Prof. Dr. Hj. T. Fatimah Djajasudarma, “Eksistensi Budaya Daerah Berarti Eksistensi Budaya Nasional”
[Unpad.ac.id/19/03/2012] Indonesia merupakan negara yang kaya akan kebudayaan, salah satu contoh kekayaan budaya tersebut adalah banyaknya bahasa daerah yang tersebar di seluruh wilayah Republik Indonesia. Terdapat sekira 746 bahasa daerah, sebagai bahasa leluhur, warisan yang tak ternilai harganya. Tetapi, sekarang keberadaan bahasa Ibu tersebut terancam punah, salah satunya karena masalah globalisasi yang semakin “memaksa” kita menggunakan bahasa asing.
“Dari sekira 746 bahasa daerah, hanya 13 bahasa daerah yang tidak mengkhawatirkan. Dari ke-13 bahasa daerah tersebut salah satunya adalah bahasa Sunda, hal tersebut dapat dilihat dari Desertasi Universitas Indonesia (UI) tahun 1989, dimana penutur bahasa Sunda sebanyak 15% dari jumlah penduduk Indonesia yang saat itu berjumlah sekira 146 juta orang. Sekarang mungkin bertambah karena pendatang baru yang mempelajari bahasa Sunda untuk kepentingan komunikasi atau kepentingan penelitian budaya,”ungkap Prof. Dr. Hj. T. Fatimah Djajasudarma, Guru Besar Linguistik, Semantik dan Dialektologi Fakultas Ilmu Budaya Unpad.
Prof. Fatimah saat ditemui di ruang kerjanya di Fakultas Ilmu Budaya Lantai 3 kampus Unpad Jl. Raya Bandung Sumedang KM 21, Jatinangor, Senin (12/03) lalu mengungkapkan, pentingnya keberadaan bahasa daerah perlu diadakan usaha-usaha untuk merevitalisasi bahasa daerah yang akhir-akhir ini mulai “tersisihkan”. Jangan sampai bahasa daerah musnah karena ditinggalkan oleh penuturnya, karena musnahnya bahasa daerah juga mengindikasikan musnahnya pula satu peradaban manusia di dunia.
“Eksistensi budaya daerah berarti eksistensi budaya nasional,” lanjut Prof. Fatimah yang lahir di Garut 22 Februari 1944 ini.
Usaha yang dilakukanya dalam melestarikan dan mengembangkan bahasa daerah khusunya bahasa Sunda, dapat kita lihat dari beberapa karya tulisnya berupa buku bahasa mengenai bahasa Sunda, penelitian bahasa Sunda, dan makalah nasional dan Internasional mengenai bahasa Sunda. Bukan itu saja, saat melanjutkan pendidikan program Doktor (S-3) UI tahun 1986, atas masukan dari pembimbingnya saat itu Prof. Anton Moeliono, beliau pun mendaftarkan bahasa sunda ke UNESSCO. Sehingga pada tahun 2004 yang lalu bahasa Sunda terdaftar menjadi bahasa daerah ke-33 di Dunia.
Bisa kita bayangkan bahasa Sunda menjadi bahasa daerah ke-33 diantara bahasa-bahasa di dunia yang jumlahnya sekira 6.000 bahasa. Hal tersebut berkat perjuangan Prof. Fatimah dalam melestarikan dan mengembangkan bahasa daerah yaitu bahasa Sunda. Dari prestasi-prestasi beliau hingga ia dianugrahi berbagai penghargaan, diantaranya International Professional Award of the Year dari Internasional Achievement Foundation (2004) dan Satyalencana Karya Satya 30 Tahun, tanda kehormatan dari Presiden Megawati Soekarnoputri (2001).
Perjalanan karier Prof. Fatimah bagaikan air yang mengalir terus memberikan kontribusi yang besar bagi bangsa dan negara. Tulisan beliau tersebar di jurnal dan media ilmiah baik di tingkat regional, nasional, dan internasional. Beberapa buku mengenai linguistik pun pernah dihasilkannya dan hingga kini banyak digunakan sebagai bahan ajar mahasiswa S-1 dan Pascasarjana. Bukunya yang sudah diterbitkan antara lain Gramatika Sunda (1987), Sematik 1 (1993), Sematik 2 (1993), Metode Penelitian Linguistik (1993), Wacana Pemahaman dan Hubungan Antarunsur (1994), Analisis Bahasa, Sintaksis dan sematik (1997), dan Penalaran Deduktif-Induktif dalam wacana Bahasa Indonesia (1999).
Tidak hanya itu, pada pesta buku Bandung di Landmark, Jl. Braga No. 129, Bandung pada bulan Februari 2012 lalu, Penerbit Kilat Jaya meluncurkan buku biografi “Fatimah Djajasudarma dalam Belantara Linguistik”. Buku tersebut merupakan perjalanan hidup dan karier Prof. Dr. Hj. T. Fatimah Djajasudarma. Perjuangan seorang perempuan menjalankan multifungsinya sebagai seorang istri, Ibu dan cita-citanya.
Latar belakang pendidikan Prof. Fatimah adalah Sarjana Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran (1968), Post Graduate Programme for General Linguistics and Austronesian Langueges di Universitas Leiden Nederland (1982), kemudian Program Doktor di Universitas Indonesia (1986) dan Postdoktor di J.W Goethe Universitat Frankfurt Jerman (1988). Ia pun pernah menjabat menjadi Dekan Fakultas Sastra Unpad pada tahun 2001-2005.
Prof. Fatimah bekerja sebagai tenaga pengajar di Fakultas Sastra Unpad sejak tahun 1989 dan di Program Pascasarjana Unpad sampai sekarang. Beliau membina mata kuliah, Metode Penelitian Linguistik, Teori-Teori Linguistik, Dialektologi, Semantik, filologi Bahasa, Analisis Wacana, Filsafat llmu dan fisafat Gramatika. Mahasiswa yang dididiknya telah banyak yang menjadi profesor, doktor, yang tersebar untuk mengamalkan ilmu di dalam dan di luar negeri.
Dari berbagai keberhasilannya tersebut, Prof. Fatimah masih menyimpan berbagai harapan. Karena bahasa daerah merupakan bahasa pendukung bahasa Indonesia yang keberadaannya diakui oleh negara. Untuk itu ia berharap pemerintah khusunya pemerintah daerah untuk lebih memperhatikan potensi daerahnya masing-masing.
“Bukan hanya kurikulum pendidikan dasar yang terus dibenahi, tapi juga kampanye-kampaye pariwisata melalui jargon-jargon di setiap daerah harus mengunakan unsur kedaerahan. Misalnya Selamat Datang di Bandung, Bukan hanya ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa nasional, tetapi harus ada bahasa daerahnya juga. Orang luar negeri datang ke Indonesia bukan karena ingin melihat budaya mereka, mereka datang ke Indonesia karena keanekaragaman budaya Indonesia yaitu budaya daerah,” pungkasnya. *
Laporan oleh: Purnomo Sidik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar