Senin, 05 Maret 2012

Kajian Tentang Kebudayaan Minangkabau

Mochtar Naim dan Kajian tentang Kebudayaan Minangkabau PDF Cetak Surel
Kamis, 08 Desember 2011 02:48
Sejak 27 November 2011, Mochtar Naim dirawat di rumah sakit Fatmawati Ja­karta.Dari keterangan yang diperoleh, terjadi pembengkakan pada jantungnya, namun alhamdulilah pada Rabu, 30 November lalu, pembengkakan pada jantungnya sudah teratasi, hanya saja ia masih merasakan agak sakit di bagian jantungnya. Tentunya doa bagi kesembuhannya.
Nama Mochtar Naim dan dunia Minangkabau seolah bagaikan dua sisi mata uang yang sulit untuk terpisahkan. Sejarah telah mencatat dalam jejak rekam Mochtar Naim hampir sejak setengah abad silam, ia menekuni dan me­naruh kepedulian yang tinggi terhadap dunia Minangkabau. Sebut sajalah misalnya ketika di tahun 1968 interest untuk mendirikan Center for Minang­kabau Studies (CMS) yang langsung ia pimpin.
Setelah berdirinya, CMS meneruskan usaha penggalian unsur-unsur kebudayaan Mi­nangkabau dengan mengadakan berbagai kegiatan penelitian, studi dan seminar. Di antaranya pada Juli 1969, bekerja sama dengan IAIN Imam Bonjol Padang, beserta instansi pe­merintah dan organisasi-or­ganisasi masyarakat lainnya, diselenggarakan seminar dengan mengambil tema: “Sejarah Masuk dan berkembangnya Islam di Minangkabau.”
Topik seminar Islam di Minangkabau ini mempunyai dua aspek pokok, yaitu historis dan aspek sosiologis kultural. Aspek historis menyangkut masuknya dan berkembangnya agama Islam di Minangkabau dan menyangkut sejarah per­juangan Paderi. Aspek so­siologis kultural menyangkut gerakan-gerakan pembaharuan (modern reform movement) sesudah tahun 1900; mengenai pembenturan dan penyesuaian (conflicts and approachment) antara agama, adat dan penga­ruh Barat; peranan kaum ulama dan madrasah serta surau dan sebagainya; korelasi antara penyebaran Islam dengan kehidupan sosial, ekonomi dan kebudayaan penduduk Minang­kabau (Antara, 21 Mei 1969).
Setahun berikutnya, di­adakan seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau, yang berlansung dari 1-8 Agus­tus 1970 di Batusangkar. Ada­pun masalah-masalah yang dibahas dalam seminar ini, yaitu sumber penulisan sejarah Minangkabau, Periodesasi sejarah, penjelajahan terhadap tiap periode, dan sejarah kerajaan pagaruyung.
Pada bidang kebudayaan dibahas bahasa, sastra dan kesenian Minangkabau, ke­pribadian dan karakter Minang, adat bersandi Syara’, dan problematik sosial-budaya dalam pembangunan masa kini Minangkabau (Antara, 13 Februari 1970).
Tujuan utama seminar dengan mengumpulkan data pada bidang sejarah dan ke­budayaan, diyakini akan besar manfaatnya bagi kepentingan pembangunan, karena tanpa data yang cukup dalam bidang ini, sesuatu rencana pem­bangunan tidak akan mungkin terlaksana dengan baik.
Seminar sejarah Minang­kabau ini tecatat sebagai pionir dalam wacana dan diskusi yang di­maksudkan untuk “mam­bangkik batang tarandam”, setelah per­golakan PRRI. Pada periode ini juga lahir buku Hukum Waris dan Tanah di Minangkabau, buku ini meru­pakan kumpulan makalah pada seminar di tahun 1968 tentang hukum waris dan tanah di Minangkabau, yang Mochtar Naim menjadi editor pada buku ini.
Pada tahun 1973 Mochtar Naim bersama istrinya, Asma Mochtar Naim menyelesaikan menyusun buku tentang Bi­bliografi Minangkabau. Pada tahun 1973 buku ini di­terbit­kan oleh CMS. Kemudian edisi lengkapnya diterbitkan oleh National University of Singa­pura pada tahun 1975. Pada tahun 1974 selesai studi yang dilakukan oleh Mochtar Naim tentang Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau.
Kemudian studi ini di­terbitkan oleh Gadjah Mada University pada tahun 1979, dengan cetak ulang yang kedua pada tahun 1984. Dan sekarang (2011) Mochtar Naim sedang menyiapkan edisi cetakan ketiga dari studi merantau ini dengan tambahan bab khusus di bagian akhirnya yang me­muat tentang dinamika pe­rubahan yang terjadi kemari atas fenomena merantaunya etnik Minangkabau.
Pemerintahan Nagari
Mulai akhir 1975, ia peduli dengan konsep pembangunan dari dasar dalam konteks Sumatera Barat yang disebut nagari, yaitu teritorial yang sangat vital, jikalau ini di­mainkan perannya akan di­yakini membawa perubahan besar dalam pembangunan. Sebenarnya, pada tahun 1974, Gubernur Sumatera Barat Harun Zain mengambil lang­kah untuk melanjutkan ciri demokratis nagari, membuat kepala nagari sebagai pelaksana pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat Nagari (DPRN) sebagai badan legis­latif pada tingkat paling bawah dari pemerintahan setempat. Nah, pada masa ini minimal ada 4 tulisan Mochtar Naim dari tahun 1975 hingga 1976 mengenai nagari.
Tulisan ini bahagian dari suasana saat itu, yaitu suasana penguatan dari ide yang mulai digulirkan dalam rangka pem­bangunan di Sumatera Barat, yaitu dari Nagari (Lihat SK Gubernur Sumatera barat No 155, 156,dan 157). Tulisan Mochtar Naim tersebut berisi tentang masalah dasar kenapa nagari perlu di­revitalisasi, kemudian apa masalah yang dasar di nagari itu juga yang menjadi pertimbangan dalam pembangunan nagari yaitu, masalah kepemimpinan nagari, dan jalan keluar apa yang mesti dilakukan.
Apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah yang dalam hal ini oleh Gubernur Harun Zain dan didukung oleh se­genap komponen masyarakat termasuk Mochtar Naim untuk melakukan usaha penguatan eksistensi nagari agaknya menjadi sia-sia ketika ‘Jakarta’ mengeluarkan UU No 5 tahun 1979, yang dimaksud untuk menyeragamkan struktur ad­ministrasi pemerintahan desa di seluruh Indonesia.
Undang-undang itu mem­buat fungsi dan nama (desa) yang seragam untuk satuan yang paling bawah dari pe­merintahan, dan mengatur organisasi internalnya, fungsinya dan pregroratifnya- dengan pola struktur keseluruhannya ber­dasarkan model desa di Jawa.
Unit desa yang seragam dan kecil memberikan pe­merintah kontrol yang lebih besar, terutama ketika kepala Nagari yang dulu dipilih diganti dengan pegawai sipil yang diangkat oleh gubernur ber­dasarkan undang-undang ini, dan prosedur pemilihan untuk pegawai desa yang lain diawasi dari atas oleh hierarki pe­merintahan. Sebagai bagian dari pemerintahan pusat, kenya­taannya pemerintah daerah Sumatera Barat melaksanakan isi UU No. 5 tahun 1979 tersebut. Dalam melaksanakan Undang-Undang Desa 1979 tersebut, pemerintahan Guber­nur Azwar Anas mulanya cendrung untuk memutuskan nagari sebagai kesatuan ad­ministrasi desa yang baru.
Diakui bahwa keputusan seperti itu akan mem­perta­hankan keserasian antara fungsi administrasi, ekonomi dan budaya dari unit teritorial tradisional, kendatipun nama­nya bertukar. Tetapi nagari menggabungkan wilayah yang lebih luas dan lebih banyak penduduknya dari unit ad­ministrasi desa di Jawa dan daerah lainnya di Indonesia. Ini berarti bahwa jika unit desa tetap nagari, Sumatera Barat akan kehilangan dana pem­bangunan desa yang besar yang disalurkan Jakarta ke desa.
Pada awal masa jabatannya yang kedua tahun 1983, Gu­bernur Azwar Anas mem­berlakukan undang-undang yang menetapkan bagian dari nagari, yakni jorong, bukan nagari, yang menjadi unit desa. Tetapi, pemecahan nagari juga menghancurkan institusi lokal tradisional yang sudah beratus tahun- lembaga yang mengatur tidak hanya tingkah laku sosial dan kultural dari rakyat di pedalaman, tetapi juga basis ekonomi masyarakat dalam hal tanah, warisan, dan pengo­lahan sawah.
Nagari tidak hanya unit teritorial yang sederhana, tetapi sesuatu yang didasarkan kepada kelompok garis turunan dan fungsi-fungsi yang luas. Nah, Mochtar Naim pun bersuara. Bila pikiran Mochtar Naim yang di tahun 1970-an itu sudah mulai melihatkan pendirian akan perlunya Pembenahan dan kemandirian nagari dalam rangka memfokuskan konsep pembangunan dari yang paling dasar, dalam Konteks Sumatera barat.
Kemudian pada tahun 1980-an hingga 1990-an ini, pemikiran Pak Mochtar naim tentang Nagari dalam kaitan sprit perjuangan otonomi ini tampak semakin jelas. Se­belumnya sebagaimana di ketahui bahwa pada tahun 1979, sebuah UU No.5 tahun 1979 diterbitkan yang berisi tentang pemerintahan desa yang diberlakukan untuk seluruh Indonesia, tidak terkecuali Sumatera barat yang notabene dinilai mempunyai kekhasan kultur di pemerintahan paling dasar yaitu nagari.
Ia tak segan-segan men­yatakan jika nagari diubah dengan sistem desa, maka sebuah kerancuan struktural lah yang terjadi.
Dalam pikiran Mochtar Naim, dua istilah yang dipakai dalam menggambarkan unit pemerintah-an di tingkat te­rendah di Sumatera Barat dahulu dan sekarang kiranya cukup repre­sentatif untuk sekaligus men­jelaskan latar-belakang sosiologis dari kedua sistem dengan orien­tasi berbeda itu.
Kepedulian Mochtar Naim tentang pembangunan nagari terus berlanjut, seiring dengan era reformasi pada tahun 1998 dan keluarnya UU no 22 dan 25 tahun 1999, yang memberi kesempatan untuk di­kembali­kannya pemerintahan desa di Sumatera Barat kembali ke nagari. Ia kemudian me­rumus­kan empat fungsi dasar nagari, Yaitu: Nagari sebagai unit kesatuan administratif pe­merintahan, Nagari sebagai unit kesatuan keamanan dan penga­manan dalam Nagari, Nagari sebagai unit kesatuan ekonomi anak Nagari, dan Nagari sebagai unit kesatuan adat dan sosial-budaya.
Pada 1980 bersama cen­dekiawan di Yayasan Ilmu-ilmu Sosial yang diketuai oleh Dr Selo sumarjan, dibicarakan untuk mendirikan fakultas sastra dan FISIP di Unand. Dan Mochtar Naim ditunjuk sebagai ketua panitia persiapan pen­dirian fakultas tersebut. Di saat sedang sibuk-sibuk persiapan mendirikan fakultas Sastra dan FISIP ini, terselip dalam sebuah seminar September 1980, gagasan yang untuk pertama kali dilontarkan oleh Mochtar Naim tentang Minang­kabau dalam “Dialektika Ke­budayaan Nusantara”.
Pola J dan M
Konsep dialektika ke­budayaan nusantara yang digagas oleh Mochtar Naim ini, jika ditilik dari sosiologi penge­tahuan (Peter L. Berger & Thomas Luckmann, 1966) ia murni merupakan persfektif Minangkabau sebagai simbol dan akumulasi dari konstruksi pemikiran yang dimiliki oleh Mochtar Naim. Untuk ke­budayaan Nusantara dalam pandangan Mochtar Naim bipolarismenya secara hipotesis diwakili oleh dua kekuatan budaya yang memang sejak dari dahulu sampai saat ini telah merupakan dua kekuatan penentu yang membentuk kebudayaan Nusantara yaitu pola budaya J (Jawa) dan  pola kebudayaan M (Minangkabau/Melayu), sedangkan kebudayaan Nusantara lainnya berada bertebaran antara kedua kutub tersebut. Perbenturan yang terus menerus antara kedua ke­kuatan budaya inilah yang menurut hematnya telah mem­bentuk dinamika dari ke­budayaan Nusantara kita ini (Mochtar Naim, 1980).
Pada tahun 1983, ia ber­sama beberapa wartawan muda pada saat itu, yang saat ini (2011) telah menjadi pucuk pimpinan di surat kabar masing-masing yaitu diantarang Zaili Asril dan Fachrul Rasyid. Ia bersama melakukan penelitian tentang restoran Minang. Moc­htar Naim melihat potensi menarik dari penelitian tentang restoran Minang ini, sebagai orang yang telah melakukan penelitian panjang tentang budaya Minangkabau.
Bagi Mochtar Naim mem­pelajari sistem manajemen restoran Minang merupakan “bukan hanya sekadar olahraga otak atau latihan akademi atau pun mempelajari bagai­mana restoran Minang dari segi manajemen dikelola secara sama atau berbeda dengan restoran-restoran lainnya, dan bahkan dengan usaha-usaha perdagangan lainnya, tapi ada tujuan yang lebih besar yang tersembunyi di belakangnya. (Mochtar Naim, 1987).
Pada tahun 1985 ia men­dirikan Yayasan Amal Saleh, yang kemudian mengkristal menjadi apa yang ia istilahkan dengan ‘Surau mahasiswa’.
Konsep surau mahasiswa ini sudah berjalan lebih kurang 26 tahun (2011), tentu apa yang dicita-citakan mulai terasa dengan konsep surau ma­hasiswa ini dalam rangka peningkatan sumber daya mahasiswa, di antaranya ke­lincahan berpikir, kematangan beremosional, kesantunan dalam bertindak. Walaupun tidak seluruhnya yang pernah tinggal di Surau maha­siswa, mengalami peningkatan sumber daya itu namun sebagian besar dari yang pernah me­rasakan mengalami peningkatan sumber daya itu.
Konsep surau mahasiswa sangat dibutuhkan apalagi ter­hadap daerah-daerah yang belum banyak institusi sosial yang mengadakan kegiatan-kegiatan untuk me­nyongsong per­tum­buhan maha­siswa di samping dia berkegiatan di kampusnya, maka jelas mutlak surau mahasiswa itu sangat penting dan harus di­ciptakan sebagai intitusi sosial yang melatih dan men­dororong percepatan sumber daya ma­hasiswa itu.
Serangkaian kajian dan realisasi tentang nilai luhur dari kebudayaan Minangkabau yang telah diuraikan di atas tersebut, terkerjakan oleh Mochtar Naim karena sedari awal dari lubuk hati ia yang terdalam tersimpan prinsip yang juga sering ia tandaskan dalam beberapa kesempatan bahwa maju tidaknya bangsa In­donesia, tergantung sejauh mana berkontribusi kebudayaan Minangkabau.

ABDURRAHMAN
(Mahasiswa Program Pascasarjana Jurusan Sejarah UGM)

2 komentar:

  1. Pak Abdurrahman, apakah Bapakh punya artikel dr Pak Naim Muchtar yang Bapak bahas?

    BalasHapus