Konferensi membangun tata ekonomi-politik baru pasca krisis kapitalisme global
Gerakan Rakyat Melawan Neo-Kolonialisme dan Imperialisme (Gerak
Lawan) menggelar konfernsi nasional “Membangun tata ekonomi-politik baru
pasca krisis kapitalisme global” di Jakarta (17/2). Konferensi yang
rencananya berlangsung dua hari ini dihadiri oleh akrivis gerakan sosial
dan akademisi dari berbagai wilayah di Indonesia. Beberapa pembicara
yang hadir diantaranya adalah Henry Saragih, Hendri Saparini, Ahmad
Taufan Damanik, Syamsul Hadi dan Revrisond Baswir.
Menurut ketua pantia konferensi, Indra Sakti Lubis, konferensi ini
digelar sebagai jawaban kegelisahan rakyat atas perkembangan kapitalisme
global. Pemerintahan saat ini yang sangat bercorak neoliberal telah
gagal memajukan rakyat Indonesia dengan berbagai paradigma
pembangunannya.
Sudah sejak lama organisasi gerakan rakyat yang tergabung dalam Gerak
Lawan melakukan perlawanan terhadap neoliberalisme. Beberapa
diantaranya sudah menunjukan hasil dengan dimenangkannya sebagian dari
gugatan atas Undang-undang Penanaman Modal oleh Mahkamah Konstitusi.
Gerak Lawan merupakan gabungan organisasi-organisasi gerakan rakyat
progresif dari berbagai sektor. Beberapa diantaranya adalah Serikat
Petani Indonesia, Serikat Buruh Indonesia, Serikat Nelayan Indonesia,
Solidaritas Perempuan, Walhi, Koalisi Anti Utang, LSADI dan berbagai
organisasi gerakan rakyat lainnya.
Koreksi total sistem ekonomi-politik pasca krisis kapitalisme global
Buah dari teori dan praktek kapitalisme global telah dipanen, dan
hasilnya sungguh pahit. Saat ini dunia dihantam multikrisis, mulai dari
krisis pangan, energi, iklim, hingga finansial. Yang sungguh fenomenal
dari buah pahit tersebut adalah, krisis finansial global ternyata
dimulai dari negara paling kapitalis sedunia, Amerika Serikat. Dalam
kurun waktu kurang dari setahun, hampir tiga juta orang sontak menjadi
pengangguran di seluruh dunia. Kekacauan pangan (food riot) terjadi di
berbagai negara, kacaunya suplai energi global, ditambah rumit dengan
kondisi planet dan lingkungan yang makin kritis.
Namun kapitalisme sebagai ideologi yang menjadi akar masalah, tidak
tewas begitu saja. Aktor-aktornya seperti institusi keuangan
internasional macam Bank Dunia, IMF, WTO dan pemerintah serakah terus
berusaha menghidupkan phoenix dari abu kematiannya. Dengan struktur
ekonomi-politik saat ini, kaum miskin seluruh dunia justru dalam resiko
menanggung biaya krisis (cost of crisis) yang berat. Pemulihan krisis di
negara pusat kapitalisme, kini menjadi beban yang tidak terhindarkan
bagi negara-negara dunia ketiga.
Pelajaran dari krisis kapitalisme internasional yang bisa kita petik
adalah, pertama, krisis kapitalisme adalah takdir historis, untuk itu
krisis kapitalisme global akan selalu berulang dan berkelanjutan; kedua,
meski pasti terkena krisis, kapitalisme selalu menemukan jalan guna
mengatasi krisis, melalui hegemoni dan dominasi.
Masih solidnya pusat kapitalisme, Amerika Serikat, dengan program
stimulus Barack Obama sebesar 800 milyar USD, tak pelak adalah usaha
membangkitkan aktor utamanya: korporasi transnasional. Stimulus yang
sama—walaupun dalam bahasa beda—banyak digelontorkan di berbagai belahan
dunia. Proyek ekonomi mainstream pun masih berkibar secara global,
mulai dari free trade multilateral hingga perjanjian FTA, baik regional
maupun bilateral. Tercatat Uni Eropa, ASEAN, dan banyak negara lain di
belahan Asia, Eropa dan Oceania akan segera menandatangani perjanjian.
Bank Dunia, IMF dan WTO pun terus mengkampanyekan liberalisasi,
privatisasi dan deregulasi sebagai solusi sapu jagat. Fakta yang sahih
pun diputarbalikkan.
Akar dari krisis ini haruslah dicabut, untuk ditumbuhkan alternatif
baru yang benar-benar untuk kesejahteraan dan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat.
Gerakan rakyat di seluruh dunia telah lama mengusung alternatif untuk
sistem ekonomi-politik. Dalam konteks Indonesia, gagasan alternatif
bagi sistem politik-ekonomi ini haruslah yang konsisten pada nilai-nilai
demokrasi, kemanusiaan, nasionalisme, gotong-royong, dan keadilan
sosial.
Kegiatan ekonomi yang dilakukan ke depan seharusnya adalah rencana
dari terwujudnya keadilan ekonomi bagi rakyat Indonesia. Dan jalan
menuju keadilan ekonomi tersebut adalah aturan main tentang hubungan
ekonomi yang didasarkan pada prinsip-prinsip ekonomi yang tercantum
dalam konstitusi. Konsepsi ini sudah jauh hari diperkenalkan sebagai
dasar berdirinya demokrasi ekonomi sebagaimana terangkum dalam
penjelasan pasal 33 UUD 1945: “dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi
ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan
atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat yang
diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu, perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun
perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.”
Keinginan untuk meraih kemandirian dan kedaulatan ekonomi seharusnya
diartikan sebagai impian untuk melepaskan ekonomi Indonesia dari jeratan
dan ketergantungan asing, baik oleh negara asing maupun korporasi
transnasional. Sebagaimana kita tahu untuk menuju kemandirian ekonomi
tersebut, Indonesia harus mampu mewujudkan kedaulatan di bidang
keuangan, pangan, maupun energi.
Gerakan rakyat lawan neokolonialisme-imperialisme (GERAK LAWAN) telah
bekerja sejak tahun 2005 untuk mewujudkan hal tersebut di Indonesia.
Konsolidasi dari berbagai elemen rakyat, yakni buruh, tani, nelayan,
migran, perempuan, kaum muda, environmentalis, dan pejuang HAM sudah 4
tahun berkecimpung dalam wacana dan praktek alternatif untuk sistem
ekonomi-politik demi kesejahteraan dan keadilan sosial. Dalam momentum
krisis kapitalisme saat ini, wacana dan praktek tersebut wajib
disuarakan luas. Kerja sama yang lebih luas juga diperlukan dalam
konteks pemikiran ekonomi-politik alternatif, terutama yang sesuai
dengan kondisi bangsa ini. Keseluruhannya adalah dalam rangka koreksi
total sistem ekonomi-politik pasca krisis kapitalisme global, menuju
dunia yang lebih berkeadilan.
Dalam kesempatan inilah GERAK LAWAN mengadakan konferensi yang akan
membahas isu-isu penting tersebut pada tanggal 17-18 Februari 2009, di
Gedung YTKI Jakarta bersama puluhan pemikir ekonomi-politik progresif di
tingkat nasiona
Tidak ada komentar:
Posting Komentar