsaan atau solidaritas kelompok:
“negara baik lama maupun yang baru telah membangun jiwa korps mereka dengan jalan mencukur jenggot dan kumis, berpakaian, melakukan vaksinasi dan menghitung jumlah penduduknya, dalam cara yang sama dengan golongan yang baru tampil, kelompok etnis, gerakan keagamaan serta persekutuan politik mereka cenderung memakai kesadaran diri mereka pada kulit mereka”.
Artinya bahwa fashion (mode) dapat menjadi alat politik penguasa untuk membentuk segregasi sosial pada masyarakat. Pada masyarakat kerajaan di Indonesia pakaian raja, bangsawan dan rakyat biasa selalu dibedakan baik kualitas, desain maupun waktu penggunaannya. Hal ini sebagai pembeda dari status sosial mereka, dan ini berlanjut hingga kolonisasi yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa di Indonesia. Segregasi sosial melalui pakaian sangat terlihat jelas pada masa kolonial Belanda terutama di daerah kerajaan yaitu Surakarta.
Pameran kebesaran kerajaan dilakukan melalui berbagai upacara seremoni yang diselenggarakan setiap tahun juga menunjukkan hegemoni kekuasaan terhadap pemakaian pakaian bagi masyarakat dengan peraturan pelarangan penggunaan motif batik tertentu bagi masyarakat Surakarta. Ada beberapa motif batik yang tidak dapat digunakan oleh masyarakat Surakarta yaitu motif Hoek, yang diperuntukan bagi raja, permaisuri raja, pangeran dan orang yang berpangkat Adipati serta anak-anak perempuan raja.
Motif yang kedua adalah parang roesak yang diperuntukkan bagi keluarga raja dan anak-anak raja dari permaisuri. Motif ketiga adalah Semen Ageng Sawat Garoeda yang digunakan oleh keluarga raja. Motif keempat adalah Oedan Iris, penggunaan motif ini diberlakukan kepada keluarga raja dan anak-nak raja yang berasal baik dari permaisuri maupun selir. Motif kelima adalah Roedjak Sente, yang digunakan oleh seluruh keluarga raja. Sedangkan motif batik Kawoeng hanya diperbolehkan untuk cucu raja dari permaisuri dan para bupati. Motif Semen Alit digunakan oleh bupati dan mantri penewu. Motif batif Slobok digunakan oleh mantri penewu dan penjaga kerajaan. Motif batik Tjilatjap Kemitir digunakan oleh panji, mantri, sersan yang bertugas sebagai kepala pasukan pada saat jaga dan pada saat acaragerebeg.
Motif Batik Semen Ageng Sawat Garuda (Koleksi: www.kitlv.nl)
Pelarangan penggunaan motif batik yang dilakukan oleh pihak istana kerajaan Jawa tidak lain adalah sebuah pertunjukkan dari semakin hilangnya kekuasaan politik kerajaan akibat kolonialisme Belanda. Alih-alih melakukan perlawanan secara nyata terhadap kolonialisme Belanda, kerajaan Jawa melakukan perlawanan simbolik melalui berbagai upacara-upacara seremoni gemerlap untuk menunjukkan kebesarannya.
Patut dicermati juga bahwa batik yang sejak dahulu telah menjadi alat politik kekuasaan, juga menjalar hingga saat ini. Peraturan memakai batik di hari tertentu bagi murid-murid sekolah dan pegawai, carnaval-carnaval batik yang gemerlap tidak lain adalah bentuk simbolik bahwa dengan hal itu semua kekuasaan tradisi akan tetap terjaga dan bentuk kemenangan dari semakin bebasnya pasar dalam menentukan mana yang bagus dipakai dan tidak.
Read more: http://baltyra.com/2012/02/16/batik-dan-politik-kekuasaan/#ixzz1pt6QGqJN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar