Imam B. Prasodjo
Sosiolog FISIP-UI, Direktur Yayasan Nurani Dunia
Peringatan
Kebangkitan Nasional pada tahun ini memiliki arti khusus karena sejak
berdirinya Boedi Oetomo (20 Mei 1908) hingga 20 Mei 2008 ini, upaya
kebangkitan ini telah menginjak angka 100 tahun. Artinya, upaya bangsa
ini untuk bangkit meningkatkan semangat persatuan, membangun
nasionalisme keindonesiaan, dan berjuang meraih cita-cita kemerdekaan,
telah berlangsung selama satu abad. Sejarah telah mencatat, perjalanan
selama ini telah menghasilkan peristiwa paling berharga, yakni
kemerdekaan politik dari belenggu penjajahan pada 17 Agustus 1945.
Namun, sejak itu, perlu diakui bahwa kita sebagai bangsa berkali-kali
mengalami pergulatan hebat untuk mempertahankan eksistensi kesatuan
kita. Rasa persatuan bukanlah bersifat statis, namun naik turun sejalan
dengan pasang-surutnya rasa ketidak-puasan berbagai pihak warga bangsa
terhadap cara pemerintah mengelola negara. Keretakan seringkali terjadi
akibat tidak terpenuhinya harapan yang dijanjikan atas kedamaian,
keadilan dan kesejahteraan sebagaimana dicita-citakan pada awal negara
ini didirikan. Oleh karena itu, peringatan kebangkitan nasional harus
ditempatkan pada konteksnya, yakni mengembalikan arah perjalanan bangsa
sesuai cita-cita awal. Kebangkitan nasional harus berfungsi membangun
kembali kepercayaan seluruh anak bangsa terhadap cita-cita luhur itu,
dengan merealisasikan pembangunan Indonesia sesuai the Indonesian Dream.
Upaya untuk merealisasikan the Indonesian Dream yang selama ini
banyak terabaikan, jelas membutuhkan wawasan baru, kesungguhan baru,
kreatifitas baru, dan tekad yang berkesinambungan. Kini, pertanyaan pun
muncul. Setelah tumbuh tekad kebangkitan berbangsa pada 20 Mei 2008,
kemudian disusul masa “bertunangan” pada 28 Oktober 1928, dan memasuki
“jenjang perkawinan” pada tanggal 17 Agustus 1945, seberapa jauhkah rasa
saling mencinta atau rasa persatuan antara warga bangsa masih ada?
Bagaimana jalan kebangkitan sebagai bangsa dapat dilakukan untuk
mencapai cita-cita Indonesia yang diimpikan?
Evaluasi Perjalanan Bangsa
Kini, di tengah kita memperingati hari kebangkitan nasional yang ke-100
tahun, pada saat yang sama kita juga segera memperingati hari
kemerdekaan Indonesia yang ke-63. Sebagai bangsa, inilah saat yang tepat
untuk menengok kebelakang dan melakukan refleksi diri. Melihat proses
sosial-politik yang telah terjadi sejak kemerdekaan, kita memang perlu
khawatir bahwa pembinaan solidaritas emosional selama ini memang banyak
ter abaikan. Dialog nasional yang merupakan salah satu medium terbinanya
kesatuan berbangsa, jarang atau tak pernah dilakukan efektif. Yang
lebih dominan adalah interaksi asimetris, yang menempatkan Jakarta
(pemerintah pusat) sebagai subyek, sedang daerah lain sebagai obyek.
Dialog antar generasi juga tersumbat. Yang ada, lebih pada komunikasi
satu arah yang menempatkan generasi muda sekedar pewaris nilai-nilai
(yang dianggap) luhur dari generasi tua, tanpa sempat memberikan ruang
lebih luas pada generasi muda untuk mendefinisikan sendiri nilai-nilai
yang dianggap baik bagi generasinya. Akibatnya, rasa persatuan dan
kebersamaan dalam konteks baru tidak tumbuh sehat. Ada kesenjangan antar
generasi dalam memahami nilai-nilai kebersamaan dan kebangsaan.
Karena itu, kini saatnya kita menyadari kembali bahwa bangsa ini adalah
bangsa yang terbangun dari hasil serangkaian interaksi panjang, lebih
dari 300 suku bangsa, dengan 250 jenis bahasa berbeda, dan menempati
wilayah tak kurang dari 13.000 pulau. Bangsa ini terbentuk sebagai hasil
dialog intensif dari hampir seluruh kelompok agama-agama besar
dunia—Islam, Kristen, Hindu dan Budha—serta pertukaran budaya ratusan
agama-agama lokal di seluruh wilayah Nusantara. Bangsa ini terbangun
dari jutaan manusia yang merasakan kepedihan sama di bawah penindasan
penjajah yang berlangsung ratusan tahun lamanya. Karena itu, tumbuhnya
rasa solidaritas kebersamaan sebagai akibat kesamaan tantangan,
kebulatan semangat dan tekad untuk membangun kehidupan lebih layak di
alam merdeka, yang terbebas dari dominasi kekuasaan penjajah, harus
terus dipupuk. Keseluruhan faktor yang tergabung inilah yang merupakan
modal sosial, yang menjadi fondasi kokoh bagi terbentuknya sebuah
Indonesia.
Atas dasar modal sosial inilah, para pendiri bangsa (the founding fathers)
meramu dan mengembangkan fondasi bangsa ini. Sejarah mencatat, banyak
para pemimpin negeri di awal kemerdekaan yang secara cerdas telah
menunjukkan arah perjalanan bangsa dengan memberikan semangat, inspirasi
dan visi arah pembangunan bangsa. Biografi perjuangan para pemimpin
seperti H.O.S. Tjokroaminoto, Soekarno, Moh. Hatta, H. Agus Salim, dan
Sutan Sjahrir misalnya, telah secara jelas memberikan landasan
pembangunan negara-bangsa modern yang bersendikan prinsip-prinsip
demokrasi.
Oleh karena itu, pada masa awal bangsa ini dibangun, di tengah kayanya
warisan sejarah kerajaan-kerajaan besar di wilayah nusantara, para
pendiri berketetapan bahwa negara Indonesia yang diimpikan adalah negara
kesatuan yang berbentuk republik, bukan monarki. Dalam sejarah juga
tercatat bahwa dalam waktu kurang dari dua bulan sejak dibacakannya teks
proklamasi pada 17 Agustus 1945, Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) mengeluarkan manifesto politik yang
ditandatangani Wakil Presiden Mohammad Hatta (1 November 1945). Isinya
menyebutkan bahwa “dalam waktu singkat, kita [bangsa Indonesia] berniat
menunjukkan kesetiaan pada prinsip-prinsip demokrasi dengan
menyelenggarakan pemilihan umum sesuai dengan dasar-dasar konstitusi
yang dicanangkan di negeri kita.” Juga disebutkan, pemilu yang akan
diselenggarakan itu harus “selalu membuka kemungkinan terjadinya
perubahan-perubahan jauh dalam komposisi pemerintahan” dan “wakil-wakil
rakyat yang terpilih dapat pula membawa perubahan-perubahan
konstitutional yang luas” (Lihat Feith dan Castles, 1970).
Kemudian, secara sosial, para pendiri negeri ini juga telah menyiapkan
jalan proses demokratisasi masyarakat. Di tengah kayanya bahasa yang
hidup dalam masyarakat, para pendiri negeri menetapkan Bahasa Indonesia
sebagai bahasa negara3. Keputusan politik ini memiliki sumbangan sangat
besar, bukan saja karena bahasa Indonesia memiliki struktur egaliter
yang sangat diperlukan dalam pengembangan demokrasi, namun keputusan ini
telah mencegah terjadinya persaingan dan konflik identitas yang tajam
antar suku-suku bangsa besar di Indonesia.
Namun, kini apa yang telah terjadi dengan seluruh cita-cita luhur dan
modal sosial yang telah kita miliki bersama? Nampaknya, dalam perjalanan
bangsa selama ini, terlalu banyak elemen bangsa, terutama para elit
politik, sadar atau tidak, telah banyak yang mengkhianati cita-cita
luhur dan menyia-nyiakan modal sosial yang telah dicoba dibangun dengan
susah payah. Periode panjang pemerintahan otoriter sejak tahun 1959,
disambung pada 1966 hingga 1998, telah berakibat pada terjadinya proses
perubahan sosial-ekonomi yang menghasilkan ketimpangan tajam antara
berbagai kelompok sosial. Kekuasaan sentralistis semasa Orde Baru telah
secara nyata menghambat terjadinya distribusi yang lebih merata akan
sumber-sumber ekonomi dan sosial masyarakat. Keadaan ini terlihat jelas
pada data statistik Gini Rasio semasa 1971-1997 yang memperlihatkan
meningkatnya ketimpangan ekonomi penduduk secara terus menerus dari 0,18
menjadi 0,21 dan 0,24. Angka ketimpangan juga terlihat pada
meningkatnya rasio pendapatan penduduk daerah terkaya dan termiskin,
dari 5,1 (1971) menjadi 6,8 (1983) dan 9,8 (1997) (Lihat Pirerre Van der
Eng, 2001, halaman 197, dikutip dalam Mubyarto, 2003).
Setelah reformasi, peningkatan ketimpangan ekonomi nampak terus terjadi,
terlihat pada Gini Rasio dari tahun 2002 hingga 2006. Ini terjadi
karena tingkat kemakmuran 40% kelompok penduduk lapisan bawah
(pengeluaran terendah) semakin rendah bila dibandingkan dengan 40%
kelompok lapisan menengah dan 20% kelompok lapisan atas (Lihat Tabel 1).
|
Dalam
sejarah perubahan masyarakat di Indonesia, ketegangan-ketegangan
horizontal antara kelompok memang selalu terjadi. Namun, sejak
reformasi, nampaknya Indonesia mengalami babak baru. Dengan iklim
politik lebih demokratis, secara kualitatif tercipta perubahan berarti
di bidang politik. Reformasi telah mendorong terjadinya proses
redefinisi identitas kelompok yang mempertegas ikatan-ikatan primordial
sebagaimana diuraikan sebelumnya, dan juga terjadi format baru pola
hubungan antar kelompok. Setelah jatuhnya kekuasaan Orde Baru, kebijakan
publik untuk pertama kalinya harus dirumuskan atas dasar “kehendak
rakyat” melalui proses negosiasi, kompetisi, dan pergulatan. Persaingan
untuk mempertahankan dan mendapatkan pengakuan identitas, aspirasi, dan
kepentingan kelompok tampak semakin tajam. Tiap kelompok berupaya agar
aspirasi dan kepentingannya menjadi bagian “kehendak bersama” (the common will).
Namun, kesemerawutan dan ketegangan yang mengarah pada konflik terbuka
seringkali terjadi akibat intensitas persaingan antar kelompok ternyata
sering berjalan jauh lebih cepat dibanding pembangunan aturan main (institution building)
yang disepakati bersama. Pada saat yang sama, budaya politik yang
memungkinkan dilakukannya persaingan sehat tidak cepat berkembang.
Akibatnya, demokrasi tumbuh tersendat.
Ironisnya, di tengah krisis semacam ini, banyak para elit politik
seperti tak peduli. Banyak dari mereka hanya memikirkan diri sendiri dan
kelompoknya. Praktek-praktek korupsi terus merajalela dan jumlah yang
semakin fantastis. BPKP, misalnya, pernah mencatat indikasi korupsi
terus meningkat. Pada 1987-1996, sedikitnya Rp. 531 miliar uang negara
diselewengkan. Angka pun meningkat drastis menjadi Rp. 6 triliun pada
1997-1998, dan Rp. 165,85 triliun pada 1999-2000. Ketua Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), Satrio Budihardjo Joedono, mengatakan di hadapan anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada Sidang Akhir Masa Jabatan MPR
1999-2004 bahwa indikasi praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)
yang berlangsung dalam periode 1999-2004 kembali meningkat hingga
mencapai Rp. 166.532,05 milyar dan USD 62,70 juta. Oleh karena itu,
tidaklah mengherankan bila beberapa waktu lalu, survei lembaga riset
Singapura, Political and Economic Risk Consultancy (PERC),
pernah secara tegas mengkonfirmasi bahwa transparansi di Indonesia,
nomor dua terburuk di Asia. Peringkat ini hanya setingkat lebih baik
dari Vietnam, negeri yang bertahun-tahun dilanda perang.
Kemudian, sejalan dengan proses desentralisasi pemerintahan dan otonomi
daerah, yang semula upaya ini dimaksudkan untuk mendorong terjadinya
pemerataan ekonomi dan lebih menjamin keadilan politik, ternyata telah
berbuah pada penyebaran praktek-praktek korupsi di berbagai daerah. Di
era reformasi ini, kita pun menyaksikan para anggota DPRD di berbagai
propinsi berbaris menjadi tersangka akibat penyelewengan anggaran. Para
pejabat eksekutif daerah, baik Gubernur maupun Bupati, juga tak luput
dari indikasi praktek korupsi. Kini, di tengah keterpurukan ekonomi,
tampak jelas negara terus terongrong oleh kerakusan para elit baik di
lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Oleh karena itu, dalam perjalanan bangsa yang telah menginjak lebih dari
enam dasawarsa, kini saat yang tepat bagi kita untuk memikirkan nasib
bangsa ke depan. Para pemimpin dan tokoh masyarakat semakin nyata
dituntut untuk melakukan instrospeksi diri dan menentukan
langkah-langkah penyelamatan bangsa. Indonesia yang kuat hanya dapat
diwujudkan melalui pendekatan terpadu multidimensional.
|
Ketimpangan
ekonomi ini jelas berpotensi memperkuat terjadinya ketegangan antar
kelas dan kelompok. Keadaan menjadi semakin rentan manakala garis batas
antar kelompok sosial ini menjadi menebal akibat sekat-sekat sosial
seperti etnis, ras, agama, ataupun asal daerah terintegrasi menjadi
satu. Berbagai kelompok berbeda satu sama lain, tidak saja karena
perbedaan ekonominya, namun juga etnis, ras, agama dan asal daerahnya.
Kemudian, dengan derasnya arus globalisasi yang ternyata sering bersifat
paradoksikal, yakni di satu sisi membawa efek penyeragaman (unifying effects),
tapi di sisi lain menumbuhkan kuatnya kesadaran identitas kelompok,
ternyata juga menambah tajam fregmentasi sosial. Puncak dari situasi
ini, sering ditandai dengan tumbuhnya gejala “neotribalisme”, yakni
terbentuknya pengelompokan-pengelompokan sosial-politik baru yang
berisifat “primitif” yang bercirikan: 1) sangat mengedepankan semangat
primordialisme dalam membangun perekatan kelompoknya, dan 2) seringkali
menggunakan cara-cara kekerasan dalam mendapatkan tujuan-tujuannya.
Akibat keadaan inilah, kini Indonesia terus diwarnai oleh
konflik-konflik antar kelompok-kelompok yang bersifat emosional dan
brutal. Konflik-konflik sosial politik yang telah memakan begitu banyak
korban telah terjadi di Maluku Utara, Maluku, Kalimantan Barat, Jakarta,
Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Tengah, serta dalam skala lebih kecil,
terjadi di banyak tempat lain di Indonesia (Lihat Tabel 2). Kita pun
menyaksikan begitu banyak korban-korban kekerasan yang mayatnya
ditemukan dalam kondisi sangat mengenaskan, seperti tubuh
terpotong-potong, usus terurai, dan kepala terpisahkan. Jelas, dengan
melihat kualitas kekerasan yang terjadi ini, beragam tindak kerasan ini
masuk dalam kategori “kekerasan emosional” (emotional violence) bukan sekedar “kekerasan instrumental” (instrumental violence)
seperti halnya tindak pidana biasa. Dalam situasi seperti ini, tak
terelakkan lagi, lingkaran dendam dapat tumbuh subur dan mengancam
kesatuan bangsa dalam jangka panjang.
Reaktualisasi Nasionalisme
Saat ini, mau tidak mau nation building harus menjadi perhatian utama
kembali. Bukankah sejak awal berdirinya republik ini, para pendiri
negeri tak henti-henti mengingatkan pada kita bahwa proses nation building
harus menjadi agenda penting yang tak boleh berhenti dikembangkan. Bung
Karno, misalnya, sejak awal telah berbicara tentang pentingnya
membangun rasa kebangsaan. Ia selalu berupaya membangkitkan sentimen
nasionalisme, yang ia maknai sebagai menumbuhkan “suatu iktikad, suatu
keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu adalah satu golongan, [yaitu] satu bangsa.”
Bung Karno mengatakan bahwa keberadaan suatu bangsa hanya mungkin
terjadi bila ia memiliki suatu nyawa, suatu asas-akal, yang tumbuh dalam
jiwa rakyat sebelumnya yang menjalani satu kesatuan riwayat, dan
sekarang memiliki kemauan, keinginan hidup menjadi satu. Dengan kata
lain, salah satu faktor penting yang mendasari terbentuknya bangsa
adalah adanya pengalaman dan pengorbanan bersama di masa lalu yang ingin
dilestarikan. Dalam bahasa Emile Durkheim, kesepakatan untuk menjalin
kehidupan bersama terjadi karena adanya solidaritas mekanik, yakni
solidaritas emosional yang merekatkan hati nurani antar berbagai elemen
dalam masyarakat (suku, ras, agama, adat, daerah, dan lain-lain).
Bagi Bung Karno, keinginan hidup menjadi satu bangsa itu dasarnya bukan
nasionalisme sempit atas kesatuan ras, bahasa, agama, persamaan butuh,
ataupun sekedar batas-batas negeri, namun lebih didasarkan pada
nasionalisme yang longgar, nasionalisme yang luhur, nasionalisme yang
mementingkan kesejahteraan manusia Indonesia, dan yang mengutamakan
persahabatan dengan semua kelompok (bersifat inklusif). Bung Karno pun
mengutip ucapan Karamchand Gandhi (lihat Soekarno, 1963, hal. 5):
Buat saya,
maka cinta saya pada tanah air itu, masuklah dalam cinta pada segala
manusia. Saya ini seorang patriot, oleh karena saya manusia dan
berbicara manusia. Saya tidak mengecuali-kan siapa juga.
Dengan
demikian, Bung Karno secara tegas menolak nasionalisme yang ia sebut
bersifat “chauvinis” atau “provinsialis” yang memecah-belah.
Nasionalisme semacam ini, ia anggap sebagai bentuk “assyabiyah yang
dikutuk Allah.” (lihat Soekarno, 1963, hal. 509).
Jadi, rasa kebangsaan, rasa nasionalisme luhur atau tumbuhnya civic nationalism,
yakni loyalitas terhadap seperangkat cita-cita politik dan kelembagaan
yang dianggap adil dan efektif dalam bingkai suatu negara. Jelas
bukanlah suatu yang secara taken for granted tersedia dan keberadaannya
bersifat statis. Rasa kebangsaan dapat menguat dan melemah atau bahkan
dapat hilang sama sekali tergantung bagaimana bangsa itu mengelolanya.
Karena itu, proses nation building tidak boleh terhenti.
Apa yang harus diperhatikan dalam nation building sehingga tercipta
integrasi nasional dan integrasi sosial yang kuat? Pertama, perlu ada
pengelolaan kreatif untuk menumbuhkan “solidaritas emosional” dalam
bingkai kebangsaan. Dengan kata lain, tiap komponen bangsa dituntut
untuk memiliki kemampuan “seni bercinta” (the art of loving)
yang baik sehingga interaksi antar kelompok dapat menumbuhkan rasa
kebersamaan antar sesama komponen bangsa. Untuk inilah kita memerlukan
pemahaman budaya tiap-tiap kelompok sehingga masing-masing kelompok
memiliki sensitifitas dalam berinteraksi dengan kelompok lain. Lebih
jauh, pengelolaan negara juga harus diarahkan sedemikian rupa sehingga
kebijakan-kebijakan yang dijalankan tidak menciptakan rasa keterbuangan
(marginal). Pengelolaan harus mampu menciptakan the Indonesian Dream yang dinamis bagi tiap-tiap warga-negara.
Kedua, nation building harus dilanjutkan dengan melakukan
pengelolaan kehidupan bernegara sedemikian rupa sehingga menumbuhkan
“solidaritas fungsional,” yakni solidaritas yang didasarkan pada ikatan
saling ketergantungan (inter-dependensi) satu sama lainnya, baik di
bidang ekonomi, sosial, maupun budaya. Sistem pengelolaan negara yang
sentralistik, yang memunculkan ketimpangan yang parah, akan merusak
tumbuhnya solidaritas fungsional ini.
Sulit disangkal bahwa nation building yang sebelumnya dicoba
dikembangkan para pendiri republik ini, ternyata telah mengalami
keterputusan yang panjang. Para elit politik semasa Orde Baru atau
bahkan saat ini, banyak yang melakukan “pembajakan” terhadap proses nation building. Sikap egois, masa bodoh, curiga terhadap kelompok lain, kurang empathy
terhadap nasib rakyat yang menderita, merupakan perilaku yang
kontra-produktif bagi tumbuhnya solidaritas emosional dalam berbangsa.
Praktek-praktek kenegaraan pun hingga kini masih penuh dengan
simbol-simbol yang menjauhkan rasa kebersamaan sesama elemen bangsa.
Pemberian tanda jasa negara, misalnya, yang seharusnya digunakan untuk
memberikan pengakuan dan penghormatan atas nama negara terhadap
tokoh-tokoh masyarakat dari berbagai suku, agama dan daerah, ternyata
banyak disalahgunakan oleh yang berkuasa untuk sekedar menguatkan
dukungan politik dari tokoh-tokoh tertentu belaka. Demikian juga,
monumen-monumen nasional yang dibangun yang seharusnya diarahkan untuk
menciptakan identitas nasional, semakin hari semakin dirasakan jauh dari
prinsip “Bhinneka Tunggal Ika.” Akibatnya, secara kultural, semakin
banyak kelompok yang merasa tak terwakili dalam “budaya nasional” yang
terbentuk. Ini semua sekedar contoh bagaimana solidaritas emosional
telah gagal dikelola secara efektif. The art of loving telah gagal diterapkan.
Bagaimana dengan kemampuan untuk menumbuhkan solidaritas fungsional?
Otoritarianisme panjang sejak 1959, disambung pada 1966 hingga 1998,
secara massal telah menyuburkan ketimpangan antara daerah, baik antara
kota dan desa, Jawa dan luar Jawa, atau Indonesia Barat dan Timur.
Sementara krisis politik akibat 39 tahun demokrasi semu secara jelas
telah menghasilkan sifat serakah, tamak, konspiratif, mau menang
sendiri atau mengutamakan keluarga dekat. Keseluruhan proses ini telah
berakibat pada tumbuhnya rasa keterbuangan di banyak kelompok masyarakat
sehingga tidak tercipta rasa keterkaitan fungsional antara satu
kelompok dengan kelompok lainnya.
Maka, kini tak dapat dielakkan lagi, kehidupan berbangsa kita
benar-benar tengah mengalami ujian berat. Anugerah reformasi yang
sebenarnya menawarkan demokrasi, menjanjikan kehidupan lebih baik karena
dimungkinkannya setiap individu dan kelompok mengekspresikan
aspirasinya, menjadi terkontaminasi oleh timbunan-timbunan ketidakpuasan
yang terlalu dalam. Maka kita pun menyaksikan banyaknya
kerumunan-kerumunan marah (angry crowds) yang justru dalam
iklim kebebasan ini menggunakan kesempatan untuk mpelampiaskan
kemarahan, dan tak perduli pada aturan hukum yang tengah dicoba
dibangun. Situasi yang menjurus chaos ini menjadi semakin sulit
terkendali karena proses konsolidasi penegak hukum pun masih terus
tertatih-tatih. Akibatnya, supremasi hukum yang diidamkan terasa semakin
sulit dicapai.
Di saat hukum tak dihormati, penegak hukum kehilangan kendali, maka
konflik-konflik vertikal dan horizontal marak. Korban-korban
kemanusiaan, sebagaimana terjadi di hampir tiap gugusan kepulauan
Indonesia, sebagaimana sebelumnya telah disinggung, terus berjatuhan dan
menciptakan situasi darurat kompleks (complex emergencies),
yakni suatu situasi darurat multidimensional yang membawa penderitaan
luar biasa pada penduduk. Sulitnya, di tengah ratusan ribu penduduk
membutuhkan pertolongan segera, aksi kemanusiaan pun banyak mengalami
hambatan. Hambatan itu tidak saja karena terbatasnya dana akibat krisis,
tetapi seringkali karena adanya rintangan dari aparat birokrasi
pemerintah sendiri.
Dalam situasi seperti inilah, kita benar-benar memerlukan suara para
pemimpin dan tokoh yang mampu membangun kembali ruh hidup bersama (trust building),
yaitu ruh semangat kebangsaan dalam konteks baru, dalam konteks tatanan
masyarakat yang kini tumbuh secara dinamis. Para tokoh itu adalah tokoh
yang dapat memberikan inspirasi baru, memprogram “software sosial-politik baru,” yakni software
yang dapat kuat menopang dinamika perubahan sosial-politik kebangsaan
ke depan. Pertanyaannya adalah bentuk kepemimpinan seperti apakah yang
dapat mendorong tumbuhnya “software sosial-politik” kebangsaan yang terbebas dari semangat ethnonasionalisme?
Mendorong Tumbuhnya Pemimpin Modern Berwawasan Kebangsaan
Untuk mendorong tumbuhnya negara-bangsa modern (modern nation state),
Indonesia jelas memerlukan bentuk kepemimpinan berkarakter yang
dibekali wawasan kebangsaan yang kuat. Bentuk kepemimpinan tersebut
adalah kepemimpinan demokratis yang mampu mengemban misi tumbuhnya
nasionalisme kewarganegaraan (civic nationalism).
Namun, perlu dicermati, harapan tumbuhnya para pemimpin yang berwawasan
kebangsaan, seringkali pupus tergilas oleh munculnya para pemimpin
kelompok primordial yang lahir di tengah “massa jalanan”, yang dalam
istilah Maffesoli (1996), disebut sebagai “kerumunan tanpa wajah” (the faceless crowd).
Sirkulasi kekuasaan yang tak normal yang terjadi selama kekuasaan Orde
Lama dan Orde Baru, ternyata menyebabkan negeri kita tak mampu
melahirkan banyak pemimpin matang. Yang ada pada umumnya hanyalah adalah
figur-figur politik dadakan, yang tumbuh bukan dari hasil seleksi
ketat, namun lahir akibat peristiwa insidental dari suatu kerumunan
massa. Reformasi yang terjadi di tengah munculnya kerumunan-kerumunan
marah (angry crowds), kemudian menjadi tempat subur bagi lahirnya tipe “kepemimpinan kerumunan” (crowd leadership).
Kepemimpinan semacam ini tidak saja muncul di kalangan elit-elit
partai, namun juga elit-elit lembaga-lembaga swadaya masyarakat.
Apa jadinya bila panggung pemimpin politik kita dipenuhi oleh tokoh-tokoh bertipe crowd leaders? Sigmund Freud (1921), memperkenalkan “hypnotic theory”
untuk menjelaskan model kepemimpinan ini. Menurutnya, dalam tipe
kepemimpinan ini pola hubungan pemimpin terhadap pengikutnya, seperti
menjelma bagai seorang aktor panggung yang mampu “menghipnotis”
penontonnya dalam sebuah pertunjukan. Karena itu, adanya pola hubungan
yang bersifat rasional dan kritis akan sulit ditemui karena para
pendukung itu mengalami keterkaguman luar biasa terhadap pemimpinnya.
Teori hiptonis Sigmund Freud ini terlihat paralel dengan teori Max Weber
tentang kepemimpinan kharismatik. Pola kepemimpinan karismatis juga
melihat adanya hubungan kekuasaan yang sangat asimetris antara pemimpin
dan yang dipimpin. Kharisma dapat melekat pada seorang pemimpin sebagai
akibat adanya persepsi rakyat bahwa pemimpinnya itu memiliki “suatu
sifat dari suatu kepribadian yang berbeda dari orang biasa dan
diperlakukan seolah-olah diberkati dengan kekuatan-kekuatan gaib,
melebihi manusia biasa, atau setidak-tidaknya dengan kekuatan-kekuatan
atau kecakapan yang luar biasa” (Weber dikutip oleh Willner dan Willner
1984, hal. 167).
Karena itu, sulit diharapkan bahwa tipe kepemimpinan semacam ini akan
produktif dalam membangun iklim demokrasi modern. Demokrasi hanya dapat
dibangun secara sehat bila berkembang prinsip dasar otonomi tiap-tiap
individu, yang oleh David Held (1987, hal. 271) disebut democratic autonomy.
Artinya, tiap-tiap individu harus memiliki kebebasan dan kesetaraan
dalam menentukan nasib kehidupannya, dan mereka harus mendapatkan
hak-hak dan kewajiban yang sama.
Namun, dalam suatu masyarakat yang tengah mengalami fragmentasi sosial,
tipe memimpin kharismatik sebenarnya dapat berfungsi sebagai lambang
persatuan, dan dapat dijadikan alat untuk menciptakan suatu konsensus
nasional, khususnya bila kharisma yang ada dapat dikelola sedemikian
rupa sehingga mampu memperoleh kesetiaan semua atau sebagian besar
kelompok-kelompok yang ada. Tetapi sebaliknya, pola kepemimpinan
kharismatik dapat pula membahayakan kehidupan masyarakat karena
kepemimpinan semacam ini dapat dengan mudah membangkitkan emosi
pendukungnya. Bila terjadi perseteruan antar pemimpin politik
kharismatik, masing-masing kelompok pendukung emosionalnya akan dengan
mudah pula terseret dalam arena konflik.
Hal yang lebih mengkhawatirkan, tipe pemimpin kharismatik ini cenderung
kurang menghargai kekuasaan yuridis impersonal yang didasarkan pada
norma-norma rasional. Padahal demokrasi hanya dapat berjalan baik
manakala aturan-aturan yang disepakati bersama dapat ditegakkan.
Kepemimpinan kharismatik juga bersifat tidak stabil, suka menciptakan
hal-hal baru, dan perilakunya cenderung sulit diprediksi. Akibat dari
hal ini, upaya institution building atau membangun tatanan sosial atas dasar rule of law,
akan sulit dilakukan. Dengan kata lain, para pemimpin kharismatik yang
biasanya lahir di tengah situasi ketidakpastian, pada gilirannya, akan
menciptakan ketidakpastian baru.
Saat pertama kali reformasi digulirkan, harapan pertama yang tumbuh
adalah segera dilakukannya pergantian kepemimpinan politik secara
fundamental. Reformasi akan sulit dilaksanakan tanpa adanya perubahan
komposisi elit politik. Karena itu, saat terjadi Sidang Istimewa MPR
1998 sebagai akibat desakan reformasi, dikeluarkan Ketetapan MPR-RI
Nomor XIV/MPR/1998, yang salah satu pasalnya berisi percepatan
penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu).
Namun, mekanisme Pemilu yang dilaksanakan pada 1999 dan 2004, belumlah
menghasilkan wakil-wakil rakyat yang benar-benar didasarkan atas proses
pemilihan rasional dari tiap-tiap individu pemilihnya. Pemilu yang
dilaksanakan dengan mengadopsi sistem proporsional dan dilakukan secara
terburu-buru, tidak memungkinkan para pemilih mengenal calon wakil-wakil
mereka. Kontrol lebih besar dalam menentukan komposisi para elit
politik justru terletak pada para pengurus partai, bukan para pemilih,
karena memang merekalah yang sejak awal menentukan daftar calon
wakil-wakil rakyat di tiap daerah pemilihan. Ini semua mengingatkan pada
kritik atas distorsi demokrasi yang dikemukakan G. Mosca (1939) yang
menyebutkan bahwa wakil-wakil rakyat pada hakekatnya tidak ditentukan
oleh para pemilih dalam Pemilu, namun oleh “para boss partai”.
Akibatnya, para wakil rakyat pun lebih cenderung berperan sebagai alat
kekuasaan ketua partai.
Namun, distorsi yang lebih permanen justru terletak dalam struktur
masyarakat sendiri yang belum memberi peluang luas untuk munculnya
kemandirian tiap-tiap warga. Situasi sosial dalam masyarakat kita,
hingga kini masih ditandai oleh kuatnya struktur masyarakat komunal yang
diikat oleh ikatan-ikatan primordial ketat atau struktur paternalistik
yang menghambat tumbuhnya proses kemandirian tiap-tiap individu. Bahkan,
komunitas seringkali secara sosial dan kultural bersifat oppressive
terhadap anggota-anggotanya. Padahal, demokrasi mensyaratkan tumbuhnya
masyarakat yang di dalamnya terdiri dari individu-individu yang bebas
dan setara sehingga dalam berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
dapat dilakukan secara otonom.
Karena itu, tatanan masyarakat yang bebas dan egaliter haruslah menjadi
komitmen kita bersama. Tumbuhnya partai-partai politik ataupun pola-pola
kepemimpinan politik, harus secara bertahap dibebaskan dari manipulasi
berbagai ikatan-ikatan primordial sempit dan dominatif, mitos-mitos
kesakralan yang menipu, atau pun pola otoritas tradisional dan
kharismatik yang mengekang.
Saat ini, sulit disangkal bahwa komposisi elit politik utama di era
reformasi ini, masih merupakan refleksi dari tatanan masyarakat komunal.
Bila kita ambil contoh tiga figur politik utama—Abdurrahman Wahid,
Megawati, dan Amien Rais, sulit untuk dipungkiri bahwa mereka adalah
tipe pemimpin yang secara ekslusif mewakili kelompok-kelompok emosional.
Para pemimpin baru lain, juga banyak yang lahir dari hasil kerumunan
(seperti aksi-aksi protes dan demonstrasi).
Sekali lagi, bila para tokoh ini mampu bersinergi dan bersama-sama sepakat membangun aturan-atauran hukum bersama (institution building), dan saling memiliki komitmen menghormati rules of law
yang telah disepakati, maka dampak negatif dari pola kepemimpinan
semacam ini dapat dihindari. Namun sebaliknya, bila hal ini tak dapat
dilakukan, maka yang akan terjadi adalah terjadinya gejolak sosial
dahsyat yang berkepanjangan.
Dari uraian ini, beberapa proposisi dapat disusun. Sebuah negeri yang
para pemimpin utamanya lahir dari komunitas emosional ataupun kerumunan,
dan para pemimpin itu gagal melakukan sinergi atau bahkan berkonflik
satu sama lainnya, maka masyarakat di dalamnya akan dihadapkan pada
situasi sangat rawan. Semakin tinggi intensitas konflik yang terjadi di
kalangan para elit ini, semakin tinggi pula tingkat kerawanan sosial
yang akan terjadi. Semakin tinggi derajat emosi para elit politik
berseteru, semakin tinggi pula keterlibatan emosional masing-masing
pengikutnya. Bila konflik antar elit menjadi tak terkendali, maka
benturan sosial antar kelompok pendukungnya akan bersifat brutal.
Dalam situasi semacam ini, ucapan Bung Karno di saat usia masih muda,
menjadi sangat relevan untuk kembali direnungkan (lihat Sukarno, 1963,
hal.23):
Dan
jikalau kita semua insyaf, bahwa kekuatan hidup itu letaknya tidak dalam
menerima, tetapi dalam memberi; jikalau kita semua insyaf, bahwa dalam
percerai-beraian itu letaknya benih perbudakan kita; jikalau kita semua
insyaf, bahwa permusuhan itulah yang menjadi asal kita punya ‘via
dolorosa’; jikalau kita semua insyaf, bahwa Roh Rakyat Kita masih penuh
kekuatan untuk menjujung diri menuju Sinar yang Satu yang berada di
tengah-tengah kegelapan-gumpita yang mengelilingi kita ini,—maka
pastilah Persatuan itu terjadi, dan pastilah Sinar itu tercapai juga.
Sebab Sinar itu dekat!
Membangun Pulau-Pulau Integritas
Melihat banyaknya pergolakan di berbagai negara yang komposisi
masyarakatnya plural, sebagaimana terjadi di Indonesia, para ahli sosial
pun mempertanyakan kembali relevansi demokrasi. Pendapat persimistik
J.S. Mill (pemikir abad 19) diingat kembali, yakni bahwa
“institusi-institusi bebas hampir mustahil dapat terbentuk dalam sebuah
negara yang memiliki kelompok-kelompok kebangsaan berbeda. Di kalangan
rakyat yang tidak memiliki rasa kebersamaan (fellow feeling),
khususnya bila mereka membaca dan berbicara dengan bahasa berbeda,
adanya kesatuan opini publik yang diperlukan untuk jalannya pemerintahan
perwakilan (representative government), mustahil dapat
tercipta”. Samuel P. Huntington juga menyatakan bahwa integrasi nasional
mustahil dapat terjadi tanpa “digantinya sebagian besar otoritas
politik tradisional, agama, dan keluarga, menjadi otoritas nasional,
sekular, yang tunggal” (dikutip Robert W. Hefner (2001, hal.1-2).
Pendapat ini secara empiris seperti mendapat dukungan karena kini
pergolakan memang banyak terjadi di berbagai negara yang komposisi
masyarakatnya plural.
Namun, menurut Hefner, bila kita tidak ingin menyerah begitu saja pada
tesis ini, tugas yang harus kita dilakukan adalah mencari jawaban
bagaimana negara-negara multikultur itu dapat meraih kehidupan
demokratis yang berkeadaban (civility) dan terciptanya kewargaan yang inklusif (inclusive citizenship).
Tantangan utama terletak pada pengidentifikasian berbagai faktor yang
dapat mendorong setiap warga dapat hidup berdampingan dalam kedamaian
dan dapat berpartisipasi secara inklusif dalam masyarakat plural.
Inti pertanyaan Hefner ini sebenarnya terkait dengan bagaimana kita menyelamatkan modal sosial (social capital)
yang kita miliki, yaitu infrastruktur sosial yang terbangun dari
interaksi warga yang didasarkan rasa saling percaya, bekerja sama satu
sama lain untuk mencapai tujuan bersama, dan menghasilkan kehidupan yang
berkeadaban (civic culture). Robert I. Rotberg (2001, hal.1), presiden World Peace Foundation,
mengatakan: “akumulasi rasa saling percaya, sebagaimana ditunjukkan
oleh keragaman dan kombinasi usaha aktif sukarela untuk tujuan-tujuan
bersama, membantu terbentuknya modal sosial dan [akhirnya] akan membantu
pula terciptanya pemerintahan yang efektif”. Modal sosial adalah faktor
penting yang menentukan jalannya roda pemerintahan demokratis. Robert
D. Putnam (1993, hal.15, 170-183) bahkan menandai bahwa “social capital may be even more important than physical or human capital” [Modal sosial bahkan barangkali lebih penting daripada modal fisik atau manusia].
Apa yang kini terjadi di Indonesia? Sebagaimana telah disinggung
sebelumnya, modal sosial yang kita miliki tengah mengalami pelemahan
atau bahkan penghancuran. Saat ini, semangat gotong-royong yang dulu
dipersepsikan sebagai sikap luhur bangsa, seperti tergeser oleh egoisme
yang merebak. Bahkan dengan terjadinya konflik sosial dan politik yang
terbuka (manifest) tumbuh rasa saling membenci yang membara di
antara berbagai kelompok. Konflik besar di Aceh, Maluku, Papua,
Kalimantan, dan Sulawesi, ditambah dengan teror sporadis di berbagai
daerah, jelas telah menciptakan dalamnya rasa saling tidak percaya (social distrust)
di kalangan masyarakat. Kini semakin jelas, berhasil tidaknya Indonesia
dalam mengkonsolidasikan proses demokrasi dan pemulihan ekonomi atau
dalam mempertahankan eksistensinya, sangat tergantung pada bagaimana
seluruh komponen bangsa dapat bahu-membahu mencoba memperkuat kembali
modal sosial atau rasa saling percaya di kalangan warga.
Kini, pertanyaannya adalah mampukah bangsa ini membangun dirinya sebagai
bangsa yang kuat? Kita perlu khawatir di tengah bangsa Indonesia
menghadapi zaman yang penuh dengan masalah-masalah berat, namun para
pemimpin yang muncul, seperti terlalu kecil kapasitasnya untuk dapat
merespon keadaan rumit ini. Ini sangat kontras bila dibandingkan saat
awal-awal kemerdekaan. Saat itu, masalah belum serumit sekarang, namun
para pemimpin yang muncul memiliki kualitas luar biasa. Mereka tidak
saja memahami dan terlibat dalam pergulatan pemikiran-pemikiran dunia,
namun juga sangat menghayati keadaan sosial-budaya rakyatnya. Mereka
lahir melalui tempaan panjang hasil interaksi dengan rakyatnya yang
plural. Karena itu, kelahiran Indonesia sebagai sebuah bangsa besar,
menjadi sangat dimungkinkan.
Apakah kekhawtiran ini beralasan? Yang jelas, melihat permasalahan berat
yang kini harus dihadapi, kita membutuhkan bentuk kepemimpinan kolektif
(collective leadership) yang jujur, kreatif dan inovatif.
Perlu pemimpin yang berani membuat terobosan-terobosan baru untuk
kebaikan bersama. Mereka tidak kaku atau terpenjara oleh aturan-aturan
birokratis baku yang kini telah terbukti menyuburkan praktek-praktek
korupsi dan manipulasi. Untuk dapat melakukan itu, para pemimpin yang
kita butuhkan adalah yang memiliki track record kejujuran dan kesungguhan kuat untuk melakukan perubahan mendasar.
Namun, komitmen moral untuk melakukan perubahan menuju kebaikan itu
tidak cukup hanya diniatkan dalam hati dan diucapkan dalam mulut.
Komitmen harus dijabarkan dalam aturan-aturan baru yang mencerahkan,
yang kemudian diikuti dengan tanda keseriusan berupa penandatanganan
dokumen-dokumen pakta kejujuran (integrity pact), lengkap
dengan sanksi-sanksinya. Manakala para pejabat eksekutif, baik Presiden,
Gubernur maupun Bupati terpilih dalam Pemilu maupun Pilkada, mereka
harus segera mencanangkan pembangunan “pulau-pulau integritas” (islands of integrity) di setiap jajaran birokrasi pemerintahan.
Untuk memulai kerja besar itu, sejak awal, para pejabat terpilih harus
mampu membentuk tim pelaksana perubahan yang tergabung dalam the dream team,
yang mencerminkan wajah awal pulau integritas itu. Saat mereka
melangkah awal, mereka terlebih dahulu harus melakukan kajian ulang
secara mendasar terhadap struktur birokrasi yang ada. Berbagai
perombakan struktur organisasi harus dilakukan dengan acuan
fungsi-fungsi kerja yang jelas—yakni kerja utama (core business) dan kerja pendukung (supporting business)
yang penentuannya dilakukan secara rasional, bukan atas dasar
pertimbangan perimbangan kekuatan politik semata. Dalam mengisi
fungsi-fungsi baru itu, tak terelakkan akan terjadi penggantian dan
pergesaran pejabat agar sesuai dengan bidang keahliannya. Para pejabat
yang secara nyata memiliki track record biang korupsi atau biang kelambanan dalam kerja, harus diistirahatkan atau “dirumahkan”.
Untuk menggalang integrasi kerja, upaya sinergi kerja antar lembaga
pemerintah harus dilakukan. Tembok-tembok sektoral yang saat ini
membelah ketat kerja birokrat harus segera dirobohkan. Harus ada
kesatuan hubungan-hubungan kerja yang kuat antar departemen dan antar
biro dalam departemen. Rencana strategis (Renstra) yang disusun tiap
tahun di tiap lembaga keuangan, harus diintegrasikan dan disinergikan,
bukan terbelah dan tersekat. Dalam hal ini, koordinasi menjadi sangat
sentral karena kerja utamanya adalah memastikan seluruh program yang
berjalan benar-benar terintegrasi. Untuk menjalankan peran efektif dalam
koordinasi, peran koordinator program harus memiliki wibawa yang
memadai, disertai kewenangan yang kuat dan didukung penuh oleh pejabat
eksekutif yang memiliki kewenangan politis.
Prinsip-prinsip dasar tatakelola yang baik (good governance)
harus diterapkan secara sungguh-sungguh. Pendeknya, harus ada upaya kuat
untuk membangun identitas baru struktur keorganisasian agar tumbuh
semangat baru, kesan baru, reputasi baru, dan kinerja baru yakni
birokrasi yang profesional, efisien, akuntabel, dan transparan (lihat
bagan 1).
Bila perubahan-perubahan struktural semacam ini dilakukan, maka dengan
sendirinya akan memudahkan tumbuhnya cara berfikir baru, nilai-nilai dan
moralitas kerja baru. Nilai-nilai kejujuran, komitmen pada pelayanan
publik yang baik, transparansi dan lain-lain hanya mungkin terjadi bila
ditumbuhkan dalam struktur yang baik. Karena itu, perubahan struktural
di segala bidang menjadi suatu keharusan manakala kita menginginkan
wajah perubahan benar-benar diimplementasikan.
Akhirnya, manakala struktur telah kondusif, cara berfikir dan
nilai-nilai baru telah tumbuh, maka dengan sendirinya perilaku dalam
pengelolaan pemerintahan akan mengalami perubahan. Pada saatnya kelak,
kita akan menyaksikan sebuah perubahan perilaku secara substansial
dengan ditopang oleh struktur dan nilai-nilai yang sehat. Selanjutnya,
akan tumbuh pula sebuah identitas perilaku (behavioral identity) yang kuat dengan imaji baru, menuju pemerintahan yang baik.
 |
Membangun Karakter Bangsa
Di samping kita memerlukan tumbuhnya pulau-pulau integritas, kita pun perlu memfokuskan secara khusus membangun karakter (character building)
di kalangan masyarakat Indonesia secara umum. Tiga puluh tahun lalu,
Mochtar Lubis (1977) menulis buku berjudul Manusia Indonesia: Sebuah
Pertanggungjawaban. Dengan gaya jurnalistik lugas, Mochtar Lubis
menyebut manusia Indonesia memiliki ciri-ciri, antara lain, munafik,
enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya takhyul, berwatak
lemah, boros, pemalas, tukang menggerutu, cepat cemburu, sok dan tukang
tiru. Jelas sekali, Mochtar Lubis geram terhadap karakter buruk itu. Ia
mengatakan bahwa kita “memerlukan upaya nasional untuk memperbaiki diri
kita sebagai manusia.”
Kini, kita perlu khawatir, gambaran manusia Indonesia belum banyak
berubah. Kita tidak mengingkari bahwa era reformasi telah membawa
harapan baru. Hanya saja, hingga kini, perubahan yang kita harapkan
masih berjalan lambat. Akibatnya, beban psikologis tempak semakin berat.
Penyair Taufiq Ismail (1998) pun menulis buku kumpulan puisi dengan
judul Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Dan, Eep Saefullah Fatah (1997) mengikuti kekecewaan sama dengan menulis buku Bangsaku yang Menyebalkan.
Nada pesimistis semacam ini akan terus terjadi bila kita tak
mengupayakan sebuah perubahan fundamental. Apa yang harus kita lakukan
agar terjadi perubahan lebih cepat?
Dalam mencanangkan agenda perubahan perilaku, teori tindakan manusia (human action)
diperlukan sebagai acuan. Dalam kajian sosiologis, tiap tindakan
seseorang tidaklah terjadi dalam “ruang hampa,” melainkan terkait erat
dengan orang lain (oriented to others) atau terjadi dalam
“situasi sosial” tertentu. Dalam bahasa Anthony Giddens, “tindakan
dilihat sebagai proses interaksi aktif individu-individu (sebagai
agents) yang mereproduksi struktur sosial, yang pada saat yang sama juga
dipengaruhi oleh struktur sosial yang tercipta. Baik tindakan yang
dilakukan, proses interaksi yang terjadi, dan struktur sosial yang ada,
ketiganya saling mempengaruhi. Ketiga realitas menyatu karena merupakan
dualitas dalam realitas yang sama (Lihat Jonathan H. Turner, The Sturcture of Sociological Theory,
1991, hal 521). Bila kita aplikasikan kerangka teori ini dalam strategi
membangun manusia Indonesia, karakter tidak saja dibentuk oleh tindakan
orang per orang (agent), tetapi juga dibentuk oleh interaksi yang
terbangun dan struktur sosial (lingkungan) yang ada. Lihat Bagan Teori
Tindakan Sosial.
|
Dengan
demikian, upaya yang harus dilakukan untuk membangun karakter bangsa
dapat dilakukan antara lain melalui langkah-langkah, pertama:
menggali potensi diri, yakni melakukan evaluasi dan seleksi nilai-nilai
unggul untuk dikembangkan untuk mendorong membangunan karakter bangsa.
M. Dawam Rahardjo (2007), menyebut tiga nilai atau karakter strategis
yang harus dikembangkan, yakni kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab. Bila Indonesia berhasil mengembangkan ketiga karakter ini, akan tumbuh masyarakat saling percaya (high trust society),
dan kredibilitas Indonesia akan meningkat di mata internasional.
Berbeda dengan Dawam, Pramoedya Ananta Toer (2003) menggarisbawahi
pentingnya penggunaan akal dan sikap pemberani sebagai
prasyarat terjadinya perubahan. Pramoedya pun menunjuk generasi muda
sebagai agen mampu menjadi mesin penggerak perubahan dan pembaharuan.
Selain sikap yang disebutkan ini, tentu banyak lagi sikap luhur lain
yang dapat digali dalam masyarakat Indonesia. Beragam kearifan lokal (local wisdom),
seperti tingginya penghargaan terhadap seni dan kesukaan pada
gotong-royong, dapat menjadi bagian penting untuk mendukung perubahan.
Namun, upaya perubahan ini, bila tidak hati-hati, akan terjebak pada
sikap-sikap pemaksaan, bila seluruh proses tidak dijalankan atas dasar sikap toleran.
Adanya sikap toleran menjadi semakin penting karena kemajemukan
masyarakat Indonesia. Situasi majemuk di tengah tumbuhnya demokrasi
ternyata sering memunculkan terjadinya perebutan sengit atas pengakuan
dan sumber-sumber langka. Konflik pun seringkali tak teralakkan.Untuk
mengatasi situasi ini, proses komunikasi yang baik jelas diperlukan.
Sikap toleran terhadap perbedaan menjadi penting.
Kedua, upaya mengembangkan karakter luhur itu hanya akan
terjadi, bila dalam masyarakat terjadi proses interaksi yang sehat di
antara anggota-anggotanya. Interaksi sehat terjadi bila masing-masing
pihak menjalankan prinsip kesamaan derajat, kesamaan atas keterlibatan (strong and equal envolvement), dan keterbukaan (openess).
Langkah membangun interaksi sehat ini memerlukan pemahaman dan latihan
yang terus menerus. Bila hal ini berhasil dilakukan akan terbangun
komunitas yang anggota-anggotanya memiliki jalinan hubungan erat. Sikap
luhur seperti kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan toleran
sebagaimana disebutkan sebelumnya akan tumbuh subur dalam lingkungan
masyarakat yang memiliki interaksi sehat.
Ketiga, pola-pola interaksi sehat merupakan embrio tumbuhnya
sebuah komunitas responsif. Apa itu komunitas responsif? Amitai Etzioni
menggunakan terminologi “komunitas responsif” untuk menandai sebuah
komunitas yang TIDAK represif terhadap warganya seperti halnya
memaksakan aturan dan nilai yang dianut dalam lingkungan komunitas itu
sehingga hak-hak individu terabaikan (karena adanya centripetal forces of community), dan sebaliknya, dalam komunitas responsif ini tiap individu TIDAK begitu saja bebas-bebasnya (sebagaimana dalam iklim libertarian free-for-all).
Bentuk komunitas responsif mengacu pada prinsip keseimbangan antara
kedua kecenderungan itu dengan menghindari terbentuknya lingkungan yang
bersifat represif terhadap warga dan pada saat yang sama juga menolak
individualisme yang cenderung menghancurkan kebersamaan (solidaritas
sosial). Etzioni dalam artikel “Positive Aspects of Community and
the Dangers of Fragmentation” (1996) menulis, “the term ‘responsive’
implies that the society is not merely setting and fostering norms for
its members, but is also responding to the expressions of their values,
viewpoints and communications in refashioning its culture and structure.”
|
Bila kita
mengidamkan tumbuhnya tindakan-tindakan luhur yang dilakukan tiap warga
masyarakat, maka mau tidak mau, harus ada upaya serius membangun
komunitas-komunitas responsif di berbagai tempat. Model komunitas
responsif dapat dibangun antara lain dengan membentuk unit-unit kerja
yang bergerak atas prinsip partisipatif dan emansipatoris dalam
masyarakat, yang keseluruhannya bekerja dengan tujuan memperkuat
terbangunnya struktur masyarakat egaliter dan demokratis. Dengan
tumbuhnya ribuan komunitas responsif semacam ini di Indonesia, perubahan
demi perubahan dapat kita harapkan karena tumbuh pola-pola interaksi
sehat antar sesama warga di berbagai komunitas di Indonesia. Pada
gilirannya kelak, dengan tumbuhnya struktur dan pola interaksi yang
sehat secara terus menerus ini, akan terbentuk karakter luhur seperti
sikap jujur, adil, tanggung jawab, dan toleran pada tiap pribadi warga
bangsa.
Penutup
Dengan uraian ini, betapapun kini kita dihadapkan pada begitu banyak
masalah berat, namun optimisme untuk menata kehidupan yang lebih baik
dalam berbangsa harus terus menerus kita bangun. Sungguh, jalan lebar
harus kita ciptakan karena landasan untuk membangun optimisme itu memang
terbuka luas. Sejak reformasi dicanangkan, iklim kehidupan demokratis
mulai tumbuh. Dengan kebebasan pers yang mulai bangkit, kemerdekaan
berserikat dan hak-hak asasi manusia mulai tumbuh, berbagai gagasan
inovatif pun mulai lahir. Kini, kita pun mulai menyaksikan tumbuhnya
inisiatif anak-anak muda di berbagai pelosok tanah air untuk
menyelamatkan kehidupan berbangsa dari ketertinggalan dan keterpurukan.
Mereka biasanya tampak saat mereka menggalang berbagai aksi solidaritas,
membantu sesama anak bangsa, terutama saat di beberapa wilayah negeri
ini tertimpa musibah bencana. Di forum forum diskusi, mereka juga
seringkali muncul, mencoba berdiskusi mengemukakan gagasan-gagasan
inovatif dan terobosan-terobosan baru untuk mengatasi berbagai masalah.
Dalam dada mereka, ada semacam dorongan begitu kuat untuk membangun
solidaritas kemanusiaan dan kebangsaan. Sungguh, inilah harapan bangsa
ini ke depan, harapan untuk mencapai the Indonesian Dream yang dicita-citakan.[]
_______________
1 Bagian
dari artikel ini telah diterbitkan oleh Tidar Heritage Foundation dan
Mizan pada Juni 2008, sebagai bagian buku Komaruddin Hidayat dan Putut
Widjanarko (Editors). Reinventing Indonesia: Menemukan kembali Masa Depan Indonesia.
Makalah disampaikan dalam seminar nasional Seratus Tahun Kebangkitan
Nasional, hasil kerjasama Sekretariat Negara RI dengan Universitas
Syahkuala, Aceh, 29 Juli 2008.
2 Sosiolog FISIP-UI, Direktur Yayasan Nurani Dunia.
3 Suku bangsa Melayu, dalam Sensus Penduduk 2000, walaupun jumlahnya
menempati urutan ketiga dari seluruh suku-suku yang ada di Indonesia,
namun jumlahnya hanya 6.946.040 (3.45%), jauh lebih kecil dibanding suku
Jawa 83.865.724 (41.71%), atau suku Sunda 30.978.404 (15.41%). Lihat
Leo Suryadinata, Evi Nurvidya Arifin dan Aris Ananta, 2003, hal. 7.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar