I Wayan Sudirta: “UU Penanganan Konflik Sosial Harus Menjaga Eksistensi Masyarakat Adat”
REP | 13 February 2012 | 17:06 49 0 Nihil
Anggota
Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Bali I Wayan Sudirta
berharap, undang-undang penanganan konflik sosial jangan mengganggu dan
merugikan eksistensi masyarakat adat di desa dan banjar yang sangat
otonom di Bali, karena mereka memiliki kebijaksanaan menyelesaikan
konflik sosial. Konflik sosial yang sering terjadi di Bali menyangkut
lembaga adat yang dipimpin tokoh-tokoh adat desa dan banjar.
“Syukur-syukur
nilai-nilai lokal kita yang luhur menjadi rujukan untuk rumusan
undang-undang. Harusnya menjaga eksistensi masyarakat adat,” ujarnya
selaku pimpinan kunjungan kerja Tim Kerja Rancangan Undang-Undang (RUU)
Penanganan Konflik Sosial di Bali, saat rapat pleno Tim Kerja RUU
Penanganan Konflik Sosial bentukan Komite I DPD di lantai 2 Gedung DPD,
Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (12/9).
“Orang
Minang punya nilai lokal yang luhur, orang Bali punya, orang Papua juga
punya. Semoga nilai-nilai lokal yang luhur yang berakar pada subkultur
kita bisa melahirkan nilai-nilai baru yang juga luhur. Mari kita cerdas
menyusun undang-undang ini, agar konflik sosial bisa selesai
berlandaskan nilai-nilai lokal yang luhur tadi. Undang-undang yang baik
memuat nilai-nilai yang luhur.”
Menurutnya,
konflik sosial di Bali bukan merupakan konflik antar-agama dan
antar-suku. “Hampir belum ditemukan konflik antar-agama dan antar-suku
di Bali. Setelah bom Bali, tidak terjadi apa-apa. Ada riak-riak ketika
kelompok-kelompok keras bereaksi, mereka menuntut tanggung jawab kaum
muslim. Tapi kami cepat menenteramkannya atas nama Majelis Tertinggi
Umat Hindu dan Pemuda Hindu.”
Konflik
sosial yang sering terjadi di Bali justru di intern desa dan intern
banjar yang setingkat dusun. Umumnya menyangkut lembaga adat dan
upacaranya seperti penguburan dan tanah kuburan. “Terjadi di tingkat
desa atau di bawahnya, banjar, karena desa dan banjar sangat otonom.
Konflik antar-desa dan antar-banjar terjadi tapi jarang. Di intern desa
adat, sering terjadi konflik; di intern banjar, sangat sering terjadi
konflik,” katanya.
Akhir-akhir
ini juga terjadi kasus-kasus tanah yang menyebabkan konflik sosial yang
bisa diselesaikan bupati. Tapi menyangkut kasus adat, kalau tidak
selesai dari hati ke hati maka putusan-putusan hukum menjadi tidak
terlalu berarti. “Bali butuh dukungan negara agar masyarakat Bali tidak
lemah menyelesaikan kasus-kasus di tingkat desa dan banjar, karena
faktanya bupati datang pun tidak direken.”
Menjaga
eksistensi masyarakat adat desa dan banjar di Bali tidak berarti
mengabaikan otonomi mereka dalam wilayah negara kesatuan Republik
Indonesia. “Menyelesaikan konflik sosialnya memang membutuhkan
figur-figur yang bisa diterima, karena pejabat yang mengandalkan
kekuasaan tidak terlalu dipandang di desa dan banjar. Tapi,
perlahan-lahan konflik sosial di desa dan banjar bisa selesai.”
Wayan
yang juga Ketua Kaukus Antikorupsi DPD menyatakan bahwa kasus-kasus
tanah di Bali berkaitan dengan adat. Jika digolongkan maka kasus-kasus
tanah terbagi empat. Kesatu, tanah-tanah adat disertifikatkan.
Tanah-tanah adat menjadi tanah pribadi melalui permainan
penguasa-pengusaha. “Padahal, tanah adat tidak boleh disertifikatkan
atas nama pribadi. Tapi saya punya bukti, banyak tanah adat jadi tanah
pribadi.”
Kedua,
tanah-tanah negara yang dirampas. Penduduk yang menguasai tanah-tanah
negara diserobot dan diberikan kepada investor. Biasanya, tanah-tanah
negara menjadi lokasi upacara adat. “Penduduk tidak mengerti membuat
sertifikat. Berkat kongkalikong dengan pejabat, ada gejala bahwa
tanah-tanah negara diserobot dan diberikan kepada investor,” jelas Wayan
yang juga Ketua Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD.
“Di
masa Orde Baru, saya menjadi DPO (Daftar Pencarian Orang) karena
membela tanah negara ratusan hektar yang investornya Tommy Soeharto
(Hutomo Mandala Putra). Saya dikejar seperti tersangka tapi tidak sempat
diperiksa. Setelah Pak Harto (Soeharto) jatuh, Pak Muladi (mantan
Menteri Kehakiman) menyatakan saya tidak bersalah. Cuma tanah yang
terlanjur diserobot tidak bisa kembali sampai hari ini.”
Ketiga,
tanah-tanah yang memiliki kekuatan hukum tidak dijalankan. Tanah-tanah
yang memiliki keputusan pasti ternyata tidak direken jika menyangkut
penguasa yang kuat dan pengusaha yang kuat. “Rakyat sudah
berteriak-teriak, tapi tidak direken.”
Keempat, tanah-tanah yang memiliki sertifikat ganda atau kembar.
Wayan
berharap, Tim Kerja RUU Penanganan Konflik Sosial yang berencana
kunjungan kerja ke Bali menggali akar konflik sosial, termasuk latar
belakang dan solusinya. “Undang-undang yang berlaku tidak adil bukan
solusi. Satu pasal/ayat pun, kalau merugikan desa dan banjar, tidak
direken. Pejabat yang mengandalkan kekuasaan pun tidak bisa memaksanya.
Mari kita dengar respon mereka.”
Kendati
merepotkan penyelesaian konflik sosial di intern desa dan intern
banjar, eksistensinya di Bali sangat membantu kelancaran pelaksanaan
program pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Contohnya, program
Keluarga Berencana (KB) bisa lancar pelaksanaannya setelah persetujuan
desa dan banjar di Bali. Umat Islam shalat di Masjid An-Nur, Sanglah,
Denpasar, contoh lainnya, bisa aman kalau dijaga pecalang.
Selain
ke Bali, Tim Kerja RUU Penanganan Konflik Sosial berencana kunjungan
kerja ke Sulawesi Tengah dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
“Masing-masing provinsi memiliki karakteristik konflik sosial dan
penanganannya,” ujar Ketua Tim Kerja RUU Penanganan Konflik Sosial Anang
Prihantono (asal Lampung). “Garis besarnya, apakah draft RUU menjawab
persoalan di tiga provinsi sampling.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar