Jumat, 10 Februari 2012

Menumbuhkan (Kembali) Nasionalisme Melalui Nilai-Nilai Kearifan Lokal

Menumbuhkan (Kembali) Nasionalisme Melalui Nilai-Nilai Kearifan Lokal Buat halaman ini dalam format PDF Cetak halaman ini
Indria Samego
Anggota Majelis Profesor Riset LIPI, dengan spesialisasi pada Perkembangan Politik dan Pemikiran Pembangunan

Latar Belakang
   Tentu bukannya tanpa alasan bila kita, Bangsa Indonesia, memberi perhatian khusus terhadap seratus tahun hari kebangkitan Nasional, 20 Mei 1908-20 Mei 2008. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, peringatan yang menandai lahirnya gagasan kebangsaan Indonesia, tahun ini dirayakan secara semarak, bukan hanya oleh pemerintah, melainkan juga elemen masyarakat yang peduli terhadap sejumlah fenomena berikut:

   Pertama, perjalanan waktu satu abad, bukanlah sebuah perjalanan yang pendek. Kendati kemerdekaan Indonesia baru akan menginjak usia 63 tahun, 17 Agustus 2008 mendatang, proses menuju kemerdekaan 17 Agustus 1945 tidaklah terjadi secara cepat (overnight) dan tanpa biaya. Setidaknya dua generasi telah mengantarkan mimpi kebangsaan tersebut menjadi sebuah realita, yakni Generasi Boedi Oetomo 1908, dan Generasi Sumpah Pemuda 1928.  Barangkali sulit untuk mengingkari sebuah kenyataan sejarah bahwa upaya mewujudkan cita-cita merdeka, lepas dari kungkungan pemerintah kolonial, harus ditebus dengan berbagai macam pengorbanan, mulai dari tenaga, pikiran sampai ke jiwa para perintisnya. Sementara generasi penerus, para pendiri republik dan pemimpin selanjutnya, dengan caranya sendiri berjuang mengisi kemerdekaan dan membuktikan kepada negara-negara bekas penjajah, bahwa kita mampu untuk mendirikan pemerintahan sendiri, sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Dalam konteks inilah relevansi peringatan seratus tahun Kebangkitan Nasional itu memperoleh argumen historiknya.

   Kedua, dalam memasuki satu abad usia Kebangkitan Nasional sekarang, kita seolah berada di persimpangan jalan. Ternyata, perubahan yang kita alami tidaklah berlangsung secara linier. Alih-alih menjadi sebuah negara-bangsa yang kian solid, pertambahan usia republik ini belakangan dirasakan telah melahirkan kekhawatiran tersendiri. Hidupnya kembali gagasan separatis, fenomena kebebasan yang tak terkendali yang mewarnai dinamika politik akhir-akhir ini, banyak yang menduga sebagai pencerminan dari lunturnya semangat ke-Tunggal-an dan ke-Bhinneka-an, yang justru menjadi ciri negara bangsa Indonesia. Bila di masa-masa lalu, nasionalisme Indonesia kerap dijadikan etos perjuangan bangsa dalam menghadapi berbagai masalah baik yang datang dari luar maupun dalam negeri, sekarang seolah dilupakan. Karena kebebasan berpikir dan pengaruh teknologi informasi yang mampu menembus batas negara, sumber referensi sejarah kita masa lalu mulai ditinggalkan, dan digantikan oleh globalisme. Sebagai akibatnya, kita kehilangan lem perekat yang dapat mempersatukan segenap enerji negara-bangsa, tanpa mempedulikan latar belakang sosial dan berbagai perbedaan yang ada.

   Ketiga, di masa pemerintahan Presiden Soeharto, lem perekat tersebut direkayasa dari “atas” dengan menggunakan sistem komando yang jelas. Demi stabilitas nasional, segala kemajemukan ditolerir sejauh mendukung paradigma pemerintah tersebut. Sebaliknya, pemerintah senantiasa bertindak tegas dalam menghadapi berbagai tafsir keragaman yang berasal dari luar pemerintah. Termasuk keberadaan nilai-nilai kearifan lokal pun, dinafikkan demi terselenggaranya pemerintahan yang efektif dan pembangunan. Sebagai konsekuensinya, kesatuan terlihat lebih menonjol, ketimbang persatuan. Demi membangun harmoni politik dan kesinambungan pemerintahan, nilai-nilai lokal, searif apa pun, diperlakukan secara lebih kritis, dan pada gilirannya dimarjinalkan dalam proses bernegara. Padahal, semua mengetahui bahwa bangsa Indonesia lahir atas dasar kesepakatan berbagai nilai, baik yang bersifat sentripetal (pusat) maupun sentrifugal (daerah). Dengan demikian, abai terhadap nilai lokal berarti melawan kodrat kita sebagai negara bangsa.

   Karena ketiga pemikiran di atas itulah maka dalam memperingati seratus tahun Hari Kebangkitan Nasional, kita perlu memikirkan ulang esensi –lebih tepatnya lagi adalah– kontekstualisasi nasionalisme Indonesia di satu pihak, dan nilai-nilai kearifan lokal di pihak lain. Sebagaimana judul tulisan ini terakan, pembahasan selanjutnya akan difokuskan pada relevansi keduanya bagi pencapaian cita-cita kebangsaan Indonesia sebagaimana ditekankan kembali oleh Presiden SBY dalam Pidato Harkitnas-nya 20 Mei yang lalu, yakni Kemandirian bangsa, Peningkatan Daya saing, dan Membangun Peradaban.

   Kita semua berharap agar ketiga tujuan tersebut tidak berhenti pada mimpi, melainkan menjadi kenyataan. Kita berharap juga agar peringatan ini bukan sekedar ritual yang menghabiskan enerji dan dana yang tidak sedikit, melainkan menjadi sumber inspirasi seluruh bangsa, terutama para pemimpin, baik di pusat maupun daerah, untuk lebih mengutamakan kepentingan negara-bangsa ketimbang kepentingan sendiri.

Kontekstualisasi Nasionalisme
   Pada era perang kemerdekaan dan masa-masa awal republik ini lahir, wawasan kebangsaan (nationness) dan ke-Indonesia-an diwujudkan oleh para pendiri republik dalam bentuk perang melawan penjajah (asing). Apakah Belanda, Inggris atau pun Jepang, akan dianggap sebagai musuh bersama bila ketiga negara kolonial itu berusaha kembali menguasai tanah air Indonesia. Hanya dengan modal wawasan kebangsaan itulah Indonesia bisa dipersatukan. Dengan itu pula Indonesia lahir menjadi sebuah Negara Baru (New Emerging Forces-Nefos) yang ingin dihargai sederajat dengan Negara-Negara Lama (Old Emerging Forces-Oldefos) yang sebelumnya menguasai seluruh jagat ini. Sampai dengan berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno, relevansi pengaktualan wawasan kebangsaan dan ke-Indonesia-an masih sering dimunculkan dalam semangat “nation and character building”, yang anti asing terutama negara bekas penjajah dengan segala macam antek-anteknya. Ungkapan Presiden Soekarno yang sangat terkenal “go to hell with your aid” menjadi bukti abadi dari betapa jelasnya pilihan politik luar negeri Indonesia saat itu. Bantuan dari negara mana pun ditolaknya bila harus ditukar dengan pendiktean mereka terhadap Indonesia.

   Ketika Orde Baru lahir, kita mulai melakukan pilihan-pilihan rasional (rational choices) dan menyeleksi terhadap apa yang disebut dengan asing. Sejauh memberi manfaat kepada pembangunan, kehadiran mereka kita terima. Dibukanya UU No 1/1967 mengenai Penanaman Modal Asing, merupakan salah satu wujud dari proses seleksi di atas. Bagi seorang pengamat Indonesia dari Australia, Jamie Mackie, pilihan sikap politik luar negeri semacam itu dianggapnya sebagai awal dari pragmatism kita. Menurut dia, demi mengamankan program pembangunan, pemerintahan Presiden Soeharto tidak lagi berpegang pada idealisme lama. Sejauh memberi kontribusi terhadap proses penanaman modal, dan kehadiran unsur asing di sini dianggap sebagai sesuatu yang positif, serta tak akan mengganggu ke-Indonesia-an kita. Karena begitu besarnya pengaruh asing dalam era Orde Baru, Soedjatmoko kemudian memberi alasan pembenar dengan mengatakan perlunya nasionalisme pembangunan. Dengan kata lain, ukuran dari “nation and character building pada era Orde Baru adalah “pembangunan”. Sebuah proses perubahan berencana (planned changes) dan direncanakan oleh pemerintahan yang teknokratik.

   Kini, ketika konsep pembangunan mulai mengalami banyak distorsi dalam praktiknya, dan Perang Dingin tidak lagi mewarnai politik internasional, bagaimana kita hendak mengaktualkan wawasan kebangsaan dan ke-Indonesia-an di atas. Masalahnya, banyak di antara kita yang sering terkaget-kaget dengan perkembangan mutakhir yang nampaknya lebih memperkuat globalisme ketimbang nasionalisme. Sampai-sampai ada tulisan Jakob Soemardjo -seorang sastrawan senior- yang merasa khawatir, jangan-jangan Sumpah Pemuda kita sekarang adalah “Dunia tanah airku, kemanusiaan adalah kebangsaanku, dan Bahasa Inggris atau Amerika adalah bahasaku”.3

   Sumpah Pemuda adalah satu hal, namun hal lain yang tak kalah pentingnya adalah substansi dan hakikatnya. Kekhawatiran akan semakin lunturnya kecintaan terhadap kebangsaan dan ke-Indonesia-an di kalangan masyarakat kita sekarang, bisa jadi merupakan peringatan awal dari kecenderungan yang menafikan perjuangan para pendahulu dalam menyusun sebuah republik yang diberi nama Indonesia. Apalagi bila ukuran ini dipadankan dengan bagaimana sebagian dari kita sekarang memahami budaya sendiri dibandingkan dengan mencangkok gaya hidup kosmopolitan, maka akan semakin pesimis pula di dalam memandang kualitas wawasan kebangsaan dan ke-Indonesia-an sekarang. Apalagi dengan makin gencarnya penguasaan asing atas aset-aset ekonomi kita, sangat beralasan bila kemudian muncul kepedulian untuk mengaktualkan persoalan ini. Barangkali, ke sanalah perhatian kita diarahkan, dan tulisan ini ingin melihatnya dari perspektif politik.

Kekuatan Pendorong
   Kebangsaan (nationality atau nationness)4 dan Ke-Indonesia-an, belakangan menjadi dua buah konsep yang semakin menarik untuk dibahas secara lebih mendalam. Bahkan lebih dari itu, karena tak terpisahkannya makna keduanya dalam sejarah perkembangan republik ini, maka karena dua alasan –setidaknya dari sisi politik– konsep kebangsaan dan ke-Indonesia-an akan tetap relevan dan perlu terus disegarkan.

   Pertama, dari perspektif teoritik, memang ada keperluan yang sifatnya terus-menerus untuk memperkaya wacana politik (political discourse) kebangsaan ini. Apakah masih punya dasar-dasar empirik bagi para teoritisi untuk menggunakan kesamaan nasib, kesamaan budaya, kesamaan musuh dan kesamaan visi sebagai semen perekat kebangsaan kontemporer? Sebagaimana pengertian nasionalisme pernah diajarkan Ernest Renan di masa lalu, tanpa kesemuanya itu, mustahil lahir sebuah gerakan kebangsaan yang kemudian mampu mengusir penjajah dan melahirkan sebuah negara baru yang bebas dari penjajahan.

   Dengan kata lain, nasionalisme harus ditafsirkan sebagai sebuah kekuatan inklusif dan membebaskan. Dengannya, menurut Anthony Smith, segala bentuk-bentuk lokalitas wilayah, dialek, adat istiadat dan klan terpinggirkan. Atas nama nasionalisme, terbentuklah sebuah negara bangsa yang besar, yang mampu memusatkan pasar, sistem administrasi, perpajakan, dan pendidikan. Semangatnya adalah kerakyatan dan demokratik. Melalui nasionalismelah segala bentuk sistem nilai yang feodalistik dan kekuatan penjajah yang opresif dijungkirkan. Nasionalisme, pada gilirannya akan menjadi modal bagi lahirnya kedaulatan rakyat serta penentuan nasib mereka secara independen. Oleh karenanya nasionalisme di abad ke-19 dan 20-an dimanifestasikan dalam gerakan elit pribumi melawan penguasa kolonial serta berbagai sistem administrasi yang mendukungnya. Dalam konteks inilah relevansi peringatan dini sementara pihak terhadap gejala kontemporer yang dianggapnya membahayakan persatuan dan kesatuan. Karena makin berkembangnya kecenderungan “Sumpah Pemuda“ baru di atas, kita perlu menyegarkannya kembali. Apalagi bila hampir seluruh elemen kehidupan kita telah digantikan oleh asing, maka tidak berlebihan pula jika ada yang mempertanyakan sejauh mana wawasan kebangsaan dan ke-Indonesia-an masih kita miliki?

   Dari perspektif teoritik, sebenarnya ada penjelasan lain yang lebih menarik ketimbang perspektif “nasionalisme resmi” (official nationalism) di atas. Sebagaimana secara panjang lebar dan menarik diuraikan oleh Anthony D. Smith dalam bukunya Nationalism and Modernism (Routledge, New York, 1998) , bahwa teori nasionalisme mengalami perkembangan dari masa ke masa dan tergantung pendekatan apa yang digunakan. Pandangan yang mengatakan bahwa bangsa adalah sebuah entitas yang konkrit, yang didasarkan pada latar sejarah dan kehidupan sosial, masyarakatnya homogen dan bersatu, serta mencerminkan aktor sosial dan politik utama dalam dunia modern, dalam tiga puluh tahun terakhir ini, nampaknya tidak lagi dapat dipertahankan. Apalagi setelah Perang Dingin berakhir, basis empiriknya semakin hilang. Negara Uni Soviet, Yugoslavia telah berkeping-keping menjadi negara-negara kecil yang masing-masing memiliki kedaulatan. Banyak negara baru lahir didasarkan pada pertimbangan etnisitas (ethno-nationalism) atau agama (religio-nationalism).

   Sejak memasuki dasawarsa 1970-an, pikiran-pikiran optimistik dan realis tentang bangsa dan kebangsaan mulai mencair. Meskipun muncul perbedaan di kalangan para teoritisi, yang pasti mereka mengakui adanya kekuatan psikologis dan kenyataan sosiologis tentang bangsa dan negara bangsa. Oleh karenanya, diperlukan sebuah upaya baru untuk membangun bangsa melalui cara-cara dalam berkomunikasi, urbanisasi, pendidikan massal, dan partisipasi politik. Yang diperlukan kemudian adalah sebuah proses pelembagaan (institutionalization). Yang mesti dikembangkan adalah bagaimana agar proses pembangunan nasional dapat melahirkan keseimbangan, pemerataan, dan pertumbuhan ekonomi, memberi keleluasaan terhadap partisipasi masyarakat, bukan monopoli oleh kekuatan tertentu, mendukung proses komunikasi dan membuka ruang publik, mendorong munculnya pemerintah yang terorganisasi dengan baik dan sangat responsif, serta mempercepat lahirnya elit yang matang dan fleksibel dalam berpolitik.

   Pikiran baru mengenai nasionalisme di atas mengindikasikan bahwa monopoli interpretasi dan sentralisasi pengertian tentang nasionalisme harus digantikan oleh demokratisasi pemahaman secara lebih substansial. Karena nasionalisme adalah “komunitas politik yang dibayangkan” (imagined political communities), maka perlu ada sharing of ideas dan bahkan socio-political sharing antar berbagai masyarakat pendukungnya (fellow-members). Tanpa itu semua, jangan heran bila eksistensi nasionalisme akan terganggu, dan pada gilirannya “temuan” (invent) itu akan hilang. Apalagi untuk negara bangsa sebesar dan sekompleks Indonesia sekarang, “justice sharing” (pembagian yang berkeadilan) antara berbagai elemen bangsa dan daerah menjadi sebuah keharusan. Karena kemajemukan (bhinneka) menjadi dasar dari kesatuan (Ika), menjadi mutlak sifatnya bagi siapa pun untuk memberi perhatian kepada keadilan –baik dalam bentuk maupun substansinya– antar golongan, antar agama, antar suku, antar wilayah, antar gender, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, nasionalisme Indonesia hanya dapat dikontekstualkan apabila kita semua memperhatikan peran berbagai nilai-nilai lokal di dalamnya. Dengan mempercayai (trust) peran nilai-nilai lokal tersebut, berarti kita telah menemukan kembali “modal sosial” (social capital) – yang menjadikan negara bangsa ini lahir dan terus bertahan sampai sekarang.5

   Dengan merujuk pada berbagai perkembangan empirik mengenai tumbuhnya negara-negara baru dalam beberapa dekade terakhir ini, munculah keperluan teoritik untuk dapat mengakui adanya perspektif atau paradigm non-mainstream tentang asal-muasal, hakikat dan kecenderungan nationalism yang selama ini dianut. Dengan kata lain, di samping mendiskusikan sejauh mana paradigma Modernisme Klasik tentang nasionalisme masih memiliki dasar-dasar untuk diikuti, juga perlu memperhitungkan nasionalisme dalam perspektif yang lain. Sebab, dalam kenyataannya, ada tiga persoalan mendasar yang mendominasi teori bangsa dan kebangsaan ini.

   Pertama, etik dan filosofis. Teori inilah yang menekankan arti penting bangsa dalam masalah kemanusiaan. Apakah bangsa sebagai tujuan atau harus ditafsirkan bersama nilai-nilai yang lain. Atau haruskah bangsa dan identitas bangsa sebagai sarana untuk mencapai tujuan atau nilai yang lain.

   Kedua, antropologis dan politis. Teori ini mempersoalkan batasan pengertian tentang bangsa. Bagaimana bangsa hendak didefinisikan, apa hubungannya dengan individu dan masyarakat.

   Ketiga, historikal dan sosiologis. Pendekatan ini menekankan pentingnya posisi bangsa dalam sejarah kemanusiaan. Ikatan sejarah dan budaya menjadi semen perekat utama bangsa.

   Paradigma yang meniscayakan pentingnya “nation building” ini, tentu saja tidak keliru dari perspektif teoritik dan apalagi praksis-pragmatik. Namun tidak boleh juga dianggap sebagai memiliki kebenaran mutlak. Sebagaimana tradisi yang berlaku dalam masyarakat akademik, apa yang disebut contending theory atau teori tandingan, mesti dianggap sebagai sebuah keniscayaan. Dalam konteks bangsa dan wawasan kebangsaan inilah, kita dihadapkan pada dua paradigma utama yang masing-masing memiliki landasan empirik yang cukup kuat. Pertama, paradigm Perennialism (nation building) yang lebih menekankan pada komunitas budaya, immemorial, berakar, organik, kualitas, kerakyatan dan turun temurun (ancestrally-based). Kedua, teori Modernism. Perspektif ini lebih menekankan pada komunitas politik, modern, diciptakan, mekanistik, terbagi, sumber daya, konstruksi elit dan basisnya komunikasi.

   Kedua, secara empirik, Indonesia kontemporer adalah Indonesia yang tidak mungkin lagi dapat membebaskan dirinya dari pengaruh globalisme. Suka atau tidak, karena begitu pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, tidak ada bagian dari wilayah Republik Indonesia yang tidak tersentuh olehnya. Sejak diperkenalkannya jaringan sistem komunikasi satelit domestik (SKSD) pada akhir dasawarsa 1970-an, hubungan antar wilayah lewat jaringan tersebut kian dipermudah. Memasuki dasawarsa 1990-an dan sesudahnya, tingkat kemudahan berkomunikasi semakin dirasakan secara signifikan. Bukan hanya antar kota besar, melainkan juga sampai ke pelosok-pelosok wilayah terpencil di seluruh Indonesia, telah dihubungkan oleh berbagai penyedia jaringan telepon. Dari waktu ke waktu, kecepatan dan kualitas berkomunikasi semakin ditingkatkan. Operator telepon nirkabel, sudah bukan lagi menjadi mimpi masyarakat di pedesaan. Bila sampai dengan 1980-an, untuk mendapatkan sambungan telepon dengan kualitas yang baik saja masih sulit, sekarang, asal ada uang, siapa pun dapat mengakses dan menggunakan telepon seluler dan internet secara bebas.

   Pada tingkat yang tidak jauh berbeda, kebebasan pun dirasakan oleh siapa pun yang ingin menonton siaran televisi. Sampai dengan 1980-an, dominasi televisi milik pemerintah (TVRI) masih sangat jelas. Mulai dari pemilikan stasiun  televisi, maupun pengembangan programnya, sangat dimonopoli oleh pemerintah. Kendati saat itu sudah mulai dibuka kesempatan bagi pihak swasta untuk mengembangkan stasiun televisi, mereka tidak memiliki kebebasan untuk membuat berita. Masyarakat penonton TVRI sangat hafal dengan dua program berita di malam hari, yang pertama adalah “Berita Pembangunan” yang disiarkan pada pukul 19.00 wib, dan kedua “Dunia dalam Berita”, muncul dua jam kemudian. Belakangan, dengan semakin membaiknya jaringan komunikasi dan bergulirnya reformasi politik, masyarakat memiliki banyak pilihan untuk menonton televisi. Bagi yang memiliki kemampuan untuk mengakses televisi berlangganan (paid tv), bisa jadi akan lebih banyak menonton siaran internasional ketimbang nasional. Bahkan bila diperhatikan lebih mendalam lagi, kendati disiarkan oleh televisi nasional, materi acaranya tidak lagi terpaku pada ke-Indonesia-an, melainkan sudah menjangkau seluruh dunia. Pertimbangannya bukan lagi pendidikan kebangsaan, melainkan seberapa jauh materi tersebut memiliki nilai jual.

   Dalam bidang ekonomi, Indonesia telah menjadi bagian dari pasar global. Bersamaan dengan tingkat kemajuan di dunia komunikasi tersebut di atas, pasar pun tidak lagi mengenal batas-batas ideologis dan wilayah secara jelas. Apalagi setelah Perang Dingin berakhir, dan Kubu Komunis tidak lagi menjadi penghambat Kubu Kapitalis, maka bahasa dan logika pasarlah yang menentukan peradaban dunia sekarang. Ditambah dengan makin mudahnya sarana transportasi, maka jarak bukan lagi faktor krusial sekarang. Konsep “pembeli adalah raja”, dewasa ini telah digantikan oleh “penjaja adalah raja”. Kedaulatan konsumen yang merupakan salah satu norma yang diyakini para ekonom murni di masa lalu, sekarang tidak terlalu mudah untuk dikenali. Dengan segala kemampuan yang dimilikinya, penjaja mampu menentukan selera konsumen. Bahkan lebih dari itu, negara pun kian berkurang perannya dibandingkan para aktor ekonomi pasar sekarang. Karena diberlakukannya berbagai ketentuan rezim internasional dan rezim pasar bebas, maka intervensi politik dalam mekanisme pasar sungguh-sungguh dijauhi. Lebih tragis lagi adalah bahwa pasar, dengan segala macam keunggulannya, dan sistem kapitalistik dengan berbagai kelebihannya, belakangan telah menjadi penentu utama politik internasional. Karena tiadanya pelaku pasar lain yang kuat, ekonomi pasar telah benar-benar menguasai jagad raya sekarang. Negara dan aturan yang sebelumnya sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat, sekarang digantikan oleh berbagai idiom yang merepresentasikan pasar. Sumber nilai masyarakat sebagian besar juga berasal dari sana. Uang dan kepuasan menjadi nyawa baru kehidupan abad ini. Berbagai norma dan ideologi lain yang kurang konkrit, menjadi norma yang makin obsolete, dan kemudian ditinggalkan penganutnya. Termasuk konsep nation and nationality, atau nationness, menghadapi tantangan yang tidak kecil.

   Karena pemikiran dan praksis seperti dikemukakan di atas, maka sungguh layak bila kita kemudian mempersoalkan tema seminar sebagaimana dijadikan judul tulisan ini. Betapa tidak, bila di masa lalu, pemerintah masih sangat berperanan dalam proses pembentukan negara ini, sekarang, pemerintah dihadapkan pada berbagai kesulitan. Pertama, sumber daya politik dan ekonomi pemerintah sendiri makin lama makin berkurang. Pemerintah kian menghadapi kesulitan untuk memobilisasi dukungan masyarakat karena terjadinya ketimpangan antara kemampuan dengan tuntutan publik. Sesuai dengan ideologi ekonomi kita, pemerintah mestinya mampu menjadi sebuah lembaga yang mengatur kesejahteraan sosial. Namun dalam kenyataannya, terutama sejak krisis moneter pertengahan 1990-an sampai sekarang, pemerintah semakin tidak berdaya menghadapi tuntutan pembangunan. Bila di masa lalu pemerintah banyak mensubsidi masyarakat, sekarang sebaliknya, masyarakatlah yang harus melakukannya.

   Kedua, lemahnya sumber daya pemerintah untuk merespon harapan masyarakat dipersulit oleh makin kompleksnya tantangan yang dihadapi pemerintah sekarang. Proses demokratisasi yang memakan waktu dan mahal, telah menuntut pemerintah untuk lebih memperhatikan proses politik ini ketimbang proses-proses non-politik. Mulai dari pengembangan peran serta masyarakat, pelembagaan organisasi, pemilihan umum sampai dengan proses lobby-lobby politik, semuanya memerlukan anggaran yang tidak kecil. Tragisnya lagi, korupsi pun bukannya semakin berkurang dengan adanya pengawasan independen, justru sebaliknya. Sampai tulisan ini dibuat, posisi Indonesia dalam bidang yang satu ini, masih tetap menduduki kelompok lima besar dunia. Ditambah lagi dengan tragedi bencana alam yang datang silih berganti, semuanya memerlukan dana publik yang juga tidak sedikit. Sebagai akibatnya, harapan masyarakat luas untuk mendapat santunan pemerintah kian sulit direalisasi. Pada gilirannya, para elit politik menikmati hasil reformasi, sementara masyarakat luas kian jauh dari pelayanan. Tidak terlalu mengherankan bila kemudian kepercayaan masyarakat baik terhadap hukum dan lembaga negara semakin menyusut.

   Ketiga, globalisasi ekonomi telah berdampak luas terhadap perubahan ekonomi di dalam negeri. Meski pun pemerintah tetap berusaha untuk menjalankan perannya, pengaruhnya kian terpinggirkan oleh keniscayaan nilai yang dibawa bersamaan dengan masuknya pasar bebas dalam kehidupan masyarakat kita. Bila di masa lalu, negara masih memiliki monopoli dan pengaruh yang kuat dalam menentukan perubahan masyarakat, sekarang tidak lagi.  
 
   Orientasi pada pasar, telah melahirkan persaingan secara bebas, yang akhirnya si besar makan si kecil, privatisasi Badan Usaha Milik Negara telah menghilangkan otoritas pemerintah dalam menciptakan kesejahteraan warganya.  Karena reformasi pula maka tatanan hukum yang dianggap sudah mapan selama ini, menjadi goyah. Munculnya interpretasi hukum secara kontekstual, telah menjungkir-balikkan norma lama yang dianggap tidak lagi menzaman. Karena ketentuan perundangan yang baru belum ada, sementara aturan yang lama ditolak, kepastian hukum menjadi sebuah komoditas yang amat langka. Akibatnya, interpretasi sepihak telah menjadi sebuah instrumen perubahan. Pada gilirannya, kebimbangan terlihat jauh lebih menonjol ketimbang kepastian hukum.

Konsekuensi Empirik
   Di dalam negeri, kita bisa saja terus mengidealisasikan ke-Indonesia-an. Jati diri bangsa, atau “manusia Indonesia seutuhnya” barangkali masih relevan untuk dipertahankan sebagai semangat bernegara. Pancasila juga mesti dipertahankan sebagai sebuah ideologi yang mendasari persatuan antar berbagai perbedaan yang ada di Indonesia.

   Namun, ada dua hal yang mesti direnungkan oleh kita semua di dalam mengidealisasikan ke-Indonesia-an di atas. Pertama, berkat perkembangan pendidikan, semakin banyak anggota masyarakat Indonesia yang mengalami peningkatan harapan dan sikap kritis. Di jaman penjajahan dulu saja, Pemerintah Kolonial Belanda memperkenalkan “Politik Etika” yang dimaksudkan untuk “membalas budi” kepada rakyat di tanah jajahan yang selama sekian waktu dieksploitasi. Pendekatan semacam ini pula yang mestinya direalisasikan oleh Pemerintah untuk mencegah adanya kemarahan publik. Pemerintah mestinya segera mewujudkan gagasan pemerataan ekonomi dan stabilitas politik dalam arti yang sesungguhnya –termasuk penghargaan terhadap kearifan local (local wisdom) di dalamnya– bukan retorika semata. Sayang sekali, sampai dengan pelaksanaan Pembangunan Lima Tahun yang kelima (1989-1994), kenyataan di dalam negeri semakin sulit digunakan untuk mendukung kepemimpinan Presiden Soeharto. Perekonomian kian terpuruk, penegakan hukum semakin lemah, hutang luar negeri bertambah besar, daya saing Indonesia berkurang di pasar global, stabilitas politik sangat semu, hanya di permukaan saja.

   Kedua, dalam rangka menjaga identitas ke- Indonesia-an tersebut kita pun tidak mungkin mengabaikan adanya perkembangan lingkungan yang secara sistemik dan strategik mempengaruhi tujuan bersama kita (common destiny). Kemerdekaan Indonesia pun lahir karena adanya perkembangan nasionalisme di luar kita. Jadi sama halnya dengan pengalaman para bapak bangsa (founding fathers) Indonesia ketika membayangkan pentingnya nasionalisme dan kemerdekaan negara-bangsa di masa lalu, kita pun harus selalu sadar terhadap berbagai pengaruh yang ada di sekitar Indonesia. Bahkan bila diamati lebih obyektif lagi, pengaruh luar tersebut telah menimbulkan dampak yang lebih kompleks dibandingkan nasionalisme di masa lalu. Bila nasionalisme di masa lalu telah memperkuat persatuan kita di dalam menghadapi musuh bersama, kekuatan eksternal sekarang justru memperlemah persatuan nasional. Berkat revolusi teknologi, terutama di bidang informasi dan komunikasi, batas-batas negara menjadi tidak relevan lagi. Netralitas teknologi telah merambah berbagai kultur masyarakat di seluruh belahan dunia ini. Kecenderungan pasar bebas, telah mewarnai hubungan internasional mutakhir. Demokrasi liberal, menjadi sebuah wacana yang kian luas dijajakan. Hak Azasi Manusia (HAM) dan persoalan Lingkungan Hidup telah muncul sebagai “ideologi baru” yang merekatkan hubungan antara “Timur” dan “Barat”.  Sayang sekali bahwa keseluruhan persoalan di atas –kelak akan dibahas lebih detail lagi– kurang ditanggapi secara empirik (nyata) oleh negara di masa lalu.

   Memang, Presiden Soeharto di masa lalu sering mengingatkan “suka atau tidak suka, siap atau tidak siap, globalisasi akan datang dan mempengaruhi perkembangan negara dan bangsa kita”. Oleh karena itu, pada masa itu, negara memperkenalkan “Kebangkitan Nasional Kedua” yang diharapkan dapat mengakomodasi perkembangan mutakhir, di samping melestarikan negara bangsa Indonesia, di satu pihak, di pihak lain, adalah mengakomodasi pengaruh global yang maha dahsyat tersebut. Bila para pendiri republik di masa lalu mengikrarkan “Kebangkitan Nasional Pertama” sebagai dasar bagi lahirnya kemerdekaan Indonesia, maka kita sekarang perlu mensosialisasikan “Kebangkitan Nasional Kedua” yang tujuannya adalah “menempatkan bangsa dan negara Indonesia yang merdeka sejajar dengan bangsa-bangsa dalam hal kemakmuran, kemajuan, kesejahteraan dan karena itu pula dalam usaha mencerdaskan bangsa, sehingga dapat menguasai iptek, dapat memproduksi barang dan jasa yang kompetitif”.6

   Akan tetapi, apa yang disebut sebagai Kebangkitan Nasional Kedua itu ternyata tidak lebih dari sekedar pidato, yang kurang didukung oleh usaha-usaha nyata. Sebagaimana sudah menjadi pengetahuan kita bersama, jatuhnya kekuasaan Presiden Soeharto disebabkan oleh kian lemahnya sumber legitimasi Pemerintah Orde Baru. Dalam lima Pelita sebelumnya, pemerintah masih kuat bertahan karena pemerintah dapat menunjukkan adanya proses pembangunan di seluruh penjuru tanah air. Walau pun politik sentralisme dan Jakarta masih tetap menjadi pusat dari segala-galanya, sebagian besar opini publik masih mendukung kepemimpinan Presiden Soeharto. Namun, ketika peran pemerintah dalam pembangunan kian berkurang, dan pihak swasta yang ada mulai menyalahgunakan kepercayaan pemerintah yang dibuktikan oleh semakin besarnya hutang mereka serta hutang swasta yang dinegarakan, fundamental ekonomi Indonesia semakin rapuh, mulai muncul tuntutan terhadap perlunya perubahan struktur di republik ini. Ekspor Indonesia terus merosot, sebaliknya impornya meningkat. Nilai tukar mata uang Rupiah melemah dibandingkan mata uang asing. Perusahaan nasional semakin mengalami kesulitan dalam menghadapi persaingan pasar global. Pengangguran marak di mana-mana, dan hubungan antar daerah menjadi kian timpang. Pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta penegakan hukum tidak berjalan sesuai dengan harapan publik. Kesmua persoalan tersebut telah memperkuat basis bagi perubahan secara mendasar di dalam penyelenggaraan negara di tanah air. Dan, 21 Mei 1998 menjadi klimaks dari kegagalan Presiden Soeharto untuk mempertahankan kekuasaannya.

   Lemahnya basis dukungan politik rakyat terhadap Pemerintah Soeharto semakin diperberat oleh adanya dampak globalisasi yang yang dibawa serta oleh adanya kemajuan teknologi informasi dan sistem pasar dunia yang pada hakikatnya tidak sesuai dengan kenyataan di Indonesia. Sebagai akibatnya, yang terjadi kemudian adalah sebuah proses “penjajahan” budaya global terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia.

   Dalam bidang teknologi informasi, kita semua sepakat bahwa teknologi komputer sekarang telah dijadikan pengganti mesin tik dan alat tulis apa pun yang selama ini digunakan. Dari waktu ke waktu, teknologinya berganti begitu cepat, dan kita pun tak luput harus mengikutinya. Karena informasi telah menjadi kebutuhan hidup, maka revolusi di bidang ini mesti kita ikuti. Pengembangan lebih lanjut darinya adalah kemungkinan bagi pengguna komputer untuk menjadikannya sebagai alat komunikasi dan penyalur informasi pribadi ke segala penjuru dunia, tanpa mempersoalkan latar belakang budaya, agam, ras, gender, tingkat ekonomi, dan ideologi. Melalui teknologi informasi yang tersedia sekarang kita dapat “ngrumpi” secara bebas dan kapan saja. Bila di masa pra-komputer, “ngrumpi” dipandang sebagai salah satu ciri masyarakat desa, sekarang tidak lagi. Justru sebaliknya orang-orang kota yang terdidik pun telah melakukannya. Oleh karena itu, tidak terlalu mengherankan bila Marshall McLuhan, mengatakan gejala semacam ini pada akhirnya akan melahirkan sebuah “desa dunia” (global village). Hubungan internasional, bukan lagi milik pemerintah, terutama Departemen Luar Negeri, tapi sudah menjadi kebutuhan pribadi. Pelakunya pun sangat beragam, mulai dari kepala negara sampai rakyat jelata sekali pun. Subyek yang dibicarakannya juga tidak mesti yang berkaitan dengan tugas-tugas negara dan pemerintahan, melainkan kebutuhan semua orang, mulai dari pikiran yang mendukung negara sampai ke revolusi dan terorisme.

   Globalisasi ekonomi merupakan elemen lain dari kecenderungan internasional sekarang. Sebelum Perang Dingin antara Blok AS dan US berakhir sekitar akhir 1980-an, ada dua model sistem ekonomi yang dapat dijadikan negara baru, termasuk Indonesia untuk menyelenggarakan kehidupan ekonomi nasionalnya, yakni sistem ekonomi liberal atau pasar bebas yang merupakan ciri dari perekonomian negara-negara industri maju Barat, dan sistem ekonomi yang sentralistik atau sosialis, yang biasanya dianut oleh negara-negara Blok Komunis. Namun, sejak memasuki 1990-an, sebagai kelanjutan dari runtuhnya tembok komunisme, masyarakat dunia berpaling ke Blok Barat, dan menganggap sistem ekonomi pasarlah yang mampu menciptakan kesejahteraan bangsa. Melalui bantuan luar negeri dan iklan produk kapitalisme, negara-negara industri Barat, telah mampu mempengaruhi pasar dunia. Berbagai bentuk kerjasama dan perdagangan internasional serta regional didirikan. Semuanya telah dijadikan instrumen yang sangat efektif di dalam menjajakan sistem ekonomi alternatif tersebut. Sebagai akibatnya, sebagian besar negara dan masyarakat internasional, termasuk Indonesia, sekarang berpaling kepada sistem ekonomi dunia yang baru ini.

   Sementara dalam bidang sosial budaya, globalisasi telah mampu menciptakan penyeragaman gaya hidup. Pragmatisme dan konsumerisme merupakan dampak yang paling kasat mata dari perkembangan budaya masyarakat dunia. Sebagai akibat dari kemajuan di bidang teknologi informasi, khususnya periklanan, kecenderungan untuk memproduksi sekarang kalah cepat dibandingkan untuk mengkonsumsi. Peran dari perusahaan multinasional yang mampu dengan cepat dan massal menawarkan produknya, telah menggusur kesadaran kolektif akan perlunya nasionalisme ekonomi atau bahkan jati diri bangsa. Demi mengikuti perkembangan gaya hidup global, kerja keras dan kesederhanaan diabaikan. Khawatir dituduh tidak “trendy” dan bukan menjadi warga internasional, semangat untuk mencipta di sebagian besar negara dunia sekarang, dianggap bukan lagi persoalan yang sangat penting.

   Dari segi politik, globalisasi dibuktikan lewat penyeragaman sistem penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demokrasi liberal sebagai standarnya, negara-negara industri maju berusaha untuk mendikte negara mana pun yang berharap dapat memperoleh hikmah dari segala macam kemajuan di atas. Dewasa ini, tidak satu negara bebas di dunia ini yang tidak berkenalan dengan demokrasi dan pasar bebas. Bank Dunia, Internasional Monetary Fund, World Trade Organization, Organisasi Kerjasama Ekonomi Regional, dan bahkan PBB, telah berfungsi sangat efektif di dalam mensosialisasikan gagasan-gagasan kebebasan di seluruh dunia. Meskipun bentuk negara merdeka masih dihargai, namun dari segi politik, kedaulatannya sudah kian rentan. Konsep pertahan wilayah atau pun negara sekarang menjadi semakin relatif sifatnya. Keichi Ohmae menafsirkan kecenderungan global seperti ini sebagai “dunia tanpa batas” (borderless world). Sedangkan Immanuel Walerstein menyebutnya sebagai “sistem dunia” (world system) yang tandai oleh adanya “global shopping centre”.

Opsi Kebijakan
   Menghadapi perkembangan politik nasional dan politik global di atas serta pengaruhnya terhadap pengembangan wawasan kebangsaan dan ke-Indonesia-an kontemporer, apa yang mesti kita lakukan? Sembilan tahun sudah era reformasi kita gulirkan. Empat Presiden telah memimpin Indonesia di era reformasi. Semuanya dihadapkan pada lingkungan dan sistem nilai yang jauh berbeda dengan dua presiden Indonesia terdahulu, Soekarno dan Soeharto. Sejak awal sangat disadari bahwa krisis yang melanda negeri ini adalah sejumlah faktor multidimensi sebagaimana disebutkan terdahulu. Artinya, ada keharusan bagi siapa pun yang menjadi nahkoda di Republik Indonesia selanjutnya, untuk secara sistemik dan bertahap mampu membawa negara ini sesuai dengan cita-cita reformasi, di satu pihak, dan mengakomodasi kemajuan dunia di pihak lain. Sehingga, pada gilirannya, negara kita akan menjadi sebuah negara besar yang patut disejajarkan dengan negara-negara lain di seluruh dunia, terhormat, modern, dan sejahtera.

   Di dalam negeri, perbedaan yang ada hendaknya dapat lebih diarahkan untuk membangun kebersamaan di antara seluruh komponen bangsa, baik di pusat maupun daerah dan antar daerah, serta antar golongan. Jangan seperti sekarang, yang menonjol adalah pertikaian, bukan rekonsiliasi. Berkah reformasi, sentralisme politik digantikan oleh desentralisme. Kekuatan politik dewasa ini tidak lagi dimonopoli oleh negara, melainkan sudah menyebar ke masyarakat, baik di partai politik, organisasi massa, maupun pers dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, tidak lagi bersifat “top-down”, melainkan “bottom-up”. Akan tetapi, fragmentasi pusat kekuasaan di atas, telah menyuburkan konflik dan perseteruan yang tidak kunjung henti, bukan justru membangun kemajemukan dalam arti yang positif. Rebutan kekuasaan dan suasana saling mencurigai serta ketidakpercayaan (distrust), telah menjadi warna dominan dari penyelenggaraan negara sekarang. Eksekutif dan Legislatif bukannya saling bekerjasama membuat kebijakan public dan saling bermitra dalam mengarahkan perubahan. Justru sebaliknya, saling menuduh. Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, antara lain, merupakan salah satu bagian dari Eksekutif yang merasa gusar dengan gejala percaloan dalam lembaga legislatif kita. Bahkan ada juga sesama penyelenggara negara yang seolah tidak ada koordinasi sama sekali. Persaingan dan perebutan wewenang sampai sekarang belum selesai antara Pihak Departemen Kehutanan dengan Polri dalam menentukan nasib kayu sitaan di Provinsi Riau. Komisi Yudisial, yang semula digagas untuk menjadi sebuah kekuatan Civil Society dalam mengurangi praktek mafia peradilan, telah tercoreng oleh anggotanya sendiri yang ternyata mempraktekkan hal yang harus diperangi itu. Akhirnya, penyelenggaraan pemerintahan tidak fokus pada apa yang sebelumnya dijanjikan Presiden SBY dan Wakil Presiden JK dalam kampanyenya. Yang terjadi kemudian lebih mengarah pada bagaimana caranya mempertahankan kekuasaan, bukan menjalankannya sesuai dengan mandat yang diberikan. Reformasi birokrasi pun jalan di tempat, karena ketiadaan visi yang sama dalam melaksanakannya. Cita-cita menjadikan Indonesia sebagai Negara Hukum (Recht Staat) masih jauh tertinggal ketimbang apa yang secara kasat mata terjadi, yakni Negara Kekuasaan (Macht Staat).

   Kesemua kecenderungan dan fenomena mutakhir di atas, tentu akan merugikan teraktualisasikannya wawasan kebangsaan dan ke-Indonesia-an sebagaimana seharusnya menjadi modal politik dan moral sebuah negara bangsa. Sebab, sebagai sebuah masyarakat politik (political community), Indonesia –kapanpun– membutuhkan adanya kesamaan persepsi dan cita-cita antara elit dengan massanya, antara pemerintah dengan kekuatan non-pemerintah, antara pemerintah pusat dan daerah, serta antara berbagai elemen negara bangsa yang lain. Tidak boleh ada yang menjadi korban darinya. Ketika rakyat masih terbatas pengetahuan dan kesempatannya, mungkin pilihan untuk mencari sistem nilai ataupun contoh perilaku (role model) yang lain masih terbatas. Mereka bisa saja menjadi kekuatan mayoritas diam (silent majority), yang seolah-olah pasif dan bahkan “manut” (tunduk pada pemimpin). Tapi sekarang lain. Di era dunia tanpa batas, berbagai sumber perubahan dapat diperoleh dari berbagai penjuru dunia, terutama pasar dan pengalaman negara-negara lain.

   Agar iklim politik yang tidak kondusif terhadap perwujudan cita-cita mulia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut tidak berlarut-larut, ada beberapa pemikiran yang perlu ditawarkan dalam kesempatan ini:

   Pertama, pemerintah secara terus-menerus menunjukkan komitmennya terhadap upaya perbaikan bangsa. Kalau pun sampai sekarang masih bersikap reaktif, dan belum didasarkan pada visi, dan bahkan rencana tindakan yang jelas, dalam jangka pendek ke depan, pemerintah harus segera merevisi pendekatan yang “tidak mau ambil resiko ini”. Rakyat kebanyakan sebenarnya akan dapat bersabar dan mau mendukung pemerintah bila pemerintah pun konsisten di dalam melaksanakan fungsinya. Transparansi persoalan publik telah mendidik rakyat, dan karenanya mereka akan dapat mengerti bahwa persoalan yang dihadapi negara-bangsa ini sangat kompleks. Dengan kata lain, kejujuran, konsistensi, dan kemauan kerja pemerintah yang cukup keras akan dapat mengamankan proses transisi yang sedang kita jalani sekarang. Keputusan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 23 Mei 2008 serta alasan yang melatar-belakanginya, mesti kita tunggu hasilnya kemudian.

   Kedua, pemerintah dan para elit politik harus mulai melakukan perubahan tingkah laku (behavioral changes). Terutama dalam kaitannya dengan gaya hidup masing-masing pejabat tinggi. Mulai dari presiden sampai ke anggota kabinetnya, pimpinan partai politik dan tokoh panutan masyarakat lainnya, perlu meneladani sebuah cara memerintah yang empati terhadap krisis dan nasib masyarakat kebanyakan. Pendekatan elitis harus disingkirkan, bukan hanya sekedar pidato atau menjalankan berbagai acara yang seolah bernuansa populis, namun melaksanakannya secara sistemik dan melembaga. Aturan baru dibuat dan dilaksanakan, sehingga akan dijadikan pegangan semua pihak dalam masa-masa selanjutnya. Depersonalisasi kekuasaan harus menjadi semangat para penyelengara negara dalam mengembangkan berbagai kebijakan publik.

   Ketiga, pemerintah tidak melihat persoalan ekonomi bangsa ini dari sekedar kacamata ekonomi murni. Bila kekurangan anggaran selalu dikompensasi dengan pengurangan subsidi, bukan penegakan hukum dan hidup lebih berhemat, rasanya, masyarakat paling bawah akan terus menderita. Dan ini sangat potensial untuk membangkitkan radikalisasi massa. Bagi mereka yang ingin menggunakan kesempatan di balik kesempitan, jelas mendapat keuntungan untuk membalikkan keadaan, dengan mengatakan bahwa pemerintah tidak well performed. Pemerintah mesti menerapkan prinsip-prinsip Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance) secara konsekuen dan konsisten. Akibatnya, perlu segera diadakan reformasi birokrasi yang sungguh-sungguh. Dalam menghadapi berbagai kesulitan anggaran, pemerintah mesti menjadi pionir untuk menerapkan apa yang dikatakan sebagai “anggaran berbasis kinerja” (money follows function). Pemangkasan lembaga negara yang tidak diperlukan, menjadi agenda utama pemerintah. Semangat ini pun mesti ditiru oleh Lembaga Perwakilan Rakyat kita. Ketika sumber dana pembangunan makin berkurang, DPR harus menjadi contoh untuk melakukan penghematan, bukan mendemonstrasikan kekuasaan. Struktur lembaga ini mesti dirampingkan, dan kinerjanya ditingkatkan. Orientasi pada “bagi-bagi kekuasaan” harus ditinggalkan. Untuk apa struktur kepemimpinan MPR masih dipertahankan seperti sekarang. Melihat beban kerja MPR dewasa ini, rasanya negara terlalu mahal untuk membayarnya.

   Keempat, pendekatan yang sifatnya “Jakarta Sentris” (Centered Bias) harus dipadukan dengan pendekatan yang memperhatikan kepentingan lokal serta masyarakat. Demokratisasi meniscayakan hilangnya monopoli penafsiran dan kekuasaan. Keadilan dan pembagian (sharing) antar komponen bangsa di seluruh Indonesia harus dijadikan paradigma utama dalam mempertahankan eksistensi nasionalisme ke Indonesiaan yang menghargai ke-Bhinneka-an dan ke-Tunggal Ika-an. Dengan kata lain, krisis kepercayaan (crisis of trust) antara elit dengan massa, intra pemerintah sendiri, antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, antara negara dan masyarakat, antara partai politik dengan civil society, antara pengusaha dengan buruh, serta intra masyarakat itu sendiri, mesti dihilangkan.

   Memang tidak keliru bila di dalam menilai politik Indonesia, kita selalu berpegang pada keberadaan dan nasib seorang presiden beserta jajaran pemerintahannya. Karena latar belakang kita yang sangat state centered dan bureaucratic state, maka gonjang-ganjing politik senantiasa dimulai dari sana. Betapa besarnya peran negara dalam mengarahkan perubahan sosial, serta kekayaan yang dimilikinya untuk menjalankan fungsi tersebut, negara, khususnya pemerintah masih tetap menjadi wilayah yang paling menarik banyak pihak. Perlombaan untuk memperoleh akses ke dalamnya nampaknya masih tetap berlangsung. Tidak terlalu mengherankan bila sekarang mulai berkembang berbagai manuver politik dari sementara tokoh “tua” dan “generasi muda” yang mempersoalkan suksesi kepemimpinan pada 2009 mendatang. Ada keengganan untuk berestafet politik, di satu pihak, juga ada kecurigaan pelanggengan kekuasaan di pihak lain. Padahal masalah negara bangsa sekarang sudah jauh dari itu. Masih dominannya negara, tetap menjadi kekuatan yang dapat menyihir semua orang yang terobsesi dengan kekuasaan.[]

_______________
1  Disampaikan dalam seminar nasional Seratus Tahun Kebangkitan Nasional yang diselenggarakan oleh Sekretariat Negara RI bekerjasama dengan Universitas Tanjung Pura, Kalimantan Barat, Pontianak, 28 Mei 2008.
2   Anggota Majelis Profesor Riset LIPI, dengan spesialisasi pada Perkembangan Politik dan Pemikiran Pembangunan.
3   Kompas, 20 Oktober 2007.
4   Benedict Anderson menggunakan istilah “Nationalism” secara bergantian dengan “Nationness” dalam bukunya yang cukup fenomenal itu, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, Verso, London, 1983.
5   Pembahasan lebih mendalam dan sangat menarik mengenai arti penting “rasa percaya” tersebut, dapat dilihat dalam Francis Fukuyama, Trust: The Social Virtues & The Creation of Prosperity, The Free Press, New York, 1995.
6   Jakob Oetama, Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus, Penerbit Buku kompas, 2001, hlm. 61.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar