Minggu, 19 Februari 2012

Catatan Sepanjang Poso

 Mengais Bukti di Tanah yang Terbakar Konflik

Deklarasi Malino untuk Poso sudah berbilang lebih dari enam tahun usianya. Kesepakatan yang diteken 24 tokoh Kristen dan 25 tokoh Muslim Poso ini sudah jadi catatan sejarah upaya rekonsiliasi konflik. Tentu, cerita di baliknya sudah berulang kali diceritakan, oleh banyak orang pula. Jadi adakah yang menarik dari cerita upaya damai yang dimediasi Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang kala itu menjadi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat? Ada! Yakni, soal pengembalian hak-hak keperdataan ratusan warga pascakonflik.
KONFLIK Poso yang membuat ribuan orang meregang nyawa dan kehilangan harta benda boleh jadi sudah selesai. Api konflik kemanusiaan itu sudah padam. Tapi jangan lupa, api biasanya tiba-tiba menyala dalam sekam yang menumpuk. Ini soal hak-hak keperdataan warga yang belum terpulihkan sepenuhnya.
Saat wilayah ini dilanda konflik kemanusiaan, ribuan hektare tanah dan lahan-lahan perkebunan ditinggalkan mengungsi. Saat konflik usai, mereka kembali, namun kerap tanah maupun lahan yang mereka punya dikuasai orang lain. Lalu mereka pun terpaksa mendiami tanah milik orang lain pula.
Saat Deklarasi Malino untuk Poso diteken Kamis, 20 Desember 2001 silam, di Malino, Sulawesi Selatan, pengembalian keperdataan menjadi bahasan penting. Poin ketujuh Deklarasi ini menyebutkan; Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan ke pemiliknya yang sah sebagaimana adanya sebelum konflik dan perselisihan berlangsung.
Berbilang tahun hal itu terabaikan. Peledakan bom, penembakan misterius dan aksi-aksi kekerasan lainnya mewarnai hari-hari pasca deklarasi kemanusiaan itu dan menyita perhatian banyak orang.
Lalu tibalah masa di mana triliunan rupiah bantuan kemanusiaan mengalir ke Poso. Mulai dari dana jatah hidup, bekal hidup, bantuan bahan baku rumah dan banyak lagi bantuan lainnya turun seperti hujan dari langit. Tibalah juga musim panen bagi para pengemplang uang milik orang banyak itu. Miliaran rupiah tidak jelas mengalir ke mana. Memang, ada satu dua para pengemplang uang itu yang dibui, tapi masa hukumannya tidak sebanding perbuatannya. Ada pula yang bebas percuma.
Yang terakhir Pemerintah Pusat menggelontorkan bantuan recovery Poso sebesar Rp58 miliar. Cerita baru pun mengalir lagi. Untuk urusan pengembalian hak-hak keperdataan sekitar Rp950 juta dianggarkan dari dana recovery itu.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) Poso, Sulawesi Tengah pun bekerja, tentu karena mereka adalah lembaga pemerintah yang berwenang mengurusi hal itu. Pekerjaan pun dimulai sejak 1 April – 31 Desember 2007. Mereka bekerja di 90 desa dan 23 kelurahan di 11 kecamatan,. Hasilnya, tidak kurang 300 sertifikat pengganti sudah diterbitkan bagi warga korban konflik Poso. Lalu diterbitkan lagi 101 sertikat perumahan bagi warga di Tiwa’a, Poso Pesisir Utara, Bukit Bambu, Poso Kota dan Kawua, Poso Kota Selatan.
Untuk itu, “dana yang telah terpakai sebesar Rp 500 juta, dari total Rp 950 juta yang dianggarkan dalam Dana Recovery. Sisa dananya masih ada di Bappeda Poso,” kata Kepala Sub Bagian Tata Usaha BPN Poso B.S Monepa.
Dana itu dipergunakan untuk penyuluhan kepada masyarakat terkait program pengembalian hak-hak keperdatan ini. Lalu inventarisasi terhadap sertifikat yang hilang atau terbakar, tanah yang diokupasi dan peralihan tanah di bawah tangan. Setelah itu barulah diterbitkan sertifikat penggantinya.
Monepa mengakui proses pengecekan ulang usai inventarisasi harus dilakukan secermat mungkin.
“Suatu saat ada warga yang mengakui sertifikatnya terbakar saat kerusuhan. Lalu kita kirimkan datanya ke bank-bank untuk jadi pemberitahuan dan diumumkan di media selama seminggu. Ternyata sebelum masa sebulan lewat, ada pengurus koperasi yang datang menyampaikan bahwa sertifikat warga tersebut dijaminkan di koperasinya,” tutur Monepa.
Jadi, “Sebelum menerbitkannya, kami telah melakukan pemeriksaan di lapangan untuk membuktikan bahwa tanah itu ada dan luasnya sesuai dengan yang dilaporkan masyarakat,” kata Monepa.
Untuk hal tersebut pihak BPN Poso memang mengakui harus hati-hati sebab bisa-bisa akan menimbulkan konflik baru.
Itulah yang disebutkan oleh pengajar di Fakultas Hukum, Universitas Tadulako Palu, Harun Nyak Itam Abu.
“Saya sendiri sebelumnya punya tanah di Tentena yang diokupasi oleh orang lain. Tentu masih ada kasus lain yang serupa. Ini akan memancing konflik jika pihak yang menguasai tanah itu sudah merasa nyaman dan mengklaim tanah itu sebagai miliknya, dan kemudian mengurus sertifikat. Jadi sudah semestinya, setelah proses penegakan hukum selesai, masalah ini diseriusi Pemerintah Kabupaten Poso,” kata Harun dalam sebuah percakapan.
Soal peralihan di bawah tangan, menurut Harun, lantaran desakan ekonomi dan faktor psikologis di mana warga yang mengungsi tidak berani lagi kembali ke daerah asalnya. Jadi, kata Harun, ini persoalan yang benar-benar serius, selain urusan penegakan hukum.
Harun wajar kuatir. Simak saja data yang ada di BPN Poso. Tercatat ada 35 kasus okupasi tanah. Tanah-tanah ini milik orang lain yang kini sudah didiami oleh bukan pemilik sah tanah itu. Untuk membuktikannya tentu perlu sertifikat atau surat-surat keterangan kepemilikan lainnya. Ini terjadi lantaran segregasi penduduk pada saat konflik, di mana warga Muslim akan berkumpul dengan sesamanya, begitu pula warga yang beragama Kristen. Sampai kemudian setelah fajar damai terbit, ketika mereka kembali tanah-tanah mereka dikuasai oleh orang lain. Ada pula yang tidak ingin kembali ke daerah asalnya.
Belum lagi sertifikatnya yang terbakar. Dari inventarisasi BPN Poso tercatat sekitar 107 sertifikat warga Manyajaya, Pamona Selatan terbakar. Lalu, adapula di Desa Uelene, masih di Pamona Selatan sebanyak 61 sertifikat. Menyusul di Masamba sebanyak 39 sertifikat dan sebanyak 34 sertifikat warga di Masani, Poso Pesisir juga terbakar.
Soal peralihan tanah atau lahan di bawah tangan, jangan ditanya lagi, mencapai 334 kasus. Ada yang hanya memakai kuitansi, ada pula yang tanpa bukti apa-apa. Hal-hal seperti inilah yang rawan memicu konflik kata Harun kemudian.
Memang, “menangani kasus keperdataan sangat sulit. Sampai saat ini hak-hak keperdataan belum selesai. Sampai saat ini baru 70 persen berjalan,” aku Frits Abbas, dari Satkorlak Sulawesi Tengah.
Ketua DPRD Poso Sawerigading Pelima juga mengatakan, kasus hak-hak keperdataan di Poso yang masih tersisa harus sesegera mungkin diselesaikan karena rentan akan timbulnya permasalahan baru.
Menurutnya, korban konflik di pengungsian sudah lama merindukan kembali ke tanah atau pun rumahnya yang sudah beberapa tahun ditinggalkan sejak konflik Poso memanas pada tahun 2000 hingga 2002.
Tapi, lanjutnya, mereka terkejut begitu melihat kenyataan bahwa tanahnya sudah diokupasi orang lain sehingga mereka enggan untuk kembali.
“Daripada muncul permasalahan baru lebih baik mereka tetap berada di pengungsian. Jadi, kasus ini harus lebih diperhatikan pemerintah selain masalah lainnya,” kata Pelima.
Lalu bagaimana masalah tanah dan lahan-lahan warga yang masih tersisa dan belum bersertifikat?
Seperti yang diakui Monepa, sebenarnya pihak BPN Poso menargetkan mampu menerbitkan sebanyak 500 sertifikat tanah baru sampai akhir 2007 lalu.
Namun, “keterbatasan waktulah yang menyebabkan target tidak terpenuhi. Apalagi ada beberapa warga yang kurang bisa menunjukkan bukti-bukti kepemilikan tanah,” ujarnya.
Selain itu, BPN tidak memiliki program untuk mengatasi hak keperdataan masyarakat korban konflik.
“Kami tidak ada anggaran untuk hal itu,” katanya, dan berharap agar pemerintah pusat mampu memberi dana serta memperpanjang pelaksanaan penyelesaian hak-hak keperdataan, karena masih banyak tanah atau bangunan yang sampai saat ini bermasalah akibat lama ditinggalkan pemiliknya.
“Hak-hak keperdataan masyarakat harus segera dikembalikan ke pemilik aslinya. Masalah lahan adalah masalah yang rumit sekaligus rawan sehingga pemerintah tidak menghendaki terjadi konflik baru yang diakibatkan perebutan tanah atau keperdataan,” imbuh Monepa.
Tapi Monepa tidak boleh lupa masih ada sebesar Rp450 juta dari Dana Recovery yang belum terpakai. Jadi ini hanya soal kemauan, itikad baik BPN Poso untuk benar-benar menyelesaikan masalah urusan rentan konflik ini.
Tentu saja, urusan ini adalah pekerjaan berat bagi Pemerintah Poso selain hal-hal lain yang juga menguras tenaga, dana dan pikiran.
Wakil Bupati Poso, Abdul Muthalib Rimi pun mengakui hal itu. Apalagi saat ini mereka harus bekerja keras mengentaskan kemiskinan. Di daerah yang kaya dengan potensi sumber daya alam itu, tercatat ada sekitar sekitar 50.000 jiwa warga miskin dari 194.241 jiwa total penduduk Poso saat ini. Jumlah rumah tangga miskin mencapai sekitar 20.000 RTM, dan angka pengangguran terbesar adalah para tamatan SLTA sekitar 2.000 orang.
Pascakonflik Poso, memang hak-hak keperdataan merupakan wilayah paling rentan memicu konflik baru. Banyak tanah dan lahan perkebunan warga yang ditinggal mengungsi kemudian digarap oleh warga lain. Begitu pula rumah-rumah penduduk yang ditinggal mengungsi atau rumah yang hangus terbakar, kemudian ditempati penduduk lain.
Ada yang berujung pada sengketa di Pengadilan, ada pula yang adu fisik dan ada pula yang sudah patah semangat untuk mengurusi tanah dan lahannya.
Jadi ini, memang benar-benar seperti mengais bukti di tanah yang terbakar konflik.
Wajar pula Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah yang saat ini menggelar Operasi Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat bersandi Siwagilemba juga memberi perhatian lebih pada pemulihan hak-hak keperdataan ini.***
Filed under: Keamanan. Hukum dan Kriminal, Konflik Sosial, Korupsi

Bukan Pengikut Ajaran Sesat, Tiga Warga Dibebaskan


Palu – Tiga warga Salena, Aminuddin, Sania dan Lumi, akhirnya dibebaskan oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah setelah tidak terbukti sebagai pengikut Madi. Ketiganya ditangkap tidak jauh dari lokasi penyergapan yang menewaskan Madi, pimpinan spiritual ajaran ikat kepala putih di Palu, Sabtu (05/04) sore lalu.
Aminuddin (50), yang juga mertua Madi terlihat senang setelah kembali berkumpul dengan keluarganya di Dusun Salena, Kecamatan Palu Barat. Aminuddin mengaku tidak pernah menjadi pengikut ajaran sesat seperti yang dibawa Madi.
Menurut Aminuddin, dirinya ditangkap saat berada di sebuah kebun untuk mencari bambu di pegunungan Lompu. Tiba-tiba datang polisi. Aminuddin langsung diminta menyerahkan diri kemudian diborgol.
Saat Madi diberondong tembakan, Aminuddin dalam keadaan tiarap. Aminuddin mengaku tidak melihat langsung saat madi ditembak. Tetapi Aminuddin mengaku mendengar suara rentetan tembakan yang tidak terhitung. Saat itu Madi sama sekali tidak melakukan aksi perlawanan, seperti yang dikatakan oleh pihak kepolisian.
”Saya tidak lihat Madi melawan. Yang saya dengar hanya rentetan tembakan. Setelah tembakan berhenti, saya kemudian disuruh lihat apa benar itu Madi. Saya bilang benar. Saat itu Madi sudah mati,” Ungkap Aminuddin.
Pengakuan yang sama juga disampaikan oleh Sania dan Lumi. Saat kejadian itu terjadi mereka tidak melihat Madi melakukan perlawanan.
Sementara itu, sejumlah lembaga swadaya masyarakat menurunkan tim pencari fakta, memperlihatkan puluhan selongsong peluru yang ditemukan di tempat penyergapan Madi, Sabtu sore (05/04) lalu.
Mereka masih meragukan fakta-fakta yang disampaikan kepolisian terutama saat penyergapan yang menyebutkan jika Madi melakukan perlawanan.
Mereka memastikan akan menyampaikan sejumlah fakta yang bertentangan dengan informasi, yang disampaikan kepolisian ke Komisi Hak Asasi Manusia.
Menurut Erwin Laudjeng dari salah satu LSM itu, mereka berencana menggugat kepolisian terkait kasus ini.
“Dari data sementara kami menduga polisi melakukan tindakan tidak procedural saat penyergapan tersebut. Polisi menyatakan bahwa Madi melakukan perlawanan, sementara dari kesaksian yang kami kumpulkan ternyata Madi diberondong di dalam pondoknya,” kata Erwin.
Terkait rencana gugatan tersebut, Kepala Bidang Humas Polda Sulteng AKBP Irfaizal Nasution mengatakan tidak ada masalah, itu hak mereka.
“Tindakan polisi sudah sesuai prosedur, tapi jika masih ada orang-orang yang tidak puas dengan ini, silahkan saja mereka menggugat kami, “ tandas Irfaizal.***
Filed under: Hukum dan Kriminal, Keamanan, Konflik Sosial

Setelah Madi Tewas Ditembak Polisi



Palu – Madi (41), pemimpin spiritual ‘ajaran ikat kepala putih’ di Salena, Buluri, Palu Barat, Sulawesi Tengah akhirnya ditembak aparat Detasemen Khusus 88 Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Sabtu (5/4) sekitar pukul 18.00 Waktu Indonesia Tengah. Lelaki yang sudah diburu lebih dari dua tahun ini, terpaksa ditembak setelah melakukan perlawanan kepada aparat Kepolisian yang menyergapnya di Dusun Lompu, di kawasan pegunungan Gawalise. Madi pun tewas, padahal dia disebut-sebut memiliki ilmu kekebalan tubuh.
Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Brigadir Jenderal Polisi Badrodin Haiti mengatakan bahwa Madi yang bernama asli Arifin ditembak karena hendak membacok aparat Kepolisian yang menyergapnya.
“Dia awalnya ditembak di kaki, namun masih melawan, karenanya kemudian ditembak di bahu. Karena masih melawan lagi, akhirnya kita melumpuhkannya,” terang Badrodin.
Adapun jenazah Madi setelah diotopsi dan diinapkan semalam di Kamar Jenazah Rumah Sakit Bhayangkara Polda Sulteng, akhirnya pada Minggu (6/4) diserahkan kepada keluarga. Madi pun dikebumikan di tanah lahirnya di Salena.
Sekadar diketahui, Madi dengan sejumlah pengikutnya pada 2005 sempat meresahkan warga Palu Barat, Sulawesi Tengah dengan ajarannya. Mereka selalu mengenakan ikat kepala putih dari kain kafan dan berselempang kain kuning.
Lalu pada Sabtu, 22 Oktober 2005, Polisi yang dipimpin Kepala Kepolisian Sektor Kota AKP Bayu Wijanarko mengadakan pertemuan dengan Madi dan kelompoknya. Polisi meminta agar Madi memberikan keterangan kepada Polisi terkait ajarannya yang dianggap meresahkan itu. Namun ia menolak mengikuti kemauan Polisi.
Lantaran suasana sempat menegang, apalagi Madi dikawan dengan pengawal bersenjata tombak dan parang, Polisi pun mengambil langkah mundur. Madi pun tidak ditahan.
Namun, pada Selasa, 25 Oktober 2005, sejumlah aparat Kepolisian dari Samapta, Reserse dan Intelijen mendatangi Madi di padepokannya di Dusun Salena II. Sayang, bukan sambutan hangat yang diterima para Polisi itu justru perlawanan sengit dari Madi dan kelompoknya.
Akhirnya tiga Polisi tewas. Mereka adalah Kepala Satuan Samapta Kepolisian Resor Kota Palu AKP Fuadi Chalis, Kepala Satuan Intelijen dan Keamanan AKP Imam Dwi Haryadi dan Kepala Unit Reserse dan Intelijen Polsekta Palu Barat Brigadir Polisi Satu Arwansyah. Sementara sejumlah Polisi lainnya luka-luka.
Sejak saat itu, Madi dan pengikutnya pun diburu Polisi. Sebanyak 13 pengikutnya ditangkap dan diadili di Pengadilan Negeri Palu. Mereka mendapat hukuman 4-6 tahun kuruangan penjara. Namun Madi sendiri raib entah kemana, sampai kemudian ditembak Sabtu sore lalu.
Ajaran aneh yang dikembangkan Madi sendiri sebenarnya hanyalah padepokan ilmu bela diri. Mereka mempunyai kitab bertajuk ‘Karangan Dentete 10 Kungfu Anak Ramah Membela Masyarakat Kaili.’
Meski itu sepintas terlihat seperti kitab ilmu beladiri, namun di dalamnya berisi sejumlah pegangan. Dalam kitab itu disebutkan lima hal yang harus ditinggalkan kelompoknya. Pertama. jaga ketaatan kepada amir (pimpinan). Kedua, tinggalkan mengharap daripada Allah. Ketiga, tinggalkan meminta kepada Allah. Keempat, tinggalkan memakai barang teman tanpa seizin, dan kelima tinggalkan sifat boros dan mubazir.
Selain mengharamkan hal-hal di atas, ada beberapa hal yang harus dikurangi oleh pengikut Mahdi. Pertama, kurangi masa makan dan minum. Dua, kurangi masa tidur dan istrirahat. Tiga, kurangi berbicara sia-sia. Dan empat, kurangi keluar masjid.
Apakah Madi sendiri taat dengan aturan ini? Ketika polisi mendatangi Madi dan berdialog beberapa hari sebelum terjadi bentrokan, Mahdi malah tidak puasa. Ia tetap makan, minum dan mengunyah sirih saat puasa. Padahal, ajarannya mengurangi masa makan dan minum.
Bagaimana pula komentar Misna, yang ditinggalkan Madi lima orang anak? “Biarlah saya sudah iklas. Saya sudah ingatkan dia jangan lagi buka-buka perguruan itu. Tapi dia tetap buka. Akhirnya begini jadinya,” kata Misna.
Sementara itu, tiga orang yang ditangkap bersama Madi, yakni Sania, Lumi dan Aminuddin, Senin (7/4) pukul 12.15 WITA dibebaskan Polisi. Mereka tidak terbukti sebagai pengikut Madi.
Saat ini, situasi di Salena, kembali tenang. Meski tim reserse dan intelijen Kepolisian masih terus mondar-mandir di sana. Setelah Madi tewas ditembak, rasa-rasanya masalah ini belum selesai. Lembaga Pengembangan dan Studi Hak Azasi Manusia (LPSHAM) berencana menggugat Polda Sulteng karena diduga melakukan tindakan inprosedural dalam penangkapan Madi. Kita tunggu!
Filed under: Keamanan. Hukum dan Kriminal, Konflik Sosial

Sisir Wilayah Bentrok, Polisi Temukan Puluhan Senjata

Palu – Aparat gabungan Kepolisian Resor Kota Palu, Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah dan Satuan Polisi Pamong Praja, Selasa (18/12) siang menggelar razia senjata api dan senjata tajam di Kelurahan Nunu, Palu Barat dan Kelurahan Tawanjuka, Palu Selatan, Sulawesi Tengah untuk mencegah meluasnya bentrokan antara warga dua kelurahan ini. Dari razia tersebut puluhan senjata tradisional, bom molotov, senapan angin dan senjata api rakitan berhasil ditemukan.
Tidak kurang dari 300 personil aparat gabungan Satuan Perintis Polresta Palu, Satuan Brimob Polda Sulteng dan Satuan Pol PP diterjunkan untuk menyisir rumah-rumah warga dan tempat-tempat yang dicurigai sebagai tempat penyimpanan senjata.
Aparat gabungan tersebut berhasil menemukan puluhan senjata tradisional berupan panah, parang dan lembing. Polisi juga menemukan senapan angin dan senjata api rakitan.
Penyisiran dipimpin langsung Kapolresta Palu AKBP Sunarko dan Kepala Bagian Operasi Ajun Komisaris Polisi Petit. Razia ini juga diawasi Direktur Reserse dan Kriminal Polda Sulteng Kombes Pol Armensyah Thai.
Kepada SH, Armensyah mengatakan penanganan bentrok warga ini tetap dilaksanakan sesuai prosedur hukum yang berlaku, namun tetap berdasar pada situasi yang berkembang. Ia juga mengatakan telah mengidentifikasi para provokator dan pemilik senjata.
“Tidak usah dulu kita beberkan siapa saja mereka, nanti mereka malah kabur. Kita bekerja saja secara bertahap sesuai prosedur hukum, dimulai dengan tindakan pencegahan melalui razia senjata. Setelah semua teridentifikasi jelas, baru kita melangkah ke tahapan selanjutnya. Ini kan awalnya semua dari anak-anak muda yang berkelahi karena mabuk miras,” kata Armensyah.
Tangkap Provokator
Selasa sore Polisi juga berhasil menangkap seorang warga yang diduga menjadi provokator atau pemicu bentrokan antarwarga ini.
Lelaki ini diketahui bernama Hendrik Erwin, warga Jalan Danau Poso Nomor 20, Kelurahan Ujuna, Palu Barat.
Ia ditangkap ketika melintas di Kelurahan Nunu mengendarai sepeda motor Suzuki jenis Shogun sambil mengeluarkan makian yang kerap memicu bentrokan.
Menurut Kabag Ops Polresta Palu AKP Petit, pihaknya tengah mendalami penyidikan atas Erwin.
“Tersangka sudah ditangani Satreskrim. Untuk sementara masih diperiksa. Ia diduga yang selama ini memprovokasi warga,” kata Petit.
Ketika ditanyai wartawan, pria bertubuh subur berusia 37 tahun ini lebih banyak menjawab dengan ngawur dan tidak jelas.
Sementara itu, Rabu (19/12) situasi di Kelurahan Nunu dan Tawanjuka tersebut masih terlihat tegang. Banyak rumah warga ditinggal kosong. Sejumlah warga, utamanya di titik bentrok masih memilih mengungsi. Sebanyak 2 peleton Satuan Perintis Polresta Palu dan 1 Peleton Brimob Polda Sulteng masih bersiaga di lokasi dan menyekat perbatasan kedua wilayah tersebut. ***
Filed under: Hukum dan Kriminal, Keamanan, Konflik Sosial

Sisir Wilayah Bentrok, Polisi Temukan Puluhan Senjata

Palu – Aparat gabungan Kepolisian Resor Kota Palu, Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah dan Satuan Polisi Pamong Praja, Selasa (18/12) siang menggelar razia senjata api dan senjata tajam di Kelurahan Nunu, Palu Barat dan Kelurahan Tawanjuka, Palu Selatan, Sulawesi Tengah untuk mencegah meluasnya bentrokan antara warga dua kelurahan ini. Dari razia tersebut puluhan senjata tradisional, bom molotov, senapan angin dan senjata api rakitan berhasil ditemukan.
Tidak kurang dari 300 personil aparat gabungan Satuan Perintis Polresta Palu, Satuan Brimob Polda Sulteng dan Satuan Pol PP diterjunkan untuk menyisir rumah-rumah warga dan tempat-tempat yang dicurigai sebagai tempat penyimpanan senjata.
Aparat gabungan tersebut berhasil menemukan puluhan senjata tradisional berupan panah, parang dan lembing. Polisi juga menemukan senapan angin dan senjata api rakitan.
Penyisiran dipimpin langsung Kapolresta Palu AKBP Sunarko dan Kepala Bagian Operasi Ajun Komisaris Polisi Petit. Razia ini juga diawasi Direktur Reserse dan Kriminal Polda Sulteng Kombes Pol Armensyah Thai.
Kepada SH, Armensyah mengatakan penanganan bentrok warga ini tetap dilaksanakan sesuai prosedur hukum yang berlaku, namun tetap berdasar pada situasi yang berkembang. Ia juga mengatakan telah mengidentifikasi para provokator dan pemilik senjata.
“Tidak usah dulu kita beberkan siapa saja mereka, nanti mereka malah kabur. Kita bekerja saja secara bertahap sesuai prosedur hukum, dimulai dengan tindakan pencegahan melalui razia senjata. Setelah semua teridentifikasi jelas, baru kita melangkah ke tahapan selanjutnya. Ini kan awalnya semua dari anak-anak muda yang berkelahi karena mabuk miras,” kata Armensyah.
Tangkap Provokator
Selasa sore Polisi juga berhasil menangkap seorang warga yang diduga menjadi provokator atau pemicu bentrokan antarwarga ini.
Lelaki ini diketahui bernama Hendrik Erwin, warga Jalan Danau Poso Nomor 20, Kelurahan Ujuna, Palu Barat.
Ia ditangkap ketika melintas di Kelurahan Nunu mengendarai sepeda motor Suzuki jenis Shogun sambil mengeluarkan makian yang kerap memicu bentrokan.
Menurut Kabag Ops Polresta Palu AKP Petit, pihaknya tengah mendalami penyidikan atas Erwin.
“Tersangka sudah ditangani Satreskrim. Untuk sementara masih diperiksa. Ia diduga yang selama ini memprovokasi warga,” kata Petit.
Ketika ditanyai wartawan, pria bertubuh subur berusia 37 tahun ini lebih banyak menjawab dengan ngawur dan tidak jelas.
Sementara itu, Rabu (19/12) situasi di Kelurahan Nunu dan Tawanjuka tersebut masih terlihat tegang. Banyak rumah warga ditinggal kosong. Sejumlah warga, utamanya di titik bentrok masih memilih mengungsi. Sebanyak 2 peleton Satuan Perintis Polresta Palu dan 1 Peleton Brimob Polda Sulteng masih bersiaga di lokasi dan menyekat perbatasan kedua wilayah tersebut. ***
Filed under: Keamanan. Hukum dan Kriminal, Konflik Sosial

Korban Bentrok Nunu -Tawanjuka Kritis


Palu – Bentrok ratusan warga Kelurahan Nunu, Palu Barat dan warga Kelurahan Tawanjuka. Palu Selatan, Minggu (16/12) siang hingga petang mengakibatkan 18 warga luka-luka, salah seorang dalam kondisi kritis, lima rumah dan enam sepeda motor terbakar. Seorang Bintara Polri juga dilaporkan terluka. Kini sejumlah korban dirawat di RS Polri Bhayangkara Sulteng, RS Bala Keselamatan dan RSUD Undata serta Puskesmas setempat.
Mereka yang dirawat di RS BK adalah Aris (22) yang luka di lengan kanan, Aco (25) dengan luka di lengan kanan, Rasyid (19) yang juga di lengan kana, Rendi (29) terluka di bagian perut, Sudarman (29) dengan luka di lengan kanan, begitu pula Umar (16) terluka di bagian lengan kanan dan Rulli (32) yang terluka di lengan kiri.
Lalu enam korban lainnya dirawat di RS Bhayangkara yakni Ridwan (30) dengan luka di bagian perut, Syarif (35) terluka di kepala, Yusran (21) juga mengalami luka di bagian kepala, Chahyadi (27) mengalami luka di bagian dada, lalu Fadli (32) dan seorang perempuan Yulianti terluka di bagian kepala.
Di RS Undata sebanyak enam korban juga tengah dirawat. Mereka adalah Abdul Rifai (18) dan Nanda (18) yang mengalami luka di kepala, Faisal (17) luka di bagian punggung, kemudian Inal (27) terluka di lengan kiri, Sukri (23) terluka di kepala, dan Anton (20) yang mengalami luka paling serius. Kondisinya kini dalam keadaan kritis di RSUD Undata karena dibacok dengan parang.
Dilaporkan juga seorang bintara Polisi Suprianto (22) teluka di bagian siku.
Sementara itu, Walikota Palu Rusdi Mastura yang dihubungi Senin pagi tidak mengangkat telepon. Sampai saat ini, belum ada lagi pertemuan antara warga. Jalan-jalan untuk masuk ke kedua Kelurahan ini masih dipasangi portal oleh warga. Transportasi untuk anak-anak sekolah hanya dengan menggunakan kendaraan taktis (rantis) milik Polresta Palu untuk menghindari anak-anak ini menjadi korban kekerasan. ***
Filed under: Hukum dan Kriminal, Keamanan, Konflik Sosial

Warga Palu Bentrok, 18 Luka-luka dan 5 Rumah Terbakar


Palu – Bentrokan berdarah ratusan warga Kelurahan Nunu, Palu Barat dengan warga Kelurahan Tawanjuka, Palu Selatan, Sulawesi Tengah kembali terjadi Minggu (16/12) siang hingga sore. Akibatnya, belasan warga luka-luka, lima rumah dan enam sepeda motor terbakar. Satuan Pengendalian Massa Kepolisian Resor Kota Palu baru bisa melerai warga setelah empat jam terjadinya bentrokan itu.
Bentrokan berdarah ini adalah kali ketiganya terjdi dalam tiga bulan terakhir. Ratusan warga dari Kelurahan bertetangga itu terlibat baku lempar batu, saling panah dan saling tembak dengan menggunakan senapan angin.
Bentrokan yang berlangsung tidak kurang dari empat jam ini membuat Satuan Pengendalian Massa Kepolisian Resor Kota Palu kewalahan. Beberapa warga Tawanjuka bahkan terlihat menggunakan tameng Polisi untuk berlindung dari lemparan batu dan panah besi.
Bahkan ada warga yang menyerang dengan menggunakan tameng milik Polisi yang berjaga di perbatasan Kelurahan Tawanjuka.
Wartawan juga menjadi sasaran bentrok kali ini. Koresponden Trans TV di Palu Jafar G Bua sempat dipukuli dengan kayu dan diancam akan ditebas parang, lantaran mengambil
gambar close up salah seorang warga yang menembak dengan menggunakan senapan angin dan menggunakan panah besi. Untungnya, aksi main hakim ini berhenti setelah ada warga lain yang melerai.
Bentrokan ini mengakibatkan 18 warga luka-luka, salah seorang dalam kondisi kritis, lima rumah dan enam sepeda motor terbakar. Kini sejumlah korban dirawat
di RS POlri Bhayangkara Sulteng, RS Bala Keselamatan dan RSUD Undata serta Puskesmas setempat.
Kapolresta Palu AKBP Sunarko yang langsung memimpin pengamanan ini berusaha menenangkan massa. “Warga diharapkan tenang dan bisa mengendalikan diri. Agar
tidak terjadi saling serang lagi, Polisi ditempatkan di batas kedua kelurahan ini,” kata Sunarko di sela-sela suasana penuh ketegangan.
Bentrokan baru mereda setelah bantuan personil Kepolisian dari Polda Sulteng diterjunkan ke lokasi kejadian. Meski demikian suasana di kedua Kelurahan itu
tetap tegang. Warga masih berjaga-jaga di batas kedua desa tersebut. Sebanyak 4 Satuan Setingkat Peleton sudah bersiaga di lokasi kejadian.***
Filed under: Keamanan, Konflik Sosial

Warga Nunu dan Tawanjuka Bentrok Lagi

Palu – Dua kelompok warga di Kelurahan Nunu dan Kelurahan Tawanjuka, Kota Palu, Sulawesi Tengah Sabtu (8/12) sore terlibat bentrok lagi. Meski tidak menimbulkan korban jiwa namun beberapa rumah warga mengalami kerusakan terkena lemparan batu. Belum diketahui pemicu terjadinya bentrok kedua kelurahan bertetangga ini.
Bentrokan kedua kelompok warga ini yang kali kesekian ini diduga dipicu kesalahpahaman antara anak muda Jumat (7/12) malam. Entah siapa yang memulai keduanya saling menyerang sehingga menyebabkan beberapa kaca jendela rumah warga di kedua belah pihak rusak. Insiden ini sempat reda setelah puluhan aparat Kepolisian dari Polresta Palu turun mengamankan lokasi kejadian.
Insiden ini kemudian berlanjut Sabtu sore dan kedua kelompok warga kembali saling serang dengan menggunakan senjata tajam dan batu. Suasana pun kembali tegang. Warga setempat yang ketakutan pun mengungsi dan mengosongkan rumahnya.
Suasana yang sempat tegang akhirnya reda setelah sedikitnya 1 Satuan Setingkat Kompi aparat gabungan Polresta Palu dan Polda Sulawesi Tengah turun tangan membubarkan kedua kelompok yang bertikai. Para tokoh masyarakat dan pimpinan pemerintah kedua belah pihak pun turun tangan melerai.
Hingga Sabtu malam, suasana di kedua kelurahan bertetangga ini masih
mencekam. Tidak ada warga yang berani keluar rumah dan memilih
berjaga-jaga di rumah masing-masing. Ratusan personil gabungan Polisi kini disiagakan di perbatasan kedua kelurahan ini.***
Filed under: Hukum dan Kriminal, Keamanan, Konflik Sosial

Bentrok dalam Gambar [2]


Bentrokan antar warga Kelurahan Nunu dan Tawanjuka, Palu Selatan, Sulawesi Tengah menyulitkan warga yang hendak berpergian dari dan ke kedua kelurahan tersebut. Warga harus meminta pengawalan Polisi.***
Filed under: Keamanan, Konflik Sosial, Potret

Bentrok dalam Gambar [1]

Warga Kelurahan Nunu dan Tawanjukan, Palu Selatan, Sulawesi Tengah terlibat bentrok.***
Filed under: Keamanan, Konflik Sosial, Potret

Tidak ada komentar:

Posting Komentar