Harmoni Kebhinekaan Suro
Tahun baru Jawa mempunyai makna panjang. Menuju keseimbangan antara manusia, Tuhan, dan alam.
Empat
ratusan orang berkumpul di Tugu Pahlawan, Surabaya, Sabtu (26/11)
malam. Anak-anak, perempuan, dan pria bergabung jadi satu. Beberapa
orang sibuk mengatur barisan. Tepat pukul 18.00 rombongan berangkat
menuju Kampung Ilmu di Jalan Semarang. Mereka berjalan beriringan.
Barisan terdepan pasukan berkuda, disusul "abdi dalem", kemudian kaum
perempuan, pria, dan anak-anak membawa obor. Di tengah barisan atraksi
kuda lumping dan barongsai.
Gelaran kirab atau pawai ini dalam rangkaian memperingati tahun baru Jawa Suro atau 1 Muharram dalam penanggalan Islam. Mereka mengusung tema ”Menjaga Harmono, Merayakan Kebhinekaan”.
Prosesi kirab diawali penyerahan payung agung kepada Menggala Yuda
(pemimpin kirab). Di atas kuda putih Menggala Yuda memimpin kirab yang
diikuti rombongan 40 gunungan hasil bumi dan buah-buah, arak-arakan 40
obor, jaranan, barongsai, dan rombongan masyarakat menuju Kampung Ilmu.
Setiap langkah dalam kirab memiliki makna. Payung Agung, misalnya,
sebagai simbol penegasan hidup rukun dan harmoni tidak bisa terwujud
tanpa jaminan dari pemangku pemerintahan. Gunungan hasil bumi dan
buah-buahan mencerminkan pandangan keseimbangan kosmologis yang
dijunjung tinggi masyarakat Indonesia. Rombongan obor menggambarkan
semangat menjaga kearifan lokal agar tidak padam. Rombongan jaranan dan
barongsai merupakan bukti harmoni budaya mewarnai kehidupan masyarakat
Indonesia.
Koordinator acara Budi Santosa mengatakan, gelaran Suroan ini bisa
dikatakan istimewa, karena lintas agama dan sektoral. Seperti Paroki
Vincentius a Paulo Surabaya, Budhist Education Center Surabaya, Forum
Studi Tionghoa Indonesia, dan Jaringan Gus Durian Surabaya. "Kami juga
melibatkan anak-anak jalanan, waria, dan pekerja seks komersial. Kami
ingin 1 Suro milik semua lapisan masyarakat," ujar Budi.
Harmoni Kehidupan
Budi berharap peringatan 1 Suro tahun ini mengilhami masyarakat untuk
mengejawantahkan kembali pandangan hidup harmoni sehingga semua individu
dan kelompok hidup berdampingan secara merata.
Pemerintah juga diharapkan berperan dalam menjaga dan menyelaraskan
harmoni hidup. Di antaranya dengan memasukkan tahun baru Jawa dalam
kalender nasional. Hal prinsip lainnya adalah soal kebhinekaan yang
terus tergerus akibat gelombang fundamentalis dan budaya modern. "Peran
pemerintah dalam keberagaman budaya adalah faktor penentu terciptanya
tata kehidupan berbangsa yang harmonis," kata Budi.
Pemerintah mengemban tanggung jawab memberikan kesempatan kepada setiap
individu dan kelompok mengembangkan diri dalam kekayaan khazanah budaya
masing-masing. Pemerintah juga tidak bisa mengelak dari kewajiban
melindungi dan memenuhi hak kelompok minoritas agama / keyakinan yang
selama ini mendapatkan perlakuan diskriminatif.
Pemimpin Kirab Gereget Suro, Mashuri, mengatakan 1 Suro adalah waktu
yang tepat bagi manusia untuk melakukan permenungan dan mensyukuri
berkat dan perlindungan Tuhan. Manusia yang berbudaya bersyukur atas apa
yang diberikan Tuhan dalam kehidupan, termasuk negara yang kaya, indah,
permai. "Kita harus merawat alam dengan baik, jika ingin Indonesia
makmur."
Pekerja seni Asih Suwito mengatakan, perayaan 1 Suro hendaknya
dijadikan momentum menghidupkan kembali budaya bangsa serta sarana
membersihkan diri. Suro adalah bulan sakral untuk membersihkan hati.
Hendy Sidharta dari Forum Studi Tionghoa Indonesia mengatakan, Suro
memiliki makna yang panjang dalam kehidupan manusia. Dengan gelaran 1
Suro tidak ada lagi pengotakan budaya tertentu. Melalui budaya,
masyarakat bisa bersatu dalam membangun kebersamaan.
Menurut dia, tradisi budaya Jawa dan Tionghoa memiliki kesamaan. Yakni
digusur oleh mereka yang berkuasa dan dihancurkan oleh sekelompok
pemeluk agama yang beraliran fundamental. "Selama Orde Baru, kesenian
barongsai dilarang. Beberapa waktu lalu patung wayang dirusak oleh ormas
keagamaan. Ini bukti budaya pelan namun pasti akan dihancurkan."
Sejarah 1 Suro
Peringatan
1 Suro atau tahun baru Jawa berlangsung sejak berdiri kerajaan Mataram
Islam. Di bawah pemerintahan Sultan Agung (1613 - 1645 Masehi), tahun
Hijriyah dan tahun Saka dikonversi menjadi tahun Jawa.
Sultan Agung saat itu mengganti tahun 1555 Saka menjadi tahun 1555
Jawa. Penetapan tanggal dan bulannya disamakan dengan tanggal dan bulan
Hijriyah. Alhasil, tanggal 1 Suro 1555 tahun Jawa disamakan dengan
tanggal 1 Muharram 1043 Hijriyah, bertepatan dengan 8 Juli 1633 Masehi.
Inilah tonggak masyarakat Jawa merayakan tahun baru Jawa.
Sebagai kekayaan budaya, peringatan tahun baru Jawa mengejawentahkan pandangan hidup harmoni yang diugemi
mayoritas masyarakat Jawa. Secara filosofis, peringatan 1 Suro
mencerminkan keyakinan tentang keseimbangan kosmologi antara manusia,
alam, dan Tuhan. Dalam penalaran masyarakat Jawa, alam semesta dihargai
sebagai ”makhluk hidup” yang berdampingan dengan manusia. Menghormati
dan menjaga kelestarian alam berarti menjaga kelestarian hidup manusia.
Perayaan tahun baru Jawa juga dijiwai dengan penghayatan yang mendalam
pada keyakinan bahwa Tuhan adalah Maha Tunggal. Masyarakat Jawa
mengimani Tuhan adalah kekuatan adi - manusiawi yang memungkinkan
keseimbangan kosmologis tetap langgeng.
Pandangan hidup harmoni inilah menjadikan masyarakat terbuka atas
berbagai budaya baru. Kehadiran budaya Arab, Islam, dan Barat dalam
sejarahnya tidak mengganggu pandangan hidup harmoni yang dikembangkan
masyarakat Jawa.
Tradisi peringatan 1 Suro bagi masyarakat Jawa adalah upaya untuk menemukan jati diri agar selalu tetap eling lan waspodo. Eling artinya ingat siapa dirinya dan dari mana sangkan paraning dumadi (asal
mula), menyadari kedudukannya sebagai makhluk Tuhan dan tugasnya
sebagai khalifah di bumi, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Waspodoberarti harus tetap cermat, terjaga, dan awas terhadap
segala godaan yang menyesatkan. Karena godaan itu menjauhkan diri dari
Sang Pencipta, sehingga menyulitkan manusia dalam mencapai manunggaling kawula gusti (bersatunya makhluk dan Sang Khalik).
Bulan Suro sebagai awal tahun Jawa juga dianggap sakral karena
merupakan bulan yang suci atau bulan untuk melakukan perenungan,
bertafakur, berintrospeksi, serta mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
(E4)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar