PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
ANCAMAN DISINTEGRASI BANGSA
Oleh : Tim Puslitbang
Strahan Balitbang Dephan
LATAR
BELAKANG.
Indonesia sebagai
negara kepulauan (Archipelagic State) yang memiliki keaneka ragaman baik dilihat
dari segi ras, agama, bahasa, suku bangsa dan adat istiadat, serta kondisi
faktual ini disatu sisi merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang membedakannya
dengan bangsa-bangsa lain yang tetap harus dipelihara. Keanekaragaman tersebut
juga mengandung potensi konflik yang jika tidak dikelola dengan baik dapat
mengancam keutuhan, persatuan dan kesatuan bangsa, seperti gerakan separatisme
yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akibat
dari ketidakpuasan dan perbedaan kepentingan yang dapat mengakibatkan terjadinya
disintegrasi bangsa.
Ancaman disintegrasi bangsa dibeberapa bagian wilayah sudah berkembang
sedemikian kuat. Bahkan mendapatkan dukungan kuat sebagian masyarakat,
segelintir elite politik lokal maupun elite politik nasional dengan menggunakan
beberapa issue global Issue tersebut meliputi issu demokratisasi, HAM,
lingkungan hidup dan lemahnya penegakan hukum serta sistem keamanan wilayah
perbatasan. Oleh sebab itu, pengaruh lingkungan global dan regional mampu
menggeser dan merubah tata nilai dan tata laku sosial budaya masyarakat
Indonesia yang pada akhirnya dapat membawa pengaruh besar terhadap berbagai
aspek kehidupan termasuk pertahanan keamanan.
Untuk itu pembangunan
dan pengamanan wilayah NKRI harus dilakukan melalui pendekatan beberapa aspek,
terutama aspek demarkasi dan delimitasi garis batas negara, disamping itu
melalui pendekatan pembangunan kesejahteraan, politik, hukum, dan keamanan.
Pembangunan nasional yang diharapkan dapat menghasilkan kemajuan di berbagai
bidang kehidupan masyarakat. Sehingga dapat dijadikan sebagai landasan yang
kokoh dalam upaya mencapai masyarakat Indonesia yang maju dan mandiri dalam
suasana tentram dan sejahtera lahir dan batin, dalam tata kehidupan masyarakat,
bangsa dan negara yang berlandaskan Pancasila, pada kenyataannya belum
terwujud. Pancasila sebagai
ideologi negara yang lahir dari ide-ide bangsa yang mengandung nilai-nilai
hakiki semakin terkikis oleh ideologi asing. Inilah berbagai permasalahan yang
kita hadapi dan menjadi tantangan kita bersama.
Menghadapi
situasi dan kondisi demikian kita harus memiliki satu visi. Baik para pemimpin
pemerintahan, sipil maupun militer, juga para elite politik, tokoh masyarakat,
tokoh agama dan tokoh partai serta media massa. Penyamaan visi itu penting untuk
mengatasi perbedaan-perbedaan yang ada dan dapat menimbulkan permusuhan.
Karena tidak ada satu negarapun didunia
toleran terhadap aspirasi rakyat di sebagian wilayah teritorial yang berniat
mengembangkan wacana dan berkeinginan memisahkan diri akibat dari ketidakpuasan
yang mendasar, terhadap keadilan sosial, keseimbangan pembangunan, pemerataan
hasil pembangunan dan hal-hal sejenisnya. Oleh karena itu diharapkan setiap
warga negara harus dapat mengendalikan emosi, sabar, dan tidak terlalu sensitif,
sehingga bangsa dan negara kita dapat terhindar dari semua situasi dan kondisi
yang bernuansa konflik dan dapat mengakibatkan disintegrasi bangsa.
LANDASAN
PEMIKIRAN.
Potensi
disintegrasi bangsa di Indonesia sangatlah besar hal ini dapat dilihat dari
banyaknya permasalahan yang kompleks yang terjadi dan apabila tidak dicari
solusi pemecahannya akan berdampak pada meningkatnya eskalasi konflik menjadi
upaya memisahkan diri dari NKRI.
Kondisi
ini dipengaruhi pula dengan menurunnya rasa nasionalisme yang ada didalam
masyarakat dan dapat berkembang menjadi konflik yang berkepanjangan yang
akhirnya mengarah kepada disintegrasi bangsa, apabila tidak cepat dilakukan
tindakan-tindakan yang bijaksana untuk mencegah dan menanggulanginya sampai pada
akar permasalahannya secara tuntas maka akan menjadi problem yang
berkepanjangan. Oleh karena itu diperlukan landasan pemikiran yang terkait,
diantaranya :
1. Pancasila sebagai landasan Idiil.
Pancasila sebagai landasan idiil telah diterima dan diyakini kebenarannya
oleh setiap warga negara Indonesia sebagai ideologi dan dasar negara. Kata
Pancasila secara eksplisit tidak disebutkan dalam pembukaan UUD 1945, akan
tetapi kelima sila lengkap termuat didalamnya dimana setiap sila mempunyai
kaitan yang erat dengan sila lainnya dan tidak dapat dipisahkan. Konsekuensi
dengan diterima dan diyakini kebenarannya tersebut maka merupakan kewajiban
bagi seluruh warga negara Indonesia untuk mengamalkan dan menghayati
Pancasila secara utuh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
2. UUD 1945 sebagai Landasan Konstitusional.
Sejak proklamasi kemerdekaan RI, bangsa Indonesia resmi menjadi bangsa yang
berdaulat dan berhasil menetapkan UUD 1945 sebagai sumber dari segala sumber
hukum di Indonesia, yang berisi norma-norma, aturan-aturan dan ketentuan-
ketentuan yang diperlukan dalam penyelenggaraan negara. Pasal 30 ayat 1
menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
pertahanan dan keamanan negara. Berkaitan dengan pasal ini merupakan proses yang
menyadarkan warga negara akan kewajiban yang harus dilakukan dan sekaligus ingin
mengembangkan kemampuan warga negara untuk dapat melaksanakan kewajibannya. Oleh
karena itu persatuan dan kesatuan mutlak dijaga dan dipertahankan serta ditumbuh
kembangkan, sebab hanya persatuan dan kesatuanlah yang dapat mencegah dan
menanggulangi segala bentuk ancaman apapun serta dari manapun datangnya.
3. Wawasan Nusantara sebagai landasan visional.
Wawasan nusantara adalah merupakan cara pandang bangsa Indonesia yang
manifestasinya ditentukan oleh dialog antara bangsa dengan lingkungannya, baik
alam maupun sosial yang digunakan untuk memotivasi dan menggerakan setiap upaya
mencapai tujuan nasional dan cita-cita nasional Indonesia.
Untuk
itu harus mempunyai pengertian yang sama, wawasan nusantara versi Lemhanas yang
dijadikan sebagai pegangan pokok yaitu “cara pandang bangsa Indonesia yang
berlingkup demi kepentingan nasional, yang berlandaskan Pancasila, tentang diri
dan lingkungannya, serta tanah airnya sebagai negara kepulauan dengan semua
aspek kehidupannya yang beragam dan dinamis, dengan menggunakan persatuan dan
kesatuan wilayah Indonesia, yang tetap menghargai dan menghormati ke Bhinnekaan
dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara untuk
mewujudkan cita-cita nasional”.
Guna mewujudkan persatuan dan kesatuan yang kokoh, berdasarkan
wawasan nusantara perlu diarahkan untuk menumbuh kembangkan kesadaran cinta
tanah air pada setiap warga negara, yang selanjutnya akan terpatri semangat
rasa sebangsa dan setanah air yang pada akhirnya rela berkorban demi tegaknya
persatuan dan kesatuan.
4. Ketahanan Nasional sebagai Landasan Konsepsional.
Ketahanan nasional sebagai landasan konsepsional pada dasarnya adalah kemampuan
dan ketangguhan suatu bangsa dalam menangkal setiap ancaman, untuk menjamin
kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga memperkokoh persatuan dan kesatuan
bangsa serta perjuangan untuk mencapai tujuan nasional.
Keadaan ini akan dapat terlaksana dengan baik apabila setiap warga
negara memiliki kepatuhan terhadap semua aturan dan tatanan yang berlaku
dimasyarakat pada semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada zaman
reformasi ini dengan berbagai krisis yang berdampak munculnya beraneka ragam
tuntutan masyarakat, menggunakan isue-isue universal, masyarakat menghendaki
perubahan-perubahan yang mendasar diberbagai tatanan kehidupan dan sistem
berbangsa dan bernegara. Dibeberapa wilayah bermunculan kelompok-kelompok
separatis yang menghendaki memisahkan diri dari NKRI, bahkan tindakan-tindakan
anarkis yang bernuansa SARA .
Dampak
semua itu telah menimbulkan berbagai kecemasan tentang masa depan bangsa yang
penuh ketidak pastian, sebagai akibat berkembangnya pemikiran primordialisme
sempit yang dikumandangkan oleh golongan tertentu yang dikemas dengan muaranya
tuntutan hati nurani rakyat dan ujungnya merupakan kepentingan politik, kelompok
atau golongan.
Dalam situasi seperti ini sudah saatnya merapatkan barisan untuk
membangun kembali potensi bangsa yang sudah retak dan lunturnya rasa
nasionalisme, untuk memperkokoh ketahanan nasional sebagai landasan konsepsional
sehingga dapat diwujudkan keuletan dan ketangguhan yang handal sesuai harapan.
5. Ketetapan MPR Nomor : V / MPR / 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan
Kesatuan Nasional.
Sejak awal berdirinya NKRI para pendiri negara menyadari bahwa keberadaan
masyarakat yang majemuk merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang harus diakui,
diterima dan dihormati yang kemudian diwujudkan dalam semboyan “Bhinneka Tunggal
Ika”. Namun disadari bahwa ketidakmampuan untuk mengelola kemajemukan dan
ketidaksiapan sebagian masyarakat untuk menerima kemajemukan tersebut, serta
dampak peninggalan penjajah Belanda yang selalu tidak menghendaki terjadinya
persatuan dibumi Indonesia karena sangat membahayakan bagi keberadaannya, yang
dulu dikenal dengan politik “devide et impera”.
Kondisi
ini ditanamkan oleh Belanda pada sebagian rakyat Indonesia, bahkan masih
digunakan secara turun-temurun khususnya yang terjadi pada RMS dan OPM, hingga
saat ini masih terjadi gejolak yang selalu membahayakan persatuan dan kesatuan
bangsa, apabila hal tersebut dapat dikaji penyebab utamanya adalah belum
disosialisasikannya sikap perilaku menghormati privacy seseorang dalam suatu
tata hukum bermasyarakat, dan semakin lama dibiarkan berkembangnya campur tangan
memasuki wilayah privacy perorangan maka dapat mengakibatkan tumbuh menjadi
sumber konflik.
Hal tersebut telah melahirkan ketidakadilan konflik vertikal antara
pusat dan daerah, maupun konflik horizontal serta konflik komunal antar berbagai
unsur masyarakat, dalam bebagai perbedaan yang muncul. Usaha untuk mewujudkan
gerakan reformasi secara konsekuen dan konsisten dalam mengakhiri berbagai
konflik yang bersifat multidimensi harus memerlukan kesadaran dan rasa
nasionalisme seluruh warga negara.
ANALISA
PERMASALAHAN
Dalam
rangka merumuskan kebijakan, upaya dan strategi dalam menanggulangi dan mencegah
ancaman disintegrasi bangsa maka perlu mengetahui karakteristik penyebab
terjadinya ancaman disintegasi bangsa yang terjadi saat-saat ini. Oleh karena
itu maka dapat dianalisa melalui beberapa faktor diantaranya sebagai berikut :
1. Pencegahan dan Penanggulangan Ancaman Disintegrasi Bangsa.
Permasalahan konflik yang terjadi saat ini antar partai, daerah, suku, agama dan
lain-lainnya ditenggarai sebagai akibat dari ketidak puasan atas kebijaksanaan
pemerintah pusat, dimana segala sumber dan tatanan hukum dinegara ini berpusat.
Dari segala bentuk permasalahan baik politik, agama, sosial, ekonomi maupun
kemanusiaan, sebenarnya memiliki kesamaan yakni dimulai dari ketidakadilan yang
diterima oleh masyarakat Indonesia pada umumnya sehingga menimbulkan
ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat, terutama bila kita meninjau kembali
kekeliruan pemerintah masa lalu dalam menerapkan dan mempraktekkan
kebijaksanaannya.
Konflik yang berkepanjangan dibeberapa daerah saat ini sesungguhnya berawal dari
kekeliruan dalam bidang politik, agama, ekonomi, sosial budaya, hukum dan
hankam. Kondisi tersebut lalu diramu dan dibumbui kekecewaan dan sakit hati
beberapa tokoh daerah, tokoh masyarakat, tokoh partai dan tokoh agama yang
merasa disepelekan dan tidak didengar aspirasi politiknya serta para eks
tapol/Napol. Akumulasi dari kekecewaan tersebut menimbulkan gerakan radikal dan
gerakan separatisme yang sulit dipadamkan.
Dalam
kecenderungan seperti itu, maka kewaspadaan dan kesiapsiagaan nasional dalam
menghadapi ancaman disintegrasi bangsa harus ditempatkan pada posisi yang tepat
sesuai dengan kepentingan nasional bangsa Indonesia. Oleh karena itu untuk
mencegah ancaman disintegrasi bangsa harus diciptakan keadaan stabilitas
keamanan yang mantap dan dinamis dalam rangka mendukung integrasi bangsa serta
menegakkan peraturan hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
a) Ancaman Disintegrasi Bangsa Pasca Reformasi.
Ancaman Pasca reformasi berbagai bentuk kekerasan telah terjadi diberbagai
tempat dalam bingkai NKRI. Citra NKRI sebagai negara yang ramah dan penuh santun
mulai luntur bahkan hilang ditelan gelombang dan derasnya arus reformasi.
Munculnya konflik yang berbasis sentimen primordial dengan sebab-sebab yang
tidak terduga telah memberikan wajah baru pada NKRI. Konflik yang muncul tidak
berada dalam ruang hampa. Namun berada diatas timbunan dibawah karpet tebal
”kesatuan” dan ”persatuan” yang menghimpit ke Bhinekaan pada jaman Orde Baru.
Reformasi telah membuka semua saluran yang dimampatkan dengan pendekatan
keamanan, membuat beragam kepentingan yang lama terpendam mencuat keatas
permukaan.
Gambarannya semakin jelas, khususnya pasca reformasi ketika relasi-relasi
kekuasaan yang semula mapan menjadi tergoyahkan dan batas-batas identitas
kembali digugat. Dalam situasi seperti ini konflik menjadi suatu keniscayaan,
berbagai konflik seperti ”hal biasa” misalnya dalam Pemilihan Kepala Daerah
(PILKADA) dan pemekaran wilayah yang dalam banyak hal tampaknya lebih
didasari kepentingan politik daripada ketimbang kesejahteraan rakyat.
Karakteristik konflik tak bisa diisolasi satu dengan yang lainnya. Konflik yang
menggunakan sentimen agama dan etnis bisa saja hanya bungkus untuk menutupi
kepentingan lain yang bersifat pragmatis dan kepentingan jangka pendek.
Terkadang inti persoalannya terkait dengan isu-isu politik dan marjinalisasi
masyarakat adat akibat kebijakan pemerintah. Seperti yang dikatakan Presiden
Soekarno bahwa karakter bangsa harus terus-menerus dibangun melalui
pemimpin-peminpin yang memahami peta sosio-kultural-ekologis setiap wilayahnya
dan masyarakatnya. Hal inipun harus tercermin dalam berbagai produk per
undang-undangan yang menentukan hajat hidup warga negara. Kondisi NKRI yang
terdiri dari ribuan kebudayaan dan tersebar diribuan pulau dengan perbedaan yang
ekstreem, isu yang paling rentan adalah yang terkait dengan masalah etnis dan
agama.
Politisasi identitas dua isu itu yang paling banyak digunakan dalam konflik dan
kekerasan untuk membungkus kepentingan pribadi dan politik oleh para elit
politik. Terkait dengan timbulnya persoaalan yang mendasar dalam hubungan antara
agama dan negara, ketika negara menentukan yang mana agama dan bukan agama,
implikasinya sangat luas. Para penganut keyakinan diluar enam agama yang resmi
akan dicap animisme, bahkan yang tidak beragama dianggap komunis.
Permasalahan kasus kekerasan terkait dengan kebebasan beragama saja pada tahun
2007 telah terjadi 185 kasus. Konflik kekerasan yang bernuansa sentimen agama
sangat komplek dan rumit, baik menyangkut konstruksi paham maupun faktor-faktor
sosiologis tak jarang konflik itu terbungkus dalam relasi sosial yang bersifat
hegemonil ketika dihubungkan antar pemeluk agama berada dalam pola hubungan
mayoritas dan minoritas yang sarat ketegangan.
Ironisnya berdasarkan hasil penelitian Human Rights Studies tahun 2005 ,
masyarakat Indonesia menempatkan identitas agama dan kesukuan sebagai identitas
utama, baru kemudian identitas kebangsaan dan kemanusiaannya. Hasil penelitian
tersebut jelas bahwa terjadi perubahan paradigma dari jaman sebelum merdeka dan
setelah merdeka hingga saat ini.
Perjalanan reformasi kadang-kadang melahirkan ketidak pastian hukum dan
mempertaruhkan esensi demokrasi itu sendiri. Munculnya Perda-perda bernuansa
agama serta moralitas salah satu hasilnya adalah lebih digunakan untuk
mengalihkan perhatian dari persoalan-persoalan riil didaerah yang tak mampu
dicarikan solusinya oleh para pemimpin daerah.
Keinginan masyarakat untuk membangun rasa persatuan dan kesatuan merupakan
bagian dari budaya bangsa melalui kegotong royongannya tetap ada ,namun disisi
lain para pemimpin dan elit politik lebih disibukkan dengan urusan politik dan
kekuasaan. Rasa persatuan dan kesatuan tidak akan bisa dilaksanakan apabila rasa
solidaritas sebagai bangsa tak dapat ditumbuh kembangkan, karena solidaritas
bertumpu atas dasar kepentingan bersama dalam sejarah perjuangan masa lalu telah
dibuktikan untuk bebas dari penjajah dan membangun bangsa tanpa paksaan muncul
kesediaan rela berkorban demi masa depan bangsa. Solidaritas mencakup
upaya-upaya untuk mempertahankan dan mengembangkan rasa kebersamaan, toleransi,
empati, saling menghormati, mau mengakui kesalahan serta bersedia mengorbankan
kepentingan pribadi, kelompok dan golongsn demi kepentingan NKRI.
Apabila hal ini dapat dihayati dan diamalkan oleh setiap warga negara maka akan
terbangun rasa cinta tanah air, oleh karena itu perlu mendefinisikan kembali
masa depan kebangsaan dan demokrasi Indonesia yang menghargai keberagaman dalam
berbagai perbedaan sekaligus menumbuh kembangkan rasa persatuan dan kesatuan
dalam bingkai NKRI.
b) Keaneka ragaman masyarakat Indonesia.
Pandangan bahwa pruralitas, suku, agama, ras dan antar golongan sebagi penyebab
konflik atau kekerasan massal, tidak dapat diterima begitu saja. Pendapat ini
benar mungkin untuk sebuah kasus, tapi belum tentu benar untuk kasus yang lain.
Segala macam peristiwa dan gejolak sosial budaya termasuk konflik dan kekerasan
massal pada dasarnya tidaklah lahir begitu saja, akan tetapi ada kondisi-kondisi
struktural dan kultural tertentu dalam masyarakat yang beraneka ragam, tetapi
bukan tanpa batas dan merupakan hasil dari suatu proses sejarah yang bersifat
khusus.
Namun
demikian tidak semua kondisi struktural menjadi pemicu atas munculnya suatu
gejolak atau peristiwa, tapi ada kondisi primer dan skunder maupun pendukung
penting dari munculnya gejolak tersebut antara lain akibat terdesaknya kelompok
tertentu dari akses kekuasaan serta adanya suatu proses yang dianggap tidak adil
dan curang. Disisi lain karena keberadaan pendatang yang berbeda budaya, agama,
atau rasnya serta etnosentrisme dan seklusivisme. Kondisi sekundernya adalah
rasa keadlan masyarakat setempat yang tidak terpenuhi, aparat pemerintah tidak
peka terhadap kondisi yang dihadapi masyarakat, atau malah memihak salah satu
etnik atau kelompok masyarakat lainnya. Hal ini akan berdampak makin
meruncingnya suatu masalah dan membuat renggangnya rasa persatuan dan kesatuan.
Faktor
lain yang terjadi dikawasan timur Indonesia memiliki komposisi keragaman etnik
yang banyak dalam bentuk kelompok suku-suku kecil dan rentan, sedang kawasan
barat Indonesia di pulau-pulau besar tinggal kelompok suku-suku yang besar yang
relatif miskin sumber daya alam, membuat mereka bergerak mengeksploitasi SDA
di kawasan timur Indonesia, bahkan nyaris menggusur partisipasi penduduk
setempat. Akibatnya terjadi kesenjangan antara pendatang dan penduduk asli.
Keadaan ini membuat penduduk setempat menjadi antipati terhadap pendatang,
sementara pendatang yang sukses justru memanfaatkan ketertinggalan penduduk
setempat sebagai kelemahan mereka.
Berbagai
catatan sejarah membuktikan bahwa benang merah kekerasan yang terjadi ditingkat
elit politik maupun rakyat selalu ada cara adat untuk menyelesaikannya, bila
terjadi konflik mulai masalah personal sampai keranah publik. Penyelesaian
dengan mendamaikan setiap kerusuhan, konflik, atau perang masa kinipun hal
seperti itu tidak dapat dihindari. Perdamaian dengan cara itu hanya bersifat
sementara, karena rekonsiliasi hanya terjadi dimeja perundingan, bahkan banyak
melibatkan pihak luar.
Sementara ditingkat akar rumput yang paling menderita akibat konflik, tidak
banyak mengalami perubahan karena mereka tidak terwakili dimeja perundingan.
Sebagai
contoh, konflik di Ambon dan Maluku misalnya perempuan banyak berperan sebagai
agen perdamaian dengan menghubungkan pihak bertikay melalui hal yang sangat
sederhana dalam kehidupan sehari-hari, banyak keluarga yang saling melindungi
pihak yang dianggap lawan karena kesadaran akan persaudaraan dan hakekat
kemanusiaan.
c) Konflik-konflik Pacsa Reformasi.
Secara sadar kita harus mengakui bahwa pasca reformasi telah terjadi ancaman
disintegrasi bangsa yang mencakup lima wilayah.
Pertama.
Kekerasan memisahkan diri di Timor-Timor setelah jajak pendapat tahun 1999 yang
pada akhirnya lepas dari NKRI, di Aceh sebelum perundingan Helsinki dan beberapa
kasus di Papua.
Kedua.
Kekerasan komunal berskala besar, baik antar agama, intra agama, dan antar etnis
yang terjadi Kalimatan Barat, Maluku, Sulawesi Tengah, dan Kalimatan Tengah.
Ketiga.
Kekerasan yang terjadi dalam skala kota dan berlansung beberapa hari seperti
peristiwa Mei 1998, huru-hara anti Cina di Tasikmalaya, Banjarmasin, Situbondo
dan Makassar.
Keempat.
Kekerasan sosial akibat main hakim sendiri seperti pertikaian antar desa dan
pembunuhan dukun santet di Jawa Timur 1998.
Kelima.
Kekerasan yang terkait dengan terorisme seperti yang terjadi di Bali dan
Jakarta.
Semua itu belum termasuk konflik kekerasan yang diakibatkan Pilkada dan issu
pemekaran yang menggunakan rakyat sebagi objek kepentingan politik kekuasaan
para elit politik baik lokal maupun nasional.
Berdasarkan data GERRY VAN KLINKEN (2007) kekerasan komunal yang berskala
besar ataupun lokal memakan korban paling besar 90 %, dari jumlah itu 57 %
meninggal akibat issu agama, 30 % akibat etnis, 13 % akibat kekerasan rasial.
Semua kejadian tersebut tentu akan berdampak terhadap pecahnya persatuan dan
kesatuan bangsa apabila penanggannya tidak dilaksanakan dengan cepat, tepat dan
tuntas.
d) Stabilitas Keamanan yang mantap dan dinamis.
Dalam
rangka menjaga keutuhan bangsa dan negara kondisi stabilitas keamanan yang
mantap dan dinamis diseluruh wilayah tanah air merupakan syarat mutlak. Artinya
setiap gangguan dan ancaman yang datang disebagian wilayah NKRI pada hakekatnya
ancaman bagi seluruh wilayah NKRI. Menciptakan keamanan merupakan tanggung jawab
semua pihak (Warga Negara) dengan pihak aparat keamanan (TNI dan POLRI) sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dengan mencermati dan memperhatikan kondisi
keamanan diberbagai daerah saat ini dan kondisi bangsa yang sedang
krisis kepercayaan dan mutlidimensi, maka terciptanya kondisi stabilitas
keamanan yang mantap dan dinamis amat diperlukan. Hal ini selain merupakan
kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan rasa aman, nyaman, tentram dan adanya
tata kehidupan masyarakat yang tertib juga untuk meningkatkan kepercayaan dunia
usaha yang membutuhkan adanya kepastian dan jaminan investasi.
Tanpa
adanya stabilitas keamanan di suatu daerah, sudah dapat dipastikan akan
terganggu roda pembangunan dalam banyak hal. Oleh karena itu gangguan
keamanan/konflik yang terjadi di beberapa daerah perlu dilakukan penangganan
yang serius agar tidak terjadi sikap balas dendam dan luka yang terus berlanjut
bahkan dapat mengancam perpecahan bangsa.
e) Stabilitas Keamanan yang mendukung Integrasi Bangsa.
Mencermati
masalah keamanan dibeberapa daerah yang cukup serius dan segera harus
diselesaikan melalui langkah-langkah yang komprehensif.
Guna
mendorong kembalinya semangatnya persatuan bangsa dan kesatuan wilayah yang
telah dimiliki dan guna mencegah disintegrasi bangsa tidak ada alternatif lain
mengembalikan kondisi aman yang didambakan oleh seluruh masyarakat dan bangsa
Indonesia. Stabilitas keamanan di daerah konflik yang cenderung mengarah kepada
disintegrasi bangsa harus terus diciptakan dengan pendekatan komprehensif baik
dari aspek ekonomi, sosial budaya, politik maupun dari pendekatan hukum dengan
dibantu aparat hukum yang terus melakukan tindakan konkrit dan koordinatif serta
tetap mengedepankan semangat kebersamaan dalam menciptakan keutuhan bangsa dan
negara.
f) Menegakkan Peraturan Hukum yang berlaku.
Melihat,
memperhatikan dan mencermati kondisi keamanan diberbagai daerah yang rawan
konflik saat ini serta kondisi bangsa supaya tidak terjadi ancaman disintegrasi
bangsa pemerintah pusat, instansi maupun daerah dalam hal ini pihak
keamanan/aparat keamanan harus menegakkan aturan hukum dan perundang-undangan
yang berlaku serta melakukan tindakan persuasif dan pendekatan keamanan
secara bertahap dan disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing.
Guna mendorong kembali semangat persatuan, kesatuan wilayah dan bela negara
sebaiknya pemerintah mencari terobosan lain untuk mensosialisasikan Pancasila
agar dapat dihayati dan diamalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun
yang paling penting adalah bagaimana contoh dan ketauladan dari semua
penyelenggara negara, tokoh formal maupun informal terhadap rakyatnya dalam
berpikir, bersikap dan bertindak yang pada berdasarkan Pancasila sebagai
ideologi, pandangan hidup serta dasar negara.
2. Analisis terhadap Pengaruh Lingkungan Strategi
a) Dalam mengatasi ancaman separatisme, gerombolan bersenjata, radikal
kiri dan kanan yang sekarang tersebar di wilayah Indonesia seperti RMS, OPM, Eks
Para Napol/Tapol PKI dan lain-lain yang merupakan ancaman serius yang dihadapi
bangsa Indonesia walapun masalah GAM telah terselesaikan dan teratasi tetapi
dilain sisi tetap harus terus dipantau segala bentuk kegiatan yang dilakukannya
serta perlu mendapatkan perhatian khusus.
Oleh
karena itu pemerintah harus tanggap dan cepat bertindak dalam menghadapi
permasalahan ini, untuk itu pemerintah harus bertindak tegas dalam menyelesaikan
masalah separatis maupun sejenisnya demi keutuhan bangsa dan negara dan tidak
membiarkan kondisi ini terus berlarut-larut.
b) Sebagai bangsa yang heterogen Indonesia dengan bermacam-macam suku,
budaya, agama dan adat berpeluang terjadinya konflik komunal (SARA).
Faktor-faktor keberagaman ini menjadi celah yang dapat dimanfaatkan oleh
pihak-pihak tertentu untuk mengganggu stabilitas keamanan dan keutuhan
Indonesia. Dampak-dampak yang timbul dari konflik diatas menyebabkan terjadinya
gelombang pengungsian besar-besaran, kerugian harta benda, korban jiwa serta
kerusakan lingkungan dan infrastruktur dalam jumlah yang tidak sedikit, sehingga
keamanan nasional masyarakat didaerah konflik dan kondisi stabilitas nasional
terganggu. Dampak ini ikut dirasakan oleh bangsa dan negara tetangga di dunia
yang mempunyai kerjasama dan kepentingan di Indonesia. Bukanlah hal yang
sederhana dalam menyelesaikan masalah konflik yang terjadi saat ini, selain
menghabiskan sumber daya yang besar juga memakan waktu yang lama. Menyadari hal
tersebut diatas maka pemerintah menetapkan suatu kebijakan yang mana didalamnya
berisikan suatu kebijakan guna meningkatkan pembangunan kesejahteraan dan
pertahanan keamanan yang bersangkutan dengan aspek etnik dan agama.
3. Analisis terhadap Pengaruh Otonomi Daerah.
Dalam era transisi dari masa orde baru ke masa reformasi
kebijakan sentralistik ke desentralistik demokratis sebagaimana yang dituju
dalam pemerintahan nasional ditandai dengan pemberlakuan Otonomi Daerah sesuai
dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 Bab I, pasal 1, ayat 5 tentang
Pemerintahan Daerah, tetapi masih ditemui beberapa kendala yang masih perlu
diatasi bersama dengan berbagai pihak yang terkait. Dari kendala-kendala yang
terjadi beberapa permasalahan yang mengandung potensi instabilitas yang
dapat mengarah melemahnya ketahanan nasional di daerah-daerah bahkan dapat
memicu terjadinya disintegrasi bangsa bila tidak egera ditangani.
Kendala-kendala yang terjadi diantaranya yaitu :
a) Masalah DPRD sebagai konsekwensinya diberlakukannya UU No. 2 Tahun
1999 tentang Partai Politik dan UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum
sebagai Tuntutan Fundamental Reformasi yang melahirkan Pemilihan Umum secara
Multi Partai. Lahirnya Lembaga Legislatif yang merupakan representasi dari
partai peserta pemilu memiliki kemampuan yang beragam. Banyak
yang berpendapat bahwa kapabilitas dan kredibilitas Anggota DPRD tidak merata
bahkan ada yang kurang memahami tentang pemerintahan dan dinilai ada beberapa
pihak yang berorientasi menuntut haknya namun kurang memperhatikan apa yang jadi
kewajibannya.
Kenyataan ini merupakan permasalahan yang dilematis yang dihadapkan
bahwa DPRD merupakan wakil rakyat yang membawa beban amanat dari rakyat untuk
diteruskan kepada pemerintahan pusat, tetapi hampir seluruh anggota DPRD tidak
pernah melanjutkan atau membicarakan kembali amanat dari rakyat kepada
pemerintahan pusat melainkan hanya mengurusi dirinya sendiri dan partai politik
yang diwakilinya.
b) Mengenai Perimbangan keuangan daerah dalam Undang-Undang No. 33 Tahun
2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Bab I pasal 1 ayat 3 mengatakan ”Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil,
proposional, demokratis, transparan dan efisien dalam rangka pendanaan
penyelenggaraan Desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan
kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan”.
Keuangan
daerah itu sendiri dikelola oleh daerahnya masing-masing secara tertib, taat
pada peraturan perundang-undangan, efisiensi, ekonomis, efektif, transparan, dan
bertanggung jawab dengan memperhatikan keadilan, kepatutan dan manfaat untuk
masyarakat daerahnya. Tetapi ada beberapa kepala daerah dalam mengelola keuangan
tidak menggunakan prinsip-prinsip diatas, melainkan dalam pengelolaannya dengan
caranya sendiri dan tidak transparan. Dengan sistem tersebut masyarakat
tidak merasakan hasil dari kekayaan daerahnya sendiri seperti pembangunan
sarana dan prasarana umum didaerahnya sehingga dapat mengakibatkan gejola-gejola
yang menganggu keamanan daerah tersebut.
c) Dampak dari agenda nasional dan pengaruh issu global terutama
demokratisasi dan hak asasi manusia, masyarakat semakin memahami akan haknya
sebagai warga negara, tetapi ada kecenderungan kurang memahami akan
kewajibannya, masyarakat makin kritis, reaktif dan proaktif dalam menuntut
hak-haknya kepada pemerintah, namun kurang mau mengerti akan kesulitan
pemerintah pusat termasuk pemerintah daerah.
Oleh
karena itu dalam Otonomi Daerah, Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah harus
mampu untuk mendorong dan memberdayakan masyarakat agar mampu menumbuhkan
kreasinya guna membangun suatu program atau ide yang dapat memberi kontribusi
bagi daerahnya.
d) Dana bantuan dari pemerintah pusat yang diberikan kepada beberapa
daerah khusus dalam masalah pendanaan membuat para pejabat daerah yang
mendapatkan dana tersebut terbuai akan pemberian atau pencairan bantuan dana
tersebut, sehingga tidak pernah memikirkan akan pembangunan didaerahnya sendiri,
dimana dana tersebut diperuntukkan untuk membiayai kebutuhan dalam rangka
pembangunan sarana maupun prasarana umum yang masih tertinggal dari daerahnya.
Sehingga masyarakat mengangap bahwa pemerintah pusat tidak membantu dan
memberikan dana serta perhatian kepada daerah yang tertinggal.
Untuk
itu pemerintah pusat harus bertindak tegas dalam masalah pemberian dana bantuan
daerah tertinggal tersebut, karena dikhawatirkan masyarakat tidak akan percaya
dan menuntut kepada pemerintah pusat akibat dari permasalahan tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan.
Dari
uraian tersebut diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :
a) Kondisi NKRI secara nyata harus diakui oleh setiap warganegara bila
ditinjau dari kondisi geografi, demografi, dan kondisi sosial yang ada akan
terlihat bahwa pluralitas, suku, agama, ras dan antar golongan dijadikan pangkal
penyebab konflik atau kekerasan massal, tidak bisa diterima begitu saja.
Pendapat ini bisa benar untuk sebuah kasus tapi belum tentu benar untuk kasus
yang lain. Namun ada kondisi-kondisi struktural dan kultural tertentu dalam
masyarakat yang beraneka ragam yang terkadang terjadi akibat dari suatu proses
sejarah atau peninggalan penjajah masa lalu, sehingga memerlukan penanganan
khusus dengan pendekatan yang arif namun tegas walaupun aspek hukum, keadilan
dan sosial budaya merupakan faktor berpengaruh dan perlu pemikiran sendiri.
b) Pemberlakuan Otonomi Daerah sesuai dengan Undang-Undang No. 32 tahun
2004 merupakan implikasi positif bagi masa depan pemerintahan daerah di
Indonesia namun berpotensi untuk terciptanya sikap fanatisme primodialisme yang
sempit, sektarianisme dan supranasionalisme. Kondisi ini terjadi karena tidak
semua masyarakat mengetahui tujuan pemberlakuan otonomi daerah bagi sebuah
negara kesatuan RI.
c) PILKADA dan pertarungan elit politik yang diimplementasikan kedalam
bentuk penggalangan massa, dengan alasan untuk kepentingan kesejahteraan
rakyat, namun sarat dengan kepentingan pribadi atau politik yang pada akhirnya
dapat menciptakan konflik horizontal maupun vertikal, dalam penyelesaiannya
tidak pernah tuntas.
d)
Kepemimpinan (leadership) dari tingkat elit politik nasional hingga
kepemimpinan daerah, sangat menentukan dalam rangka meredam konflik yang terjadi
saat ini. Sedangkan peredaman konflik pada skala kejadiannya memerlukan tingkat
profesionalisme dari seluruh aparat hukum dan instansi terkait secara terpadu
dan tidak berpihak pada sebelah pihak.
2. Saran.
Untuk mendukung terciptanya keberhasilan suatu kebijakan dan strategi pertahanan
serta upaya-upaya apa yang akan ditempuh, maka disarankan beberapa langkah
sebagai berikut :
a) Pemerintah perlu mengadakan kajian secara akademik dan terus menerus
agar didapatkan suatu rumusan bahwa nasionalisme yang berbasis multi kultural
dapat dijadikan ajaran untuk mengelola setiap perbedaan agar muncul pengakuan
secara sadar/tanpa paksaan dari setiap warga negara atas kemejemukan dengan
segala perbedaannya.
b) Setiap pemimpin dari tingkat desa sampai dengan tingkat tertinggi ,
dalam membuat aturan atau kebijakan haruslah dapat memenuhi keterwakilan semua
elemen masyarakat sebagai warga negara.
c) Setiap warga negara agar memiliki kepatuhan terhadap semua aturan dan
tatanan yang berlaku, kalau perlu diambil sumpah seperti halnya setiap prajurit
yang akan menjadi anggota TNI dan tata cara penyumpahan diatur dengan
Undang-undang.
d)
Sebaiknya diadakan suatu konsensus nasional yang berisi pernyataan bahwa
setiap warga negara Indonesia cinta damai, persatuan dan kesatuan dan rela
berkorban untuk mementingkan kepentingan nasional diatas kepentingan pribadi
atau golongan.
e) Menghimbau para musisi agar mau menciptakan suatu karya musik atau
lagu-lagu yang mengobarkan rasa cinta tanah air dan bangga menjadi Bangsa
Indonesia. Berdasarkan pengalaman sejarah telah membuktikan betapa dahsyatnya
sebuah lagu mempunyai pengaruh terhadap para pejuang kemerdekaan dimasa lalu.
f) Pendidikan jangka panjang harus memperkenalkan tentang perbedaan
umat manusia dan kemajemukan budaya bangsa Indonesia dari tingkat sekolah yang
terendah sampai yang tertinggi secara bertahap, bertingkat dan berlanjut.
g) Perlu dihimbau semua insan jurnalistik/pers dengan memperkenalkan
rasa nasionalisme diatas segalanya bagi keutuhan NKRI, sehingga dapat
memposisikan diri dalam keikutsertaan meredam konflik dan bukannya
memperbesar melalui berita-berita yang berdampak kebencian dan prsangka buruk
bagi setiap warga negara.
h) Menumbuhkan rasa nasionalisme yang mulai luntur, jika perlu mungkin
dibuat semacam deklarasi Nasional oleh pemerintah dengan tekad memelihara
keutuhan persatuan dan kesatuan NKRI. Suatu deklarasi yang tepat akan dapat
menjadi pemicu tumbuhnya rasa nasionalisme.
i) Menanamkan nilai-nilai Pancasila, jiwa nasionalisme sebangsa dan
setanah air dalam NKRI, harus dicari lagi terobosan lain yang dimana tugas dan
fungsinya minimal sama dengan BP-7 yang telah dibubarkan namun tidak bersifat
doktriner karena berdasarkan hasil penelitian didaerah, masyarakat masih
menghendaki adanya semacam penataran atau yang sejenis tentang Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.
DAFTAR PUSTAKA
Amirul
Isnaini, Mayor Jenderal TNI, Mencegah Keinginan Beberapa Daerah Untuk
Memisahkan Diri Tegak Utuhnya NKRI, Jakarta, Lemhannas 2001.
Budi Utomo,
Pembangunan
Wilayah Perbatasan Indonesia dalam Perspektif Keamanan Manusia,
diakses tanggal 28 September 2008 dari
http://budiutomo79.blogspot.com/2007/09/pembangunan-wilayah-perbatasan.html
Departemen
Pertahanan RI, Buku Putih Pertahanan Negara, Jakarta, 2008
Departemen
Pertahanan RI, Postur Pertahanan Negara, Jakarta, 2007
Departemen
Pertahanan RI, Strategi Pertahanan Negara, Jakarta, 2007
Departemen
Pertahanan RI, Doktrin Pertahanan Negara, Jakarta, 2007
HB. Amiruddin
Maula, Drs, SH, Msi, Menjaga Kepentingan Nasional Melalui Pelaksanaan Otonomi
Daerah Guna Mencegah Terjadinya Disintegrasi Bangsa, Jakarta, Lemhannas,
2001.
Ketetapan MPR
Nomor : V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.
Jakarta, 2000.
Iskandar Zulkarnaen,
Bung Hatta Pernah Menangis Melihat
Kondisi Perbatasan,
Save Our Borneo,
Jakarta, 2008, diakses tgl 3 September 2008 dari
http://saveourborneo.org/index.php?option=com_content&task=view&id=178&Itemid=37
Sekretariat Negara
RI. Undang-Undang RI Nomor.
34 tahun 2004 tentang
Tentara Nasional Indonesia (TNI). Jakarta, 2004.
Sekretariat
Negara RI. Undang-Undang RI Nomor. 33 tahun 2004 tentang
Perimbangan
Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah.
Jakarta, 2004.
Sekretariat Negara RI.
Undang-Undang RI Nomor. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Jakarta, 2004.
Sekretariat
Negara RI. Undang-Undang RI Nomor.
3 tahun 2002
tentang
Pertahanan
Negara
. Jakarta, 2002.
Sekretariat
Negara RI. Undang-Undang RI Nomor.
22 tahun 1999
tentang
Otonomi
Daerah
. Jakarta, 1999.
Yuliawati,
Tjahjono E P (Timika), Cunding Levi (Jayapura), Setelah Bendera Tak Berkibar,
Koran Tempo, Jakarta, 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar