Mereka yang Bertahan (1/3)
(kiri) Kori Kamandungan dilihat tepat dari arah utara di luar gerbang keraton. Ini merupakan pintu masuk utama saat memasuki kawasan Keraton Kasunanan Surakarta. Kamandungan berasal dari kata mandug yang berarti berhenti. Filosofinya adalah sebelum memasuki kawasan keraton, seseorang harus mempersiapkan diri secara lahir dan batin.
Keraton Surakarta yang berada di tengah-tengah kota Solo merupakan
salah satu saksi bisu sejarah yang masih berdiri kokoh hingga saat ini.
Keraton yang sering juga disebut keraton kasunanan atau Keraton
Surakarta Hadiningrat ini didirikan oleh Sultan Pakubuwono II tanggal 17
Februari 1745 atau 14 Suro (Muharram) tahun 1670 wuku Landep, windu
sancaya (kalender jawa).
Keberadaan kerajaan-kerajaan di jawa pada masa lalu tidak bisa
dilepaskan dari pengaruh agama. Contohnya seperti mitos-mitos bahwa ada
beberapa raja yang merupakan titisan para dewa. Maka, tidak heran jika
di beberapa sudut lingkungan keraton Surakarta ada beberapa arca
dewa-dewa yang berupa peninggalan pada zaman kerajaan kuno seperti
Majapahit, Kediri, dan Singhasari.
Setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan hindu, maka bergantilah dengan
pengaruh islam. Melalui cara-cara yang kooperatif dari wali sanga,
pengaruh hindu mulai dikikis secara perlahan. Misalnya seperti
pengagungan raja sebagai titisan dewa tidak lagi dipakai. Sebagai
gantinya digunakan istilah khalifah yang merupakan wakil tuhan dalam
menyampaikan amanat-amanatnya.
Jalanan di sekitar kompleks keraton menjadi jalan utama bagi masyarakat umum yang hendak melakukan aktifitas sehari-hari seperti sekolah dan bekerja. Dinding benteng keraton (kiri) sebagai pemisah antara penghuni keraton dengan masyarakat di Surakarta.
Arca yang terdapat di salah satu sudut kompleks keraton merupakan peninggalan kerajaan jawa lama yang sangat dipengaruhi oleh ajaran Hindu. Meskipun pada akhirnya pengaruh islam meluas di Jawa Tengah, budaya dan peninggalan lama tersebut tidak hilang dan tetap dilestarikan.
Mereka yang Bertahan (2/3)
(atas) Marijem Kijahi Sagorowono adalah satu dari dua meriam yang berasal dari Eropa. Meriam ini dinamakan oleh Pakoe Boewono VII untuk memperingati secara simbolik berkurangnya kekuasaan dan kewenangan beliau atas pelabuhan dan hutan jati, yang diminta Belanda sebagai upah bantuan.
Keraton Surakarta pada masa kolonial merupakan salah satu kerajaan
yang memilih untuk berkompromi dengan pemerintah Belanda. Hal ini juga
berhubungan dengan sejarah hancurnya keraton mataram islam saat terjadi
pemberontakan. Pakubuwono II yang saat itu bertahta di Kartasura dibantu
oleh VOC (kongsi dagang Belanda) dalam menumpas pemberontakan. Akibat
keraton yang dianggap sudah tercemar oleh para pemberontak, Pakubuwono
II memindahkan keraton ke desa Sala di tepi Bengawan Solo yang saat ini
kita sebut keraton Surakarta.
Dari latar belakang tersebut, maka tak heran jika banyak peninggalan
benda bersejarahnya berasal dari luar negeri. Meskipun begitu, hal
tersebut tidak mengganggu budaya tradisional asli. Pada awal
kemerdekaan, keberadaan keraton ini membuat kota Surakarta (nama resmi
sebelum Solo) menjadi Daerah Istimewa. Namun, akibat terjadi beberapa
pemberontakan status tersebut dihapuskan dan Keraton Surakarta
Hadiningrat hanya menjadi pusat kebudayaan saja.
Jika diperhatikan dengan seksama, keseluruhan desain bangunan keraton
memiliki pola-pola bangunan dan tata letak keraton-keraton Jawa pada
umumnya, yaitu membujur dari utara ke selatan. Jika pengunjung masuk
dari alun-alun utara, maka akan melewati sebuah bangunan yang disebut
dengan Sasono Sumewo.
Setelah itu bisa dilanjutkan ke selatan untuk melihat sebuah bangunan
yang letaknya lebih tinggi dari bagian lainnya yang disebut dengan Siti
Hinggil, ini merupakan tempat duduk Sinuhun atau raja ketika merayakan
grebegan. Seterusnya para pengunjung akan melihat pintu-pintu (Kori)
yang memiliki nama seperti Kori Renteng (pertentangan hati), Kori Mangu
(ragu-ragu), dan Kori Brodjonolo (Brodjo:senjata tajam, Nolo: pikir).
(kiri) Panggung Sangga Buwana adalah menara bersegi delapan yang terdapat di kompleks Sri Manganti, keraton Surakarta. Pada masa Pakoe Boewono III, menara ini awalnya digunakan untuk mengintai pasukan Belanda. Ada juga sebuah mitos yang mengatakan bahwa menara ini merupakan tempat pertemuan raja-raja Surakarta dengan Nyai Roro Kidul, penguasa pantai selatan.
(atas) Kereta-kereta kencana pengangkut raja memiliki fungsi-fungsi yang berbeda. Kereta yang tertutup biasa digunakan raja untuk menjemput tamu agung. Sementara kereta terbuka digunakan untuk menyapa warga kota Solo ketika pawai. Kereta ini disimpan di museum Suaka Budaya Kasunanan Surakarta sebagai perlindungan peninggalan budaya yang bernilai tinggi.Teks dan Foto Oleh Rahmat Darmawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar