Penetrasi Tanpa Darah
Oleh Burhanuddin
Kalau mereka tetap bernafsu menjadikan Islam
sebagai narasi besar dan kemudian melakukan perlawanan total terhadap
budaya setempat, menggerus habis hingga ke akar-akarnya, kita khawatir
menjadi bumerang. Para walisongo adalah contoh yang baik di mana mereka
bisa mengakomodasi kultur dan lokalitas, bahkan menjadikannya sebagai
media dakwah yang efektif.
Tuntutan penerapan syariat Islam oleh negara selalu menyertakan
nuansa “Arab” yang begitu kental, dengan mengabaikan historisitas hukum
Islam vis-a-vis tantangan zaman. Teks dibunyikan secara literal dengan
mengabaikan makna di luar teks, tempat al-Quran berdialog dengan
kesejarahan manusia. Walhal, Islam ketika hadir di Indonesia, ia tidak
berada pada ruang yang hampa. Meminjam istilah Antony Reid, Islam bisa
sukses diterima di sini karena ia datang melalui penetration pacific:
“penetrasi tanpa darah”, damai, dengan semaksimal mungkin
mengakulturasikan budaya lokal dengan keislaman.
Dalam semangat yang sama, cucu tokoh Ikhwanul Muslimin, Hasan
al-Banna, bernama Thariq Ramadan, yang aktif menggeluti filsafat
Frederick Nietzhsce, menyusun buku yang merumuskan dasar-dasar
epistemologis “Islam Eropa:” sebuah gabungan apik yang mengawinkan Islam
yang diturunkan di Arab dengan “tradisi” lokal, dalam hal ini Eropa.
Penerbit Mizan membukukannya dalam judul Dialog Islam-Barat, Pergumulan
Muslim Eropa (2002). Adik kandung Hasan al-Banna, Jamal al-Banna, juga
menerbitkan kitab Nahwa Fiqh al-Jadid (1999), sebuah rumusan fikih
liberal yang berbeda 180 derajat dengan pandangan kakaknya.
Thariq ingin mengatakan soal perkawinan dua tradisi. Dalam bahasa
posmodernisme, Islam adalah grand-narasi yang ketika ia didakwahkan di
luar dari “habitat” sebelumnya, maka ia akan bersentuhan dengan
narasi-narasi kecil seperti lokalitas, tradisi, atau budaya setempat.
Alangkah ironisnya, bila kita membiarkan para pengusung Islam
menjadikannya sebagai narasi besar kemudian melakukan excluding the
others, represi diskursif dan pemiskinan budaya kepada suatu komunitas
tertentu. Bagaimanapun, sebelum Islam datang ke tempat tersebut, mereka
dengan eksotisme budayanya telah memiliki wellstanchauung, pandangan
hidup yang sudah established.
Kalau mereka tetap bernafsu menjadikan Islam sebagai narasi besar dan
kemudian melakukan perlawanan total terhadap budaya setempat, menggerus
habis hingga ke akar-akarnya, kita khawatir menjadi bumerang. Para
walisongo adalah contoh yang baik di mana mereka bisa mengakomodasi
kultur dan lokalitas, bahkan menjadikannya sebagai media dakwah yang
efektif. Ud’u ila sabili rabbika wa al-mauidhoti al-hasanati wa jadilhum
billati hiya ahsan, kata Alqur’an. Bahkan dalam perspektif ushuliyah,
saking pentingnya tradisi, ada satu perangkat metodologi yang dinamai
urf (kebiasaan, al-adat, atau adat istiadat setempat).
Bila kita amati secara jeli, Alquran juga melakukan akomodasi
kultural bangsa Arab secara masif. Lihat saja, ketika Alquran berbicara
tentang keharaman khamr. Ia tidak langsung straight to the point bahwa
khamr itu haram dan bagian dari jejak-jejak setan (rijsun min amali
al-syaithan). Ada beberapa tahapan untuk sampai pada vonis terakhir:
khamar haram! Kita tahu, saat itu minum khamr menjadi tradisi jelek
bangsa Arab. Kalau langsung dilarang, bisa muncul resistensi kuat dari
bangsa Arab, sementara Islam belum cukup merasuk dalam diri mereka.
Tradisi yang buruk pun ada proses pentahapan, apalagi yang dipandang
baik. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar