KEBUDAYAAN MEMBENTUK KARAKTER BANGSA
3 November, 2011 - 11:03 by lena
Komunitas Studi Budaya (KSB), Fakultas Bahasa dan Seni, UNY di
Auditorium UNY menyelenggarakan Seminar Nasional Kebudayaan dengan tema
“Menemukan Kembali Esensi Kebudayaan Indonesia dalam Membentuk Karakter
Kebangsaan” pada (27/10) dengan menghadirkan Sastrawan, Taufiq Ismail,
dan Endri Nugraha Laksana (Wakil Ketua DPRD Sleman). Seminar dihadiri
650 peserta.
Menurut ketua panitia, Tomi Syafasyah, terselenggaranya seminar ini
berangkat dari kegelisahan mahasiswa akan penurunan asistensi kebudayaan
Indonesia. Dengan kata senada, ketua Komunitas Studi Budaya
menjelaskan, “Seminar Nasional Kebudayaan ini diselenggarakan dengan
maksud menyadarkan kembali kepada bangsa Indonesia akan esensi budaya
Indonesia serta mendefinisikan dan melestarikan budaya sebagai wujud
karakter kebangsaan, sedangkan bagi intektual muda dan masyarakat untuk
memaknai dan memanfaatkan kebudayaan sebagaimana mestinya.” Prof Dr.
Zamzani (Dekan FBS) juga menegaskan dalam pidato sambutannya mengenai
perlunya kesadaran intelektual muda dalam menumbuhkan kepedulian
masyarakat untuk mencintai kebudayaan Indonesia agar tidak diklaim oleh
negara lain.
Seminar Nasional ini diawali penjelasan Taufiq Ismail tentang format
pembentukan karakter bangsa yang harus segera diubah. Beliau
membandingkan pembentukan karakter yang dilakukan pemerintah Indonesia
dan negara lain dalam upaya pembentukan karakter bangsa melalui budaya
membaca buku wajib bagi siswa. “Negara yang beradab akan mewajibkan
siswanya untuk membaca, mendiskusikan, dan menuliskan buku,” tegasnya.
Menurut Taufiq Ismail, budaya ini harus digalakkan dengan serius agar
Indonesia dapat membentuk karakter yang berkualitas sejak ketertinggalan
Indonesia di umur kemerdekaan 61 tahun ini. Berdasarkan hasil survei
yang Taufiq tunjukan, perbandingan kewajiban membaca buku sastra SMA di
13 negara adalah 0 buku wajib baca dibandingkan dengan SMA Malaysia 6
judul buku wajib dan SMA Belanda 30 judul. Dari kategori jumlah karangan
yang dihasilkan di SMA, keproduktifan siswa Indonesia adalah 1 halaman
dalam setahun dibandingkan SMA Malaysia sebanyak 504 halaman/tahun dan
Amerika Serikat sebanyak 1584 halaman/tahun.
Wakil Ketua DPRD Sleman, Endri Nugraha Laksana, berbicara tentang
peran pemerintah terhadap kebudayaan sebagai pembentukan karakter
bangsa, mengungkapkan bahwa pemerintah telah berupaya sepenuhnya dalam
melestarikan dan memperdayakan keesensian kebudayaan Indonesia, namun
pemerintah membutuhkan kontribusi setiap elemen, baik dari LSM maupun
masyarakat, dalam menghadapi tantangan budaya di dunia global.
(Tica&Febi/nd)
MATERI 12
KARAKTERISTIK BUDAYA
INDONESIA
Suku-Suku Bangsa Di Indonesia
Pada
umumnya, pengolongan berbagai suku bangsa Indonesia didasarkan pada system
lingkaran hokum adat yang dibuat oleh Van Vallenhoven. Indonesia
dibagi ke dalam 19 daerah sebagai berikut:
1.
Aceh
2.
Gayo-Alas
dan Batak
2.a. Nias dan Batu
3.
Minangkabau
3.a Mentawai
4.
Sumatera
Selatan
4.a. Enggano
5.
Melayu
6.
Bangka
dan Biliton
7.
Kalimantan
8.
Minahasa
8.a. Sangir Talaud
9.
Gorontalo
10. Toraja
11. Sulawesi Selatan
12. Ternate
13. Ambon Maluku
13.a. Kepualauan Barat
Baya
14. Irian
15. Timor
16. Bali dan Lombok
17. Jawa Tengah dan Jawa Timur
18. Surakarta dan Yogyakarta
19. Jawa Barat
Lokasi
suku-suku bangsa di Indonesia yang masih berpedoman pada peta bahasa J.
Esser, terutama untuk daera-daerah Kalimantan, Sulawesi, Indonesia
Timur, dan bahkan juga beberapa bagia Sumatera, belum sepenuhnya dapat
diandalkan.
BAHASA
Keadaan bangsa Indonesia yang sangat majemuk, terdiri atas lebih dari 300
suku bangsa, menyumbang pada kekayaan bahasa daerah (sekitar 300) dan dialek
yang masih aktif dipergunakan sebagai bahasa percakapan di masing- masing
daerah. Bahasa-bahasa
daerah yang utama adalah Bahasa Aceh, Batak, Minangkabau, Sunda, Jawa, Madura,
Bali, dan Lombok.
Kemajemukan
bahasa di Indonesia menimbulkan kebutuhan akan adanya sebuah bahasa persatuan
yang dapat dipergunakan di seluruh pelosok Indonesia. Kebutuhan
akan adanya bahasa persatuan inilah yang mendorong diresmikannya Bahasa
Indonesia sebagai Bahasa Nasional pada Kongres Pemuda tanggal 28 Oktober 1928,
di Jakarta. Bahasa Indonesia dikembangkan berdasarkan Bahasa Melayu
Tinggi yang pada waktu itu aktif digunakan sebagai bahasa percakapan di daerah
Sumatera Utara dan Riau. Dalam UUD 1945 pasal 36 bahasa Indonesia dinyatakan
sebagai bahasa Negara. Sejalan dengan itu, sejak diresmikannya UUD 1945 pada
tanggal 18 Agustus 1945 Bahasa Indonesia dipakai dalam administrasi negara,
perundang-undangan, dan pertemuan-pertemuan resmi.
Jauh sebelum itu, bahasa Indonesia yang merupakan perkembangan dari bahasa
Melayu itu dipakai sebagai bahasa pergaulan dalam dunia perdagangan
international dan bahasa diplomasi kerajaan-kerajaan di wilayah
Nusantara.
Karena
itu terdapat banyak variasi dalam pemakaian bahasa Indonesia yang dipengaruhi
oleh dialek bahasa ibu yang ada di seluruh wilayah Indonesia.
KESENIAN DAN
KEBUDAYAAN
Banyak suku bangsa di
Indonesia yang masih memelihara tradisi, bahasa daerah, dan dialeknya. Keadaan
ini menciptakan kebudayaan Indonesia yang sangat beragam.
Kebiasaan dan tradisi atau adat istiadat di Indonesia bervariasi dari daerah ke
daerah, bergantung pada latar belakang agama dan warisan budaya yang masih
dipertahankan oleh masing-masing suku bangsa. Misalnya, perkawinan adat di
daerah jawa seringkali disertai dengan pertunjukan wayang
kulit semalam suntuk. Pertunjukan wayang kulit ini pada mulanya menceritakan
tentang kisah-kisah kepahlawanan yang berlatar belakang agama Hindu, tetapi
pesan yang disampaikan dapat berubah sesuai dengan kebutuhan jaman. Misalnya,
pada jaman pendudukan Belanda pertunjukan wayang kulit sering dipergunakan
sebagai alat penggerak rakyat untuk berjuang melawan pemerintah Belanda. Contoh
lain, upacara adat di Bali tak pernah lepas dari tari-tarian
Bali yang magis. Demikian juga, acara-acara untuk menyambut tamu penting sering
disuguhi tari-tarian daerah yang masih dilestarikan. Setiap daerah di Indonesia
mempunyai tari-tarian khas dengan musik pengiring yang berbeda dari daerah ke
daerah. Misalnya gamelan dan tembang pengiring tarian Jawa berbeda dengan
gamelan dan tembang pengiring untuk tarian Sunda, berbeda dengan pengiring
tarian Bali, dan sebagainya.
Batik,
yang merupakan kerajinan kain di Indonesia dihasilkan di beberapa daerah di
Indonesia, masing-masing dengan berbagai corak dan warna yang khas untuk setiap
daerah. Daerah yang banyak menghasilkan batik, antara lain adalah Yogyakarta,
Surakarta, Madura, Purbalingga, Cirebon, Palembang, dan Banjarmasin. Selain
batik, kerajinan kain yang banyak dihasilkan di Indonesia adalah tenun ikat.
Daerah penghasil tenun ikat antara lain adalah Bali, NTB, Lampung, Sumatera Utara,
Sumatera Barat, dan lain sebagainya.
Beberapa daerah di
Indonesia juga menghasilkan berbagai kerajinan tangan yang khas. Misalnya,
daerah Yogyakarta terkenal dengan lukisan batiknya, daerah Bali
terkenal dengan seni patung dan lukisannya, daerah Jepara terkenal
dengan seni pahatnya, daerah Tasikmalaya dengan kerajinan bordirnya dan lain
sebagainya.
AGAMA
Pembangunan
di sektor agama termasuk salah satu tujuan pembangunan yang diutamakan guna
meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Agar tercipta keharmonisan dan
keseimbangan dalam kehidupan beragama di Indonesia, pemerintah telah
meningkatkan kegiatan pembangunan dan membantu perbaikan tempat-tempat
ibadah.
Indonesia
merupakan salah satu negara yang penduduknya sebagian besar beragama Islam.
Namun, tidak berarti bahwa agama atau kepercayaan lain dilarang, karena
kebebasan untuk menjalankan ibadah dijamin dalam UUD 1945. Selain agama Islam
agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia adalah agama Kristen, Katolik,
Hindu, dan Budha.
HUKUM
- PERKEMBANGAN SISTEM HUKUM di INDONESIA
Perkembangan
sistem hukum di wilayah Indonesia secara garis besar dapat dikategorikan dalam
enam periode yang merupakan suatu peristiwa perubahan sub-sub sistem yang
berlangsung secara berangsur-angsur menuju pada suatu Sistem Hukum Nasional
yang merupakan cita-cita para pendiri Bangsa Indonesia (Sunario, 1991).
Sebelum Kemerdekaan
Indonesia
Pada tahap pertama, sistem hukum di wilayah Indonesia telah terbentuk sejak
kurang lebih abad ke 14 dengan didominasi oleh berlakunya Hukum Adat
Minangkabau untuk masyarakat Minangkabau, Hukum Adat Majapahit untuk wilayah
Jawa timur, begitu juga wilayah-wilayah lainnya. Hukum-hukum Adat ini memiliki
asas-asas dan falsafah yang berbeda satu dengan yang lainnya, akan tetapi
mungkin terdapat dua unsur yang sama dimiliki oleh berbagai Hukum Adat
tersebut: pertama, sifatnya yang kekeluargaan, dan kedua sifat yang tidak
tertulis (dengan pengecualian di beberapa wilayah seperti di Majapahit)
(Sunario, 1991). Pada tahap ini sistem hukum yang berlaku di wilayah Nusantara
didominasi oleh Hukum Adat dan resepsi Hukum Agama Hindu.
Pada tahap berikutnya masuk Agama Islam ke
kepulauan Nusantara, sehingga di beberapa daerah, meresap Agama Islam ke dalam
Hukum Adatnya (seperti di Aceh, Banten, Sulawesi Selatan, Lombok dan
lain-lain). Sementara beberapa daerah lainnya masih tetap mempertahankan sifat
keaslian Hukum Adatnya, dan beberapa wilayah lainnya masih tetap mempertahankan
sifat agama Hindunya. Pada tahap ini terdapat tiga macam sub sistem hukum yang
berlaku di wilayah Nusantara: resepsi Hukum Islam, resepsi Hukum Agama Hindu
dan Hukum Adat Asli.
Pada
abad ke 17
bangsa Portugis, Belanda dan bangsa asing lainnya mulai berdatangan di berbagai
wilayah Indonesia. Pada misi pertamanya mereka memperkenalkan produk-produk
hasil industrinya, akan tetapi selanjutnya mereka juga mempengaruhi masyarakat
setempat dengan ajaran-ajaran agamanya, sehingga di beberapa daerah seperti
Batak, Sulawesi Utara, Maluku, Irian Jaya, Flores dan lain lain, mulai meresap
unsur-unsur agama Kristen dan Katolik dalam Hukum Adatnya. Keadaan ini,
memperlihatkan Sistem Hukum Indonesia meliputi bagian-bagian yang terdiri:
resepsi Hukum Islam, resepsi Hukum Agama Hindu, resepsi Hukum Agama
Kristen/Katolik dan Hukum Adat yang Asli.
Pada
masa kolonial Belanda,
Belanda memberlakukan semacam undang-undang dasar bagi wilayah Indonesia yang
bernama Indische Staatsregeling (IS). Pada masa ini, pemerintah Hindia
Belanda berusaha untuk melakukan unifikasi hukum di Indonesia, dan berkat
perjuangan Van Vollenhoven hukum adat juga dimasukkan dalam sistem hukum
kolonial Belanda, sehingga terdapat Indische Staatsregeling yang berada
di pusatnya dan sistem Hukum Adat, sistem Hukum Islam dan sistem Hukum Barat
berada diluarnya.
Setelah Kemerdekaan
Indonesia
Setelah
proklamasi kemerdekaan,
terjadi perubahan dari Sistem Hukum Kolonial Belanda menuju Sistem Hukum
Nasional dimana Pancasila dan UUD 1945 menggantikan kedudukan Indische Staatsregeling
(IS) sebagai pusat dari Sistem Hukum Indonesia. Sistem hukum pada masa tersebut
dapat digambarkan pada gambar di bawah ini:
Pada tahap selanjutnya, Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN) telah menggariskan adanya unifikasi hukum yang berusaha untuk
memberlakukan satu sistem hukum di seluruh wilayah Indonesia yaitu Sistem Hukum
Nasional. Pada tahap ini pembangunan Sistem Hukum Nasional lebih diarahkan
untuk menggantikan hukum-hukum kolonial Belanda dan juga menciptakan
bidang-bidang hukum baru yang lebih sesuai sebagai dasar Bangsa Indonesia untuk
membangun. Gambaran Sistem Hukum Nasional tersebut dapat dilihat pada gambar di
bawah ini:
- Sumber: Hartono (1991). Pembinaan Hukum Nasional dalam Suasana Globalisasi Masyarakat Dunia. Pidato pengukuhan jabatan guru besar tetap dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung.
Berdasarkan pandangan
sistemik, Sistem Hukum Nasional mencakup berbagai sub bidang-bidang hukum dan
berbagai bentuk hukum yang berlaku yang semuanya bersumber pada Pancasila.
Keragaman hukum yang sebelumnya terjadi di Indonesia (pluralisme hukum)
diusahakan dapat ditransformasikan dalam bidang-bidang hukum yang akan
berkembang dan dikembangkan (ius constituendum).
Bidang-bidang
hukum inilah yang merupakan fokus perhatian perkembangan dan pengembangan Hukum
Nasional menuju pada tatanan Hukum Modern Indonesia yang bersumber pada
kebiasaan-kebiasaan (lingkaran terakhir), yurisprudensi (lingkaran keempat),
peraturan perundang-undangan (lingkaran ketiga), UUD 1945 (lingkaran kedua),
dan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
- PLURALISME HUKUM (LEGAL PLURALISM)
Pluralisme
merupakan salah satu faktor yang perlu mendapatkan perhatian dalam membangun
tatanan kehidupan masyarakat Indonesia pada masa yang akan datang. Kompleksitas
masyarakat Indonesia yang meliputi: struktur masyarakat, tatanan, bahasa dan
kebiasaan-kebiasaan mendorong terbentuknya pluralisme tersebut. Tatanan
masyarakat yang pluralistik ini akan mendasari terwujudnya sistem hukum modern
Indonesia yang sebaiknya mampu mengakomodasikan keragaman (legal pluralim)
(Hooker,1978). Van Vollenhoven menjabarkan Indonesia menjadi kuranglebih 19
wilayah/masyarakat hukum yang memiliki karakterisktik tatanan dan norma yang
berbeda-beda. Hal ini tentunya merupakan suatu tantangan bagi pembinaan hukum
nasional yang bertujuan untuk melakukan unifikasi sistem hukum dengan harapan
dapat mengakomodasi pluralisme dengan memasukkan nilai-nialai tradisional
(Rahardjo, 1994).
Sifat
pluralistik masyarakat Indonesia yang memiliki berbagai pola tatanan sebagai
bentuk figurasi masyarakat menuntut pembangunan Hukum Nasional yang dapat
mencerminkan pluralisme hukum (legal pluralism) sebagai dasar
falsafahya. Hal ini memperkuat harapan agar pembangunan hukum modern Indonesia
sebaiknya lebih diarahkan untuk jaminan terhadap kebebasan anggota masyarakat untuk
memilih bentuk-bentuk hubungan hukum dan merancangnya sesuai dengan
kaidah-kaidah yang disepakati, yang pada akhirnya akan lebih memperkaya
perkembangan bidang-bidang hukum di Indoensia.
Pluralisme tatanan yang ada dalam masyarakat tidak hanya disebabkan oleh
keragaman tatanan tingkah laku mayarakat yang telah diwariskan dalam beberapa
generasi, akan tetapi juga disebabkan oleh perbedaan-perbedaan terhadap
perubahan dan perkembangan struktur masyarakat yang secara fungsional
melahirkan kebutuhan-kebutuhan, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan dan tujuan
yang bervariasi antar kelompok masyarakat. Secara garis besar, ada tiga kelompok
masyarakat, yaitu masyarakat tradisional, masyarakat transisi dan masyarakat
modern (Soemardjan, 1993). Ketiga kelompok besar masyarakat ini memiliki
struktur yang berbeda-beda yang tentunya juga memiliki tatanan, kebutuhan,
sistem nilai dan keyakinan yang berbeda pula. Ketiga kelompok masyarakat
tersebut dapat digambarkan pada gambar di bawah ini:
- Sumber : Soemardjan, S. (1993). Adat, modernisasi dan pembangunan. Dalam Kumpulan tulisan mengenang Teuku Mohamad Radhie. Jakarta: UPT Penerbitan Universitas Tarumanegara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar