Upaya Pemenuhan Hak-Hak Perempuan Korban Konflik
Oleh Yulianti Muthmainnah
Staf Komnas Perempuan
Oleh Yulianti Muthmainnah
Staf Komnas Perempuan
Konflik selalu menimbulkan persoalan bagi perempuan. Persoalan
tidak hanya datang dari kelompok lawan atau musuh saja, tapi juga dari
keluarga, adat dan negara. Hal ini bisa dilihat dari laporan pemantauan
Komnas Perempuan di berbagai wilayah konflik di Indonesia. Laporan
tersebut menunjukkan perempuan dan anak-anak menjadi sasaran berbagai
bentuk kekerasan berbasis gender seperti perkosaan, pelecehan seksual,
penelanjangan, maupun pembunuhan. Kekerasan tersebut adalah bagian dari
strategi kemenangan lawan. Perempuan menjadi perisai agar para
suami/ayah/kakak/adik menyerah ataupun sebagai bentuk intimidasi pada
komunitas. Ini terjadi saat konflik di Aceh, Poso, Ambon, dan Papua.
Ironisnya berbagai kekerasan yang diterima perempuan dianggap sebagai
‘nasib’ ataupun ‘konsekuensi dari sebuah konflik. Akibatnya, tidak ada
upaya untuk memulihkan hak-hak korban.
Menanggapi situasi tersebut, Komnas Perempuan melakukan Focus Group
Discussion (FGD) tentang advokasi RUU Penanganan Konflik Sosial Yang
Responsif Gender (Senin, 14/3/11). “Saat ini, DPR RI telah berinisiatif
melakukan penyusunan RUU Penanganan Konflik Sosial. Tujuannya untuk
mengantisipasi munculnya konflik di masyarakat,” ungkap Rifma Ghulam
Dzaljad, staf ahli badan legislatif DPR RI dalam FGD tersebut.
RUU Penanganan Konflik Sosial fokus pada upaya mengatasi dan mengantisipasi konflik di masyarakat.
Sementara, Sylvana Maria Apituley, Komisioner Komnas Perempuan
menilai definisi konflik dalam RUU masih harus diperbaiki. Sylvana juga
menyoroti mekanisme permintaan kata maaf dan upaya damai melalui
pendekatan budaya yang justru menjadikan perempuan dan anak-anak sebagai
korban seumur hidup. “Pelaku harus tetap diproses hukum. Korban harus
mendapatkan hak-haknya, agar tidak ada impunitas dan melupakan kasus,”
ungkap Sylvana.
Negara juga harus cermat melihat akar persoalan sebuah konflik. Bisa
jadi kesenjangan sosial, eksploitasi sumber daya alam, maupun
kepentingan politik menjadi pemicunya. Dengan demikian negara tidak
harus memposisikan dirinya sebagai penentu berakhirnya konflik seperti
terdapat dalam Bab IV. Ataupun rumusan dalam Pasal 11 huruf D RUU,
“penghentian konflik dilakukan dengan sumber daya TNI,”
Pada kenyataannya masyarakat memiliki cara dan strategi mengakhiri
konflik. Perempuan dengan metodenya seperti melakukan interaksi saat
jual beli di pasar, mengantar anak ke sekolah pada ahkirnya membuka
kesempatan perdamaian yang lebih luas. Sayangnya, lagi-lagi perempuan
tidak menjadi bagian dalam penyusunan kebijakan upaya perdamaian.
“RUU ini harus memerhatikan penanganan psikososial” ujar Rara dari
komunitas anti GBV. Henry Sitohang dari Pusat Pemberdayaan untuk
Rekonsiliasi dan Perdamaian juga berharap agar RUU ini tidak
menghadirkan lembaga baru yang berdampak pada gemuk dan mekarnya
birokrasi.
Pengalaman Indonesia pada berbagai konflik di atas, termasuk
pengalaman perempuan berhadapan dengan kekerasan sejatinya menjadi titik
awal untuk memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak. Melalui RUU
inilah kita berharap beragam persoalan perempuan pada wilayah konflik
akan teratasi dan tidak terjadi lagi.
RUU Penaganan Konflik Sosial ini membahas:
- Definisi konflik sosial yakni perselisihan dengan kekerasan fisik antara dua atau lebih kelompok atau golongan yang mengakibatkan hilangnya rasa aman, kerugian benda, rusaknya pranata sosial, jatuhnya korban jiwa, renggangnya hubungan sosial antar warga masyarakat, dan/atau disintegrasi sosial yang menghambat proses pembangunan dalam pencapaian kesejahteraan masyarakat. (Pasal 1 ayat 1)
- Pengerahan sumber daya TNI dalam situasi konflik (Pasal 11 huruf D dan Pasal 30 dan 32)
- Penyelesaian konflik dengan mekanisme kearifan lokal (Pasal 7)
- Birokrasi penanganan konflik (Bab IV dan Bab VI)
- Parameter pernyataan status konflik sangat ditentukan dengan sistem birokrasi (Bab IV)
RUU Penanganan Konflik Sosial seharusnya membahas:
- Definisi konflik diperluas tidak hanya konflik horizontal tetapi juga konflik vertikal. Termasuk juga memasukan difinisi kekerasan berbasis gender dalam definisi konflik.
- RUU seharusnya tidak hanya membahas penanganan, tetapi juga membahas upaya pencegahan yang efektif serta membangun perdamain paska konflik
- Fungsi dan kewenangan TNI dalam situasi konflik harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip HAM, perlindungan korban dan saksi, serta relasi aparat yang tidak berimplikasi pada penciptaan kekerasan atau konflik baru dalam masyarakat
- Penyelesaian konflik dengan mekanisme kearifan lokal ataupun damai menjauhkan korban atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan. Justru menciptakan ruang impunitas baru bagi pelaku. Apalagi untuk korban kekerasan berbasis gender
- Munculnya lembaga baru sebagai amanat lahirnya UU harus dikaji kembali. Lembaga baru potensial memunculkan gemuknya birokrasi dan penyalahgunaan anggaran. Seharusnya koordiansi antar kementerian/lembagalah yang harus didorong.
- Pembahasan parameter pernyataan status konflik seharusnya diambil secara cepat sehingga tidak menjatuhkan korban banyak dan melibatkan masyarakat, termasuk perempuan.
- Memastikan keterlibatan dan mendengarkan suara perempuan dalam proses pra, masa, dan setelah konflik berakhir, termasuk pada masa membangun perdamaian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar