Jumat, 17 Februari 2012

Pendidikan Multikultural

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Suatu Kajian Tentang Pendidikan Alternatif Di Indonesia Untuk Merekatkan Kembali Nilai-nilai Persatuan, Kesatuan Dan Berbangsa di Era Global
Oleh Yani Kusmarni

PENDAHULUAN
“Kekerasan terhadap etnis Cina di Jakarta pada Mei 1998. Perang Islam Kristen di Maluku Utara dan
Poso. Rangkaian konflik itu tidak hanya merengut korban jiwa yang sangat besar, akan tetapi juga telah menghancurkan ribuan harta benda penduduk 400 gereja dan 30 mesjid serta 3000 orang meninggal. Perang etnis antara warga Dayak dan Madura yang terjadi sejak tahun 1931 hingga tahun
2000 telah menyebabkan kurang lebih 2000 nyawa manusia melayang sia-sia.”
     Realitas konflik social yang seringkali terjadi dengan kekerasan seperti contoh di atas, akan mengancam persatuan dan esistensi bangsa. Sekarang ini, jumlah pulau di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berjumlah 17.667 pulau besar dan kecil. Populasi penduduknya berjumlah kira-kira 210 juta jiwa, terdiri dari 350 kelompok etnis dan adat istiadat yang menggunakan hampir 200 bahasa dan dialek local yang berbeda. Dari sudut agama mereka memeluk
Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Konghu Cu serta berbagai macam aliran kepercayaan lainnya. Dengan jumlah penduduk, etnis, suku, agama, adat, bahasa daerah dan pulau yang banyak acapkali Indonesia dikatakan sebagai negara yang multi etnis dan multi agama.
     Keragaman ini, diakui atau tidak akan menimbulkan persoalaan apabila tidak dikelola dengan baik. Apalagi dalam kehidupan manusia abad ke-21 yang ditandai dengan perubahan (change) yang disebabkan oleh kemajuan teknologi komunikasi serta kemajuan informasi telah mengubah dimensi waktu dan tempat kehidupan manusia. Budaya masyarakat bergerak dan berubah dengan cepat akibat adanya globalisasi di hampir semua aspek kehidupan. Dalam proses globalisasi penetrasi budaya dapat terjadi secara nyata dan maya (virtual) sehingga tidak akan pernah ada kekuatan yang mampu mencegahnya. 
     Oleh karena itu, dalam kehidupan global batas-batas negara secara geografis menjadi tidak penting dan bahkan dapat dikatakan sudah tidak terlihat keluar masuknya suatu informasi, pengetahuan dan teknologi yang mampu mempengaruhi kehidupan global manusia secara individual maupun kelompok. Seperti yang dikemukakan oleh Suyatno bahwa era global konsep negara menjadi tidak penting lagi karena secara empiric suatu bangsa tidak akan mampu mengisolasi negara dan pemerintahannya dari pengaruh-pengaruh kehidupan global.
     Rapuhnya konsep-konsep negara-bangsa dengan pengakuan akan demokrasi serta hak asasi manusia memunculkan konsep multikulturalisme, yakni gerakan pengakuan akan keragaman budaya serta pengakuan terhadap eksistensi budaya yang beragam. Peran “budaya” merupakan salah satu kekuatan di dalam mempersatukan kehidupan kelompok masyarakat. Kesadaran multikulturalisme tersebut dapat berkembang dengan baik apabila dilatihkan dan \ dididikkan pada generasi penerus melalui pendidikan. Dengan pendidikan, sikap saling menghargai terhadap perbedaan akan berkembang bila generasi penerus dilatih dan disadarkan akan pentingnya penghargaan pada orang lain dan budaya lain.
    Oleh karena pendidikan multicultural sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai konflik horizontal, seperti keragaman suku dan ras serta konflik vertical seperti tingkat pendidikan, ekonomi, social budaya bangsa Indonesia. Berdasarkan fakta-fakta tersebut mendorong penulis memilih topic “Pendidikan Multikultural: Sebuah Kajian Tentang Pendidikan Alternatif Di Indonesia Untuk Merekatkan Kembali Nilai-nilai Persatuan, Kesatuan Dan Berbangsa Di Era Global”.

APAKAH PENDIDIKAN MULTIKULTURAL ITU ?
     Secara sederhana, multikulturalisme dapat dipahami sebagai sikap bagaimana masing-masing kelompok bersedia untuk menyatu (integrate) tanpa mempedulikan keragaman budaya yang dimiliki. Mereka semua melebur, sehingga pada akhirnya ada proses “hidridisasi” yang meminta setiap individu untuk tidak menonjolkan perbedaan masing-masing kultur.
     Secara historis, pendidikan multicultural sejak lama telah berkembang di Eropa, Amerika dan Negara-negara maju lainnya. Dalam perkembangannya, gerakan pendidikan tentang budaya majemuk (multicultural education) mencapai puncaknya pada decade 1970/1980-an, terutama di lembaga-lembaga pendidikan Amerika Serikat.
     Hampir di setiap lembaga pendidikan di Amerika Serikat baik di Perguruan Tinggi maupun di lembaga persekolahan prinsip-prinsip kemajemukan etnik dan budaya diusahakan agar diintegrasikan ke dalam kegiatan-kegiatan pendidikan dalam rangka pembaharuan kurikulum yang menunjang gerakan pendidikan multicultural. Konsep-konsep tentang etnisitas dan nasionalitas dijabarkan kembali dengan tujuan agar gambaran keberadaan jati-diri “etnik seseorang” jelas di mana tempatnya di dalam kebersamaan dan keseluruhan. Seperti yang dikemukakan Rose bahwa kelompok yang anggota-anggotanya memiliki kebersamaan secara unik dalam warisan social dan cultural serta kemudian diwariskan dari generasi kepada generasi berikutnya, disebut kelompok etnik. Biasanya mereka mudah diidentifikasi karena memiliki pola-pola keluarga, bahasa, agama dan adapt istiadat yang berbeda dengan yang lainnya serta memiliki kesadaran kelompok yang tinggi. 
     Oleh karena itu pendidikan multicultural ditujukan untuk mempersiapkan peserta didik dengan sejumlah sikap dan keterampilan yang diperlukan dalam lingkungan budaya etnik mereka, budaya nasional dan antar budaya etnik lainnya. Seorang peserta didik dari Irian Jaya harus akrab dengan budaya kelompok etniknya sendiri, akan tetapi ia juga harus mampu berbaur dan akrab dengan budaya etnik lain di luar kelompoknya.
     Dari pemaparan di atas, dapat dikemukakan bahwa pendidikan multicultural berperan membentuk pandangan peserta didik tentang kehidupan dan meningkatkan penghargaan terhadap keragaman.4 Sedangkan Musa Asy’arie mengemukakan bahwa pendidikan multicultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus dan toleran terhadap keragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. 
     Dengan demikian, pendidikan mutikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif. Seperti yang diungkapkan oleh Paul Suparno bahwa pendidikan multicultural membantu peserta didik untuk mengerti, menerima dan menghargai orang dari suku, budaya dan nilai yang berbeda. 
     Oleh karena itu peserta didik perlu diajak untuk melihat budaya lain sehingga dapat mengerti dan akhirnya dapat menghargai. Modelnya bukan dengan menyembunyikan budaya lain atau menyeragamkan sebagai budaya nasional sehingga budaya local hilang. Dalam pendidikan multicultural tiap budaya memiliki nilai sendiri dan kebenaran sendiri, untuk itu diperlukan pemahaman hubungan nilai budaya yang salah satu caranya melalui pendidikan.
     Pendapat yang lebih lengkap tentang pendidikan multicultural dikemukakan oleh M. Ainul Yaqin bahwa pendidikan multicultural adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan cultural yang ada pada peserta didik, seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, kelas social, ras, kemampuan dan umur agar proses belajar menjadi efektif dan mudah. 
     Lebih lanjut Ainul mengungkapkan bahwa pendidikan multicultural juga untuk melatih dan membangun karakter siswa agar mampu bersikap demokratis, humanis dan pluralis dalam lingkungan mereka. 
     Dengan kata lain, melalui pendidikan multicultural peserta didik diharapkan dapat dengan mudah memahami, menguasai, memiliki kompetensi yang baik, bersikap dan menerapkan nilai-nilai demokratis, humanisme dan pluralisme di sekolah dan di luar sekolah. Oleh karena itu tujuan pokok dari pendidikan multicultural adalah untuk menerapkan prinsip-prinsip keadilan, demokrasi dan sekaligus humanisme. Pendidikan di alam demokrasi seperti Indonesia harus berorientasi pada kepentingan bangsa yang berlatarbelakang multi-etnic, multi-religion, multi-language dan lain-lain. Hal ini berarti bahwa penyelenggara pendidikan harus memperhatikan ragam kondisi bangsa yang heterogen.
     Wacana pendidikan multicultural sangat penting sebagai salah satu agenda pendidikan masa depan di Indonesia, terutama dalam mengembangkan manusia Indonesia yang cerdas. Manusia cerdas tidak hanya cerdik dan berkemampuan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan menyelesaikan masalah, tetapi juga bermoral, bersikap demokrasi, keadilan dan humanisme. Dengan kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, gender, bahasa ataupun agama. 
     Oleh karena itu sebagai upaya mewujudkan prinsip demokrasi, keadilan dan humanisme dalam pendidikan multicultural di Indonesia perlu diperhatikan, Pertama, perbedaan agama di Indonesia, yang merupakan fakta keragaman di negeri ini; Kedua, multi-etnis dan corak bahasa yang dimiliki oleh tiap-tiap suku bangsa. Keragaman ini dapat menjadi pemicu konflik dalam konteks nasional jika tidak terakomodir dengan baik. Untuk itu peran pendidikan multicultural sangat menentukan untuk meredam konflik antar etnis; Ketiga, perbedaan jenis kelamin dan gender serta status sosial. Pendidikan multicultural dapat mengakomodir perbedaan jenis kelamin dan latar belakang social; Keempat, perbedaan kemampuan yang dimiliki oleh orang, baik dilihat secara fisik dan non-fisik.

BAGAIMANA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL ITU ?
     Keempat keragaman yang dimiliki bangsa ini seperti yang dikemukakan di atas dapat menjadi penggagas paradigma pendidikan nasional yang ber-visi multicultural. Apalagi dengan perubahan-perubahan yang terjadi sekarang ini sebagai dampak kemajuan ilmu dan teknologi serta masuknya arus globalisasi yang membawa pengaruh multidimensional. Sehingga dibutuhkan penyajian pembelajaran dengan menggunakan pendekatan dan model multicultural dengan perspektif global untuk memenuhi tuntutan kebutuhan peserta didik, masyarakat dan lapangan kerja di era global.
     Perspektif global adalah suatu cara pandang atau cara berpikir terhadap suatu masalah, kejadian atau kegiatan dari sudut pandang global, yaitu dari sisi kepentingan dunia atau internasional. Oleh karena itu sikap dan perbuatan kita juga diarahkan untuk kepentingan global. 
     Dengan kata lain, kita memerlukan suatu pendekatan yang akan membantu peserta didik untuk mengarahkannya ke kehidupan yang “kompleks” dan menjauhi pengertian yang sempit tentang ras,
agama, suku, bahasa dan budaya. Untuk itu, Rochiati mengungkapkan bahwa tantangan dunia pendidikan dalam perspektif global salah satunya adalah pemahaman pendidikan multicultural yang tidak rasial untuk mempersiapkan dan mendukung pembelajaran tentang proses antar budaya, pembangunan kemasyarakatan dan kalau perlu aksi kelas.
     Dari pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa dunia pendidikan dalam era global harus memahami isu-isu dan permasalahan global seperti keanekaragaman budaya, politik, ekonomi, social, konflik dan perdamaian, ketergantungan antar bangsa di dunia, masalah HAM, masalah lingkungan seperti: degradasi lingkungan, penyakit dan migrasi penduduk dan lain-lain.
     Untuk itu James Banks mengemukakan bahwa pendidikan multicultural memiliki lima dimensi yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu :
1. Content integration, mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep dasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu
2. The Knowledge Construction Process, membawa peserta didik untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran
3. An Equity Paedagogy, menyesuaikan metode pembelajaran dengan cara belajar peserta didik, hal ini dilakukan dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam mulai dari ras, budaya maupun social
4. Prejudice Reduction, mengidentifikasi karateristik ras dan menentukan metode pembelajaran peserta didik
5. Melatih peserta didik untuk berpartisipasi dalam kegiatan olah raga dan berinteraksi dengan seluruh staff serta peserta didik yang berbeda etnik dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik.
     Pernyataan di atas menyiratkan bahwa pendidikan multicultural dapat membawa pendidikan yang mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan suatu masyarakat yang menjauhi realitas social dan budaya. Oleh karena itu, walaupun pendidikan multicultural di Indonesia relative baru dikenal sebagai sebuah pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan. 
     Dengan kata lain pendidikan multicultural sejalan dengan pengembangan demokrasi yang dijalankan. Apabila hal tersebut dilaksanakan dengan “tidak hati-hati” justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional. Untuk itu penerapan pendidikan multicultural dalam perspektif global harus dipersiapkan dengan baik.
     Anita Lie menyatakan bahwa pendidikan mutikultural dalam era global di Indonesia menghadapi tiga tantangan mendasar; Pertama, fenomena hegemonisasi yang terjadi dalam dunia pendidikan akibat tarik ulur antara keunggulan dan keterjangkauan. Peserta didik tersegregasi dalam sekolahsekolah sesuai latar belakang sosio-ekonomi, agama dan etnisitas; Kedua, kurikulum yang masih berdasarkan jender, status social-ekonomi, kultur local dan geografi. Hal ini menunjukkan ketidakseimbangan dan bias yang membatasi kesadaran multicultural peserta didik; Ketiga, guru, kelayakan dan kompetensi guru di Indonesia pada umumnya masih di bawah standar apalagi untuk mengelola pembelajaran multikulturalime. 
     Karena itu, agar pendidikan multicultural dapat dilaksanakan dengan baik, kita harus memperhatikan berbagai aspek seperti: kurikulum multicultural, tenaga pengajar/guru, proses pembelajaran dan evaluasi pembelajaran dengan menggunakan pendekatan multicultural.
o Kurikulum Multikultural
     Menurut Tilaar, model kurikulum yang dapat digunakan dalam pendidikan multicultural mencakup kurikulum yang “resmi” dan “the hidden curriculum”, yakni kurikulum tidak tertulis dan terencana tetapi proses internalisasi nilai, pengetahuan dan keterampilan justru terjadi di kalangan peserta didik. Lebih lanjut Tilaar mengemukakan bahwa dalam kurikulum “resmi”, pendidikan multicultural sebaiknya diintegrasikan ke semua mata pelajaran dan kegiatan lintas kurikulum. Sebaiknya wawasan multikulturalisme tidak dimasukkan sebagai beban tambahan sebagai mata pelajaran baru dalam kurikulum yang sudah dirasakan amat berat oleh guru dan peserta didik. 
     Oleh karena itu model kurikulum multicultural harus dapat mengintegrasikan proses pembelajaran nilai, pengetahuan dan keterampilan “hidup” dalam masyarakat yang multicultural, seperti: terampil bernegosiasi, mengemukakan dan menghadapi perbedaan, resolusi konflik, cooperative learning dan problem solving. Muatan nilai, pengetahuan dan keterampilan ini dapat dirancang sesuai dengan tahapan perkembangan anak dan jenjang pendidikan. Muatan-muatan nilai multicultural perlu dirancang dalam suatu strategi proses pembelajaran yang mendorong terjadinya internalisasi nilai-nilai.
     Hamid Hasan mengungkapkan bahwa pengembangan kurikulum dengan menggunakan pendekatan pengembangan multicultural harus didasarkan pada prinsip: (1) keragaman budaya yang menjadi dasar dalam menentukan filsafat; (2) keragaman budaya menjadi dasar dalam mengembangkan berbagai komponen kurikulum seperti: tujuan, konten, proses dan evaluasi; (3) budaya di lingkungan unit pendidikan adalah sumber belajar dan objek studi yang harus dijadikan bagian dari kegiatan belajar siswa; (4) kurikulum berperan sebagai media dalam mengembangkan kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional. 
     Selanjutnya Hamid menyatakan bahwa pengembangan kurikulum untuk negara yang besar, penuh ragam dan miskin seperti Indonesia bukanlah pekerjaan mudah, oleh karena itu, keragaman social, budaya, ekonomi dan aspirasi politik harus menjadi factor yang harus diperhitungkan dan dipertimbangkan dalam penentuan filsafat, teori, visi, pengembangan dokumen, sosialisasi kurikulum dan pelaksanaan kurikulum. 
     Untuk itu dalam melaksanakan pendidikan multicultural, sejumlah “pekerjaan rumah” harus digarap mulai dari rancangan integrasi kurikulum, standarisasi buku dan materi, pengembangan materi dan kurikulum, pengembangan professional dan pelatihan guru, rancangan kegiatan hingga rancangan monitoring dan evaluasi.
o Tenaga Pengajar (guru)
     Pengembangan kurikulum dengan pendekatan multicultural haruslah didahului oleh sosialisasi yang baik, agar para guru/tenaga pengajar dapat mengembangkan kurikulum dalam bentuk silabus dan rencana pelajaran, proses belajar di kelas dan evaluasi yang sesuai dengan prinsip multicultural.
     Hal ini disebabkan “penentu utama” keberhasilan pendidikan multicultural adalah guru. Untuk itu, guru harus paham dengan karakteristik pendidikan multicultural sehingga dapat mengembangkan kurikulum multikultural dalam kegiatan belajar yang menjadi tanggungjawabnya.
     Seorang guru yang mengajar melalui pendekatan multicultural harus “fleksibel”, karena untuk mengajar dalam multikultur seperti di Indonesia, pertimbangan “perbedaan budaya” adalah hal penting yang harus menjadi perhatian guru. Faktor-faktor seperti: membangun paradigma keberagamaan inklusif dan moderat di sekolah, menghargai keragaman bahasa, membangun sikap sensitive gender, membangun pemahaman kritis terhadap ketidakadilan dan perbedaan status social, membangun sikap anti diskriminasi etnis, menghargai perbedaan kemampuan dan menghargai perbedaan umur harus dikemas dalam ranah pembelajaran dan penyadaran di persekolahan, sehingga tercipta suatu paham untuk memahami dan menerima segala perbedaan yang ada pada setiap individu peserta didik dan pada akhirnya peserta didik diharapkan mampu memiliki karakter kuat untuk selalu bersikap demokratis, pluralis dan humanis.
o Proses Pembelajaran
     Proses pembelajaran yang dikembangkan harus menempatkan peserta didik pada kenyataan social di sekitarnya. Artinya, proses belajar yang mengandalkan peserta didik untuk belajar secara kelompok dan bersaing secara kelompok dalam suatu situasi kompetitif yang positif. Dengan cara ini, perbedaan antar individu dapat dikembangkan sebagai suatu kekuatan kelompok dan peserta didik terbiasa hidup dengan berbagai keragaman budaya, social, ekonomi, intelektual dan aspirasi politik. Proses belajar yang dapat dikembangkan misalnya: cooperative learning, problem solving, inquiry dan lain sebagainya.
o Evaliasi Pembelajaran
     Evaluasi yang digunakan harus meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian peserta didik sesuai dengan tujuan dan konten yang dikembangkan. Alat evaluasi yang digunakan tidak hanya mengukur hasil belajar (achievement), tetapi secara lengkap memberi informasi yang lebih jelas tentang proses pembelajaran. Penggunaan asesmen alternatif dianggap sebagai upaya untuk mengintegrasikan kegiatan pengukuran hasil belajar dengan keseluruhan proses pembelajara, bahkan asesmen itu sendiri merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan proses pembelajaran. Asesmen kinerja, asesmen portofolio, asesmen rubric, pedoman obsevasi, pedoman wawancara, rating scale, skala sikap, cek-list, kuesioner dan lain sebagai sebagai alat penilaian yang dapat digunakan untuk mengevaluasi pembelajaran yang menggunakan pendekatan multicultural.
Bagaimana Peranan Guru dan Sekolah dalam Mengembangkan
Pendidikan Multikultural ?
     Peran guru dan sekolah dalam mengembangkan pendidikan multicultural sangat penting seperti yang dikemukakan di atas. Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan merupakan lembaga yang berfungsi menanamkan kesadaran di kalangan generasi muda akan identitas dirinya, identitas kolektifnya serta menumbuhkan calon warga negara yang baik dan terpelajar di dalam masyarakat yang homogen ataupun yang majemuk.
     Sementara itu guru bertujuan untuk melatih dan mendisiplinkan pikiran peserta didik, memberikan pendidikan moral dan agama, menanamkan kesadaran nasionalisme dan patriotisme, menjadi warga negara yang baik, bahkan untuk rekreasi.  
     Dengan demikian guru memiliki peranan penting dalam pendidikan multicultural karena ia merupakan salah satu target dari strategi pendidikan ini.
     Kesulitan memprediksi karakteristik masyarakat yang akan datang, karena dalam
era global ini perkembangan masyarakat tidak linier lagi sehingga memerlukan lembaga pendidikan dan guru yang memiliki kesadaran multicultural, yaitu kesadaran untuk memberikan pelayanan pendidikan kepada mereka yang berbeda kebutuhannya. Oleh karena itu, guru dan pihak sekolah perlu memahami berbagai kebutuhan peserta didik seperti yang dikemukakan berikut ini:
• Peran Guru dan Sekolah dalam Membangun Paradigma Keberagamaan
     Guru merupakan factor penting dalam mengimplementasikan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif dan moderat di persekolahan, karena seorang guru yang memiliki paradigma pemahaman keberagamaan yang moderat akan mampu untuk mengajarkan dan mengimplementasikan nilai-nilai
keberagaman tersebut kepada peserta didik di sekolah.  Peran guru dalam hal ini meliputi:  
Pertama, seorang guru harus mampu bersikap demokratis, artinya dalam segala tingkah lakunya, baik sikap maupun perkataannya tidak diskriminatif (bersikap tidak adil atau menyingung) peserta didik yang menganut agama yang berbeda dengannya.  
Kedua, guru seharusnya memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kejadian-kejadian tertentu yang ada hubungannya dengan agama.
     Selain guru, peran sekolah juga sangat penting dalam membangun lingkungan pendidikan yang pluralis dan toleran terhadap semua pemeluk agama. Untuk itu, sekolah sebaiknya memperhatikan : Pertama, sekolah sebaiknya membuat dan menerapkan undang-undang local, yaitu undangundang sekolah yang diterapkan secara khusus di satu sekolah tertentu. Dengan diterapkannya undang-undang ini diharapkan semua unsure yang ada seperti guru, kepala sekolah, pegawai administrasi dan peserta didik dapat belajar untuk selalu menghargai orang lain yang berbeda agama di
lingkungan mereka .  
Kedua, untuk membangun rasa saling pengertian beragama antar peserta didik sekolah diharapkan berperan aktif dalam menggalakkan dialog keagamaan dengan bimbingan guru-guru. 
Ketiga , buku-buku pelajaran yang dipakai dan diterapkan di sekolah, sebaiknya adalah buku-buku yang dapat membangun wacana peserta didik tentang pemahaman keberagamaan yang moderat.
• Peran Guru dan Sekolah dalam Menghargai Keragaman Bahasa
     Seorang guru harus memiliki sikap menghargai “keragaman bahasa” dan mempraktekkan nilai-nilai tersebut di sekolah, sehingga dapat membangun sikap peserta didik agar mereka selalu menghargai orang lain yang memiliki bahasa, aksen, dan dialek yang berbeda. Oleh karena itu, seorang guru harus menunjukkan sikap dan tingkah laku yang selalu menghargai perbedaan bahasa yang ada, dengan demikian diharapkan lambat laun para peserta didik juga akan mempelajari dan mempraktekkan sikap yang sama.
• Peran Guru dan Sekolah dalam Membangun Sensitivitas Gender
     Dalam pendidikan multicultural, pendidikan memiliki peran yang sangat strategis untuk membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya menjunjung tinggi hak-hak perempuan dan membangun sikap anti diskriminasi terhadap kaum perempuan. 
     Oleh karena itu, guru dituntut untuk memiliki peran dalam membangun kesadaran peserta didik terhadap nilai-nilai kesadaran gender dan sikap anti diskriminasi terhadap kaum perempuan di sekolah dengan cara: 
Pertama , guru harus memiliki wawasan yang cukup tentang kesetaraan gender. Wawasan ini penting karena guru merupakan figur utama yang menjadi pusat perhatian peserta didik di kelas, sehingga diharapkan mampu bersikap adil dan tidak diskriminatif terhadap peserta didik perempuan maupun laki-laki. 
Kedua, seorang guru dituntut untuk mampu mempraktekkan nilai-nilai keadilan gender secara langsung di kelas atau di sekolah. 
Ketiga, sensitive terhadap permasalahan gender di dalam maupun di luar kelas.
     Sementara itu, sekolah juga memiliki peran yang sangat penting dalam menanamkan nilai-nilai tentang kesetaraan dan keadilan gender dengan cara: 
Pertama, sekolah harus memiliki dan sekaligus menerapkan undangundang sekolah anti diskriminasi gender. 
Kedua, sekolah harus berperan aktif untuk memberikan pelatihan gender terhadap seluruh staff termasuk guru dan peserta didik agar penanaman nilai-nilai tentang persamaan hak dan sikap anti diskriminasi gender dapat berjalan dengan efektif. 
Ketiga, untuk memupuk dan menggugah kesadaran peserta didik tentang kesetaraan gender dan sikap anti diskriminasi terhadap kaum perempuan, maka pihak sekolah dapat mengadakan acara-acara seminar atau kegiatan social lainnya yang berkaitan dengan pengembangan kesetaraan gender.
• Peran Guru dan Sekolah dalam Membangun Sikap Kepeduliaan Sosial
     Guru dan sekolah memiliki peran terhadap pengembangan sikap peserta didik untuk peduli dan kritis terhadap segala bentuk ketidakadilan social, ekonomi dan politik yang ada di dalam lingkungan sekitarnya maupun di luar lingkungan sekitar. Seorang guru harus memiliki wawasan yang cukup tentang berbagai macam fenomena social yang ada di lingkungan para peserta didiknya, terutama yang berkaitan dengan masalah kemiskinan, pengangguran, para siswa yang tidak dapat melanjutkan sekolah, korupsi, pergusuran dan lain-lain. Di sekolah atau di kelas, guru dapat menerapkan sikap tersebut dengan cara bersikap adil kepada seluruh siswa tanpa harus mengistimewakan salah satu dari mereka meskipun latar belakang status social mereka berbeda.
     Di pihak sekolah, sebaiknya membuat dan menerapkan peraturan fenomena ketidakadilan social, ekonomi dan politik yang ada di sekitar mereka. Dengan diberlakukannya peraturan tersebut diharapkan dapat membangun sikap siswa untuk percaya diri, menghargai orang lain dan bertanggung jawab. Kegiatan lain yang dapat dilaksanakan oleh pihak sekolah adalah menyelenggarakan acara bakti social atau aksi nyata lainnya secara bulanan atau tahunan, sehingga peserta didik dapat merasakan permasalahan masyarakat yang ada di sekitar lingkungannya atau di luar lingkungannya.
• Peran Guru dan Sekolah dalam Membangun Sikap Anti Diskriminasi Etnis
     Guru berperan sangat penting dalam menumbuhkan sensitivitas anti diskriminasi terhadap etnis lain di sekolah. Untuk itu, seorang guru dituntut untuk memiliki pemahaman dan wawasan yang cukup tentang sikap anti diskriminasi etnis, sehingga dapat memberikan contoh secara langsung
melalui sikap dan perilakunya yang tidak memihak atau tidak berlaku diskriminatif terhadap peserta didik yang memiliki latar belakang etnis atau ras tertentu. Dalam hal ini, guru harus memberikan perlakuan adil terhadap seluruh peserta didik yang ada, dengan demikian diharapkan peserta didik akan meniru dan berlatih untuk bersikap dan bertingkah-laku adil terhadap teman-temannya yang berbeda etnis. Demikian pula dengan pihak sekolah, sebaiknya berperan aktif dalam membangun pemahaman dan kesadaran siswa tentang pentingnya sikap menghargai dan anti diskriminasi terhadap etnis lain melalui cara membuat pusat kajian atau forum dialog untuk menggagas hubungan yang harmonis antar etnis.
• Peran Guru dan Sekolah dalam Membangun Sikap Anti Diskriminasi
Terhadap Perbedaan Kemampuan
     Pada aspek ini, guru sebagai penggerak utama kesadaran peserta didik agar selalu menghindari sikap yang diskriminatif terhadap perbedaan kemampuan peserta didik baik di dalam maupun di luar kelas, termasuk juga di luar sekolah. Dengan memberi contoh secara langsung kepada peserta
didik diharapkan peserta didik dapat mencontoh, menerapkan dan membangun kesadaran untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang diskriminatif terhadap mereka yang memiliki perbedaan kemampuan, seperti peserta didik yang bicara gagap atau memiliki daya ingat rendah dan lain sebagainya sehingga mereka dapat saling memahami, menghormati dan menghargai satu sama lain. Demikian pun dengan sekolah yang harus mampu menjadi institusi yang membangun sikap peserta didik yang selalu mengahargai orang lain yang memiliki kemampuan berbeda dengan cara:
Pertama, membuat dan menerapkan peraturan sekolah yang menekankan bahwa sekolah menerima para peserta didik yang “normal” dan mereka yang memiliki kemampuan berbeda.  
 Kedua, sekolah menyediakan pelayanan khusus seperti guru dengan keterampilan khusus untuk menangani peserta didik yang memiliki perbedaan kemampuan dan menyediakan fasilitas khusus seperti ruangan khusus, tempat duduk khusus atau fasilitas khusus lainnya.
Ketiga, sekolah sebaiknya memberikan pelatihan bagi guru-guru dan staff tentang bagaimana cara bersikap dan cara menghadapi peserta didik yang memiliki perbedaan kemampuan di sekolah tersebut.
• Peran Guru dan Sekolah dalam Membangun Sikap Anti Diskriminasi Umur
     Menurut Ainul sekolah seharusnya menerapkan peraturan yang intinya menyatakan bahwa segala bentuk diskriminasi terhadap umur tertentu adalah dilarang keras di sekolah dan mewajibkan kepada peserta didik untuk selalu saling memahami dan menghormati perbedaan umur yang ada di sekitar
mereka. Selain itu, sekolah sebaiknya tidak memberikan batasan umur tertentu bagi seseorang yang akan masuk dan belajar di sekolah tersebut, apabila yang bersangkutan memiliki kemampuan dan kemauan seperti yang telah diatur dalam undang-undang sekolah atau negara.                      
     Demikian juga dengan guru yang harus memiliki pemahaman dan wawasan yang cukup tentang pentingnya sikap yang tidak diskriminatif terhadap orang lain yang berbeda umur diharapkan dapat mempermudah guru untuk memberikan contoh dan bimbingan bagaimana seharusnya bersikap pada orang lain umurnya berbeda. Misalnya, guru harus dapat memberikan perhatian yang sama terhadap peserta didiknya tanpa harus membedakan anak yang lebih tua dengan yang lebih muda.

KESIMPULAN
     Indonesia adalah negara multi etnis, multi kultur dan multi agama. Keanekaragaman ini, di satu sisi merupakan berkah, karena keberagaman itu sesungguhnya merefleksikan kekayaan khasanah budaya. Tak heran jika Satjipto Rahardjo berkesimpulan bahwa Indonesia adalah laboratorium yang sangat lengkap dan menjanjikan untuk penelitian di bidang ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Namun di sisi lain, keberagaman juga berpotensi besar untuk “tumbuh suburnya” konflik, terutama jika keberagaman tersebut tidak mampu dikelola dengan baik.
     Perubahan-perubahan yang terjadi sebagai dampak kemajuan ilmu dan teknologi serta masuknya arus globalisasi membawa pengaruh yang multidimensional. Krisis multidimensi yang dialami Indonesia pada saat ini, diakui atau tidak merupakan bagian dari permasalahan kultur yang salah satu
penyebabnya adalah keragaman kultur yang ada dalam masyarakat kita. Keragaman ini dapat dilihat dari segi positif ataupun dari segi negatif, seperti: diskriminasi, ketidakadilan, pelanggaran HAM yang terus terjadi hingga kini dengan segala bentuknya, seperti kriminalitas, korupsi, politik uang, kekerasan terhadap perempuan dan anak, pengesampingan hal-hal minoritas, pengesampingan nilai-nilai budaya local sebagai wujud nyata dari globalisasi, kekerasan antar pemeluk agama dan sebagainya adalah wujud nyata dari permasalahan cultural yang ada.
     Salah satu upaya untuk membangun kesadaran dan pemahaman generasi yang akan datang adalah dengan penerapan pendidikan multicultural. Hal ini dikarenakan pendidikan multicultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Dengan pendidikan multicultural, kita tidak sekedar merekatkan kembali nilai-nilai persatuan, kesatuan dan berbangsa di era global seperti saat ini, tetapi juga mencoba untuk mendefinisikan kembali rasa kebangsaan itu sendiri dalam menghadapi benturan berbagai konflik social budaya, ekonomi dan politik dalam era global. Dengan kata lain, diterapkannya pendidikan multicultural ini, diharapkan segala bentuk diskriminasi, kekerasan dan ketidakadilan yang sebagian besar dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan cultural seperti perbedaan agama, ras, etnis, bahasa, kemampuan, gender, umur dan kelas social-ekonomi dapat diminimalkan.
     Agar tujuan pendidikan multicultural ini dapat dicapai, maka diperlukan adanya peran dan dukungan dari guru/tenaga pengajar, institusi pendidikan, dan para pengambil kebijakan pendidikan lainnya, terutama dalam penerapan kurikulum dengan pendekatan multicultural. Guru dan institusi pendidikan (sekolah) perlu memahami konsep pendidikan multicultural dalam perspektif global agar nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan ini dapat diajarkan sekaligus dipraktekkan di hadapan para peserta didik, sehingga diharapkan melalui pengembangan pendidikan multicultural ini para peserta didik akan lebih mudah memahami pelajaran dan meningkatkan kesadaran mereka agar selalu berperilaku humanis, pluralis dan demokratis. Pada akhirnya para peserta didik diharapkan menjadi “generasi multicultural” di masa yang akan datang untuk menghadapi kondisi masyarakat, negara dan dunia yang sukar diprediksi dengan kedisiplinan, kepedulian humanisme, menjunjung tinggi moralitas, kejujuran dalam berperilaku sehari-hari dan menerapkan nilai-nilai demokrasi, keadilan dan kemanusiaan.
 
DAFTAR PUSTAKA
Ali Maksun & Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal Di Era Modern dan Posmodern, Yogyakarta: IRCiSoD, 2004
Edgar Morin, Tujuh Materi Penting bagi Dunia Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius, 2005
Edi Hayat dan Miftahus Surur (Ed), Perempuan Multikultural:Negosiasi dan Representasi, Jakarta: Desantara Utama, 2005
H.A.R Tilaar, Manifesto Pendidikan Nasional: Tinjauan Dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural, Jakarta:Kompas, 2005
----------------, Manajemen Pendidikan Nasional, Bandung: P.T Remaja Rosdakarya, 2004
Banks, James A. Teaching Strategies for Ethnic Studies, Boston: Allyn and Bacon Inc, 1987
Nadjamuddin Ramly, Membangun Pendidikan Yang Memberdayakan dan Mencerahkan, Jakarta: Grafindo, 2005
Nursid Sumaatmadja dan Kuswaya Wihardit, Perspektif Global, Jakarta: UT, 1999
M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, Yogyakarta: Pilar Media, 2005
Rochiati Wiriaatmadja, Pendidikan Sejarah di Indonesia: Perspektif Lokal, Nasional dan Global, Bandung: Historia Utama Press, 2002
Sayling Wen, Masa Depan Pendidikan, Batam Centre, 2003
Suyanto, Dinamika Pendidikan Nasional: Dalam Pencaturan Dunia Global, Jakarta: PSAP Muhammadyah, 2006
Sumber Internet:
Anita Lie, Mengembangkan Model Pendidikan Multikultural, dapat diakses secara on-line di http://www.kompas.com/kompascetak/ 0609/01/opini/2921517.htm
Hamid Hasan, Pendekatan Multikultural Untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional, dapat diakses secara on-line di X-URL:
http://www.pdk.go.id/balitbang/Publikasi/Jurnal/No_026/pendekatan_ hamid_hasan.htm
Muhaemin el-Ma’hady, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural, dapat diakses secara on-line di http://artikel.VS/muhaemin6-04.htm
Musa Asy’arie, Pendidikan Multikultural dan Konflik Bangsa, diakses secara online di http://www.kompas.com/kompas-cetak/0409/03/opini/1246546
Paul Suparno, Pendidikan Multikultural , dapat diakses secara on-line di http://www.kompas.co /kompas-cetak/0301/07/opini/46742.htm Pendidikan Multikultural Alternatf Reintegrasi Bangsa.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0108/21/dikbud/pend.09.htm
Suyatno, Pendidikan Multikultural, dapat diakses secara on-line di http://www.kr.co.i /article.php?sid=102681
Wakhinuddin, Pembentukan Peradaban Bangsa Melalui Pengajaran Multi-Etnik Dalam Era Reformasi, dapat diakses secara on-line di http://www.depdiknas.go.id/jurnal/41/wakhnuddin.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar