Pelajaran dari konflik di Maluku
Elektronita Duan
Tobelo, Indonesia – Dari 1999 hingga 2002, konflik antara orang
Kristen dan Muslim di Kepulauan Maluku, termasuk daerah saya – pulau
Halmahera di Maluku Utara – berdampak pada kematian ribuan orang dan
mengungsinya ribuan orang lainnya.
Konflik ini akhirnya teratasi, dan solusi yang diterapkan waktu itu
bisa memberi wawasan bahwa kekerasan antaragama bisa dibatasi dan
dicegah agar tidak bertambah besar dan bertambah gawat.
Faktor-faktor yang bisa menumbuhkan konflik antaragama secara umum
termasuk kesulitan ekonomi yang dirasakan oleh sekelompok atau banyak
kelompok masyarakat, memburuknya hubungan di antara warga masyarakat,
pemerintahan yang tidak stabil atau lemah, dan politik sektarian.
Pada 1998, ekonomi Indonesia tengah terpuruk. Krisis ekonomi Asia
Timur mempengaruhi masyarakat menengah ke bawah, dan berlangsung cukup
lama untuk bisa menciptakan kerusuhan di tengah masyarakat Indonesia.
Kejadian-kejadian yang tampaknya remeh tiba-tiba bisa berkembang menjadi
masalah yang sangat besar. Misalnya, di Maluku, perselisihan antara
seorang sopir bis beragama Kristen dan pemuda Muslim memicu konflik
sedaerah.
Sebelumnya, masyarakat, budaya dan ekonomi Maluku, telah sebagian
berubah karena program transmigrasi, modernisasi pendidikan, dan ekonomi
yang terpusat. Tidak banyak ada penekanan pada nilai-nilai adat yang
biasanya menyatukan berbagai kelompok masyarakat setempat, terlepas dari
agama, daerah, dan politik, seperti hibualamo (rumah bersama tempat upacara adat) di mana orang Kristen dan Muslim biasa berkumpul, dan pela (tali
kekerabatan dalam masyarakat) yang membentuk aliansi di antara
kampung-kampung dan melampaui sekat-sekat agama. Pada saat konflik
meletup pada 1999, ikatan ini tidak lagi berfungsi, khususnya di
kalangan anak muda dan pendatang.
Konflik di Maluku – yang bermula dari kejadian lokal – diperparah
oleh intervensi dari luar. Berbagai berita bahwa umat Muslim di Maluku
dibantai mendorong laskar-laskar dari Jawa – yang didanai dan
diperbekali oleh berbagai pihak yang ingin memperkuat pengaruh politik
mereka dan melemahkan pemerintahan – untuk datang ke Maluku demi membela
saudara Muslim mereka. Akibatnya, kekerasan meluas.
Upaya-upaya mediasi antara kelompok-kelompok Kristen dan Muslim di
Maluku tidak terjadi segera, sebagaimana seharusnya. Pada 1998,
Indonesia mengalami reformasi politik begitu rezim Presiden Suharto
lengser. Ini menghambat pemerintah untuk bisa merespon krisis dengan
cepat.
Pada saat itu, sebagian besar orang berharap konflik akan reda dengan
sendirinya, dan karenanya, alih-alih mengambil tindakan langsung,
pihak-pihak yang berwenang justru memilih pendekatan “nanti dan lihat”.
Semua faktor ini – ekonomi, macetnya adat pengikat masyarakat
setempat, keterlibatan orang luar, dan tidak adanya tanggapan langsung
pemerintah – turut berkontribusi pada berlangsungnya konflik selama dua
tahun di Maluku.
Kondisi ekonomi Indonesia perlahan membaik. Dan meskipun Maluku
tercengkeram oleh konflik, orang-orang yang mengungsi bisa melanjutkan
hidup mereka. Para tokoh masyarakat mengupayakan pembangunan kembali
ikatan tradisional di antara beragam kelompok, dan balai-balai adat
serta ikatan kekerabatan masyarakat ditegakkan kembali di tingkat akar
rumput. Para elit politik berikrar untuk tidak memanaskan keadaan yang
rapuh, dan laskar-laskar bersenjata dikirim kembali ke Jawa oleh aparat
keamanan.
Secara formal, upaya damai di Maluku berpuncak pada penandatanganan
Perjanjian Malino II oleh pihak-pihak yang bertikai pada awal 2002.
Namun, untuk menerapkan kesepakatan ini di tingkat akar rumput butuh
waktu. Dan bahkan kini jejaring aktivis perdamaian di Maluku masih
bekerja keras untuk menggelar ronda keliling rutin dan cepat-cepat
menangani perselisihan yang berpotensi meluas.
Upaya-upaya ini tampaknya terbayar sudah.
Pada akhir September 2011, konflik antaragama kembali muncul di
Maluku, lagi-lagi dipicu oleh masalah sepele dan insiden kecil. Kematian
sopir ojek di Ambon menyulut kekerasan antaragama yang menewaskan tujuh
orang dan merusak puluhan rumah. Namun, kali ini, belajar dari
kekerasan masa lalu, berbagai tokoh masyarakat, yang berharap
menghindari berulangnya konflik 1999-2002 segera bekerja untuk mengatasi
menyebarnya rumor dan bertindak sebagai mediator akar rumput. Bahkan
media sangat berhati-hati dalam menggunakan bahasa untuk mewartakan
konflik ini, dan berharap bisa menghindari makin berkobarnya
ketegangan.
Sekarang, konflik tampak telah bisa diatasi.
Masyarakat-masyarakat di Maluku harus membayar mahal untuk belajar
bahwa mempertahankan perdamaian butuh upaya pencegahan secara holistik,
tanggapan cepat atas kejadian-kejadian kecil yang berpotensi meluas, dan
kepemimpinan yang tegas dalam merespon konflik.
Termaktub dalam Undang-Undang Dasar bahwa tidak ada perdamaian tanpa
keadilan sosial. Dan seperti yang Maluku tahu, tugas terberat –
pembangunan kembali masyarakat secara jangka panjang, penguatan sumber
daya manusia dan ekonomi – datang setelah konflik berakhir.
###
* Elektronita Duan ialah peraih N-Peace Award 2011 atas
kepeloporannya sebagai aktivis perdamaian akar rumput di Halmahera,
Maluku Utara. Untuk tahu lebih banyak tentang upayanya, silahkan klik di sini.
Artikel ini ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews).
Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 04 November 2011, www.commongroundnews.org
Telah memperoleh izin publikasi.
Telah memperoleh izin publikasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar