Pilar-Pilar Pembangunan Budaya
Sabtu, 27 Maret 2010 seorang pemerhati budaya lulusan
Anthropologi Universitas Indonesia (UI) Bapak Gigin Praginanto berkenan
hadir sebagai pembicara tunggal dalam Diskusi Kebangsaan National
Integration Movement (NIM). Beliau juga pernah menjadi wartawan,
pengasuh beberapa acara baik di radio maupun televisi, dan sekarang ini
menjadi Direktur dari Indonesia Focus Advisory. Acara ini berlangsung di
One Earth Retreat Centre, Ciawi.
Diskusi bertema Budaya : Pilar-pilar Pembangunan Bangsa ini dihadiri
lebih dari 70 peserta, termasuk beberapa mahasiswa dari Bandung, UIN,
UNAS, Ikatan Mahasiswa Muhamadiyah, dll. Pak Gigin, yang pernah
mewawancarai Yasser Arafat di tahun 1989 di Tunis ini, memulai
penuturannya dengan menceritakan pengalaman beliau ketika masih menjadi
wartawan untuk meliput konflik, seperti yang terjadi Afganistan ketika
tentara Uni Sovyet masih berada di Negara itu. Afganistan yang terdiri
dari berbagai macam suku dan penganut agama ini, tidak akan berhenti
bertikai selama warga tidak menyadari apa yang bisa yang mempersatukan
mereka.
Pengalaman beliau meliput berbagai konflik yang terjadi akibat
perbedaan memberikan beliau pencerahan bahwa upaya kekerasan dalam
menyelesaikan konflik tidak akan mungkin berhasil. Perbedaan justru
harus disikapi dengan sikap positif, disinergikan dan ditransformasikan
menjadi suatu sumber kekuatan yang positif menuju Perdamaian.
Di awal-awal masa kemerdekaan Indonesia, kesadaran nasional warga
sangatlah tinggi. Perbedaan suku, budaya dan agama yang beragam di
Indonesia dapat dipersatukan dengan semboyan, dan dasar negara. Lagu
Kebangsaan Indonesia Raya pun telah menjadi simbol pemersatu yang amat
efektif. Tapi sejalan dengan bertambah umurnya Republik ini, kesadaran
nasional itu menurun.
Kurangnya pendidikan dan pengertian tentang arti demokrasi dan
turunnya kesadaran nasional membuat negara ini menjelma menjadi negara
yang amat rapuh. Dari segi ekonomi, negara ini ibarat negara kardus
karena dikembangkan oleh para pedagang dan makelar tanpa rasa
nasionalisme, bukan oleh para industrialis yang nasionalis. Perekonomian
Indonesia berkembang tanpa dukungan teknologi, disiplin, jaringan
pemasaran yang kuat, efisiensi ekonomi dan penuh dengan korupsi dan
intrik politik.
Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew (1959-1990) pernah berpendapat
bahwa Demokrasi baru bisa terjadi bila kedisiplinan sudah mengakar.
Bila ini tak terjadi, maka yang terjadi adalah anarki, bukan demokrasi.
Dan, anarki ini menghancurkan bukan hanya sebuah bangsa, tapi juga
peradaban.
Berdasarkan penelitian sebuah Foundation International yang meneliti
kebijakan dan praktek ekonomi negara-negara di dunia terkait dengan
kebijakan politiknya, justru negara-negara yang kebebasan politiknya
sangat rendah, mempunyai tingkat Kebebasan Ekonomi yang sangat tinggi,
baik secara kebijakan maupun prakteknya. Contoh negara-negara tersebut
adalah seperti Singapura, China dan Hongkong. Indonesia justru
sebaliknya. Demikian pula India di masa awal-awal kemerdekaannya. Jepang
mempunyai UU Ekonominya sangat kapitalis, tapi kenyataannya ekonominya
sangat sosialis. Tapi Indonesia justru mempunya kebijakan ekonominya
sangat sosialis, tapi kenyataannya sangat kapitalis.
Lain lagi di China. Pemimpin DengXiaoPing menyadari bahwa sistem
ekonomi komunis hanyalah memberikan pemerataan kemiskinan daripada
kesejahteraan sehingga berani mengambil langkah-langkah drastis untuk
merubah sistem ekonomi China menjadi lebih terbuka, tapi tetap
mempertahankan sistem politik yang tertutup. China pun sekarang menjadi
salah satu negara raksasa ekonomi terkuat di dunia.
Sementara itu, di Indonesia, kita masih bergulat pada konflik politik
dalam negeri yang tak habis-habisnya akibat perbedaan sehingga terjadi
kemunduran moral dan proses demokrasi yang luar biasa. Hal ini tak hanya
mengganggu kondisi kehidupan bernegara di Indonesia, tapi juga telah
menjadi kampanye berita buruk (bad press) untuk Indonesia, tontonan bagi
masyarakat dunia. Padahal bila adanya keberanian untuk menerima
perbedaan menjadi sebuah kekuatan, seperti dalam konsep Bhinneka Tunggal
Ika, maka kekuatan yang berbeda ini akan bersinergi menjadi kekuatan
maha dahsyat.
Walaupun Amerika Serikat dengan disiplin dan demokrasi dapat
membangun ekonominya menjadi raksasa dunia, tapi Jepang dan Korea
Selatan dengan disiplin dan tangan besi, juga telah berhasil membangun
ekonomi negara mereka masing-masing menjadi mandiri dan diperhitungkan
di dunia perdagangan. Demokrasi memang tidak selalu akan mendatangkan
kesejahteraan. Tapi disiplin diri adalah kunci menuju peningkatan
keahlian yang akan berujung pada peningkatan kesejahteraan. Sayangnya di
Indonesia, justru keahlian tipu muslihat (tanpa disiplin) dianggap
sebagai kepintaran. Sungguh situasi yang sangat mengenaskan.
Sementara itu, tokoh spiritual Anand Krishna menimpali bahwa bila
ingin nasionalisme langgeng, maka fondasinya haruslah berakar pada
budaya negeri sendiri dan sejarah berdirinya bangsa itu sendiri. Setelah
peristiwa 911, Presiden Amerika Serikat (AS) George W Bush waktu itu
meminta Kongres AS untuk mengucurkan dana yang besar untuk mengembangkan
dan mengajarkan sejarah bagi anak-anak didik di AS.
Di Jepang, budaya setempat dan agama Buddha dapat beralkulturasi
dengan baik. Seorang warga Jepang amat bangga menjadi orang Jepang
karena budaya khas mereka. Demikian pula di India, dinasti terbesar dan
terlama dikenal sebagai dinasti Mogul, tanpa embel-embel agama. Di China
pun, rumah-rumah Ibadah dari tradisi agama manapun selalu berarsitektur
khas China. Di Pakistan, Kitab Quran dapat dibaca dalam bahasa Urdu.
Hanya di Indonesia saja, membaca kitab suci agama tertentu dalam bahasa
Indonesia dapat dipenjara. Indonesia jelas sudah kehilangan identitas
dirinya, karena itu moral bangsa pun mengalami krisis yang
berkepanjangan.
Kita lupa bahwa Indonesia adalah negara dengan diversifikasi sumber
daya alam terkaya ke-2 di dunia setelah Brazil. Dan bangsa ini pernah
menjadi pengekspor komoditas paling berharga di dunia karena kala itu
harga rempah-rempah lebih tinggi daripada harga emas. Tapi karena
manajemen kita kacau balau, maka di tahun 1975, ekonomi Indonesia jauh
lebih kaya dari Thailand dan Korea Selatan, tapi sekarang ini, Indonesia
malah terpuruk.
Nasionalisme harus berdasarkan budaya dan sejarah bangsa. Bhinneka
Tunggal Ika yang berarti terlihat berbeda, tapi sebenarnya satu adalah
ciri khas budaya Indonesia. Ini pernah diperkenalkan dan ditawarkan lagi
di Forum Parlemen Agama-agama se-dunia di Melbourne, Australia,
Desember 2009 yang lalu.
Sayangnya, tidak ada lagi terbitan buku sejarah yang dicetak sejak
lama yang ditulis oleh penulis negeri sendiri. Tak ada buku sejarah dan
budaya semomumental History of Java-nya Sir Thomas Stamford Raffles,
atau History of Sumatera-nya W. Marsden.
Padahal Indonesia bukanlah negara biadab tanpa budaya. Malah
sebaliknya berasal dari peradaban tinggi dengan budaya yang luhur pula.
Menyadari tingginya budaya asal, akan memperkuat rasa bangga terhadap
negeri sendiri dan itulah modal utama nasionalisme yang kuat. Ini bisa
terjadi ketika kita mulai membaca (lagi) sejarah dan nilai budaya negeri
sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar