Magersari, Layanan Publik Keraton
Senin, 26 Maret 2012 | 14:03 WIB
Oleh: Thomas Pudjo Widiyanto dan Budi Kurniawan
Kompas/Ferganata Indra Riatmoko
Warga menuntun kendaraan mereka sebagai salah satu bentuk penghormatan terhadap Keraton Yogyakarta saat menggunakan halaman Kemagangan di sisi selatan Keraton Yogyakarta untuk jalan pintas penghubung antarperkampungan di lingkup Benteng Keraton Yogyakarta, Selasa (20/3).
Berjalan-jalan di Yogyakarta, khususnya di daerah ”jeron mbeteng” atau di dalam lingkup benteng Keraton Yogyakarta, akan terlihat jajaran rumah padat hunian. Bentuknya beragam, mulai dari sekadar tempat berteduh Jawa tradisional hingga gedongan dengan arsitektur ala Belanda. Inilah permukiman yang dihuni oleh masyarakat dan sebagian dari mereka adalah warga komunitas ”magersari”.
Sebuah permukiman di kawasan perkotaan yang masyarakatnya sama sekali tidak memiliki surat tanah apa pun dari pemerintah, tetapi bisa hidup turun-temurun tanpa terusik oleh siapa pun karena mereka memang hidup dalam tanah paringan ndalem, tanah pemberian Raja Keraton Yogyakarta. Sejak sebelum berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keraton Kasultanan Yogyakarta yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono (HB) VII memberikan tanah hak pakai di kawasan jeron mbeteng kepada masyarakat untuk ditempati sebagai permukiman.
Kalau lagu ”Yogyakarta” yang diciptakan penyanyi Katon Bagaskara bisa demikian unik, itu karena Katon memang menemukan keunikan di Yogyakarta. Wajar kalau banyak orang juga menyebut Yogyakarta sebagai kota yang unik. Sebuah kota yang tetap menghormati peradaban lama, tetapi juga menapaki peradaban modern. Kota yang terus berkembang dengan kekhasannya sendiri sejak Presiden Soekarno menetapkan sebagai daerah istimewa karena Yogyakarta sebagai sebuah negara (kerajaan) rela menggabungkan diri ke dalam Republik Indonesia.
Hidup magersari di dalam kawasan benteng keraton adalah peradaban lama yang sampai sekarang masih bertahan. Kehidupan magersari di Yogyakarta ini mencerminkan layanan publik dari seorang penguasa. Masyarakat boleh menempati tanah milik keraton tanpa harus terbebani biaya berat dan bisa berlangsung turun-temurun. Mereka bisa mendapatkan akses hidup di perkotaan dengan mobilitas yang begitu mudah.
Seperti kehidupan masyarakat di kawasan Taman Sari, sebuah situs permandian milik raja yang terletak di sebelah barat Keraton Yogyakarta. Sekitar 300 keluarga bermukim di sana. Warga yang terdiri dari para abdi dalem (pelayan keraton) dan masyarakat umum sudah menghuni secara turun-temurun di tempat itu tanpa terusik oleh siapa pun. ”Ya, saya sangat berterima kasih atas kebaikan keraton memberikan tempat terbaik untuk hidup sejak nenek moyang,” ujar Titik, pewaris ketiga dari keluarganya yang menetap di kompleks situs Taman Sari.
Sasongko yang nenek dan ayahnya sebagai abdi dalem keraton merasa tenteram karena percaya pihak keraton tidak akan menggusur semena-mena kepada warga yang hidup di tanah keraton.
Memang pada zaman modern yang serba komersial ini, Sasongko berpikiran bisa saja pihak keraton melakukan penggusuran, khususnya di kawasan Taman Sari yang memang letaknya strategis di tengah perkotaan. Ketika ada pemindahan pasar burung di Ngasem, tersebar isu bahwa kawasan Pasar Ngasem akan dijadikan kompleks perbelanjaan modern.
”Sempat beredar isu bahwa warga Taman Sari juga akan tergusur. Kenyataannya, pihak keraton tetap memberikan jaminan kepada kami tak akan tergusur,” katanya.
Kompas/Ferganata Indra Riatmoko
Ponijem (54) menunjukkan kuitansi pembayaran sewa tanah Magersari senilai Rp 4.200 per enam bulan di depan rumahnya di Kelurahan Ngampilan, Kecamatan Ngampilan, Yogyakarta, yang berdiri di atas tanah Magersari, Selasa (13/3). Warga menghuni tanah milik Keraton Yogyakarta yang dahulunya merupakan areal kuburan tersebut dengan membayar melalui paguyuban dan kemudian disetor ke Keraton Yogyakarta sebesar sekitar Rp 5.000 per rumah setiap enam bulan sekali.
Kehidupan magersari di Taman Sari memang sebuah contoh betapa masyarakat bisa memperoleh pengayoman, perlindungan. Puluhan tahun masyarakat bisa hidup aman dan nyaman di tempat tinggalnya meski tidak memiliki surat tanah, selain serat kekancingan (surat keterangan) hak pakai dari keraton.
Barangkali kasus magersari ini bisa memberi sedikit jawaban atas pesimisme Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dr Mochtar Mas’oed dalam pidato Dies Natalis ke-62 UGM tahun 2011 berjudul ”Untuk Apa Negara?”. Ia melihat di berbagai bagian dunia manusia serba mengeluh dan tema pokok mencuat: kekecewaan pada layanan publik yang tidak memadai. Kinerja negara dalam menjalankan kewajiban konstitusionalnya dipertanyakan. Negara di mana-mana digugat.
Kondisi umum itu sangat jauh berbeda, misalnya dibandingkan dengan warga Taman Sari yang selalu terlindungi.
Menurut Kepala Kawedanan Hageng Punakawan Wahana Sarta Kriya (Sekretariat) Keraton Yogyakarta Gusti Bendara Pangeran Haryo Hadiwinoto, sejak HB VII, peruntukan tanah keraton sudah tertata. Ada masyarakat yang diberi hak milik—dalam istilah keraton disebut hak andarbe. Ada pula warga masyarakat yang diberi hak anggaduh, yaitu pemilikan tanah yang sifatnya hak milik, tetapi masyarakat bisa memakai tanah keraton untuk tempat tinggal dan bisa berlangsung turun-temurun.
Menurut Hadiwinoto, pemberian tanah dalam status hak pakai itu dilakukan terus oleh pihak keraton. Entah itu untuk keperluan usaha, permukiman, atau keperluan sosial, seperti untuk makam. Terakhir, keraton baru saja memberikan serat kekancingan tanah hak pakai kepada 350 kepala keluarga di kawasan Ngebong, Kampung Terban, Kota Yogyakarta. ”Dasarnya, ya, hanya pakai, dan masyarakat hanya diwajibkan membayar Rp 150.000 sampai Rp 200.000 per tahun,” kata Hadiwinoto.
Berapa luas tanah milik Keraton Yogyakarta dan berapa masyarakat yang menggunakan, Hadiwinoto tidak tahu pasti. Sekitar 60 persen dari 3 juta penduduk DI Yogyakarta hidup dari tanah keraton, termasuk lungguh (tanah untuk menggaji perangkat desa) di DI Yogyakarta, semuanya milik keraton.
”Sebenarnya khusus di DI Yogyakarta, Pemerintah Republik Indonesia belum pernah memberikan gaji kepada perangkat desa yang gajinya tanah lungguh karena lungguh yang dipakai sekarang adalah tanah keraton,” ujarnya.
tulisan yg sangat menarik...kebetulan sy adalah salah satu warga yogya yg telah hidup selama lebih dari 30 tahun diatas tanah magersari(pengindung) Sekarang tanah tersebut akan dijual oleh pemilik hak guna SG , yg saya tanyakan apakah saya punya hak untuk dapat ganti rugi yang layak dan bagaimana perhitungannya( kami memiliki surat hak guna dr pemilik SG, mohon penjelasannya ...terimkasih
BalasHapus