Ahmad Baedowi
Selasa, 12 Juli 2011 15:56:00 WIB
Memaknai Ragam Budaya
Ironis.
Sebuah sekolah yang secara kasat mata menampung ratusan anak yatim
piatu dan seharusnya dibela dan dijaga, di daerah yang terkenal dengan
sebutan darussalam (daerah damai) yaitu Aceh, diamuk massa
hanya karena ada sedikit perbedaan pandangan dan pendapat tentang
kreativitas dalam mengajar. Pelatihan yang seharusnya menjadi bagian
dari upaya peningkatan kualitas pendidikan di Aceh, secara mendadak
harus bubar karena diserang dengan alasan yang kurang bisa diterima
akal sehat. Kejadian ini menyisakan banyak sekali pertanyaan, di
antaranya: Sampai kapan orang Aceh akan terbiasa untuk menerima
perbedaan tanpa menggunakan kekerasan?
Dapat dipastikan bahwa munculnya tindak kekerasan semacam penyerangan
sekolah dan sebagainya merupakan salah satu indikasi lemahnya
pemahaman guru, siswa dan masyarakat terhadap keragaman budaya.
Kelemahan pandangan ini merupakan konsekuensi logis dari produk
pendidikan kita yang kurang jelas dalam memaknai dan
mengimplementasikan keragaman budaya dalam kurikulum secara
keseluruhan. Kesadaran ragam budaya ini seakan lenyap dan sunyi dari
pembahasan di sekolah-sekolah dan kampus terutama sejak era reformasi,
di mana misalnya nomenklatur Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
(Mendikbud) diubah menjadi Kementrian Pendidikan Nasional (Mendiknas).
Di sekolah misalnya, budaya hanya dipahami secara monoton sebagai ragam
seni dan adat istiadat yang terbatas pada praktek menyanyi dan menari
tanpa pendalaman makna budaya sebagai sebuah pijakan dari sikap
terbuka.
Seperti diketahui, sikap terbuka, inklusif, mengedepankan dialog,
saling memahami di tengah keanekaragaman budaya dan agama diakui sebagai
modal penting bagi kelangsungan kehidupan umat manusia. Sayangnya,
hiruk pikuk perdebatan mengenai tema penting keanekaragaman budaya dan
agama itu terhenti hanya pada tingkat wacana, belum sampai ke level
praksis. Demikian pula, dunia praksis-birokrasi dan lingkungannya, yang
seharusnya menjadi ujung tombak penyebaran dan penyemaian wacana ini,
hampir-hampir tidak tersentuh dalam hiruk-pikuk tersebut. Karena itu
diperlukan upaya sistematik untuk mendidik keanekaragaman budaya dan
agama kepada para siswa di sekolah. Rasanya sulit membayangkan masa
depan bangsa Indonesia tanpa penyemaian dan pemahaman yang konkrit
terhadap fakta keanekaragaman budaya dan agama. Apalagi, hingga saat
ini, dunia pendidikan kita sering dikritik karena terkesan kurang faham
mengenai entitas multikultural di tengah-tengah masyarakat.
Dalam buku Politics, Language, and Culture: A Critical Look at School Reform,
Joseph Check (2004) mengajukan pertanyaan menarik tentang muatan
kurikulum dalam sebuah sistem pendidikan. "Dapatkah sistem pendidikan
sebuah negara melalui muatan kurikulumnya menghindari pertanyaan tentang
isu RAS, bahasa dan budaya, serta dapat mencapai prestasi yang
diharapkan?” Pertanyaan sangat serius ini mengundang kita untuk
menjawab, bahwa tidak mungkin rasanya kita menghindari isu-su tersebut
sejauh persoalan pemerataan (equity) pendidikan masih tetap tinggi, akses (access) dan kualitas (quality)
pendidikan juga masih rendah. Untuk mengatasi ketimpangan-ketimpangan
ini salah satunya dapat diatasi dengan membuat atau memasukkan agenda
keragaman budaya dan etnik dalam kurikulum pendidikan nasional.
Selain kebutuhan instinktif dari guru, siswa dan masyarakat dalam
memandang perbedaan, kebutuhan muatan budaya dan etnisitas dalam
kurikulum juga akan meminimalisir pemahaman siswa terhadap monopoli
kebenaran dalam beragama.
Geneva Gay dalam Culturally Responsive Teaching (2000) memberikan sedikitnya lima argumen mengapa muatan budaya dan etnik itu sangat stragis dan penting untuk ditubuhkan dalam kurikulum pendidikan. Pertama, muatan budaya dan etnik dalam kurikulum pendidikan sangat krusial sekaligus esensial bagi perbaikan aspek pedagogis guru dalam mengajar. Kedua, karena kebanyakan sumber belajar di ruang kelas adalah textbook, maka memasukkan agenda budaya dan etnik ke dalam textbook merupakan keniscayaan karena hal itu akan mengubah gaya mengajar guru.
Geneva Gay dalam Culturally Responsive Teaching (2000) memberikan sedikitnya lima argumen mengapa muatan budaya dan etnik itu sangat stragis dan penting untuk ditubuhkan dalam kurikulum pendidikan. Pertama, muatan budaya dan etnik dalam kurikulum pendidikan sangat krusial sekaligus esensial bagi perbaikan aspek pedagogis guru dalam mengajar. Kedua, karena kebanyakan sumber belajar di ruang kelas adalah textbook, maka memasukkan agenda budaya dan etnik ke dalam textbook merupakan keniscayaan karena hal itu akan mengubah gaya mengajar guru.
Ketiga, berdasarkan riset secara simultan di beberapa
sekolah, muatan budaya dan etnik dalam kurikulum pendidikan memiliki
arti yang banyak bagi para siswa sekaligus meningkatkan apresiasi siswa
dalam belajar. Keempat, relevansi muatan budaya dan etnik
dalam kurikulum juga menyumbang kelestarian sejarah, budaya, tradisi
sebuah etnis tertentu sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan
apresiasi kebangsaan yang tinggi, baik di kalangan siswa maupun guru.
Sedangkan yang kelima, biasanya muatan budaya dan etnik
diambil dari berbagai sumber yang sangat kaya, bukan hanya dari buku
tetapi juga dari pengalaman orang per-orang, baik melalui wawancara
maupun yang didokumentasi dalam bentuk tayangan dan sebagainya.
Mencintai keragaman dapat berarti banyak hal bagi bangsa Indonesia.
Apalagi di tengah mencuat dan menguatnya ancaman kekerasan di tengah
masyarakat yang jelas sangat tidak pro terhadap fakta keragaman. Jelas
sekali bahwa kebutuhan memasukkan muatan budaya dan etnik ke dalam
kurikulum pendidikan akan menjadi tonggak penting dalam mereduksi
faham-faham keagamaan yang salah. Kritik sekaligus pukulan dari para
pelaku kekerasan sesungguhnya menguatkan asumsi tentang kebutuhan akan
muatan keragaman budaya dan etnik ke dalam kurikulum pendidikan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar