Budaya Bali
I Wayan Mudra
I Wayan Mudra
Abstract
Agar dapat mengenal lebih dekat dan mendetail
budaya Bali yang beragam , perlu juga mengetahui budaya yang berlaku
secara umum baik dari segi tingkah laku (kelakuan) maupun benda-benda
(tanda budaya) lainnya untuk memperoleh gambaran tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi sehingga terjadi suatu perbedaaan. (T.O. Ihromi, 1996:
xxiii). Konsep desa,kala,patra, dan kuna dresta, maupun desa/drsta mawa cara, adalah
prinsip yang sampai saat ini masih berlaku bahkan oleh komunitas
maupun lembaga-lembaga terkait cenderung untuk dipertahankan. Keragaman
budaya yang ada/ dimiliki oleh masing-masing komunitis desa pekraman
telah memperkaya dan memberi keindahan tersendiri bagi masyarakat Bali.
Bentukan budaya “baru” dari keragaman komunitas terhadap penggunaan
sarana keagamaan seperti; umbul-umbul, kober, bandrangan, tumbak, mamas, payung pagut, payung robrob, Penawesange, dan Dwaja
tidak
terlepas dari adanya interaksi dan internalisasi pendukungnya. Secara
kultur keragaman budaya berada dalam ruang interaksi dan internalisasi
nilai-nilai yang memiliki pandangan berbeda, bahwa kolektivitas atau
komunitas menentukan anggotanya, pandangan lainnya adalah anggota
menentukan kebersamaan. (Mudji Sutrisno, 2009:140). Sejalan dengan
pendapatnya Mudji Sutrisno, tentang timbulnya budaya baru dalam
kehidupan masyarakat khususnya tentang keseragaman dalam keragaman
sarana upacara keagamaan tidak lepas dari keinginan dan rasa tanggung
jawab untuk melestarikan tradisi yang sesuai dengan jiwa jamannya.
Sudah tentu pula dalam upaya pelestarian nilai-nilai sakral religius
magis tersebut dibarengi dengan kondisi perkembangan jaman yang ada.
Adanya
kemajuan teknologi, dominasi budaya, serta dinamika terpadu telah
membentuk komunitas yang terwujud bukan oleh lingkungan tempat
lingkungan itu berada. (David Kaplan dan Albert A. Manners, 1999:
241-242). Jadi budaya itu memang tidaklah statis, dapat bertahan dan
berkembang sesuai dengan jamannya. Bali yang sarat dengan prosesi ritual
religius keagamaan sekaligus sebagai daerah tujuan wisata secara tidak
langsung telah bersentuhan dengan budaya baru sesuai adat kebiasaan
daerah/negaranya masing-masing. Atau atas kemauan masyarakat/komunitas
pramuwisata yang dengan “sengaja” memanjakan para wisatawan dengan
menyajikan seni budaya yang mengandung nilai sakral sebagai daya
tariknya. Tidak jarang belakangan ini dijumpai sarana upacara keagamaan
yang lengkap dengan atributnya berada di tempat-tempat umum.
Dalam
transformasi kebudayaan Bali, I Wayan Geriya mengungkapkan, perubahan
bentuk kebudayaan berimplikasikan dan mempunyai aspek yang sangat besar
dan luas. Cakupan itu tidak saja berupa dimensi, cara, jaringan relasi
fungsional, juga struktur yang terkait dengan pembesaran skala secara
horizontal dan vertikal, tanpa meninggalkan esensi jati diri kebudayaan
yang berkelanjutan. Lebih lanjut dianalogikan seperti kupu-kupu dengan
proses transformasi biologisnya, dari perubahan telur menjadi ulat,
kepompong hingga menjadi kupu-kupu yang dapat terbang bebas karena ada
perubahan bentuk dan fungsi, namun tetap dalam esensi spesiesnya, tidak
berubah ke spesies burung maupun yang lainnya. (I Wayan Geriya, 2000 :
109). Apa yang diungkapkan dalam tronspormasi budaya memang
sulit dihindari, namun dalam penelitian ini adanya simbol-simbol/atribut
keagamaan yang digunakan ditempat ibadah dan disakralkan digunakan
ditempat lainnya/diluar pura.
Kronologis kebudayaan Bali,
kalau ditinjau dari persepektif historis, dapat dirunut menjadi tiga
tradisi pokok, yaitu tradisi kecil, tradisi besar, dan modern. Tradisi
kecil yang dimaksud adalah kebudayaan yang berorientasikan Bali lokal
dengan ciri-ciri tertatanya sistem pengairan oleh kelompok-kelompok
organisasi nonformal yang disebut subak dan berternak dengan
tujuan untuk keperluan upacara maupun memenuhi kebutuhan keluarga serta
membuat barang-barang/peralatan rumah dan sarana keagamaan. Dalam
tradisi besar telah terjadinya akulturasi antara kebudayaan Bali lokal
dengan kebudayaan Hindu Jawa yang melahirkan kebudayaan Bali tradisi.
Ciri-cirinya adalah adanya kekuasaan terpusat lewat konsep Dewa Raja.
Raja dianggap sebagai inkarnasi Dewa dengan segala kelebihannya
dibandingkan rakyat kebanyakan. (I Wayan Geriya, 2000 : 2).
Terbentuknya Budaya Bali Tradisi diikuti pula terjadinya sistem penanggalan
(kalender Hindu-Jawa) arsitek dan kesenian yang bermotif Hindu dan
Budha. Kebudayaan Bali tradisi ini sebuah refleksi dari budaya ekpresif,
dominannya nilai religius, nilai estetis dan solidaritas, sebagai inti
kebudayaan Bali. Perbedaan antara bagian inti suatu kebudayaan dengan
bagian perwujudan lahirnya, dapat dilihat dari beberapa ciri seperti
yang ada pada inti kebudayaan misalnya: 1). Sistem nilai, 2). Keyakinan
keagamaan yang dianggap keramat, 3). Adat yang sudah dipelajari sangat
dini dalam proses sosialisasi individu warga masyarakat, 4). Adat
mempunyai fungsi yang terjaring dalam masyarakat, sedangkan bagian akhir
dari suatu kebudayaan fisik, alat-alat, benda-benda yang berguna, ilmu
pengetahuan, tata cara dengan segala tekniknya, untuk memberi
kenyamanan. (Koentjaraningrat, 1990: 97). Bagian akhir dari terbentuknya
kebudayaan yaitu kebudayaan fisik, oleh masyarakat Bali masih
terpelihara dan dirawat dengan baik. Kiat-kiat perawatan dan pelestarian
warisan tersebut dilakukan dalam bentuk upacara ritual yang disebut
dengan otonan atau odalan yang datangnya enam bulan
sekali / 210 hari sekali. Khusus bagi masyarakat Hindu di Bali, selain
diwariskan kebudayaan berbentuk fisik, yang lebih berharga dan
bermanfaat adalah adanya suatu tatanan dan tuntunan “wajib” cara-cara
atau alokasi waktu perawatan/pemeliharaan secara berkelanjutan.
Menurut
Mudji Sutrisno, seni tradisi selalu akan digali dan dikembangkan ketika
bertemu dengan seni-seni kontemporer atau pendatang baru. Seni tradisi
berarti seni yang berfungsi untuk upacara keagamaan serta fungsi lokal
yang erat dengan adat etnik religiusitas setempat. Seni ini akan hidup
dan berkembang sehat kalau kondisi masyarakat pendukungnya memerlukan.
(Mudji Sutrisno, 2009: 110). Pendapat ini tidak jauh beda dengan
kesimpulan yang diungkapkan oleh Edy sedyawati terhadap keberlanjutan
seni-seni yang ada di Bali. Beliau sangat berkeyakinan bahwa seni apapun
di Bali akan terus berkembang dan lestari semasih orang Bali menganut
agama Hindu, dimana upacara ritual agama Hindu bersinergi bersama karya
seni dalam upaya menjaga kelestariannya.
Pada sisi lainnya,
Koentjaraningrat juga menyatakan; akulturasi kebudayaan tradisi (inti)
dengan kebudayaan modern dapat menumbuhkan budaya progresif dan
individu, dominannya arus komunikasi seimbang atas kerja yang dilakukan.
Kemudahan dan percepatan dengan segala kelebihan maupun kekurangannya
menjadi budaya ekspresif dan budaya progresif memberi peluang tumbuhnya
berbagai bentuk, makna, dan fungsi-fungsi baru yang dapat memicu konflik
dan benturan-benturan yang berakibat adanya dekadensi budaya.
Akselerasi yang tidak mungkin terbendung terhadap beberapa unsur maupun
sektor pada kebudayaan progresif dan adanya evolusi budaya agresif, akan
menimbulkn proses perubahan yang tidak seimbang, dapat memicu berbagai
krisis, ketegangan, konflik dan mungkin memudarnya seni budaya lokal.
(Koentjaraningrat, 1990: 30).
Budaya Bali
Kiriman: Drs. I Wayan Mudra, MSn., Dosen PS Kriya Seni ISI Denpasar Agar dapat mengenal lebih dekat dan mendetail budaya Bali yang beragam , perlu juga mengetahui budaya yang berlaku secara umum baik dari segi tingkah laku (kelakuan) maupun benda-benda (tanda budaya) lainnya untuk memperoleh gambaran tentang faktorfaktor yang mempengaruhi sehingga terjadi suatu perbedaaan. (T.O. Ihromi, 1996: xxiii). Konsep desa,kala,patra, dan kuna dresta, maupun desa/drsta mawa cara, adalah prinsip yang sampai saat ini masih berlaku bahkan oleh komunitas maupun lembaga-lembaga terkait cenderung untuk dipertahankan. Keragaman budaya yang ada/ dimiliki oleh masing-masing komunitis desa pekraman telah memperkaya dan memberi keindahan tersendiri bagi masyarakat Bali. Bentukan budaya “baru” dari keragaman komunitas terhadap penggunaan sarana keagamaan seperti; umbul-umbul, kober, bandrangan, tumbak, mamas, payung pagut, payung robrob, Penawesange, dan Dwaja tidak terlepas dari adanya interaksi dan internalisasi pendukungnya. Secara kultur keragaman budaya berada dalam ruang interaksi dan internalisasi nilai-nilai yang memiliki pandangan berbeda, bahwa kolektivitas atau komunitas menentukan anggotanya, pandangan lainnya adalah anggota menentukan kebersamaan. (Mudji Sutrisno, 2009:140). Sejalan dengan pendapatnya Mudji Sutrisno, tentang timbulnya budaya baru dalam kehidupan masyarakat khususnya tentang keseragaman dalam keragaman sarana upacara keagamaan tidak lepas dari keinginan dan rasa tanggung jawab untuk melestarikan tradisi yang sesuai dengan jiwa jamannya. Sudah tentu pula dalam upaya pelestarian nilai-nilai sakral religius magis tersebut dibarengi dengan kondisi perkembangan jaman yang ada. Adanya kemajuan teknologi, dominasi budaya, serta dinamika terpadu telah membentuk komunitas yang terwujud bukan oleh lingkungan tempat lingkungan itu berada. (David Kaplan dan Albert A.Manners, 1999: 241-242). Jadi budaya itu memang tidaklah statis, dapat bertahan dan berkembang sesuai dengan jamannya. Bali yang sarat dengan prosesi ritual religius keagamaan sekaligus sebagai daerah tujuan wisata secara tidak langsung telah bersentuhan dengan budaya baru sesuai adat kebiasaan daerah/negaranya masing-masing. Atau atas kemauan masyarakat/komunitas pramuwisata yang dengan “sengaja” memanjakan para wisatawan dengan menyajikan seni budaya yang mengandung nilai sakral sebagai daya tariknya. Tidak jarang belakangan ini dijumpai sarana upacara keagamaan yang lengkap dengan atributnya berada di tempat-tempat umum. Dalam transformasi kebudayaan Bali, I Wayan Geriya mengungkapkan, perubahan bentuk kebudayaan berimplikasikan dan mempunyai aspek yang sangat besar dan luas. Cakupan itu tidak saja berupa dimensi, cara, jaringan relasi fungsional, juga struktur yang terkait dengan pembesaran skala secara horizontal dan vertikal, tanpa meninggalkan esensi jati diri kebudayaan yang berkelanjutan. Lebih lanjut dianalogikan seperti kupu-kupu dengan proses transformasi biologisnya, dari perubahan telur menjadi ulat, kepompong hingga menjadi kupu-kupu yang dapat terbang bebas karena ada perubahan bentuk dan fungsi, namun tetap dalam esensi spesiesnya, tidak berubah ke spesies burung maupun yang lainnya. (I Wayan Geriya, 2000 : 109). Apa yang diungkapkan dalam tronspormasi budaya memang sulit dihindari, namun dalam penelitian ini adanya simbol-simbol/atribut keagamaan yang digunakan ditempat ibadah dan disakralkan digunakan ditempat lainnya/diluar pura. Kronologis kebudayaan Bali, kalau ditinjau dari persepektif historis, dapat dirunut menjadi tiga tradisi pokok, yaitu tradisi kecil, tradisi besar, dan modern. Tradisi kecil yang dimaksud adalah kebudayaan yang berorientasikan Bali lokal dengan ciri-ciri tertatanya sistem pengairan oleh kelompok-kelompok organisasi nonformal yang disebut subak dan berternak dengan tujuan untuk keperluan upacara maupun memenuhi kebutuhan keluarga serta membuat barang-barang/peralatan rumah dan sarana keagamaan. Dalam tradisi besar telah terjadinya akulturasi antara kebudayaan Bali lokal dengan kebudayaan Hindu Jawa yang melahirkan kebudayaan Bali tradisi. Ciri-cirinya adalah adanya kekuasaan terpusat lewat konsep Dewa Raja. Raja dianggap sebagai inkarnasi Dewa dengan segala kelebihannya dibandingkan rakyat kebanyakan. (I Wayan Geriya, 2000 : 2).
Kiriman: Drs. I Wayan Mudra, MSn., Dosen PS Kriya Seni ISI Denpasar Agar dapat mengenal lebih dekat dan mendetail budaya Bali yang beragam , perlu juga mengetahui budaya yang berlaku secara umum baik dari segi tingkah laku (kelakuan) maupun benda-benda (tanda budaya) lainnya untuk memperoleh gambaran tentang faktorfaktor yang mempengaruhi sehingga terjadi suatu perbedaaan. (T.O. Ihromi, 1996: xxiii). Konsep desa,kala,patra, dan kuna dresta, maupun desa/drsta mawa cara, adalah prinsip yang sampai saat ini masih berlaku bahkan oleh komunitas maupun lembaga-lembaga terkait cenderung untuk dipertahankan. Keragaman budaya yang ada/ dimiliki oleh masing-masing komunitis desa pekraman telah memperkaya dan memberi keindahan tersendiri bagi masyarakat Bali. Bentukan budaya “baru” dari keragaman komunitas terhadap penggunaan sarana keagamaan seperti; umbul-umbul, kober, bandrangan, tumbak, mamas, payung pagut, payung robrob, Penawesange, dan Dwaja tidak terlepas dari adanya interaksi dan internalisasi pendukungnya. Secara kultur keragaman budaya berada dalam ruang interaksi dan internalisasi nilai-nilai yang memiliki pandangan berbeda, bahwa kolektivitas atau komunitas menentukan anggotanya, pandangan lainnya adalah anggota menentukan kebersamaan. (Mudji Sutrisno, 2009:140). Sejalan dengan pendapatnya Mudji Sutrisno, tentang timbulnya budaya baru dalam kehidupan masyarakat khususnya tentang keseragaman dalam keragaman sarana upacara keagamaan tidak lepas dari keinginan dan rasa tanggung jawab untuk melestarikan tradisi yang sesuai dengan jiwa jamannya. Sudah tentu pula dalam upaya pelestarian nilai-nilai sakral religius magis tersebut dibarengi dengan kondisi perkembangan jaman yang ada. Adanya kemajuan teknologi, dominasi budaya, serta dinamika terpadu telah membentuk komunitas yang terwujud bukan oleh lingkungan tempat lingkungan itu berada. (David Kaplan dan Albert A.Manners, 1999: 241-242). Jadi budaya itu memang tidaklah statis, dapat bertahan dan berkembang sesuai dengan jamannya. Bali yang sarat dengan prosesi ritual religius keagamaan sekaligus sebagai daerah tujuan wisata secara tidak langsung telah bersentuhan dengan budaya baru sesuai adat kebiasaan daerah/negaranya masing-masing. Atau atas kemauan masyarakat/komunitas pramuwisata yang dengan “sengaja” memanjakan para wisatawan dengan menyajikan seni budaya yang mengandung nilai sakral sebagai daya tariknya. Tidak jarang belakangan ini dijumpai sarana upacara keagamaan yang lengkap dengan atributnya berada di tempat-tempat umum. Dalam transformasi kebudayaan Bali, I Wayan Geriya mengungkapkan, perubahan bentuk kebudayaan berimplikasikan dan mempunyai aspek yang sangat besar dan luas. Cakupan itu tidak saja berupa dimensi, cara, jaringan relasi fungsional, juga struktur yang terkait dengan pembesaran skala secara horizontal dan vertikal, tanpa meninggalkan esensi jati diri kebudayaan yang berkelanjutan. Lebih lanjut dianalogikan seperti kupu-kupu dengan proses transformasi biologisnya, dari perubahan telur menjadi ulat, kepompong hingga menjadi kupu-kupu yang dapat terbang bebas karena ada perubahan bentuk dan fungsi, namun tetap dalam esensi spesiesnya, tidak berubah ke spesies burung maupun yang lainnya. (I Wayan Geriya, 2000 : 109). Apa yang diungkapkan dalam tronspormasi budaya memang sulit dihindari, namun dalam penelitian ini adanya simbol-simbol/atribut keagamaan yang digunakan ditempat ibadah dan disakralkan digunakan ditempat lainnya/diluar pura. Kronologis kebudayaan Bali, kalau ditinjau dari persepektif historis, dapat dirunut menjadi tiga tradisi pokok, yaitu tradisi kecil, tradisi besar, dan modern. Tradisi kecil yang dimaksud adalah kebudayaan yang berorientasikan Bali lokal dengan ciri-ciri tertatanya sistem pengairan oleh kelompok-kelompok organisasi nonformal yang disebut subak dan berternak dengan tujuan untuk keperluan upacara maupun memenuhi kebutuhan keluarga serta membuat barang-barang/peralatan rumah dan sarana keagamaan. Dalam tradisi besar telah terjadinya akulturasi antara kebudayaan Bali lokal dengan kebudayaan Hindu Jawa yang melahirkan kebudayaan Bali tradisi. Ciri-cirinya adalah adanya kekuasaan terpusat lewat konsep Dewa Raja. Raja dianggap sebagai inkarnasi Dewa dengan segala kelebihannya dibandingkan rakyat kebanyakan. (I Wayan Geriya, 2000 : 2).
Foto : No. 5.
Ket. : Umbul-umbul dan tedung yang digunakan sebagai dekorasi dimonumen dan lapangan kapten Muditha Kabupaten Bangli.
Terbentuknya Budaya Bali Tradisi diikuti pula terjadinya sistem penanggalan (kalender Hindu-Jawa) arsitek dan kesenian yang bermotif Hindu dan Budha. Kebudayaan Bali tradisi ini sebuah refleksi dari budaya ekpresif, dominannya nilai religius, nilai estetis dan solidaritas, sebagai inti kebudayaan Bali. Perbedaan antara bagian inti suatu kebudayaan dengan bagian perwujudan lahirnya, dapat dilihat dari beberapa ciri seperti yang ada pada inti kebudayaan misalnya: 1). Sistem nilai, 2). Keyakinan keagamaan yang dianggap keramat, 3). Adat yang sudah dipelajari sangat dini dalam proses sosialisasi individu warga masyarakat, 4). Adat mempunyai fungsi yang terjaring dalam masyarakat, sedangkan bagian akhir dari suatu kebudayaan fisik, alat-alat, benda-benda yang berguna, ilmu pengetahuan, tata cara dengan segala tekniknya, untuk memberi kenyamanan. (Koentjaraningrat, 1990: 97). Bagian akhir dari terbentuknya kebudayaan yaitu kebudayaan fisik, oleh masyarakat Bali masih terpelihara dan dirawat dengan baik. Kiat-kiat perawatan dan pelestarian warisan tersebut dilakukan dalam bentuk upacara ritual yang disebut dengan otonan atau odalan yang
datangnya enam bulan sekali / 210 hari sekali. Khusus bagi masyarakat Hindu di Bali, selain diwariskan kebudayaan berbentuk fisik, yang lebih berharga dan bermanfaat adalah adanya suatu tatanan dan tuntunan “wajib” cara-cara atau alokasi waktu perawatan/pemeliharaan secara berkelanjutan. Menurut Mudji Sutrisno, seni tradisi selalu akan digali dan dikembangkan ketika bertemu dengan seni-seni kontemporer atau pendatang baru. Seni tradisi berarti seni yang berfungsi untuk upacara keagamaan serta fungsi lokal yang erat dengan adat etnik religiusitas setempat. Seni ini akan hidup dan berkembang sehat kalau kondisi masyarakat pendukungnya memerlukan. (Mudji Sutrisno, 2009: 110). Pendapat ini tidak jauh beda dengan kesimpulan yang diungkapkan oleh Edy sedyawati terhadap keberlanjutan seni-seni yang ada di Bali. Beliau sangat berkeyakinan bahwa seni apapun di Bali akan terus berkembang dan lestari semasih orang Bali menganut agama Hindu, dimana upacara ritual agama Hindu bersinergi bersama karya seni dalam upaya menjaga kelestariannya.
Ket. : Umbul-umbul dan tedung yang digunakan sebagai dekorasi dimonumen dan lapangan kapten Muditha Kabupaten Bangli.
Terbentuknya Budaya Bali Tradisi diikuti pula terjadinya sistem penanggalan (kalender Hindu-Jawa) arsitek dan kesenian yang bermotif Hindu dan Budha. Kebudayaan Bali tradisi ini sebuah refleksi dari budaya ekpresif, dominannya nilai religius, nilai estetis dan solidaritas, sebagai inti kebudayaan Bali. Perbedaan antara bagian inti suatu kebudayaan dengan bagian perwujudan lahirnya, dapat dilihat dari beberapa ciri seperti yang ada pada inti kebudayaan misalnya: 1). Sistem nilai, 2). Keyakinan keagamaan yang dianggap keramat, 3). Adat yang sudah dipelajari sangat dini dalam proses sosialisasi individu warga masyarakat, 4). Adat mempunyai fungsi yang terjaring dalam masyarakat, sedangkan bagian akhir dari suatu kebudayaan fisik, alat-alat, benda-benda yang berguna, ilmu pengetahuan, tata cara dengan segala tekniknya, untuk memberi kenyamanan. (Koentjaraningrat, 1990: 97). Bagian akhir dari terbentuknya kebudayaan yaitu kebudayaan fisik, oleh masyarakat Bali masih terpelihara dan dirawat dengan baik. Kiat-kiat perawatan dan pelestarian warisan tersebut dilakukan dalam bentuk upacara ritual yang disebut dengan otonan atau odalan yang
datangnya enam bulan sekali / 210 hari sekali. Khusus bagi masyarakat Hindu di Bali, selain diwariskan kebudayaan berbentuk fisik, yang lebih berharga dan bermanfaat adalah adanya suatu tatanan dan tuntunan “wajib” cara-cara atau alokasi waktu perawatan/pemeliharaan secara berkelanjutan. Menurut Mudji Sutrisno, seni tradisi selalu akan digali dan dikembangkan ketika bertemu dengan seni-seni kontemporer atau pendatang baru. Seni tradisi berarti seni yang berfungsi untuk upacara keagamaan serta fungsi lokal yang erat dengan adat etnik religiusitas setempat. Seni ini akan hidup dan berkembang sehat kalau kondisi masyarakat pendukungnya memerlukan. (Mudji Sutrisno, 2009: 110). Pendapat ini tidak jauh beda dengan kesimpulan yang diungkapkan oleh Edy sedyawati terhadap keberlanjutan seni-seni yang ada di Bali. Beliau sangat berkeyakinan bahwa seni apapun di Bali akan terus berkembang dan lestari semasih orang Bali menganut agama Hindu, dimana upacara ritual agama Hindu bersinergi bersama karya seni dalam upaya menjaga kelestariannya.
Foto : No. 6
Ket. : Tedung robrob di Pura dasar
Bhuwana Gelgel, Kabupaten
Klungkung, 2010
Pada sisi lainnya, Koentjaraningrat juga menyatakan; akulturasi kebudayaan tradisi (inti) dengan kebudayaan modern dapat menumbuhkan budaya progresif dan individu, dominannya arus komunikasi seimbang atas kerja yang dilakukan. Kemudahan dan percepatan dengan segala kelebihan maupun kekurangannya menjadi budaya ekspresif dan budaya progresif memberi peluang tumbuhnya berbagai bentuk, makna, dan fungsi-fungsi baru yang dapat memicu konflik dan benturan-benturan yang berakibat adanya dekadensi budaya. Akselerasi yang tidak mungkin terbendung terhadap beberapa unsur maupun sektor pada kebudayaan progresif dan adanya evolusi budaya agresif, akan menimbulkn proses perubahan yang tidak seimbang, dapat memicu berbagai krisis, ketegangan, konflik dan mungkin memudarnya seni budaya lokal. (Koentjaraningrat, 1990: 30
Ket. : Tedung robrob di Pura dasar
Bhuwana Gelgel, Kabupaten
Klungkung, 2010
Pada sisi lainnya, Koentjaraningrat juga menyatakan; akulturasi kebudayaan tradisi (inti) dengan kebudayaan modern dapat menumbuhkan budaya progresif dan individu, dominannya arus komunikasi seimbang atas kerja yang dilakukan. Kemudahan dan percepatan dengan segala kelebihan maupun kekurangannya menjadi budaya ekspresif dan budaya progresif memberi peluang tumbuhnya berbagai bentuk, makna, dan fungsi-fungsi baru yang dapat memicu konflik dan benturan-benturan yang berakibat adanya dekadensi budaya. Akselerasi yang tidak mungkin terbendung terhadap beberapa unsur maupun sektor pada kebudayaan progresif dan adanya evolusi budaya agresif, akan menimbulkn proses perubahan yang tidak seimbang, dapat memicu berbagai krisis, ketegangan, konflik dan mungkin memudarnya seni budaya lokal. (Koentjaraningrat, 1990: 30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar