Sunda Wiwitan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sunda Wiwitan (Bahasa Sunda: "Sunda permulaan", "Sunda sejati", atau "Sunda asli") adalah agama atau kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur (animisme dan dinamisme) yang dianut oleh masyarakat tradisional Sunda.[1] Penganut ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa di provinsi Banten dan Jawa Barat, seperti di Kanekes, Lebak, Banten; Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi; Kampung Naga; dan Cigugur, Kuningan. Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang Sunda sebelum datangnya ajaran Hindu dan Islam.
Ajaran Sunda Wiwitan terkandung dalam kitab Sanghyang siksakanda ng karesian,
sebuah kitab yang berasal dari zaman kerajaan Sunda yang berisi ajaran
keagamaan dan tuntunan moral, aturan dan pelajaran budi pekerti. Kitab
ini disebut Kropak 630 oleh Perpustakaan Nasional Indonesia. Berdasarkan
keterangan kokolot (tetua) kampung Cikeusik, orang Kanekes bukanlah penganut Hindu atau Buddha,
melainkan penganut animisme, yaitu kepercayaan yang memuja arwah nenek
moyang. Hanya dalam perkembangannya kepercayaan orang Kanekes ini telah
dimasuki oleh unsur-unsur ajaran Hindu, dan hingga batas tertentu, ajaran Islam.[2] Dalam Carita Parahyangan kepercayaan ini disebut sebagai ajaran "Jatisunda".
Daftar isi[sembunyikan] |
[sunting] Mitologi dan sistem kepercayaan
Kekuasaan tertinggi berada pada Sang Hyang Kersa (Yang Mahakuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Dia juga disebut sebagai Batara Tunggal (Tuhan yang Mahaesa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Dia bersemayam di Buana Nyungcung. Semua dewa dalam konsep Hindu (Brahma, Wishnu, Shiwa, Indra, Yama, dan lain-lain) tunduk kepada Batara Seda Niskala.[3]
Ada tiga macam alam dalam kepercayaan Sunda Wiwitan seperti disebutkan dalam pantun mengenai mitologi orang Kanekes:
- Buana Nyungcung: tempat bersemayam Sang Hyang Kersa, yang letaknya paling atas
- Buana Panca Tengah: tempat berdiam manusia dan makhluk lainnya, letaknya di tengah
- Buana Larang: neraka, letaknya paling bawah
Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapis alam yang tersusun dari atas ke bawah. Lapisan teratas bernama Bumi Suci Alam Padang atau menurut kropak 630 bernama Alam Kahyangan atau Mandala Hyang. Lapisan alam kedua tertinggi itu merupakan alam tempat tinggal Nyi Pohaci Sanghyang Asri dan Sunan Ambu.
Sang Hyang Kersa menurunkan tujuh batara di Sasaka Pusaka Buana.
Salah satu dari tujuh batara itu adalah Batara Cikal, paling tua yang
dianggap sebagai leluhur orang Kanekes. Keturunan lainnya merupakan
batara-batara yang memerintah di berbagai wilayah lainnya di tanah
Sunda. Pengertian nurunkeun (menurunkan) batara ini bukan melahirkan tetapi mengadakan atau menciptakan.
[sunting] Filosofi
Paham atau ajaran dari suatu agama senantiasa mengandung unsur-unsur
yang tersurat dan yang tersirat. Unsur yang tersurat adalah apa yang
secara jelas dinyatakan sebagai pola hidup yang harus dijalani,
sedangkan yang tersirat adalah pemahaman yang komprehensif atas ajaran
tersebut. Ajaran Sunda Wiwitan pada dasarnya berangkat dari dua prinsip,
yaitu Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri Bangsa.
Cara Ciri Manusia adalah unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan manusia. Ada lima unsur yang termasuk di dalamnya:
- Welas asih: cinta kasih
- Undak usuk: tatanan dalam kekeluargaan
- Tata krama: tatanan perilaku
- Budi bahasa dan budaya
- Wiwaha yudha naradha: sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum melakukannya
Kalau satu saja cara ciri manusia yang lain tidak sesuai dengan hal tersebut maka manusia pasti tidak akan melakukannya.
Prinsip yang kedua adalah Cara Ciri Bangsa. Secara universal, semua
manusia memang mempunyai kesamaan di dalam hal Cara Ciri Manusia. Namun,
ada hal-hal tertentu yang membedakan antara manusia satu dengan yang
lainnya. Dalam ajaran Sunda Wiwitan, perbedaan-perbedaan antarmanusia
tersebut didasarkan pada Cara Ciri Bangsa yang terdiri dari:
- Rupa
- Adat
- Bahasa
- Aksara
- Budaya
Kedua prinsip ini tidak secara pasti tersurat di dalam Kitab Sunda
Wiwitan, yang bernama Siksa Kanda-ng karesian. Namun secara mendasar,
manusia sebenarnya justru menjalani hidupnya dari apa yang tersirat. Apa
yang tersurat akan selalu dapat dibaca dan dihafalkan. Hal tersebut
tidak memberi jaminan bahwa manusia akan menjalani hidupnya dari apa
yang tersurat itu. Justru, apa yang tersiratlah yang bisa menjadi
penuntun manusia di dalam kehidupan.
Awalnya, Sunda Wiwitan tidak mengajarkan banyak tabu kepada para
pemeluknya. Tabu utama yang diajarkan di dalam agama Sunda ini hanya ada
dua.
- Yang tidak disenangi orang lain dan yang membahayakan orang lain
- Yang bisa membahayakan diri sendiri
Akan tetapi karena perkembangannya, untuk menghormati tempat suci dan keramat (Kabuyutan,
yang disebut Sasaka Pusaka Buana dan Sasaka Domas) serta menaati
serangkaian aturan mengenai tradisi bercocok tanam dan panen, maka
ajaran Sunda Wiwitan mengenal banyak larangan dan tabu. Tabu
(dalam bahasa orang Kanekes disebut "Buyut") paling banyak diamalkan
oleh mereka yang tinggal di kawasan inti atau paling suci, mereka
dikenal sebagai orang Baduy Dalam.
[sunting] Tradisi
Dalam ajaran Sunda Wiwitan penyampaian doa dilakukan melalui nyanyian
pantun dan kidung serta gerak tarian. Tradisi ini dapat dilihat dari
upacara syukuran panen padi dan perayaan pergantian tahun yang
berdasarkan pada penanggalan Sunda yang dikenal dengan nama Perayaan Seren Taun.
Di berbagai tempat di Jawa Barat, Seren Taun selalu berlangsung meriah
dan dihadiri oleh ribuan orang. Perayaan Seren Taun dapat ditemukan di
beberapa desa seperti di Kanekes, Lebak, Banten; Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi; Kampung Naga; dan Cigugur, Kuningan.
Di Cigugur, Kuningan sendiri, satu daerah yang masih memegang teguh
budaya Sunda, mereka yang ikut merayakan Seren Taun ini datang dari
berbagai penjuru negeri.
Meskipun sudah terjadi inkulturasi dan banyak orang Sunda yang
memeluk agama-agama di luar Sunda Wiwitan, paham dan adat yang telah
diajarkan oleh agama ini masih tetap dijadikan penuntun di dalam
kehidupan orang-orang Sunda. Secara budaya, orang Sunda belum
meninggalkan agama Sunda ini. [4]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar