Untuk selamatkan tari tradisional Indonesia, mungkinkan adanya perubahan
oleh Marzuki Hasan
13 Januari 2012
Jakarta, Indonesia - Pada November 2011, Badan PBB Urusan Pendidikan, Pengetahuan dan Budaya (UNESCO) secara resmi menambahkan Saman Gayo, sebuah tarian duduk dari daerah Gayo Lues, Aceh, dalam Daftar Warisan Budaya Takbenda yang Memerlukan Pelindungan Mendesak. Meski tradisi budaya Indonesia lainnya — termasuk batik dan wayang — telah pula diakui sebagai bagian warisan budaya dari Indonesia, Saman Gayo adalah yang pertama yang dinyatakan perlu adanya langkah-langkah mendesak untuk menyelamatkannya.
Jakarta, Indonesia - Pada November 2011, Badan PBB Urusan Pendidikan, Pengetahuan dan Budaya (UNESCO) secara resmi menambahkan Saman Gayo, sebuah tarian duduk dari daerah Gayo Lues, Aceh, dalam Daftar Warisan Budaya Takbenda yang Memerlukan Pelindungan Mendesak. Meski tradisi budaya Indonesia lainnya — termasuk batik dan wayang — telah pula diakui sebagai bagian warisan budaya dari Indonesia, Saman Gayo adalah yang pertama yang dinyatakan perlu adanya langkah-langkah mendesak untuk menyelamatkannya.
Selaku orang Indonesia dan pengajar tarian Aceh, saya bangga bahwa
Saman Gayo telah diakui oleh UNESCO. Namun, saya juga khawatir bahwa
alih-alih melestarikan tarian ini tetap hidup, status baru Saman Gayo
malah secara tidak sengaja akan membuatnya mandeg dan merosot jika hanya
diasosiasikan dengan waktu dan ruang sejarah yang spesifik, dan
bukannya menjadi sebuah tradisi hidup yang bisa menghubungkan banyak
kelompok orang.
Saman Gayo dipentaskan oleh sekelompok laki-laki yang duduk dalam
barisan rapat yang melakukan gerak tangan dan badan bagian atas secara
serentak dan diiringi oleh nyanyian. Saman Gayo berbeda dari tari-tarian
duduk yang lain karena ditampilkan dengan menggunakan bahasa dan
kostum Gayo, dan bukannya bahasa dan kostum Aceh pesisir. Di Indonesia,
tarian-tarian semacam ini sering kali memasukkan tema-tema Islami
dalam lirik lagu mereka.
UNESCO beralasan mengapa Saman Gayo sangat mendesak diselamatkan
karena menurunnya jumlah para tokoh yang memiliki pengetahuan tentang
Saman Gayo, langkanya para penari terampil, dan kurangnya dana untuk
pementasannya – yang semuanya berakibat pada menurunnya frekuensi
pementasan tari ini.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu, mendukung
prakarsa ini dan November lalu mengatakan: “Kita khawatir bahwa jika
[Saman Gayo] tidak segera didaftarkan, bangsa lain mungkin akan
mengklaimnya sebagai milik mereka [...] Untuk mencegah [ini], tari ini
harus segera didaftarkan, dilindungi dan dipromosikan.” Kendati Ibu
Menteri ingin Saman Gayo diakui dan dilindungi, ia juga berkepentingan
agar Saman Gayo diakui sebagai milik khas Indonesia.
Saya mempertanyakan pemikiran bahwa agar suatu bentuk seni tetap
menjadi tradisi yang hidup, ia harus dibatasi ke suatu kawasan atau
seperangkat aturan. Justru, purisme ini bisa mengakibatkan kemandegan,
penurunan dan akhirnya kepunahan tradisi budaya.
Kalau kita melihat Saman Gayo dalam konteks tari Aceh yang lebih
luas, kita menemukan dua tari duduk dari Aceh – Saman Gayo dan Ratoh
Duek – yang daerah asalnya hanya berjarak beberapa puluh kilometer,
namun menempuh jalur yang sangat berbeda. Tidak seperti Saman Gayo,
kesuksesan dan popularitas di tingkat dunia dari tari Ratoh Duek, yang
umumnya ditampilkan dalam bahasa Aceh oleh para perempuan, tidak
tergantung pada status internasional khusus apa pun, tetapi pada
popularitasnya di tingkat akar rumput.
Sejak tahun 1960-an, tari-tari duduk dari Aceh, termasuk Saman Gayo,
telah dipentaskan di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan dan
Yogyakarta. Namun, Ratoh Duek menjadi yang paling populer dan paling
luas dipentaskan karena adanya dukungan dari para seniman Aceh,
sekolah-sekolah, kampus-kampus, LSM-LSM dan pemerintah. Tetapi
popularitas ini terutama adalah karena daya tarik tarian ini bagi anak
muda, yang telah menjadikan tarian ini suatu kegiatan ekstrakurikuler
yang populer di seantero Indonesia. Selain itu, popularitasnya tidak
terbatas di Indonesia. Berbagai institusi pendidikan dan kebudayaan
internasional telah mengkajinya, sering kali dengan datang ke Indonesia
untuk belajar dari guru-guru lokal.
Salah satu kunci popularitas Ratoh Duek adalah keterbukaan tarian ini
pada hibridisasi. Kostum, lagu dan variasi gerakan yang baru telah
dimasukkan ke dalam penampilan tarian ini yang mencerminkan nilai-nilai
global, serta pergeseran para penampil tari yang tidak lagi hanya
perempuan. Ratoh Duek mengekspresikan pesan-pesan juga Islami dalam
lirik-lirik lagunya, tetapi daya tarik utamanya adalah fokusnya pada
harmoni dan kerja tim. Bahkan, Ratoh Duek telah menjadi begitu populer
karena sekarang juga diperagakan oleh non-Muslim, sesuatu yang langka di
dunia yang terkotak-kotak seperti sekarang.
Ratoh Duek telah terbukti menjadi sebuah kekuatan pemersatu. Sebelum
bermigrasi ke luar Aceh, tarian ini menjadi sarana kegiatan bersama di
mana orang-orang dari keluarga, kampung atau status sosial yang berbeda
sama-sama berpartisipasi. Kini, anak muda dari latar belakang etnis,
jender, agama dan negara yang berbeda duduk berdampingan dan menampilkan
tarian ini di panggung-panggung di seluruh dunia.
Orang-orang yang khawatir bahwa Saman Gayo “terancam” dan perlu
segera diselamatkan semestinya belajar dari Ratoh Duek, yang tidak saja
telah “dilestarikan” tetapi juga telah berkembang, sebagian besarnya
dengan menjadi terbuka terhadap perubahan. Kalau kita benar-benar ingin
memastikan hidup dan langgengnya Saman Gayo, kita harus memungkinkan
salah satu tradisi besar Indonesia ini untuk menyesuaikan diri.
###
* Marzuki Hasan ialah dosen di Institut Kesenian Jakarta. Ia juga
seorang penyanyi, penari dan koreografer yang mengajarkan banyak tarian
Aceh selama lebih dari 50 tahun. Berbagai contoh tari Saman Gayo bisa
dilihat di sini.
Artikel ini ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews).
Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 13 Januari 2012, www.commongroundnews.org
Telah memperoleh izin publikasi.
Telah memperoleh izin publikasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar