Sabtu, 18 Februari 2012

Karesidenan Surakarta Paling Rawan Konflik Agama

16 Februari 2012 | 17:57 wib
Karesidenan Surakarta Paling Rawan Konflik Agama
 
 
 

KARANGANYAR, suaramerdeka.com -
Karena menjadi pusat berkumpulnya berbagai organisasi kemasyarakatan dan kelompok agama dari berbagai golongan, Karesidenan Surakarta menjadi daerah paling rawan terjadinya konflik kerukunan umat beragama di Jateng.
Potensi kerawanan di Karesidenan Surakarta lebih tinggi dibanding daerah lain, termasuk Semarang atau kota dan kabupaten lain. Namun meski tingkat kerawanan cukup tinggi,sampai saat ini tidak ada yang sampai berlanjut ke arah konflik dan perpecahan.
Hal itu dikemukakan Kabid Ketahanan Bangsa Kesbangpollinmas Provinsi Jateng Agus Hariyanto, saat ditemui di acara Pemeliharaan Kerukunan Antar Umat Beragama Propinsi Jateng di Gedung DPRD Karanganyar, Kamis (16/2). "Wilayah Solo dan sekitarnya paling rawan potensi konflik. Bahkan potensinya lebih tinggi dibanding Semarang, ibu kota Provinsi Jateng yang  intelektual masyarakatnya sudah cukup heterogen," tandasnya. Namun dia tidak membeberkan data terkait hal tersebut.
Dijelaskan pula bila semua potensi dan tingkat kerawanan itu sampai saat ini masih bisa teredam dengan baik oleh pihak-pihak terkait. Hal itu juga terbantu dengan kultur Jawa yang ada di masyarakat Solo dan sekitarnya, yang masih tumbuh dan terjaga dengan baik. Juga peran dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang mampu menjadi jembatan dan membangun komunikasi antara umat beragama dengan pemerintah.
( Basuni Hariwoto / CN32 / JBSM )
Untuk berita terbaru, ikuti kami di Twitter twitter dan Facebook Facebook
Bagi Anda pengguna ponsel, nikmati berita terkini lewat http://m.suaramerdeka.com
Dapatkan SM launcher untuk BlackBerry http://m.suaramerdeka.com/bb/bblauncher/SMLauncher.jad

2 komentar:

  1. kalau menurut pendapat pribadi saya dari yg amati selama sya di semarang n solo memang potensinya lebih besar solo,,

    di solo memang dari segi tutur bahasa n sopan santun memiliki nilai lebih, tapi menurutku masyarakatnya agak kurang terbuka.

    kalau di semarang walau pun lebih keras n kasar, dan sedikit blak-blakan (hampir seperti surabaya) namun justru disana tingkat toleransi lebih tinggi.

    dari artikel yang saya baca mengenai potensi konflik di jawa tengah oleh Mukhsin Jamil, Kapuslit IAIN Walisongo Semarang juga hampir bisa menjelaskan dan agak searah dengan pendapat pribadi saya,
    sumber: http://elsaonline.com/?p=802

    masyarakat pesisir:
    "Pantura (masyarakat pesisir), memiliki karakteristik yang sesungguhnya terbentuk secara alamiah dipengaruhi oleh keadaan alam. Contohnya mereka sangat terbuka dan terbiasa berbicara dengan nada keras, hal itu dikarenakan mereka dekat pantai yang tidak asing dengan deru ombak. Fenomena lainnnya, jika dilihat secara historis, maka lintas kultural terjadi di daerah pesisiran yang kita kenal dengan”nusa jawa silang budaya”, dalam hal ini masyarakat pesisir mengalami proses sentuhan globalisasi, Cinaisasi, Arabisasi, Westernisasi, sehingga masyarakat pesisir mempunyai karakter yang unik. Oleh karenanya, tidak mengherankan apabila kota-kota besar tumbuh di daerah pantura seperti Surabaya, Semarang dan Jakarta.

    Konflik agama dan budaya menjadi konflik yang majemuk di daerah tersebut. Sebagai contoh Semarang. Meskipun berbagai tradisi telah melebur, akan tetapi di sisi lain ada situasi multikultural dimana semua kelompok tetap eksis dan berkembang, seperi Arab, Cina dll. Sehingga mereka saling memotong dalam sebuah tradisi toleransi. Sebagai contoh terdapat kesaaman agama tetapi berbeda etnis atau berbeda ekonomi. Oleh karenanya, di daerah pantura sebuah konflik biasa muncul dari fenomena seperti itu."


    masyarakat solo:
    Sementara Surakarta mempunyai kekhasan tersendiri. Bisa dibayangkan, dulu kota ini pernah jadi basis abangan, sekarang tumbuh subur Fundamentalisme Islam. Konfllik internal dan antar umat beragama sekarang sudah merembet ke Banjarnegara. Di Solo sendiri, MTA FPI ,Muhamadiyyah NU, Kejawen semua tumbuh berkembang. Jika dilihat, karakter NU di Solo bisa jadi berbeda dengan yang lain. Mereka bergandeng dengan kelompok Islam fundamentalis sudah biasa, bahkan sering membentuk forum bersama. Dari keberagaman tersebut, akhirnya mereka beradaptasi secara bersamaan. Inilah dimensi positif dari konflik yakni transformasi. Disana terdapat resistensi tetapi ada juga reproduksi, mereka tetap mempertahankan identitas, akan tetapi juga mereproduksi nilai-nilai baru yang bersesuaian dengan yang lain. Hal tersebut disebabkan karerena Solo menjadi kota yang sangat dinamis sebagai lokus pergerakan.


    itu menurut pendapat saya,,

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas animonya, mudah-mudahan masyarakat yang bersangkutan jangan terjadi lagi konflik agar indonesia bersatu dan jaya jangan terpecah belah dengan masalah yang sepele. Indonesia adalah bhinneka tunggal ika

    BalasHapus