Meratapi Nasib Bahasa Ibu
UNESCO telah menetapkan 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Pencanangan tersebut diwujudkan dalam bentuk Monumen Martir (Shaheed Minar) di Kampus Universitas Dhaka sebagai bentuk apresiasi terhadap pengorbanan bahasa Bangla, 21 Februari 1952. Sebagai bagian dari masyarakat dunia yang memiliki banyak bahasa Ibu (bahasa daerah), mau atau tidak, bangsa kita perlu melakukan upaya refleksi dan re-evaluasi terhadap keberadaan bahasa Ibu.Dengan nada sedih, harus kita katakan bahwa keberadaan bahasa Ibu di sebuah negeri yang multietnik dan diglosia seperti di negara kita, nyaris terpinggirkan. Keterpukauan dan euforia globalisasi, disadari atau tidak, telah menumbuhkan sikap apatis terhadap upaya pelestarian dan pengembangan bahasa Ibu. Bangsa kita terlalu silau untuk melihat semua yang berbau global sebagai trend dunia yang mesti dianut. Banyak di antara kita yang lupa, bahwa bangsa kta memiliki banyak nilai kearifan lokal yang luput digali dan dikembangkan lebih jauh menjadi aset budaya bangsa yang agung dan adiluhung.
Berkaitan dengan Hari Bahasa Ibu Internasional, agaknya perlu ada pemikiran ulang untuk benar-benar menjadikan bahasa Ibu sebagai ikon pemerkaya khazanah budaya bangsa sehingga bangsa kita tak kehilangan kesejatian diri sebagai bangsa yang multikultur dan multietnik. Keterpukauan terhadap globalisasi juga telah menumbuhkan sikap latah dengan mengagungkan penggunaan bahasa asing secara berlebihan. Yang lebih menyedihkan, justru ada upaya sistematis untuk meminggirkan peran bahasa Ibu. Hal itu terjadi dengan munculnya institusi pendidikan yang di-setting dengan menggunakan bahasa asing (baca: Inggris) sebagai bahasa pengantarnya.
Kita tidak antibahasa asing. Justru kita perlu bersikap lentur dan luwes dalam menerima pengaruh bahasa dan kosakata asing sebagai upaya untuk memperkaya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional sekaligus sebagai bahasa resmi. Meski demikian, pengabaian terhadap keberadaan bahasa Ibu, sungguh sebuah langkah keliru. Dunia pendidikan yang notabene menjadi agen kebudayaan, perlu menjadi pionir bagaimana seharusnya bersikap dalam menghadapi gencarnya gerusan serta penetrasi budaya asing.
Senyampamg belum telanjur punah, kini sudah saatnya ada kesadaran kolektif bangsa untuk kembali menghidupkan bahasa Ibu sebagai bahasa komunikasi dalam lingkungan keluarga dan di aras lokal. Kesadaran kolektif ini perlu ditindaklanjuti melalui aksi nyata dengan memasukkan bahasa Ibu sebagai bagian kurikulum pendidikan. Tanpa ada upaya serius merevitalisasi bahasa Ibu, maka kepunahan bahasa yang sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal itu hanya tinggal menunggu waktu. Relakah bahasa Ibu kita mengalami nasib merana hingga akhirnya tak lagi dikenang dan digunakan sebagai bahasa pergaulan dalam konteks komunikasi.
Sungguh, kita akan benar-benar meratap dan berduka seandainya dalam beberapa generasi mendatang, bekas kejayaan bahasa Ibu itu sudah tak lagi terlacak jejaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar