kenegarawanan : strategi budaya indonesia mulia
strategi budaya indonesia mulia
Pandji R Hadinoto (X)
Tanggal 1 Maret 1949 dikenang dengan peristiwa heroik yaitu Serangan Oemoem TNI kuasai 6 jam kota Jogjakarta yang memberikan fakta kepada dunia kala itu bahwa Republik Indonesia masih eksis sehingga mendorong diselenggarakannya Konperensi Meja Bundar yang lalu berujung pengakuan Indonesia Berdaulat 27 Desember 1949. Artinya sebagai peristiwa, hal itu mencerminkan budaya kejoangan khas bangsa Indonesia dalam menyatakan jatidirinya, yaitu Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945.
Dalam konteks bersejarah itulah, maka ditengah kegalauan berbagai peristiwa dunia dan dalam negeri terkini, adalah tepat pula sekiranya bangsa Indonesia kembali menunjukkan jatidirinya antara lain dalam bentuk tekad Indonesia Mulia sebagaimana digagas 80 tahun yang lalu oleh dr Soetomo, pahlawan nasional yang juga adalah pendiri Boedi Oetomo 1908, berwujud Strategi Budaya Indonesia Mulia 1 Maret 2012, yang dapat berkerangka sebagai berikut :
Strategi 7 (tujuh) Sehat [Pandji R Hadinoto], dalam konteks Tubuh Negara-Bangsa yakni 1. Sehat Bermasyarakat, 2. Sehat Berbangsa, 3. Sehat Bernegara, 4. Sehat Politik Hukum Perundang-undangan, dan dalam konteks Tubuh Manusia yaitu 5. Sehat Logika/Nalar, 6. Sehat Rohani/Jiwa, 7. Sehat Jasmani/Raga;
Strategi 7 (tujuh) Ketahanan Bangsa [alm HR Soeprapto] yaitu 1. Kehidupan Agama tidak Rawan, 2. Kehidupan Ideologi tidak Retak, 3. Kehidupan Politik tidak Resah, 4. Kehidupan Ekonomi tidak Ganas, 5. Kehidupan Sosial Budaya tidak Pudar, 6. Kehidupan HanKamNas tidak Lengah, 7. Kehidupan Lingkungan tidak Gersang;
Strategi 7 (tujuh) Kemenangan Hidup [Gus Sholeh] yakni 1. Yang tetap Sejuk ditempat yang Panas, 2. Yang tetap Manis ditempat yang Pahit, 3. Yang tetap Merasa Kecil walau telah menjadi Besar, 4. Yang tetap Tenang ditengah Badai yang Dahsyat, 5. Yang tetap berSyukur atas segala Karunia-Nya, 6. Yang tetap Istiqomah di Jalan-Nya, 7. Yang tetap menggantungkan harapan hanya kepada Tuhannya
Tradisi berlatar belakang kesejarahan yang telah terbukti berujung kepada peristiwa hukum sesungguhnya dapat saja diberlakukan sebagai pernyataan budaya hukum yaitu sikap2 dan nilai2 yang berhubungan dengan hukum bersama, ber-sama2 dengan sikap2 dan nilai2 yang terkait dengan tingkah laku yang berhubungan dengan hukum dan lembaga2-nya, baik secara positif maupun negatif. Dalam pengertian tradisi budaya hukum itulah, maka Strategi Budaya Indonesia Mulia 1 Maret 2012 patut diyakini dan diharapkan berkemampuan cukup dalam turut serta menyumbangkan perangkat lunak bagi pembangunan watak Negara-bangsa menuju Indonesia Berjaya berdasarkan Pancasila yang adalah falsafah, jatidiri dan pandangan hidup bangsa, ideologi dan dasar Negara, sumber daripada segala sumber hukum, dan juga dipahami sangat boleh jadi adalah mercusuar dunia.
Jakarta, 1 Maret 2011
(X) Deklarator, Penegak Konstitusi Proklamasi 1945 [17Peb12]
eMail : pkp1945@yahoo.com
Dalam konteks bersejarah itulah, maka ditengah kegalauan berbagai peristiwa dunia dan dalam negeri terkini, adalah tepat pula sekiranya bangsa Indonesia kembali menunjukkan jatidirinya antara lain dalam bentuk tekad Indonesia Mulia sebagaimana digagas 80 tahun yang lalu oleh dr Soetomo, pahlawan nasional yang juga adalah pendiri Boedi Oetomo 1908, berwujud Strategi Budaya Indonesia Mulia 1 Maret 2012, yang dapat berkerangka sebagai berikut :
Strategi 7 (tujuh) Sehat [Pandji R Hadinoto], dalam konteks Tubuh Negara-Bangsa yakni 1. Sehat Bermasyarakat, 2. Sehat Berbangsa, 3. Sehat Bernegara, 4. Sehat Politik Hukum Perundang-undangan, dan dalam konteks Tubuh Manusia yaitu 5. Sehat Logika/Nalar, 6. Sehat Rohani/Jiwa, 7. Sehat Jasmani/Raga;
Strategi 7 (tujuh) Ketahanan Bangsa [alm HR Soeprapto] yaitu 1. Kehidupan Agama tidak Rawan, 2. Kehidupan Ideologi tidak Retak, 3. Kehidupan Politik tidak Resah, 4. Kehidupan Ekonomi tidak Ganas, 5. Kehidupan Sosial Budaya tidak Pudar, 6. Kehidupan HanKamNas tidak Lengah, 7. Kehidupan Lingkungan tidak Gersang;
Strategi 7 (tujuh) Kemenangan Hidup [Gus Sholeh] yakni 1. Yang tetap Sejuk ditempat yang Panas, 2. Yang tetap Manis ditempat yang Pahit, 3. Yang tetap Merasa Kecil walau telah menjadi Besar, 4. Yang tetap Tenang ditengah Badai yang Dahsyat, 5. Yang tetap berSyukur atas segala Karunia-Nya, 6. Yang tetap Istiqomah di Jalan-Nya, 7. Yang tetap menggantungkan harapan hanya kepada Tuhannya
Tradisi berlatar belakang kesejarahan yang telah terbukti berujung kepada peristiwa hukum sesungguhnya dapat saja diberlakukan sebagai pernyataan budaya hukum yaitu sikap2 dan nilai2 yang berhubungan dengan hukum bersama, ber-sama2 dengan sikap2 dan nilai2 yang terkait dengan tingkah laku yang berhubungan dengan hukum dan lembaga2-nya, baik secara positif maupun negatif. Dalam pengertian tradisi budaya hukum itulah, maka Strategi Budaya Indonesia Mulia 1 Maret 2012 patut diyakini dan diharapkan berkemampuan cukup dalam turut serta menyumbangkan perangkat lunak bagi pembangunan watak Negara-bangsa menuju Indonesia Berjaya berdasarkan Pancasila yang adalah falsafah, jatidiri dan pandangan hidup bangsa, ideologi dan dasar Negara, sumber daripada segala sumber hukum, dan juga dipahami sangat boleh jadi adalah mercusuar dunia.
Jakarta, 1 Maret 2011
(X) Deklarator, Penegak Konstitusi Proklamasi 1945 [17Peb12]
eMail : pkp1945@yahoo.com
PENEGAK KONSTITUSI PROKLAMASI 1945
pernyataan kebulatan tekad
Atas berkat rakhmat Tuhan Yang Maha Esa, pada hari ini, Jumat tanggal 17 Pebruari 2012, kami yang bertandatangan dibawah ini bertekad melaksanakan amanat yang tertuang dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 sepenuhnya.
Kebulatan tekad ini diyakini setelah mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
a. bahwa ketika bangsa Indonesia ingin menetapkan dasar Negara dalam sidang2 konstituante tahun 1955 sampai dengan 1959, terjadilah polarisasi pendapat tentang dasar Negara yang tidak dapat dipertemukan, sehingga keluarlah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menetapkan kembali kepada Undang Undang Dasar 1945;
b. bahwa pada era permulaan reformasi 1998, Undang Undang Dasar 1945 tersebut diatas telah dirubah sebanyak 4 (empat) kali antara tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, ternyata dalam pelaksanaannya banyak menimbulkan dampak yang membawa perpecahan pendapat, perpecahan bangsa, yang selanjutnya membuat bangsa Indonesia mundur dalam segala aspek kehidupan (multi dimensi);
c. bahwa pengalaman mengelola Negara bangsa melalui multi partai politik seperti terjadi pada era pemerintahan Presiden Soekarno dan sekarang diulangi lagi pada era reformasi ini ternyata tidak dapat membawa kehidupan bangsa seperti yang dikehendaki oleh amanat Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 yaitu masyarakat yang adil dan makmur, sejahtera lahir dan batin;
d. bahwa kini kerusakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sudah pada titik kritis yang dapat membawa kehancuran bangsa;
e. bahwa oleh karena akar masalah pengelolaan Negara yang berakibat negatif tersebut diatas terletak pada Undang-Undang Dasar 2002 terutama Pasal 33, dan Pasal 33 inilah yang seharusnya segera dibatalkan dan diberlakukan kembali Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 yang ditetapkan dan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945;
f. bahwa pemberlakuan Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 tanggal 18 Agustus 1945 itu tidak terlepas dari Politika Adendum Undang Undang Dasar 1945 yang sedang diperjuangkan berdasarkan pemberdayaan kembali Undang-Undang Dasar 1945 [Lembaran Negara Republik Indonesia No. 75, 1959] yang jelas berlandaskan Pancasila, maka dengan demikian bangsa Indonesia lebih mampu mengelola Negara lebih baik dengan dinamika yang tinggi, aman dan damai sehingga Ketahanan Bangsa dan Negara terjamin terus menerus serta berkemampuan mengakomodasi perkembangan jaman tanpa meninggalkan karakter bangsa;
Oleh karena itulah, demi kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tegak serta kuatnya Negara Kesatuan Republik Indonesia ditengah-tengah Negara-negara bangsa di dunia, maka peran serta segenap komponen bangsa sangat diperlukan, baik organisasi-organisasi kemasyarakatan, lembaga-lembaga negara maupun perorangan, dalam rangka melaksanakan amanat yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, diserukan antara lain turut serta menandatangani pernyataan kebulatan tekad ini secara sadar, ikhlas, dan keluhuran budi.
Jakarta, Jum’at Legi, 17 Pebruari 2012
Deklarator dan pendukung,
Pitoyo / Pandji R Hadinoto / Sishendarwati / Hadi M / Paulus Pase / M Kasim Ramli / Topek Martopo S
Amankan APBN
Jero : Berkorban ?
Ester Meryana | Erlangga Djumena | Rabu, 29 Februari 2012 | 09:30 WIB
KOMPAS/ALIF ICHWAN Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik (kanan) didampingi Wakil Menteri Widjajono Partowidagdo mengadakan jumpa pers di Kantor ESDM, Jakarta, Senin (20/2/2012).
Jero : Pemerintah dan Rakyat Berkorban
JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Jero Wacik, mengatakan pemerintah dan rakyat sama-sama berkorban dalam mengamankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pasalnya, sejumlah asumsi yang dipatok dalam anggaran itu sudah melenceng seiring dengan perubahan kondisi ekonomi global.
“Arahan Pak Presiden yang perlu saya sampaikan juga, kalau kantong kita kempes maka jangan rakyat saja disuruh berkorban. Pemerintah harus juga berkorban,” ujar Jero, usai menghadiri rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI, di DPR, Selasa (28/2/2012) malam.
Ia menyebutkan, pengorbanan pemerintah yakni dengan mengurangi APBN di kementerian. Maksudnya, pemerintah dapat menunda proyek yang belum mendesak untuk dikerjakan. Penundaan proyek-proyek pemerintah ini ditujukan untuk menyelamatkan APBN. “Proyek-proyek atau pembangunan gedung yang bisa ditunda ke tahun 2013, tundalah,” tambah dia.
Pengetatan anggaran ini tidak lain sebagai upaya menyesuaikan APBN karena perubahan ekonomi global. Jero menyebutkan, sejumlah asumsi dalam APBN 2012 sudah melenceng jauh. Salah satunya adalah asumsi harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) yang dipatok 90 dollar AS per barrel. Padahal ICP per Januari 2012 saja sudah mencapai angka 115 dollar AS per barrel.
Sekalipun berusaha irit, tapi pemerintah tetap berjanji untuk melindungi masyarakat miskin. Akan ada kompensasi yang diberikan oleh pemerintah. Kompensasi itu direncanakan meliputi pangan, pendidikan, hingga transportasi. “APBN ini perlu diselamatkan karena ini masa depan negara kita,” tegasnya.
Oleh karena itu, pemerintah sekarang ini sedang berusaha menyesuaikan APBN dengan melakukan perubahan terhadap sejumlah asumsinya.
Pemimpin Loyo !
Maria Natalia | Aloysius Gonsaga Angi Ebo | Selasa, 28 Februari 2012 | 17:29 WIB
KOMPAS/HENDRA A SETYAWANFranz Magnis Suseno, SJ.
Indonesia Tidak Butuh Pemimpin Loyo
JAKARTA, KOMPAS.com — Ahli filsafat dan tokoh agama, Romo Franz Magnis Suseno, mengatakan bahwa saat ini negara membutuhkan seorang pemimpin yang berani, bukan pemimpin yang loyo dan hanya turut bersedih atas masalah rakyat, tetapi tak memberikan solusi. Saat ini, kata dia, pemerintah terlihat tidak berani dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, seperti masalah pelanggaran hak asasi manusia di masyarakat dan masalah korupsi yang merajalela.
“Bangsa ini tidak butuh pemimpin yang loyo dan lemas. Bagaimana bisa memimpin kalau lihat reaksi masyarakat yang bersalah sama-sama menangis, tidak cukup itu. Jadi pemimpin yang hanya mengeluh juga tidak cukup. Harus berani bertindak dan menawarkan penyelesaian masalah bangsa,” ujar Magnis dalam diskusi “Meneladani Misi Profetik dalam Kepemimpinan Nasional” di Mega Institute, Jakarta, Selasa (28/2/2012).
Menurutnya, jika pemimpin nasional yang loyo tak dapat diandalkan maka harus muncul pemimpin yang bersifat profetik. Artinya, orang yang memiliki sifat kepemimpinan tapi berada di luar panggung kekuasaan. Orang-orang yang memiliki suara keras untuk mengutarakan aspirasi rakyat dan mengungkapkan kebenaran.
Kini, kepemimpinan profetik itu belum terlihat karena ada berbagai kepentingan yang menginginkan kekuasaan dibandingkan membela kepentingan rakyat. “Kepemimpinan profetik adalah mereka yang tidak berkuasa. Mengatakan kebenaran terhadap mereka yang berkuasa,” lanjutnya.
Menunggu datangnya pemimpin yang profetik, kata Romo Magnis, Indonesia merindukan juga sosok pemimpin seperti Soekarno. Meski tidak banyak menyelesaikan masalah negara, kata dia, Soekarno memiliki misi untuk membawa ke mana tujuan bangsanya.
“Soekarno membuat dan mengingatkan semua orang bahwa mereka menjadi rakyat Indonesia. Itu yang selalu saya ingat. Di mana pun warga Indonesia berada, mereka bangga menjadi bangsa Indonesia, karena Soekarno menanamkan itu. Pemimpin harus seperti itu, bukan yang loyo,” jelasnya.
Sementara itu, tokoh senior Partai Golkar, Akbar Tanjung, mengungkapkan, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memikirkan kemaslahatan banyak orang, bukan hanya kepentingan pribadi. Namun, sosok pemimpin tersebut sulit ditemukan saat ini.
“Sulit kita mendapatkan pemimpin yang seperti itu dalam kondisi sekarang ini. Di situasi politik sekarang ini, politik dimaknai untuk mendapatkan kekuasaan dan kekuasaan saat menjadi pimpinan hanya dipakai untuk mencari kekayaan dan kehormatan,” terangnya.
Ia mengatakan bahwa saat ini Indonesia kehilangan sosok pemimpin yang dapat dijadikan teladan untuk membangun bangsa yang bersih. “Kita membutuhkan orang-orang yang menjadi teladan. Kita ingin membangun kehidupan politik yang benar sehingga menghasilkan pemimpin yang terpanggil untuk memperbaiki negara ini. Itu haruslah pemimpin yang kuat memiliki misi profetik untuk membawa kebenaran,” pungkas Akbar.
Beginilah keadaan penguasa Negara Kleptokrasi Republik Indonesia.
Gaya Hidup Pejabat Negara
Selasa, 28 Februari 2012 | 13:50 WIB ·
Anda tahu harga jam tangan Ruhut Sitompul? Katanya, politisi partai Demokrat ini menggunakan jam tangan berharga Rp 450 juta. Sedangkan Anis Matta, yang juga salah satu pimpinan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mengenakan jam tangan seharga Rp 70 juta.
Itu baru harga jam tangan. Coba tengok harga mobil para pejabat negara itu. Konon, ada tiga anggota DPR yang punya mobil seharga Rp 7 milyar. Sementara harga mobil rata-rata pejabat menteri berkisar antara Rp 400 juta hingga 1,325 miliar. Bagaimana dengan harga rumah dan kekayaan lainnya?
Nah, bagaimana dengan gaji Presiden? Berdasarkan peringkat gaji presiden tertinggi di dunia, gaji Presiden SBY menempati peringkat ke-16. Ia berada di atas peringkat gaji Presiden Rusia, Dmitry Medvedev, yang memimpin negeri yang jauh lebih maju dan lebih makmur dibanding Indonesia.
Gaji Presiden SBY mencapai US$ 124.171 atau sekitar Rp 1,1 miliar per tahun. Gaji itu setara dengan 28 kali lipat dari pendapatan per kapita Indonesia. Bahkan, jika dikaitkan dengan PDB per-kapita masing-masing negara, gaji Presiden SBY tercatat di peringkat ketiga di dunia. Gaji Pesiden SBY mencapai 28 kali PDB per-kapita.
Lebih tragis lagi, menurut Anis Matta, dirinya membeli arloji seharga Rp70 juta sebagai aksesoris untuk ‘memantaskan’ dirinya sebagai pejabat publik. Artinya, di mata Anis Matta, standar seorang pejabat publik harus punya, diantaranya, jam tangan paling murah Rp70 juta.
Apakah harus begitu? Bung Hatta, Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama, mengatakan, seorang pemimpin haruslah mengambil beban yang lebih berat; ia harus tahan sakit dan tahan terhadap cobaan; ia juga tidak boleh berubah hanya karena kesusahan hidup. “Keteguhan hati dan keteguhan iman adalah conditio sine qua non (syarat yang utama) untuk menjadi pemimpin,” kata Bung Hatta.
Dengan demikian, di mata Hatta, seorang pejabat negara atau pemimpin tidak boleh punya gaya hidup mewah. Sebab, gaya hidup mewah akan menuntut biaya hidup yang tiggi pula. Tentunya, hal itu akan memaksa si pejabat akan menggunakan segala macam cara untuk membiayai gaya-hidupnya itu.
Hatta sendiri adalah seorang sosok pemimpin sederhana. Ia melamar istrinya dengan sebuah mas kawin berupa buku karyanya sendiri. Ia juga harus menabung bertahun-tahun untuk memenuhi keinginannnya membeli sepatu. Konon, Hatta pernah negosiasi panjang dengan kusir bendi soal tariff. Akan tetapi, karena tidak terjadi titik temu, Hatta pun memilih jalan kaki.
Bung Karno juga begitu. Semasa hidupnya, sebagaian besar pakaian kebanggaan Bung Karno dijahit dan dipermak sendiri. Salah satu seragam kebesaran Bung Karno adalah pakaian bekas militer wanita Australia.
Orang bisa mengatakan jaman sudah berubah. Apakah bisa begitu? Tidak juga. Buktinya, Fidel Castro, Presiden Kuba, hanya menerima gaji sebesar 900 peso atau kira-kira 36$ per bulan. Atau, mari kita dengar cerita tentang Ahmadinejad. Konon, Presiden paling dibenci oleh AS ini tidak menerima gajinya. Ketika ia pertama kali menempati jabatan Presiden, ia memerintahkan menggulung karpet antik peninggalan Persia untuk dimuseumkan. Ia juga menolak kursi VIP di pesawat kepresidenan. Bahkan ia memilih tinggal di rumahnya yang sederhana.
Kenapa bisa berbeda begitu? Ini menyangkut beberapa hal. Pertama, ini adalah soal mendefenisikan kekuasaan. Di jaman Bung Karno dan Bung Hatta, kekuasaan dianggap sebagai sarana untuk memperjuangkan masyarakat adil dan makmur. Sedangkan sekarang, kekuasaan dijadikan sarana untuk memperkaya diri sendiri. Kedua, politisi di jaman Bung Karno dibimbing oleh sebuah ideologi atau keyakinan politik. Sedangkan pejabat publik sekarang berjalan tanpa ideologi dan tanpa keberpihakan kepada rakyat. Ketiga, sistim politik kita makin terkomoditifikasi dan jabatan politik tak ubahnya barang dagangan.
++++
Hak Asasi, Gaya Hidup Pejabat Tak Bisa Diatur
Sandro Gatra | Glori K. Wadrianto | Jumat, 18 November 2011 | 12:28 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Gaya hidup pejabat negara dinilai tidak bisa diatur dalam suatu peraturan. Pasalnya, gaya hidup, salah satunya mempertontonkan kemewahan, merupakan hak asasi setiap warga.
Hal itu dikatakan Dekan FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Bahtiar Effendy, dan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga ketika Kepemimpinan Presiden Gus Dur, Mahadi Sinambela, dalam diskusi di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bertema “Betulkah Pejabat Negara Hedonistis?”, Jumat (18/11/2011).
“Kita enggak bisa melarang orang menikmati kekayaan. Kalau anggota DPR pakai mobil Bentley punya sendiri, kita enggak bisa melarang. Kita hanya bisa bertanya, apakah pantas sebagai pejabat publik,” kata Bahtiar.
Mahadi mengatakan, pengaturan gaya hidup itu hanya terjadi ketika zaman kepemimpinan Presiden Soeharto. Pada zaman reformasi saat ini, kata dia, setiap warga bebas mempertontonkan kekayaan hasil kerjanya. “Negara sosialis yang melarang-larang,” kata dia.
Bahtiar mengatakan, solusi mengerem gaya hidup mewah dengan instruksi lisan pimpinan lembaga masing-masing. Cara lain dengan mempraktikkan gaya hidup sederhana agar diikuti pejabat lain. “Seperti Pak Dahlan Iskan (Menteri BUMN) dan Pak Jusuf Kalla (waktu menjabat Wakil Presiden),” ucap dia.
++++
Pejabat Negara Hedonis…Pantas Saja Korupsi Tumbuh Subur!
Selasa, 29 November 2011 12:38 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG – Pakar komunikasi Universitas Diponegoro Semarang Turnomo Rahardjo menilai, gaya hidup hedonis yang ditunjukkan pejabat tinggi turut memicu dan melestarikan praktik korupsi di negeri ini. “Saat seseorang terbiasa dengan gaya hidup mewah, sulit untuk mengubah gaya hidupnya menjadi sederhana,” katanya di Semarang, Selasa, menanggapi gaya hidup hedonis kalangan pejabat tinggi.
Ia mengakui, banyak pejabat negara yang berlatar belakang pengusaha sehingga sudah kaya secara ekonomi sebelum menduduki jabatan publik. Sikap hedonis ini masih terbawa setelah mereka menjadi pejabat.
Namun, kata dia, apabila latar belakang pejabat negara bukan dari kalangan ekonomi atas, maka yang terjadi ada kelabilan saat mereka memasuki dunia yang cenderung menunjukkan kemewahan hidup.
“Bagi mereka yang sebelumnya sudah kaya, susah juga mengubah kebiasaaannya meski sudah jadi pejabat, namun bagi mereka yang hidupnya semula biasa saja, budaya hedonis sanggup menyeret mereka untuk berlaku korup,” katanya.
Karena itu, kata pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Undip itu, yang patut dicurigai sebenarnya adalah mereka yang tadinya biasa saja, namun setelah menjadi pejabat gaya hidupnya berubah drastis.
Ia mencontohkan, gaya hidup hedonis yang ditunjukkan bisa dilihat dari barang-barang yang dipakainya, seperti mobil, rumah, dan sebagainya yang kemungkinan justru melebihi gaji yang didapatnya.
Memang tidak semua pejabat bergaya hidup hedonis, kata dia, namun jika ada pejabat yang menunjukkan gaya hidup mewah sebenarnya menjadi potret kesenjangan sosial, sebab mereka menjadi panutan rakyat.
Menurut dia, cermin hidup mewah yang ditunjukkan pejabat sebenarnya tak hanya bisa dilihat di kalangan pusat, sebab pejabat-pejabat daerah pun melakukan hal serupa, menunjukkan gaya hidup bermewah-mewah.
“Yang jelas menampakkan kesenjangan sosial, saat sebagian besar masyarakat bekerja keras untuk bisa makan sehari-hari, sebagian lain justru berlomba-lomba menampilkan mobil jenis terbaru,” katanya.
Turnomo mengharapkan kalangan pejabat bisa menahan diri untuk tidak bergaya hidup mewah, sebab mereka menjadi panutan rakyat dan menghindari kesan kesenjangan ekonomi yang sangat besar.
Redaktur: Siwi Tri Puji B
Sumber: Antara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar