Tentang Membangun Tata Dunia Baru Melawan Neokolonialisme-Imperialisme
Pandangan SPI terhadap situasi ekonomi-politik global
Sejarah gelap penindasan struktural melalui penjajahan di dunia pada prinsipnya adalah bagian dari sejarah dominasi dan eksploitasi manusia atas manusia (l’exploitation de l’homme par l’homme). Sejarah itu tidak kunjung berhenti, belum juga menemukan titik terangnya hingga saat ini. Di berbagai penjuru dunia, masih banyak jerit derita dari kaum tertindas—mulai dari kaum tani, kaum buruh, nelayan dan miskin kota. Penderitaan ini jauh melampaui batas negara, lintas agama, lintas suku bangsa, ras, dan batas geografis. Perang, ketidaksetaraan, kelaparan, rendahnya pendidikan, pengangguran, degradasi lingkungan dan kemiskinan adalah bukti nyata penjajahan yang terjadi di hampir seluruh penjuru dunia dari mulai Asia, Amerika Latin hingga Afrika.
Sejarah gelap penindasan struktural melalui penjajahan di dunia pada prinsipnya adalah bagian dari sejarah dominasi dan eksploitasi manusia atas manusia (l’exploitation de l’homme par l’homme). Sejarah itu tidak kunjung berhenti, belum juga menemukan titik terangnya hingga saat ini. Di berbagai penjuru dunia, masih banyak jerit derita dari kaum tertindas—mulai dari kaum tani, kaum buruh, nelayan dan miskin kota. Penderitaan ini jauh melampaui batas negara, lintas agama, lintas suku bangsa, ras, dan batas geografis. Perang, ketidaksetaraan, kelaparan, rendahnya pendidikan, pengangguran, degradasi lingkungan dan kemiskinan adalah bukti nyata penjajahan yang terjadi di hampir seluruh penjuru dunia dari mulai Asia, Amerika Latin hingga Afrika.
Penjajahan atau imperialisme inilah yang terus bertransformasi. Ia
berubah-ubah, menyesuaikan diri: dari imperialisme kecil ke imperialisme
raksasa, dari imperialisme jaman dulu ke imperialisme jaman sekarang,
dari imperialisme kuno menjadi imperialisme modern. Imperialisme ini
dilahirkan dari rahim kapitalisme, dan imperialisme modern jelas lahir
dari rahim kapitalisme modern. Jika dulu kapitalisme kuno hanya
berpraktek dengan mode produksi yang menindas hanya dalam skala kecil,
maka kapitalisme modern saat ini berpraktek dengan mode produksi yang
sangat mengerikan. Lihatlah betapa masifnya jutaan hektar tanah yang
dikuasai untuk perkebunan, betapa banyak dan raksasanya pabrik-pabrik
dengan asap mengepul di udara milik investor, lihatlah gedung-gedung
pelayan jasa perbankan, asuransi, telekomunikasi yang mencakar langit.
Penjajahan gaya baru inilah disebabkan kebijakan dan praktek
neoliberalisme, yang oleh Soekarno dinyatakan sebagai
neokolonialisme-imperialisme (nekolim).
Jika dulu penjajahan menggunakan pasukan bersenjata yang secara
langsung merepresi rakyat, penjajahan gaya baru menyusup diam-diam dan
menindas secara struktural. Jika dulu onderneming-onderneming kolonial
merangsek lahan rakyat, pabrik-pabrik perkebunan kolonial, memberangus
hak-hak kemerdekaan, hak-hak berkumpul, hak-hak berserikat, ditekan
habis-habisan oleh penjajah maka sekarang belum tentu seperti itu. Dulu
penjajahan langsung menginvasi daerah-daerah bangsa asli benua Asia,
Amerika dan Afrika. Kaum penjajah ini kemudian mengaduk-aduk bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, lalu mengisapnya hasilnya
untuk dialirkan langsung ke negara penjajah. Sekarang penjajahannya
sungguh berbeda, karena perkebunan-perkebunan raksasa tidaklah masuk
hanya dengan cara paksa. Hak-hak rakyat seakan-akan ditegakkan, namun
pada esensinya bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi
kita tetap digunakan untuk kepentingan pemilik kapital. Penjajahan gaya
baru tidak terang-terangan, ia tidak dirasakan oleh rakyat tetapi
secara ekonomi-politik, sosial dan budaya mempengaruhi pola pikir dan
segala sendi kehidupan kita sehari-hari.
Dulu tidak ada yang namanya penjajahan budaya. Kini, akar budaya
bangsa kita telah terkikis oleh penetrasi budaya asing. Bukan juga
berarti budaya asing ini sesungguhnya jahat semua, namun
neokolonialisme-imperialisme juga merasuki rakyat melalui jalan budaya.
Lihat betapa kita diatur untuk terus berkonsumsi, bertindak individual,
bahkan melupakan warisan luhur budaya nenek moyang kita. Budaya agraris
di negeri gemah ripah loh jinawi Indonesia misalnya, terkikis dengan
budaya industrial yang bercirikan kapitalistik-neoliberal ala Barat.
Gotong-royong yang merupakan salah satu ciri khas bangsa Indonesia, juga
sekarang makin rapuh diterpa hegemoni budaya individualistik yang
cenderung liberal. Sementara, berbagai aspek budaya mulai dari kesenian,
pendidikan, bahasa dan pola hidup sekarang banyak dipengaruhi oleh
hegemoni Barat—padahal belum tentu sesuai dengan kepribadian bangsa.
Pada tataran kehidupan sehari-hari, neokolonialisme-imperialisme ini
masih belum atau simpang siur dipahami rakyat. Namun rakyat tidak harus
minder jika masih tidak atau belum mengerti arti istilah-istilah ini.
Kita sebagai rakyat juga seharusnya jangan merasa diri kita bodoh atau
tidak cukup mampu untuk memahami hal-hal tersebut. Ketidakpahaman dan
kesimpangsiuran itu justru terjadi karena keinginan dan tujuan
antek-antek neokolonialisme-imperialisme sendiri. Sementara, berbagai
macam praktek penjajahan gaya baru di tingkat kehidupan sehari-hari
serta istilah yang membingungkan mereka gunakan sebagai topeng untuk
menutupi kejahatan mereka.
Neokolonialisme-imperialisme ini adalah penjajahan baru, yang
merupakan warisan historis penjajahan lama. Tapi harus dimengerti dalam
konteks Indonesia, dan dalam konteks geopolitik Asia, Afrika dan Amerika
Latin, neokolonialisme-imperialisme sangatlah relevan jika merujuk
sejarah kelam penjajahan. Karena itu pula segala bentuk penindasan yang
dialami setelah bangsa Indonesia merdeka, dan juga setelah bangsa-bangsa
lain di Asia, Afrika dan Amerika Latin pun merdeka, tak lain dan tak
bukan adalah praktek neokolonialisme-imperialisme. Bentuk penindasan ini
dilakukan via kekerasan pemerintah cq negara dengan hukum (judicial
violence) dalam rangka melindungi penindasan modal (capital violence)
dalam cabang-cabang produksi yang seharusnya dikuasai oleh negara dan
digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. ‘Ekonomi-politik
keruk’ semacam inilah yang juga secara faktual dialami di Indonesia, dan
juga di negara-negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Secara
alamnya, memang kawasan ini pula yang kaya akan bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya.
Dampaknya neokolonialisme-imperialisme juga sama mengerikan. Jutaan
rakyat di dunia—terutama di kawasan Asia, Afrika dan Amerika
Latin—menderita kelaparan, ratusan juta lainnya masih dihantui
kemiskinan. Sementara segelintir orang tetap berkuasa, mengisap
keuntungan dari arus perputaran kapitalnya. Selanjutnya, surplus kapital
tersebut masih juga diputar lagi di negara-negara miskin dan
berkembang. Kejadian ini terus berulang hingga saat ini dengan
aktor-aktor penjajahan baru selain negara: perusahaan transnasional
raksasa (TNCs) dan lembaga-lembaga rejim internasional seperti Dana
Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia dan Organisasi Perdagangan Dunia
(WTO).
Namun secara historis, bangsa-bangsa di kawasan Asia, Afrika dan
Amerika Latin ini jugalah yang tercatat sebagai bangsa-bangsa pejuang
yang tidak diam saja menghadapi penjajahan. Bangsa-bangsa di Asia,
Afrika dan Amerika Latin inilah yang pertama kali bergerak melawan
penjajah. Bangsa-bangsa ini pulalah yang keinginan merdekanya sangat
kuat. Dan akhirnya bangsa-bangsa ini pula yang akhirnya menjadi
negara-negara merdeka di dunia, dengan perjuangan berat yang
mengorbankan keringat, darah dan air mata rakyatnya.
Setelah melewati perjuangan melawan kolonialisme yang berabad-abad
lamanya, mulai pertengahan abad ke-20 di kawasan Asia, Afrika dan
Amerika Latin ini mulailah bermunculan negara-negara yang merdeka. Dan
pada tahun 1955, akhirnya negara-negara dari kawasan Asia dan Afrika
menyatakan kepada dunia dengan suara lantang: bahwa rakyat di Asia dan
Afrika menolak yang namanya imperialisme. Dan bahwa hal ini diamini oleh
konstitusi Republik Indonesia UUD 1945 naskah asli sesuai pembukaannya,
“Bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.” Momentum Konferensi Asia Afrika yang
dilaksanakan negara-negara baru tersebut tercatat dalam tinta emas
sejarah sebagai perlawanan terhadap penjajahan (anti-kolonialisme dan
anti-imperialisme), yang notabene selama berabad-abad diderita rakyat di
kawasan tersebut. Hingga saat ini, Dasasila Bandung yang menjadi hasil
Konferensi Asia Afrika masih tetap dirasakan relevan maknanya di level
global.
Namun situasi ekonomi-politik dunia yang menindas tidak berhenti
begitu saja. Pada tahun 1944, 11 tahun sebelum Konferensi Asia Afrika
berlangsung, muncul sebuah kesepakatan licik untuk menguasai dunia.
Dirancanglah sebuah rejim ekonomi-politik yang mengatur tiga bagian
besar isu secara global. Yang pertama adalah untuk mengatur moneter
(keuangan) dunia, yang kedua mengatur pembangunan dunia, dan yang ketiga
mengatur perdagangan dunia. Ketiga rejim yang akhirnya menjadi kaki
tangan neokolonialisme-imperialisme inilah yang akhirnya membentuk rejim
dana moneter internasional (IMF), rejim Bank Dunia, dan rejim
perdagangan dunia (GATT—yang lalu berubah menjadi WTO).
Di bidang ekonomi-politik secara global, tahun 1944 ini juga menjadi
tonggak munculnya ideologi baru yang disebut sebagai neoliberalisme.
Ideologi inilah yang digunakan untuk menjajah kembali, yang merupakan
tahap kedua dari kolonialisme-imperialisme. Jika tahap pertama
kolonialisme-imperialisme dicirikan dengan ekspansi fisik dan dimulai
dari Eropa, maka tahap kedua ini dimulai dengan dominasi ilmu
pengetahuan dan model pembangunan dengan ideologi pembangunanisme
(developmentalisme). Ideologi pembangunanisme ini sendiri pernah
dipraktekkan di Indonesia dalam rejim Soeharto yang represif dan korup
(1966-1998).
Sementara tahap ketiga dari penjajahan ini adalah yang seperti kita
hadapi sekarang ini. Sesaat menjelang abad ke-21 muncullah istilah
globalisasi, yang sebenarnya adalah perwujudan dari
globalisasi-neoliberalisme. Globalisasi-neoliberalisme, yang sering
disebutkan sebagai globalisasi saja, jelas merupakan salah satu
transformasi kolonialisme-imperialisme menjadi
neokolonialisme-imperialisme atau penjajahan gaya baru, lewat tiga pilar
yang disebut Konsensus Washington, yakni (1) deregulasi; (2)
privatisasi; dan (3) liberalisasi pasar.
Globalisasi-neoliberal merupakan suatu proses pengintegrasian sistem
ekonomi-politik nasional ke dalam sistem ekonomi-politik global, yang
diperankan oleh aktor-aktor utama dalam proses tersebut. Aktor-aktornya
adalah negara-negara penjajah baru, perusahaan transnasional raksasa
(TNCs), IMF, Bank Dunia dan WTO, serta lembaga-lembaga riset dan donor
dunia. Mereka inilah yang mempromosikan kebijakan dan praktek
fundamentalisme pasar, sehingga yang kuat secara kapital dialah yang
terus berkuasa. Prakteknya juga dicirikan dengan pelan-pelan mengurangi
kedaulatan rakyat dalam negara, sehingga peran negara lemah. Kurangnya
peran negara ini dimanfaatkan aktor-aktor tersebut untuk mengisap
kembali sumber daya manusia, bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di
negara-negara miskin dan berkembang.
Selanjutnya, aktor-aktor ini juga menggunakan peran negara yang lemah
untuk membuat regulasi yang bisa menguntungkan mereka sendiri. UU atau
peraturan yang disahkan pastilah mengenai tiga hal: (1) Diposisikannya
perekonomian negara miskin dan berkembang sebagai pemasok bahan mentah
bagi industri-industri di negara maju; (2) Dijadikannya perekonomian
negara miskin dan berkembang sebagai pasar produk yang dihasilkan oleh
industri-industri di negara maju; dan (3) Dijadikannya perekonomian
negara miskin dan berkembang sebagai tempat untuk memutar kelebihan
kapital yang terdapat di negara-negara maju.
Beberapa hal di atas itulah yang sebenarnya menjadi pangkal masalah.
Dan masalah yang diakibatkan ternyata tidak sama seperti yang terjadi
pada jaman Perang Dunia atau di jaman Perang Dingin antara Amerika
Serikat versus Uni Sovyet. Selama puluhan tahun sejak tahun 1940-an,
sebenarnya secara relatif perdamaian telah terwujud di dunia. Namun
disana-sini masih terlihat masalah-masalah yang sama berulang kembali
dewasa ini. Masalah-masalah yang terus terlihat jelas dewasa ini adalah,
peperangan yang menjatuhkan korban jutaan jiwa, jatuhnya bom atom,
krisis nuklir, kelaparan ratusan juta jiwa rakyat di seantero dunia,
kemiskinan di negara-negara belahan bumi selatan, serta
ketidakseimbangan ekonomi-politik dunia.
Nasib umat manusia tentu tidak dapat ditentukan oleh beberapa bangsa
yang kuat saja. Bangsa-bangsa yang lebih muda, bangsa-bangsa tunas baru
yang menyeruak ke permukaan dari ratusan tahun kolonialisme,
bangsa-bangsa baru di belahan bumi selatan bumi ini telah bersedia maju
untuk memikul tanggung jawab bersama untuk mengubah dunia dari kekejaman
penjajahan gaya baru. Bahkan suara untuk membentuk tata dunia baru yang
lebih berperikemanusiaan dan berperikeadilan bisa dikatakan diinisiasi
dari bangsa-bangsa baru ini.
Bahwa imperialisme belum lagi mati, itu jelas menjadi kesimpulan
utama. Bahwa seluruh rakyat yang berada di negara-negara Asia, Afrika,
Amerika Latin dan bahkan dari belahan dunia lain merasakannya kembali
saat ini, adalah kenyataan yang sebenar-benarnya. Penegasan yang
dinyatakan rakyat adalah bahwa imperialisme telah berubah bentuk,
berubah muka, berubah praktek, berubah modus operandi, berubah
aktor-aktornya. Dan kesimpulannya tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Penjajahan gaya baru, neokolonialisme-imperialisme itu harus dilawan.
Telah banyak pula muncul suara untuk melawan globalisasi-neoliberal
dewasa ini. Telah banyak pula suara untuk menegakkan kembali kedaulatan
rakyat dalam negara. Tak pupus pula rakyat di negara-negara Asia, Afrika
dan Amerika Latin mengetuk semua forum, pintu dan kesempatan di dalam
pergaulan masyarakat global untuk memerangi globalisasi-neoliberal. Dan
untuk berjuang menghadapinya, jelas negara-negara bangsa harus bersatu
dan tidak bisa tercerai-berai. Untuk memerangi makhluk terkutuk-musuh
kedaulatan rakyat ini, jelas harus terwujud solidaritas antarnegara,
antarbangsa, dan juga sesama rakyat sendiri.
Solidaritas ini tidak hanya sekadar memupuk persaudaraan dan
gotong-royong yang kuat di antara seluruh rakyat tertindas, namun juga
di sisi lain bahwa secara faktual neokolonialisme-imperialisme ini
sangatlah kuat. Ia berwujud pada lapisan-lapisan yang kuat
antaraktor-aktornya, ia berwujud pada kolaborasi yang mengerikan dari
bawah hingga atas, ia terstruktur dari desa hingga ke level global, ia
bergerak dari budaya keseharian di tengah kehidupan rakyat jelata hingga
ke forum-forum internasional, ia bersilang-sengkarut dari
perusahaan-perusahaan raksasa, birokrat, pemerintah korup, penguasa,
lembaga keuangan dan perdagangan internasional, negara-negara hingga
hegemoni global.
Tata Dunia Baru Melawan Neokolonialisme-Imperialisme
Realitas global saat ini tentunya menuntut rakyat untuk bertindak secara tegas. Dalam membangun solidaritas untuk melawan neokolonialisme-imperialisme, rakyat memiliki peran yang sangat besar untuk menjadi ujung tombak gerakan tersebut. Hanya dengan solidaritas rakyat yang kuat, maka neokolonialisme-imperialisme bisa ditumbangkan dengan segera. Kaum tani sebagai bagian dari rakyat tentunya harus pula menyikapi perwujudan tata dunia baru melawan neokolonialisme-imperialisme tersebut.
Tata Dunia Baru Melawan Neokolonialisme-Imperialisme
Realitas global saat ini tentunya menuntut rakyat untuk bertindak secara tegas. Dalam membangun solidaritas untuk melawan neokolonialisme-imperialisme, rakyat memiliki peran yang sangat besar untuk menjadi ujung tombak gerakan tersebut. Hanya dengan solidaritas rakyat yang kuat, maka neokolonialisme-imperialisme bisa ditumbangkan dengan segera. Kaum tani sebagai bagian dari rakyat tentunya harus pula menyikapi perwujudan tata dunia baru melawan neokolonialisme-imperialisme tersebut.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang telah lama mengalami penderitaan
akibat kolonialisme, dari mulai jaman Portugis, Inggris, Belanda hingga
Jepang. Setelah merdeka pun, neokolonialisme-imperialisme masih
menggedor pintu kemerdekaan Indonesia dan berusaha meruntuhkan
pilar-pilar jembatan emas kemerdekaan. Namun rakyat Indonesia telah
bergerak. Mereka yang kelaparan, kini menuntut makan. Mereka yang buta
huruf, kini menuntut pendidikan yang layak. Kaum tani menuntut haknya
akan alat produksi pertaniannya yakni tanah. Kini eskalasi penuntutan
kedaulatan rakyat makin bertambah setiap harinya, walaupun rakyat terus
ditindas secara ekonomi-politik melalui kebijakan dan praktek
globalisasi-neoliberal. Hal ini sinkron dengan solidaritas rakyat di
seluruh dunia, yang terus berkembang melawan penindasan-penindasan yang
terjadi saat ini.
Berhasil atau tidaknya perlawanan terhadap
neokolonialisme-imperialisme tentu akan dinilai dari hubungannya dengan
gerakan rakyat. Generasi yang lalu, generasi sekarang, maupun generasi
yang akan datang akan menjadi aktor-aktor nyata dari perjuangan.
Kegagalan atau keberhasilan perjuangan akan sangat tergantung dari
gerakan rakyat tersebut. Selanjutnya, keberhasilan perjuangan rakyat
tersebut akan menuntun kita semua menuju terwujudnya tata dunia baru
tanpa neokolonialisme-imperialisme yang sudah lama dicita-citakan
rakyat.
Perjuangan melawan neokolonialisme-imperialisme ini secara
keseluruhan bisa tercapai dengan memperhatikan beberapa konsepsi dan
cita-cita rakyat, seperti yang telah dinyatakan oleh Soekarno dalam
pidato di depan Sidang Umum PBB Ke-15, 30 September 1960. Konsepsi dan
cita-cita tersebut tertuang dalam lima dasar yang merupakan konsepsi
universal, yang bisa dijadikan dasar sebagai perjuangan mewujudkan tata
dunia baru melawan neokolonialisme-imperialisme. Kelima konsepsi dan
cita-cita rakyat tersebut dinyatakan sebagai berikut:
1.Ketuhanan Yang Maha Esa.
1.Ketuhanan Yang Maha Esa.
Bangsa-bangsa di dunia meliputi orang-orang yang menganut berbagai macam agama. Ada yang Islam, ada yang Kristen, ada yang Buddha, Hindu, dan lainnya. Hal tersebut pun merupakan fakta yang awam di Indonesia. Meskipun demikian, untuk saat ini 85 persen dari seluruh rakyat Indonesia beragama Islam. Berpangkal pada kenyataan ini dan mengingat akan berbeda-beda tapi bersatunya bangsa Indonesia, kita menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai yang paling utama dalam falsafah hidup berbangsa dan bernegara. Ketuhanan Yang Maha Esa juga merupakan basis moral yang kuat dalam mempersatukan perjuangan rakyat melawan neokolonialisme-imperialisme.
2. Nasionalisme.
Kekuatan yang membakar dari nasionalisme dan hasrat akan kemerdekaan mempertahankan hidup telah memberikan kekuatan yang mahabesar sepanjang masa kegelapan kolonial pertama kali. Kekuatan inilah yang menyatukan suku-suku bangsa, agama, ras, bahkan keterpisahan geografis. Kekuatan ini pula yang mempersatukan seluruh elemen rakyat tersebut menegakkan kedaulatan rakyat dan membangun negara-negara yang merdeka dari kolonialisme. Menghadapi neokolonialisme-imperialisme, semangat nasionalisme ini tetap membakar dan menyala-nyala di dada rakyat. Tapi nasionalisme ini bukanlah nasionalisme yang kebablasan, bukanlah nasionalisme sempit, bukanlah chauvinisme seperti yang dipraktekkan di Jerman pada masa Hitler. Nasionalisme di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin tidaklah sama dengan nasionalisme yang ada di negara-negara penjajah. Di negara-negara penjajah, nasionalisme berkembang sebagai kekuatan yang agresif yang terus berekspansi mencari keuntungan bagi kepentingan ekonomi-politik nasionalnya. Nasionalisme di negara-negara penjajah, terutama negara utara, adalah awal dari kapitalisme yang dari rahimnya melahirkan kolonialisme-imperialisme. Sedangkan nasionalisme di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin adalah nasionalisme yang berwujud pada gerakan pembebasan, yang merupakan suatu koreksi total, yang berwujud pada gerakan perlawanan rakyat terhadap neokolonialisme-imperialisme.
3. Internasionalisme
Dalam dasar negara Indonesia, prinsip internasionalisme yang paling universal adalah kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam tataran global, prinsip universal ini dinyatakan dalam konsepsi perikemanusiaan (humanity). Dihubungkan dengan nasionalisme, sesungguhnya antara nasionalisme dan internasionalisme tidak ada perselisihan atau pertentangan. Internasionalisme tidak akan bisa tumbuh dan berkembang selain di atas tanah yang subur dari nasionalisme. Dulu ada Liga Bangsa-Bangsa (LBB), sekarang ada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membuktikan bahwa harus ada sebuah lembaga yang menyatukan bangsa-bangsa, lembaga yang bisa mendudukkan bangsa-bangsa dalam kedudukan sederajat untuk mewujudkan perikemanusiaan. Namun prinsip perikemanusiaan ini sama sekali bukanlah kosmopolitanisme—yang merupakan penyangkalan terhadap nasionalisme, yang anti nasionalisme. Bangsa-bangsa yang terdepan dalam gerakan perlawanan terhadap neokolonialisme-imperialisme harus membuat internasionalisme tumbuh subur dalam taman sarinya nasionalisme di dalam konteks negerinya, dan sebaliknya nasionalismenya juga tumbuh dalam taman sarinya internasionalisme.
4. Demokrasi
Demokrasi adalah prinsip luhur yang mengutamakan kedaulatan rakyat. Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat merupakan perwujudannya di tingkat negara. Di negara kita, demokrasi dimengerti dalam praktek “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Musyawarah untuk mufakat juga merupakan salah satu warisan peradaban beribu-ribu tahun lamanya. Namun harus dimengerti pula, bahwa demokrasi untuk perlawanan terhadap neokolonialisme-imperialisme bukanlah demokrasi ekonomi-politik seperti yang sekarang ini. Demokrasi secara politis saat ini dikooptasi oleh globalisasi-neoliberal dengan prinsip-prinsipnya yang malah melemahkan kedaulatan rakyat, sehingga prakteknya selalu dalam prinsip-prinsip demokrasi liberal. Demokrasi liberal diwujudkan melalui sistem pemerintahan yang liberal dengan pemilu, partai politik, deal-deal politik dan sistem pers yang liberal. Sistem ekonomi-politik juga didasarkan ekonomi-politik neoliberal, dengan pengejawantahan Konsensus Washington. Sistem demokrasi yang dipraktekkan dalam ranah global juga berkarakteristik globalisasi-neoliberal, karena hanya dikuasai oleh beberapa kepentingan: negara-negara kuat penjajah, perusahaan-perusahaan transnasional raksasa, dan IMF, Bank Dunia serta WTO. Demokrasi yang harus ditegakkan adalah demokrasi dengan sebenar-benar terwujudnya kedaulatan rakyat, yang menjadikan kebijakan dan implementasi ekonomi-politik di tingkat lokal, nasional maupun global dan menjadi basis perlawanan terhadap neokolonialisme-imperialisme.
5. Keadilan Sosial
Konsepsi dan cita-cita rakyat ini adalah yang terakhir sekaligus yang paling utama dari yang lain. Keadilan sosial ini secara konsepsi dirangkaikan dengan kesejahteraan sosial, karena kedua hal tersebut tentunya tidak bisa dipisahkan. Hal ini disebabkan jika dan hanya jika ada masyarakat yang makmur maka bisa terwujud yang namanya masyarakat adil—sehingga harus disebutkan sebagai ‘masyarakat adil dan makmur’, meskipun di dalam kemakmuran tersebut bisa juga bersemayam ketidakadilan sosial. Keadilan sosial ini dalam kebijakan dan implementasinya seha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar