KONFLIK PENGUASA DENGAN PARTAI POLITIK ISLAM
(Analisis Runtuhnya Partai Politik Islam Masyumi pada Masa Rezim Presiden Sukarno)
Warjio
Evi Novida Ginting
Abstract: If analyzing Islamic political party idea in Indonesia, hence diffration is not quit of figure developing it, namely Masyumi. Masyumi wish the earth or socialize the values Islam in Indonesian politics. Partaicipate the Masyumi in rendering mind and critize to political world of Sukarno, in fact represent the lengthening of hand from view of Islam. The facts have brought the political view of Masyumi by Sukarno very contradicted with the condition of Indonesian society. With his power, Sukarno has falling of Masyumi.
Keywords: masyumi, dekrit presiden, demokrasi terpimpin
PENDAHULUAN
Dalam sejarah proses pembangunan politik di Indonesia, salah satu kekuatan politik yang berperanan besar di dalam proses pengukuhan identitas Islam politik di panggung politik Indonesia adalah partai Islam Masyumi. Selama keberadaannya di Indonesia, Masyumi merupakan partai yang pernah terlibat dalam pemerintah. Karena kedudukannya ini Masyumi turut menyertai proses asas politik Indonesia sekurang-kurangnya sampai menjelang tahun 1960. Masyumi memandang keterlibatannya secara langsung dalam kekuasaan negara sebagai satu jalan untuk mewujudkan tujuan-tujuannya. Melalui cara demikian,-- menurut salah seorang penggiat Masyumi, Zainal Abidin Ahmad, hukum-hukum Allah tidak saja keluar dari mulut alim ulama di atas mimbar masjid tetapi juga keluar dari pegawai-pegawai pemerintah dan menjadi undang-undang negara (Ahmad, 1946).
Berasaskan pandangan seperti ini, Islam harus dijadikan asas dalam ideologi negara. Sayangnya, pada masa pemerintah Presiden Ir. Sukarno partai politik Islam seperti Masyumi dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang dapat menjadi ancaman dan harus dicurigai. Karena alasan ini, Presiden Ir. Sukarno selalu berusaha untuk melemahkan dan meminggirkan peranan Masyumi. Di samping Masyumi juga juga dianggap sebagai kelompok pembangkang yang akan menghalangi proses pembangunan politik di Indonesia (Amirmachmud, 1986).
Di sisi lain, para pemimpin partai politik Islam Masyumi memandang negara dengan penuh curiga. Mereka memandang negara telah melakukan sebarang untuk menghilangkan arti penting politik Islam dan pada masa yang sama mendukung gagasan mengenai sebuah masyarakat politik yang sekular (Madjid, 1992). Kecurigaan itu bersumber dari asas ideologi dan kerangka perlembagaan yang berbeda antara partai Islam Masyumi yang memperjuangkan ideologi Islam dan negara yang memperjuangkan ideologi Pancasila. Dapatlah dikatakan bahwa saling curiga antara Islam dan negara berlangsung di sebuah negara yang sebahagian besar penduduknya beragama Islam.
PEMBAHASAN
a) Masyumi Dibubarkan
Konflik politik yang berbasis pada perbedaan ideologi dan kekhawatiran Presiden Ir. Sukarno atas Masyumi yang dianggapnya sebagai kelompok kepala batu yang dapat menghalangi “Penyelesaian Revolusi” merupakan latar belakang dan puncak dari pembubaran partai Masyumi (Dahm, 1969). Sebagai kekuatan oposisi, Masyumi dalam pandangan Presiden Ir. Sukarno tidak layak hidup pada era Demokrasi Terpimpin.
Menurut Muhammad Roem, salah seorang tokoh Masyumi, bahwa logikanya Presiden Ir. Sukarno harus menarik garis yang tegas antara sahabat dan musuh revolusi (Roem, 1970). Masyumi dan pemimpinnya harus dimasukkan dalam golongan musuh revolusi dan karena itu mereka harus disingkirkan (Roem, 1970) Pemisahan garis tegas antara kawan dan lawan pada masa awal Demokrasi Terpimpin itu telah mempercepat proses penyatuan dalam tubuh umat Islam. Proses ini semakin menjadi Kenyataan pada saat Presiden Ir. Sukarno membubarkan parlemen (20 Maret 1960) dan menggantinya dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR).
Alasan pembubaran ini karena badan legislatif pilihan rakyat ini berani menolak Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diajukan pemerintah Presiden Ir. Sukarno. Tindakan Presiden Ir. Sukarno ini jelas bertentangan dengan UUD 1945 (lihat penjelasan UUD 1945 No. VII).
Untuk menunjukkan ketidaksukaan Presiden Ir. Sukarno terhadap Masyumi, Presiden Ir. Sukarno sengaja tidak memilih wakil-wakil yang dipilih dari Masyumi maupun dari PSI (Partai Sosialis Indonesia) karena kedua partai yang dianggap sebagai penghalang dari “Penyelesaian Revolusi” ini tidak akan mempercayai dan menyokong Presiden Ir. Sukarno. Presiden Ir. Sukarno tidak memilih wakil-wakil maupun tokoh dari Masyumi dan PSI menjadi anggota DPRGR, dengan alasan kedua-dua partai ini bersimpati dan menyokong pemberontakan daerah di luar Jawa (Ma’arif, 1985). Sikap Presiden Ir. Sukarno atas Masyumi dan PSI yang menganggap sebagai penghalang pencapaian revolusi tidak terlepas dari pembabitan Amerika Serikat (AS) dalam pemberontakan di daerah yaitu dalam pemberontakan PRRI-Permesta (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia).
Alasan pembubaran ini karena badan legislatif pilihan rakyat ini berani menolak Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diajukan pemerintah Presiden Ir. Sukarno. Tindakan Presiden Ir. Sukarno ini jelas bertentangan dengan UUD 1945 (lihat penjelasan UUD 1945 No. VII).
Untuk menunjukkan ketidaksukaan Presiden Ir. Sukarno terhadap Masyumi, Presiden Ir. Sukarno sengaja tidak memilih wakil-wakil yang dipilih dari Masyumi maupun dari PSI (Partai Sosialis Indonesia) karena kedua partai yang dianggap sebagai penghalang dari “Penyelesaian Revolusi” ini tidak akan mempercayai dan menyokong Presiden Ir. Sukarno. Presiden Ir. Sukarno tidak memilih wakil-wakil maupun tokoh dari Masyumi dan PSI menjadi anggota DPRGR, dengan alasan kedua-dua partai ini bersimpati dan menyokong pemberontakan daerah di luar Jawa (Ma’arif, 1985). Sikap Presiden Ir. Sukarno atas Masyumi dan PSI yang menganggap sebagai penghalang pencapaian revolusi tidak terlepas dari pembabitan Amerika Serikat (AS) dalam pemberontakan di daerah yaitu dalam pemberontakan PRRI-Permesta (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia).
Sebagaimana dicatat oleh Peter Dale Scot, jutaan dollar telah diberikan AS, --melalui CIA (Central Intelligience of America) untuk Masyumi dan PSI pada pertengahan 1950, serta memberikan bantuan militer kepada kelompok pemberontak itu (Mahendra, 1999). Tindakan AS itu dilakukan karena Presiden Ir. Sukarno dinilai terlalu dekat dengan pihak komunis (PKI) (Scot, 1999).
Ketidaksukaan Presiden Ir. Sukarno tehadap kelompok modernis ini, khususnya Masyumi sebenarnya telah mulai dirasakan ketika akan didirikan dan penyusunan DPRGR pada minggu kedua bulan Maret 1960 pada pertemuan di Istana Tampaksiring, Bali. Di dalam pertemuan itu tidak ada berita bahwa Masyumi akan diikutsertakan dalam pertemuan itu. Kenyataan bahwa Masyumi tidak ikut dalam pertemuan di Tampaksiring itu telah diberitahukan dalam surat kabar resmi N.U., --Duta Masyarakat, dengan menyatakan “Rupanya M tidak serta”. Karena maklumat istana itu hanya menyebut nama ISA (Idham, Suwiryo, dan Aidit [PKI]) yang akan hadir di dalam pertemuan puncak di Tampaksiring Bali itu maka dapatlah diduga bahwa partai “M” atau wakilnya tidak menyertainya atau tidak diajak serta (Maarif, 1960).
Sebagaimana diketahui umum waktu itu “M” yang dimaksudkan surat kabar Duta Masyarakat adalah Masyumi. Disisihkannya Masyumi dalam pertemuan di Istana Tampaksiring, Bali oleh Presiden Ir. Sukarno itu, ditanggapi oleh ketua Masyumi, Prawoto Mangkusasmito, sebagai pertanda miringnya demokrasi. Prawoto menuliskan: Peristiwa Tampaksiring,
Demokrasi tampak miring,
Hati nurani,
Demokrasi sejati,
Tersentuhlah Ia
Meronta menggelegaklah ia
Siapa!
Siapa!
Wahai insan,
Tega menahan,
Jeritan hati,
Ibu Pertiwi?
Demokrasi tegaklah
Tegaklah engkau kembali
Penaka tambatan hati
Tu’ tenteramkan azasi
(Mangkusaswito, 1972)
Berhubung dengan tersiarnya berita tentang DPRGR dengan diajaknya Ketua Umum PNI, NU, dan PKI di Tampaksiring oleh Presiden Ir. Sukarno, Prawoto Mangkusasmito, sebagaimana disiarkan surat kabar resmi Masyumi,
Abadi, menyatakan:
“Mengenai masalah DPR(GR) ini saya sendiri bukanlah pemain lagi, calon pemain pun tidak. Saya tidak mengetahui apa-apa tentang pembicaraan yang akan diadakan itu. Kalau diibaratkan sebagai suatu pertunjukan, paling banyak yang dapat saya kemukakan sekarang adalah cuma suatu harapan ataupun perkiraan” (Mangkusaswito, 1960).
Pembentukan DPRGR oleh Presiden Ir. Sukarno dinilai Prawoto juga sebagai upaya untuk “memecah belah” rakyat Indonesia dengan menyebutnya “revolusioner” dan “tidak revolusioner”.
Kenyataan ini juga menunjukkan betapa totaliternya Presiden Ir. Sukarno. Prawoto menegaskan:
“Sekarang ada perubahan yang sifatnya fundamental. Rakyat Indonesia kini dibagi dalam 2 bagian yang “revolusioner” dan yang “tidak”. Telah diumumkan bahwa keanggotaan DPRGR yang akan datang terdiri dari pejuang-pejuang yang berjiwa Manifesto Politik. Jadi ukuran apakah seorang revolusioner atau tidak ditentukan sepihak, tidak berdasarkan atas sikap dan riwayat hidupnya hingga sekarang, tapi atas dasar setuju atau tidaknya terhadap beberapa konsepsi yang sewaktu-waktu dihadapkan kepadanya. Yang dicap tidak revolusioner tidak berhak menjadi DPRGR. Dengan demikian tebentuklah dalam negara merdeka kita ini dua kelas warga negara. Kelas pertama terdiri dari manusia-manusia yang berhak memimpin dan kelas kedua yang harus terpimpin terus-menerus. Tambah jelas kiranya kini makna demokrasi terpimpin itu. Keanggotaan DPRGR itu semuanya diangkat. Maafkanlah kalau yang demikian itu, mengingatkan kita kepada kata bersejarah Loudwijk XIV: “L’etat C’est Moi (Negara itu adalah Aku)”.
Pernyataan Prawoto di atas, jelas bukan saja menunjukkan kekecewaannya karena Masyumi tidak diikutkan dalam keanggotaan DPRGR, tetapi lebih dari itu, tindakan Presiden Ir. Sukarno memilih keanggotaan DPRGR berdasarkan ”kemauannya saja” telah “membunuh” demokrasi. Kenyataan ini juga sebenarnya “meminggirkan” peran politik Islam yang selama ini dilakukan oleh Masyumi. Hal ini tidaklah berlebihan. Jika dilihat keanggotaan DPRGR yang keseluruhannya berjumlah 283, termasuk 131 yang diangkat mewakili golongangolongan fungsional, dan 23 wakil-wakil golongan lainnya, maka wakil-wakil dari partai Islam hanya 43, yaitu Nahdlathul Ulama (NU) 36, Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) lima, PERTI dua sedangkan 24 kursi lainnya dari wakil ulama. Jadi total suara umat Islam adalah 67.
Suara Islam ini dalam DPRGR ini jelas berbeda jauh jika dibandingkan dengan Parlimen Pilihan Rakyat melalui pilihan rakyat yang berjumlah 115, termasuk Masyumi. Perbedaan suara yang jauh ini jelas merugikan pihak Islam. Pada sisi yang lain perbedaan “suara” ini jelas menguntungkan pihak nasionalis dan komunis.
Sebagaimana dicatat Ahmad Syafii Maarif, pihak nasionalis sekuler mendapatkan 94 (sembilan puluh empat) kursi, 44 (empat puluh empat) untuk Partai Nasional Indonesia (PNI) dan 50 untuk golongan non partai. Sedangkan untuk golongan komunis, PKI (Partai Komunis Indonesia) mendapat 30 kursi dan 51 kursi mewakili golongan buruh dan tani (Maarif, Islam dan Negara).
Ahmad Syafii Maarif juga menyimpulkan bahwa komposisi dalam DPRGR ini semakin mengukuhkan kekuatan kelompok nasionalis sekuler dan komunis yang diterajui oleh Presiden Ir. Sukarno dan merugikan sayap modernis, --yang diterajui Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang memang telah diberi gelar sebagai musuh revolusi. Jika diteliti lebih dalam komposisi DPRGR yang menempatkan kelompok tradisionalis dari NU sebenarnya juga menempatkan kembali pertelingkahan lama dengan kelompok Islam modernis yang diwakilkan Masyumi.
Padahal dalam masalah ideologi ketika samasama mempertahankan Islam sebagai dasar negara baik NU dan Masyumi saling bekerja sama. Dalam kaitan ini majalah resmi milik Masyumi, Hikmah, ada menyiarkan artikel yang menyatakan kekecewaan Masyumi terhadap NU:
“Dan kalau memang NU menerima putusan ini (masuk dalam DPRGR) tanpa Masyumi dengan segala kerelaan hati jelaslah bahwa NU ikut menguburkan satu partai Islam yang terbesar bersama lawanlawannya, idenya melenyapkan satu teman seperjuangannya sendiri dari permukaan bumi Indonesia ini, yang mungkin pada suatu saat teman itu akan banyak gunanya untuk kepentingan perjuangan Islam, sekalipun barangkali akan memberikan kerugian kepada NU atau Liga Muslim. Wahai kalau benarlah hasil Tampaksiring ini diterima NU dengan perantaraan Idham Chalid, Ketua Umumnya, dengan suka rela apalagi dengan gembira ria pula, dengan sadar dan pandangan yang jauh ah kalau bukan kepada-Mu Ya Tuhan kepada siapa lagi keperihan jiwa ini diadukan.” (Maarif, 1960)
Boleh dimaklumi betapa kecewanya Masyumi atas sikap NU menyertai DPRGR. Ramai yang mengetahui bahwa walaupun Masyumi dan NU selalu berbeda pendapat tapi dalam soal pemerintahan yang berkaitan dengan kepentingan Islam mereka dapat bersatu. Bagi NU sendiri punya alasan kenapa ia menyokong Presiden Ir. Sukarno dan bergabung dalam DPRGR. Keputusan NU menerima hasil pertemuan Tampaksiring memang terkesan oportunis. Akan tetapi bagi NU keputusan itu merupakan pilihan yang paling mungkin dilakukan. Dalil-dalil digunakan NU sebagai asas pembenaran keputusannya. Menurut NU, secara politis menentukan pilihan lain ataupun menolak DPRGR mempunyai pengaruh negatif yang lebih besar, tidak mungkin melawan Presiden Ir. Sukarno yang mendapat dukongan kuat dari partai lain (kelompok nasionalis sekuler dan komunis) serta militer. Atas dasar pertimbangan ini NU menetapkan dalil “dar al-mafasid muqqaddam ‘ala jalb al masalih”, menghindarkan bahaya didahulukan atau diutamakan daripada melaksanakan kewajiban yang baik. Pikiran menerima hasil Tampaksiring dinilai sebagai alternatif yang paling ringan bahaya atau keburukannya sesuai dengan dalil kaidah fiqih iza ta’arada mafsadatani ru’iya a’zamuha duaran bi irtikab akhaffihina, jika terjadi benturan dua hal yang sama buruk dipertimbangkan yang lebih besar bahayanya dan melaksanakan yang paling
kecil akibat buruknya. Melawan kebijakan politik Presiden Ir. Sukarno bagi NU dalam kondisi waktu itu akan berakibat buruk bagi NU dan umat Islam lainnya (Haidar, 1994).
Pendekatan politik NU yang menggunakan dalil kaidah fiqih itu selamanya memperlihatkan pragmatisme sikap politik NU, dapat menghindar dari masalah untuk dipecahkan secara fragmentaris namun tetap berpijak dari kerangka ideologi politik yang dianut NU. Dengan demikian, menyatakan NU oportunis, menurut Wahid (1984) adalah tidak tepat. Karena bagi NU pedomannya bukanlah strategi perjuangan politik atau ideologi Islam dalam artian yang abstrak, melainkan keabsahan di mata hukum fiqih.
Dengan predikat reaksioner, anti revolusi dan lain sebagainya yang dilakukan Presiden Ir. Sukarno dan dimanfaatkan oleh PKI, pemimpin Masyumi di pusat maupun di daerah menjadi tekanan. Kenyataan ini sering digunakan oleh NU sebagai alasan untuk membenarkan kebijakan yang ditempuh untuk melakukan perlawanan dengan pemerintah, dalam hal ini Presiden Ir. Sukarno, yang dalam kenyataannya sangat berkuasa. Keadaan dan kesempatan ini benar-benar dimanfaatkan oleh PKI untuk menyokong Presiden Ir. Sukarno serta berusaha merefleksikan tujuan PKI dalam DPRGR. Dalam kaitan ini D.N. Aidit, ketua umum PKI mengungkapkan:
“the birth of the concept of Presiden Ir. Sukarno, which is aimed of the formation of Gotong Royong Cabinet based on proportional representation, or in other words the participation of communist in the central government, was a correct reflection of the hopes of Gotong Royong Cabinet would not have possible had the people not had great confidence has become even greater since the people have had direct and good experience in region were communist are directing the government, where the people have the first time got the feeling that they are partaicipating in deciding the course of government and partaicipating in deciding the course of development of society in their region” (Feith and Castles, 1970).
Di samping memanfaatkan kesempatan yang ada dalam pendirian DPRGR, PKI melalui D.N. Aidit dalam kesempatan itu juga “memojokkan” Masyumi dan juga PSI sebagai “agen” imperialis Amerika, karena pembabitan Masyumi dalam pemberontakan PRRI yang didukung Amerika. Kata D.N. Aidit: “In view of the fact that ‘prestige’ of the diehard has fallen., the American imperialist cannot for the time being effectively pressure their policy in Indonesia via the diehard forces headed by the lead of the Masyumi and PSI.”
Dengan demikian, dalam panggung politik Indonesia, Masyumi bukan saja “ditinggalkan” oleh “sahabatnya” NU, “disingkirkan” oleh kaum nasionalis melalui Presiden Ir. Sukarno, tetapi juga “fitnahan” oleh PKI yang semakin pandai memanfaatkan keadaan serta semakin dekat dengan Presiden Ir. Sukarno. Kondisi ini menjadikan Masyumi sebagai “partai pembangkang”. Dengan kedudukannya sebagai “partai pembangkang“ seperti itu, Masyumi mencoba untuk tetap aktif di dalam satu pertubuhan “tandingan” DPRGR melalui apa yang disebut dengan Liga Demokrasi. Liga
Demokrasi didirikan pada tanggal 24 Maret 1960 oleh 15 tokoh dari berbagai partai politik: I.J. Kasimo (Partai Katolik), Faqih Usman (Masyumi), A.M. Tambunan (Parkindo), Sugirman (IPKI), Hamara Effendi (IPKI), Subadio Sastrosatomo (PSI) K.H.M. Dachlan (Ketua Liga Muslimin), Hamid Alqadri (PSI), Imron Rosyadi (Ketua Umum GP Anshor), Dachlan Ibrahim (IPKI), Anwar Harjono (Masyumi), J.R. Koot (Parkindo), Mohammad Roem (Masyumi), Haji. J.C. Princeen (IPKI) dan Ir. Abdul Kadir (IPKI), yang mengutamakan demokrasi dan bertujuan untuk menangguhkan penubuhan DPRGR karena bagi Masyumi berjuang bukan saja melalui DPR (GR) ataupun parlemen.
Menurut Liga Demokrasi, DPRGR pada hakikatnya memperkuat pengaruh dan kedudukan dari satu kumpulan tertentu yang mengakibatkan kegelisahan-kegelisahan dalam masyarakat dan memungkinkannya hal-hal yang tidak diinginkan. DPRGR hanya menjadi alat penguasa dan tidak dapat menjadi penegak negara hukum dan demokrasi yang sehat. Berdirinya Liga Demokrasi segera mendapat reaksi dari berbagai pihak. Saifuddin Zuhri, --Sekjen NU, memberi dukungan Liga Demokrasi dan mengesyorkan agar pemerintah menunda pendirian DPRGR karena dianggap melawan Undang-Undang Dasar 1945 dan prinsip-prinsip demokrasi. Tetapi, Presiden Ir. Sukarno menyikapi penubuhan Liga Demokrasi itu sebagai perbuatan yang tidak mengenal amanat penderitaan rakyat karena orang-orang dalam Liga Demokrasi ini bersimpati kepada pemberontak di daerah-daerah. Ucapan Presiden Ir. Sukarno itu yang diucapkan dalam salah satu pidatonya di Tokyo, Jepang, segera saja mendapat reaksi dari Liga Demokrasi dan membantah tuduhan Presiden Ir. Sukarno. Perlawanan gigih Liga Demokrasi akhirnya menghadapi kekuasaan Presiden Ir. Sukarno. Pada tanggal 27 Pebruari 1961, Presiden Ir. Sukarno yang juga selaku Panglima Tertinggi, mengeluarkan peraturan Peperti No.8 Tahun 1961 tentang “Larangan Adanya Organisasi Liga Demokrasi”. Liga Demokrasi terkena tuduhan bahwa asas dan tujuannya tidak sesuai dengan Manifesto Politik yang telah menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Kegagalan Liga Demokrasi ini dalam memperjuangakan demokrasi berdampak pula pada Masyumi. Harapan Masyumi untuk memperjuangkan “nasibnya” melalui Liga Demokrasi menjadi terpinggirkan.
Ketidaksukaan Presiden Ir. Sukarno tehadap kelompok modernis ini, khususnya Masyumi sebenarnya telah mulai dirasakan ketika akan didirikan dan penyusunan DPRGR pada minggu kedua bulan Maret 1960 pada pertemuan di Istana Tampaksiring, Bali. Di dalam pertemuan itu tidak ada berita bahwa Masyumi akan diikutsertakan dalam pertemuan itu. Kenyataan bahwa Masyumi tidak ikut dalam pertemuan di Tampaksiring itu telah diberitahukan dalam surat kabar resmi N.U., --Duta Masyarakat, dengan menyatakan “Rupanya M tidak serta”. Karena maklumat istana itu hanya menyebut nama ISA (Idham, Suwiryo, dan Aidit [PKI]) yang akan hadir di dalam pertemuan puncak di Tampaksiring Bali itu maka dapatlah diduga bahwa partai “M” atau wakilnya tidak menyertainya atau tidak diajak serta (Maarif, 1960).
Sebagaimana diketahui umum waktu itu “M” yang dimaksudkan surat kabar Duta Masyarakat adalah Masyumi. Disisihkannya Masyumi dalam pertemuan di Istana Tampaksiring, Bali oleh Presiden Ir. Sukarno itu, ditanggapi oleh ketua Masyumi, Prawoto Mangkusasmito, sebagai pertanda miringnya demokrasi. Prawoto menuliskan: Peristiwa Tampaksiring,
Demokrasi tampak miring,
Hati nurani,
Demokrasi sejati,
Tersentuhlah Ia
Meronta menggelegaklah ia
Siapa!
Siapa!
Wahai insan,
Tega menahan,
Jeritan hati,
Ibu Pertiwi?
Demokrasi tegaklah
Tegaklah engkau kembali
Penaka tambatan hati
Tu’ tenteramkan azasi
(Mangkusaswito, 1972)
Berhubung dengan tersiarnya berita tentang DPRGR dengan diajaknya Ketua Umum PNI, NU, dan PKI di Tampaksiring oleh Presiden Ir. Sukarno, Prawoto Mangkusasmito, sebagaimana disiarkan surat kabar resmi Masyumi,
Abadi, menyatakan:
“Mengenai masalah DPR(GR) ini saya sendiri bukanlah pemain lagi, calon pemain pun tidak. Saya tidak mengetahui apa-apa tentang pembicaraan yang akan diadakan itu. Kalau diibaratkan sebagai suatu pertunjukan, paling banyak yang dapat saya kemukakan sekarang adalah cuma suatu harapan ataupun perkiraan” (Mangkusaswito, 1960).
Pembentukan DPRGR oleh Presiden Ir. Sukarno dinilai Prawoto juga sebagai upaya untuk “memecah belah” rakyat Indonesia dengan menyebutnya “revolusioner” dan “tidak revolusioner”.
Kenyataan ini juga menunjukkan betapa totaliternya Presiden Ir. Sukarno. Prawoto menegaskan:
“Sekarang ada perubahan yang sifatnya fundamental. Rakyat Indonesia kini dibagi dalam 2 bagian yang “revolusioner” dan yang “tidak”. Telah diumumkan bahwa keanggotaan DPRGR yang akan datang terdiri dari pejuang-pejuang yang berjiwa Manifesto Politik. Jadi ukuran apakah seorang revolusioner atau tidak ditentukan sepihak, tidak berdasarkan atas sikap dan riwayat hidupnya hingga sekarang, tapi atas dasar setuju atau tidaknya terhadap beberapa konsepsi yang sewaktu-waktu dihadapkan kepadanya. Yang dicap tidak revolusioner tidak berhak menjadi DPRGR. Dengan demikian tebentuklah dalam negara merdeka kita ini dua kelas warga negara. Kelas pertama terdiri dari manusia-manusia yang berhak memimpin dan kelas kedua yang harus terpimpin terus-menerus. Tambah jelas kiranya kini makna demokrasi terpimpin itu. Keanggotaan DPRGR itu semuanya diangkat. Maafkanlah kalau yang demikian itu, mengingatkan kita kepada kata bersejarah Loudwijk XIV: “L’etat C’est Moi (Negara itu adalah Aku)”.
Pernyataan Prawoto di atas, jelas bukan saja menunjukkan kekecewaannya karena Masyumi tidak diikutkan dalam keanggotaan DPRGR, tetapi lebih dari itu, tindakan Presiden Ir. Sukarno memilih keanggotaan DPRGR berdasarkan ”kemauannya saja” telah “membunuh” demokrasi. Kenyataan ini juga sebenarnya “meminggirkan” peran politik Islam yang selama ini dilakukan oleh Masyumi. Hal ini tidaklah berlebihan. Jika dilihat keanggotaan DPRGR yang keseluruhannya berjumlah 283, termasuk 131 yang diangkat mewakili golongangolongan fungsional, dan 23 wakil-wakil golongan lainnya, maka wakil-wakil dari partai Islam hanya 43, yaitu Nahdlathul Ulama (NU) 36, Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) lima, PERTI dua sedangkan 24 kursi lainnya dari wakil ulama. Jadi total suara umat Islam adalah 67.
Suara Islam ini dalam DPRGR ini jelas berbeda jauh jika dibandingkan dengan Parlimen Pilihan Rakyat melalui pilihan rakyat yang berjumlah 115, termasuk Masyumi. Perbedaan suara yang jauh ini jelas merugikan pihak Islam. Pada sisi yang lain perbedaan “suara” ini jelas menguntungkan pihak nasionalis dan komunis.
Sebagaimana dicatat Ahmad Syafii Maarif, pihak nasionalis sekuler mendapatkan 94 (sembilan puluh empat) kursi, 44 (empat puluh empat) untuk Partai Nasional Indonesia (PNI) dan 50 untuk golongan non partai. Sedangkan untuk golongan komunis, PKI (Partai Komunis Indonesia) mendapat 30 kursi dan 51 kursi mewakili golongan buruh dan tani (Maarif, Islam dan Negara).
Ahmad Syafii Maarif juga menyimpulkan bahwa komposisi dalam DPRGR ini semakin mengukuhkan kekuatan kelompok nasionalis sekuler dan komunis yang diterajui oleh Presiden Ir. Sukarno dan merugikan sayap modernis, --yang diterajui Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang memang telah diberi gelar sebagai musuh revolusi. Jika diteliti lebih dalam komposisi DPRGR yang menempatkan kelompok tradisionalis dari NU sebenarnya juga menempatkan kembali pertelingkahan lama dengan kelompok Islam modernis yang diwakilkan Masyumi.
Padahal dalam masalah ideologi ketika samasama mempertahankan Islam sebagai dasar negara baik NU dan Masyumi saling bekerja sama. Dalam kaitan ini majalah resmi milik Masyumi, Hikmah, ada menyiarkan artikel yang menyatakan kekecewaan Masyumi terhadap NU:
“Dan kalau memang NU menerima putusan ini (masuk dalam DPRGR) tanpa Masyumi dengan segala kerelaan hati jelaslah bahwa NU ikut menguburkan satu partai Islam yang terbesar bersama lawanlawannya, idenya melenyapkan satu teman seperjuangannya sendiri dari permukaan bumi Indonesia ini, yang mungkin pada suatu saat teman itu akan banyak gunanya untuk kepentingan perjuangan Islam, sekalipun barangkali akan memberikan kerugian kepada NU atau Liga Muslim. Wahai kalau benarlah hasil Tampaksiring ini diterima NU dengan perantaraan Idham Chalid, Ketua Umumnya, dengan suka rela apalagi dengan gembira ria pula, dengan sadar dan pandangan yang jauh ah kalau bukan kepada-Mu Ya Tuhan kepada siapa lagi keperihan jiwa ini diadukan.” (Maarif, 1960)
Boleh dimaklumi betapa kecewanya Masyumi atas sikap NU menyertai DPRGR. Ramai yang mengetahui bahwa walaupun Masyumi dan NU selalu berbeda pendapat tapi dalam soal pemerintahan yang berkaitan dengan kepentingan Islam mereka dapat bersatu. Bagi NU sendiri punya alasan kenapa ia menyokong Presiden Ir. Sukarno dan bergabung dalam DPRGR. Keputusan NU menerima hasil pertemuan Tampaksiring memang terkesan oportunis. Akan tetapi bagi NU keputusan itu merupakan pilihan yang paling mungkin dilakukan. Dalil-dalil digunakan NU sebagai asas pembenaran keputusannya. Menurut NU, secara politis menentukan pilihan lain ataupun menolak DPRGR mempunyai pengaruh negatif yang lebih besar, tidak mungkin melawan Presiden Ir. Sukarno yang mendapat dukongan kuat dari partai lain (kelompok nasionalis sekuler dan komunis) serta militer. Atas dasar pertimbangan ini NU menetapkan dalil “dar al-mafasid muqqaddam ‘ala jalb al masalih”, menghindarkan bahaya didahulukan atau diutamakan daripada melaksanakan kewajiban yang baik. Pikiran menerima hasil Tampaksiring dinilai sebagai alternatif yang paling ringan bahaya atau keburukannya sesuai dengan dalil kaidah fiqih iza ta’arada mafsadatani ru’iya a’zamuha duaran bi irtikab akhaffihina, jika terjadi benturan dua hal yang sama buruk dipertimbangkan yang lebih besar bahayanya dan melaksanakan yang paling
kecil akibat buruknya. Melawan kebijakan politik Presiden Ir. Sukarno bagi NU dalam kondisi waktu itu akan berakibat buruk bagi NU dan umat Islam lainnya (Haidar, 1994).
Pendekatan politik NU yang menggunakan dalil kaidah fiqih itu selamanya memperlihatkan pragmatisme sikap politik NU, dapat menghindar dari masalah untuk dipecahkan secara fragmentaris namun tetap berpijak dari kerangka ideologi politik yang dianut NU. Dengan demikian, menyatakan NU oportunis, menurut Wahid (1984) adalah tidak tepat. Karena bagi NU pedomannya bukanlah strategi perjuangan politik atau ideologi Islam dalam artian yang abstrak, melainkan keabsahan di mata hukum fiqih.
Dengan predikat reaksioner, anti revolusi dan lain sebagainya yang dilakukan Presiden Ir. Sukarno dan dimanfaatkan oleh PKI, pemimpin Masyumi di pusat maupun di daerah menjadi tekanan. Kenyataan ini sering digunakan oleh NU sebagai alasan untuk membenarkan kebijakan yang ditempuh untuk melakukan perlawanan dengan pemerintah, dalam hal ini Presiden Ir. Sukarno, yang dalam kenyataannya sangat berkuasa. Keadaan dan kesempatan ini benar-benar dimanfaatkan oleh PKI untuk menyokong Presiden Ir. Sukarno serta berusaha merefleksikan tujuan PKI dalam DPRGR. Dalam kaitan ini D.N. Aidit, ketua umum PKI mengungkapkan:
“the birth of the concept of Presiden Ir. Sukarno, which is aimed of the formation of Gotong Royong Cabinet based on proportional representation, or in other words the participation of communist in the central government, was a correct reflection of the hopes of Gotong Royong Cabinet would not have possible had the people not had great confidence has become even greater since the people have had direct and good experience in region were communist are directing the government, where the people have the first time got the feeling that they are partaicipating in deciding the course of government and partaicipating in deciding the course of development of society in their region” (Feith and Castles, 1970).
Di samping memanfaatkan kesempatan yang ada dalam pendirian DPRGR, PKI melalui D.N. Aidit dalam kesempatan itu juga “memojokkan” Masyumi dan juga PSI sebagai “agen” imperialis Amerika, karena pembabitan Masyumi dalam pemberontakan PRRI yang didukung Amerika. Kata D.N. Aidit: “In view of the fact that ‘prestige’ of the diehard has fallen., the American imperialist cannot for the time being effectively pressure their policy in Indonesia via the diehard forces headed by the lead of the Masyumi and PSI.”
Dengan demikian, dalam panggung politik Indonesia, Masyumi bukan saja “ditinggalkan” oleh “sahabatnya” NU, “disingkirkan” oleh kaum nasionalis melalui Presiden Ir. Sukarno, tetapi juga “fitnahan” oleh PKI yang semakin pandai memanfaatkan keadaan serta semakin dekat dengan Presiden Ir. Sukarno. Kondisi ini menjadikan Masyumi sebagai “partai pembangkang”. Dengan kedudukannya sebagai “partai pembangkang“ seperti itu, Masyumi mencoba untuk tetap aktif di dalam satu pertubuhan “tandingan” DPRGR melalui apa yang disebut dengan Liga Demokrasi. Liga
Demokrasi didirikan pada tanggal 24 Maret 1960 oleh 15 tokoh dari berbagai partai politik: I.J. Kasimo (Partai Katolik), Faqih Usman (Masyumi), A.M. Tambunan (Parkindo), Sugirman (IPKI), Hamara Effendi (IPKI), Subadio Sastrosatomo (PSI) K.H.M. Dachlan (Ketua Liga Muslimin), Hamid Alqadri (PSI), Imron Rosyadi (Ketua Umum GP Anshor), Dachlan Ibrahim (IPKI), Anwar Harjono (Masyumi), J.R. Koot (Parkindo), Mohammad Roem (Masyumi), Haji. J.C. Princeen (IPKI) dan Ir. Abdul Kadir (IPKI), yang mengutamakan demokrasi dan bertujuan untuk menangguhkan penubuhan DPRGR karena bagi Masyumi berjuang bukan saja melalui DPR (GR) ataupun parlemen.
Menurut Liga Demokrasi, DPRGR pada hakikatnya memperkuat pengaruh dan kedudukan dari satu kumpulan tertentu yang mengakibatkan kegelisahan-kegelisahan dalam masyarakat dan memungkinkannya hal-hal yang tidak diinginkan. DPRGR hanya menjadi alat penguasa dan tidak dapat menjadi penegak negara hukum dan demokrasi yang sehat. Berdirinya Liga Demokrasi segera mendapat reaksi dari berbagai pihak. Saifuddin Zuhri, --Sekjen NU, memberi dukungan Liga Demokrasi dan mengesyorkan agar pemerintah menunda pendirian DPRGR karena dianggap melawan Undang-Undang Dasar 1945 dan prinsip-prinsip demokrasi. Tetapi, Presiden Ir. Sukarno menyikapi penubuhan Liga Demokrasi itu sebagai perbuatan yang tidak mengenal amanat penderitaan rakyat karena orang-orang dalam Liga Demokrasi ini bersimpati kepada pemberontak di daerah-daerah. Ucapan Presiden Ir. Sukarno itu yang diucapkan dalam salah satu pidatonya di Tokyo, Jepang, segera saja mendapat reaksi dari Liga Demokrasi dan membantah tuduhan Presiden Ir. Sukarno. Perlawanan gigih Liga Demokrasi akhirnya menghadapi kekuasaan Presiden Ir. Sukarno. Pada tanggal 27 Pebruari 1961, Presiden Ir. Sukarno yang juga selaku Panglima Tertinggi, mengeluarkan peraturan Peperti No.8 Tahun 1961 tentang “Larangan Adanya Organisasi Liga Demokrasi”. Liga Demokrasi terkena tuduhan bahwa asas dan tujuannya tidak sesuai dengan Manifesto Politik yang telah menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Kegagalan Liga Demokrasi ini dalam memperjuangakan demokrasi berdampak pula pada Masyumi. Harapan Masyumi untuk memperjuangkan “nasibnya” melalui Liga Demokrasi menjadi terpinggirkan.
b) Masalah Pembubaran Masyumi
Puncak konflik dari disingkirkannya Masyumi oleh Presiden Ir. Sukarno dalam DPRGR dan di percaturan politik Indonesia adalah ketika Masyumi diperintahkan bubar, empat bulan setelah penubuhan DPRGR. Keputusan pemerintah tentang pembubaran DPRGR oleh Presiden Ir. Sukarno dilandaskan dalam Penetapan Presiden No. 7/1959 yang mengatur tentang pembubaran suatu partai yang dikeluarkan pada tanggal 31 Desember 1959. Ketetapan ini diikuti oleh Keputusan Presiden
No. 200/1960 pada tanggal 17 Ogos 1960 yang dengan resmi memerintahkan pembubaran Masyumi dan PSI.
Salah satu alasan Presiden Ir. Sukarno untuk membubarkan Masyumi karena Masyumi dituduh “sedang melakukan pemberontakan” karena pemimpin-pemimpinnya turut serta melakukan pemberontakan-pemberontakan atau telah jelas memberikan bantuan, sedangkan partai itu tidak dengan resmi menyalahkan perbuatanperbuatan anggota-anggotanya (Soekarno, 1963). Presiden Ir. Sukarno juga menegaskan bahwa perintah pembubaran Masyumi (dan juga PSI) dengan moral revolusi. Presiden Ir. Sukarno menegaskan:
“……..berdasarkan moral revolusioner dan moralnya revolusi, maka penguasa wajib membasmi tiap-tiap kekuasaan, asing ataupun tidak asing, pribumi ataupun tidak pribumi, yang membahayakan keselamatan atau berlangsungnya revolusi”. Dua hari sebelumnya, tepatnya tanggal 17 Ogos 1960, dalam sambutan hari kemerdekaan, Presiden Ir. Sukarno juga telah mengungkapkan pembubaran Masyumi. Tindakan itu juga diikuti dengan Surat Kabinet Presiden tanggal 17 Ogos 1960 No. 2730/TU/60. Keputusan Presiden Ir. Sukarno itu juga menegaskan: “Membubarkan Partai Politik Masyumi termasuk bagian/cawangan/rantingnya di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia mulai tanggal 17 Agustus 1960”.
Dampak dari keputusan presiden itu, 27 hari kemudian, atau tepatnya 13 September 1960, pimpinan Masyumi mengirimkan surat pernyataan resmi yang menyatakan Masyumi bubar, termasuk bagian-bagiannya (Majelis Syuro dan Muslimat). Presiden Ir. Sukarno katanya juga telah mendengar
pendapat Mahkamah Agung yang juga berpendirian bahwa Masyumi dan PSI terkena oleh penetapan Presiden No. 7/1959 mengenai hak hidup partai-partai tertentu yang dituduh turut serta dalam pemberontakan. Perintah pembubaran partai Masyumi atas alasan “ikut memberontak” oleh Presiden Ir. Sukarno, benar-benar dirasakan oleh pimpinan Masyumi sebagai sesuatu yang “bertentangan dengan nilai-nilai keadilan”. Prawoto Mangkusasmito menuliskan keadaan itu, ketika mengirimi Memorandum kepada Presiden Ir. Sukarno tertanggal 13 September 1960: “Dengan perasaan pahit kami konstantier, bahwa keputusan pembubaran Masyumi itu, yang tidak disertai pembuktiannya, seolah-olah diberikan fungsi sebagai suatu vonis hukum mati dan pimpinan partai dengan serta merta diangkatnya sebagai algojo dalam melaksanakan hukuman itu. Dan kalau tindakan tidak dijalankan oleh pimpinan partai, berjuta-juta anggota bisa dikenakan hukuman yang berat-berat. Apakah ini sila Kemanusiaan yang hendak ditegakkan di negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa ini. Kesemua ini dirasakan sebagai tindak perogolan, bertentangan dengan rasa keadilan. Karena negara RI adalah negara hukum, maka adalah hak kami untuk mencari keadilan.”
Apa yang dilukiskan Prawoto terhadap perintah pembubaran Masyumi oleh Presiden Ir. Sukarno, oleh para pimpinan Masyumi dan juga ramai sarjana yang mengkaji Masyumi masih saja menyisakan sebuah pertanyaan mendasar: Adakah bukti nyata yang menyokong bahwa Masyumi sebagai partai terlibat dalam pemberontakan daerah? Apa alasan sebenar Presiden Ir. Sukarno di balik Keputusan Presiden No. 200/1960 tentang pembubaran Masyumi? Syafii Maarif misalnya, menyimpulkan bahwa ada kaitan antara keluarnya perintah pembubaran Masyumi “masa lampau” tentang pertelingkahan antara Masyumi dengan kaum nasionalis sekuler – komunis yang diterajui oleh Presiden Ir. Sukarno dengan Masyumi, khususnya Muhammad Natsir.
Menurut Syafii Maarif untuk menempatkan “pertelingkahan“ antara Presiden Ir. Sukarno dan Muhammad Natsir, khususnya ketika awal penetapan asas negara mulai diajukan oleh kedua tokoh ini. Bagi Syafii Maarif pertelingkahan antara Muhammad Natsir dan Presiden Ir. Sukarno ini mewakili perjuangan demokrasi, yang diwakilkan Muhammad Natsir dan otoriterisme yang diperjuangkan Presiden Ir. Sukarno. Bagi Presiden Ir. Sukarno, Muhammad Natsir dan Masyumi, merupakan penghalang bagi jalannya revolusi dan penyebab “retaknya” hubungan pusat-daerah yang mengakibatkan pemberontakan daerah terhadap pusat (Jakarta), khususnya PRRI, yang dituduh Presiden Ir. Sukarno dipimpin oleh pemimpin-pemimpin Masyumi.
Kenyataannya memang, pemberontakan daerah-daerah ini terjadi di “basis” suara Masyumi dalam pemilu 1955 seperti di Sumatera Selatan, Sumatera Tengah, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan/Tenggara, dan Maluku (Notosusanto, 1975). Di daerah itu, khususnya Sumatera, Sulawesi, dan Maluku adalah daerah pusat pemberontahan melawan pemerintah pusat pimpinan Presiden Ir. Sukarno sejak Februari 1958. Pemberontakan daerah-daerah terhadap pusat itu, sebagaimana dinyatakan Barbara Silars Harvey, merupakan penjajaran paradoksal karena tuntutan daerah untuk memperoleh pembahagian lebih besar atas sumber daya nasional dan di lain pihak menuntut otonomi yang lebih besar dari pengendalian pusat (Harvey, 1989). Masyumi sendiri berpendirian terhadap pemberontakan di daerah-daerah terhadap pusat menyatakan bahwa jalan yang harus ditempuh bukan saling mencari kesalahan antara pusat dan daerah, tetapi menggali sebanyak-banyaknya persamaan yang dikehendaki baik oleh pusat mahupun daerah.
Menurut Jenderal A.H. Nasution (1963)
pimpinan TNI ketika itu, Republik Indonesia hampir jatuh akibat pemberontakan itu. Pada 1959, pihak pemberontak telah berhasil menguasai tidak kurang 1/6 wilayah RI, yang menurut satu sumber dibantu secara diam-diam oleh Amerika Serikat dan Inggris. Amerika Serikat dan Inggris membantu pemberontak PRRI dan Permesta sebagai bahagian dari perlawanan global terhadap komunisme. Baik PRRI ataupun Permesta serta Amerika Serikat dan Inggris pemerintah pimpinan Presiden Ir. Sukarno lunak dengan komunis, menyalahi
Undang-Undang dan bersifat Jawa Sentris (Mahendra, 1988).
Di samping itu Masyumi juga mengeluarkan kenyataan bahwa pembentukan Pemerintah Revolusioner (PRRI) adalah inkonstitusioneel, sama juga dengan pembentukan Kabinet Karya dan Dewan Nasional adalah inkonstitusionel. PKI sendiri menyikapi keterlibatan Amerika Serikat dan Inggris dalam PRRIPermesta sebagai imperialis-imperialis di mana agen-agennya adalah Masyumi. Kekuatan hubungan daerah-daerah yang bergolak dengan pengaruh Masyumi di daerah-daerah bergolak itu, ternyata memang berakibat buruk bagi Masyumi.
Memang tidak dapat disangkal lagi, banyak tokoh-tokoh Masyumi daerah yang turut serta dalam pemberontakan yang diterajui unsur-unsur militer yang mendapat dukungan sipil. Tokohtokoh
Masyumi yang turut terlibat dalam pemberontakan itu ialah Syafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, dan Muhammad Natsir. Tokoh-tokoh ini adalah bekas Perdana Menteri (Muhammad Natsir dan Burhanuddin Harahap) dan Syafruddin Prawiranegara sendiri adalah bekas Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Bagi Syafruddin Prawiranegara dan tokohtokoh Masyumi terlibat dalam PRRI adalah berjuang untuk UUD dan memaksa Presiden Ir. Sukarno kembali kepada UUD 1950 (Prawiranegara, 1975). Tetapi, perlu dicatat bahwa, pembabitan tokoh-tokoh Masyumi ini, --ketika perintah untuk membubarkan partai Masyumi oleh Presiden Ir. Sukarno, mereka tidak lagi menjadi anggota jawatankuasa Masyumi. Sebagaimana diketahui, dalam Muktamar IX Partai Masyumi, 23 – 27 April 1959 di Yogyakarta, Anggota Jawatankuasa Agung Partai Masyumi adalah sebagai berikut:
Ketua Umum : Prawoto Mangkusasmito
Wakil Ketua I : Dr. H. Soekiman Wirjosanjoyo
Wakil Ketua II : K.H.Faqih Usman
Wakil Ketua III : Mr. Mohammad Roem
Setiausah Agung: M. Yunan Nasution
Anggota-Anggota:
Mr. Kasman Singodimedjo
Anwar Harjono
K.H. Taufiqurrahman
A.R. Baswedan
Ardiwinangun
H. Hassan Basri
Osman Raliby
Sindian Djajadiningrat, S.H
Sholeh Iskandar
K.H. Ahmad Azhary
Ny. Sunaryo Mangunpuspito
Ny. Syamsurizal
(Hakim, 1993)
Jika dilihat dari nama-nama di atas, tidak ada anggota jawatankuasa Masyumi dalam daftar tokoh Masyumi yang terlibat dalam pemberontakan. Di samping itu, sejak 5 September 1958 Masyumi sebagai organisasi telah dilarang di daerah-daerah pembrontakan yaitu Tapanuli, Sumatera Barat, Riau Daratan, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah. Dalam muktamar IX itu sudah tidak ada lagi utusanutusan dari daerah-daerah itu.
Kenyataannya memang, pemberontakan daerah-daerah ini terjadi di “basis” suara Masyumi dalam pemilu 1955 seperti di Sumatera Selatan, Sumatera Tengah, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan/Tenggara, dan Maluku (Notosusanto, 1975). Di daerah itu, khususnya Sumatera, Sulawesi, dan Maluku adalah daerah pusat pemberontahan melawan pemerintah pusat pimpinan Presiden Ir. Sukarno sejak Februari 1958. Pemberontakan daerah-daerah terhadap pusat itu, sebagaimana dinyatakan Barbara Silars Harvey, merupakan penjajaran paradoksal karena tuntutan daerah untuk memperoleh pembahagian lebih besar atas sumber daya nasional dan di lain pihak menuntut otonomi yang lebih besar dari pengendalian pusat (Harvey, 1989). Masyumi sendiri berpendirian terhadap pemberontakan di daerah-daerah terhadap pusat menyatakan bahwa jalan yang harus ditempuh bukan saling mencari kesalahan antara pusat dan daerah, tetapi menggali sebanyak-banyaknya persamaan yang dikehendaki baik oleh pusat mahupun daerah.
Menurut Jenderal A.H. Nasution (1963)
pimpinan TNI ketika itu, Republik Indonesia hampir jatuh akibat pemberontakan itu. Pada 1959, pihak pemberontak telah berhasil menguasai tidak kurang 1/6 wilayah RI, yang menurut satu sumber dibantu secara diam-diam oleh Amerika Serikat dan Inggris. Amerika Serikat dan Inggris membantu pemberontak PRRI dan Permesta sebagai bahagian dari perlawanan global terhadap komunisme. Baik PRRI ataupun Permesta serta Amerika Serikat dan Inggris pemerintah pimpinan Presiden Ir. Sukarno lunak dengan komunis, menyalahi
Undang-Undang dan bersifat Jawa Sentris (Mahendra, 1988).
Di samping itu Masyumi juga mengeluarkan kenyataan bahwa pembentukan Pemerintah Revolusioner (PRRI) adalah inkonstitusioneel, sama juga dengan pembentukan Kabinet Karya dan Dewan Nasional adalah inkonstitusionel. PKI sendiri menyikapi keterlibatan Amerika Serikat dan Inggris dalam PRRIPermesta sebagai imperialis-imperialis di mana agen-agennya adalah Masyumi. Kekuatan hubungan daerah-daerah yang bergolak dengan pengaruh Masyumi di daerah-daerah bergolak itu, ternyata memang berakibat buruk bagi Masyumi.
Memang tidak dapat disangkal lagi, banyak tokoh-tokoh Masyumi daerah yang turut serta dalam pemberontakan yang diterajui unsur-unsur militer yang mendapat dukungan sipil. Tokohtokoh
Masyumi yang turut terlibat dalam pemberontakan itu ialah Syafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, dan Muhammad Natsir. Tokoh-tokoh ini adalah bekas Perdana Menteri (Muhammad Natsir dan Burhanuddin Harahap) dan Syafruddin Prawiranegara sendiri adalah bekas Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Bagi Syafruddin Prawiranegara dan tokohtokoh Masyumi terlibat dalam PRRI adalah berjuang untuk UUD dan memaksa Presiden Ir. Sukarno kembali kepada UUD 1950 (Prawiranegara, 1975). Tetapi, perlu dicatat bahwa, pembabitan tokoh-tokoh Masyumi ini, --ketika perintah untuk membubarkan partai Masyumi oleh Presiden Ir. Sukarno, mereka tidak lagi menjadi anggota jawatankuasa Masyumi. Sebagaimana diketahui, dalam Muktamar IX Partai Masyumi, 23 – 27 April 1959 di Yogyakarta, Anggota Jawatankuasa Agung Partai Masyumi adalah sebagai berikut:
Ketua Umum : Prawoto Mangkusasmito
Wakil Ketua I : Dr. H. Soekiman Wirjosanjoyo
Wakil Ketua II : K.H.Faqih Usman
Wakil Ketua III : Mr. Mohammad Roem
Setiausah Agung: M. Yunan Nasution
Anggota-Anggota:
Mr. Kasman Singodimedjo
Anwar Harjono
K.H. Taufiqurrahman
A.R. Baswedan
Ardiwinangun
H. Hassan Basri
Osman Raliby
Sindian Djajadiningrat, S.H
Sholeh Iskandar
K.H. Ahmad Azhary
Ny. Sunaryo Mangunpuspito
Ny. Syamsurizal
(Hakim, 1993)
Jika dilihat dari nama-nama di atas, tidak ada anggota jawatankuasa Masyumi dalam daftar tokoh Masyumi yang terlibat dalam pemberontakan. Di samping itu, sejak 5 September 1958 Masyumi sebagai organisasi telah dilarang di daerah-daerah pembrontakan yaitu Tapanuli, Sumatera Barat, Riau Daratan, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah. Dalam muktamar IX itu sudah tidak ada lagi utusanutusan dari daerah-daerah itu.
c) Penyelesaian Konflik: Masyumi Menggugat
Bagi Masyumi, perintah pembubaran Partai Masyumi oleh Presiden Ir. Sukarno adalah satu tindakan yang tidak syah dan menyalahi hukum. Upaya-upaya kemudian dilakukan untuk melakukan gugatan kepada pemerintah. Pada tanggal 7 September 1960, Prawoto Mangkusasmito, selaku ketua umum Partai Masyumi, memberikan kuasa hukum kepada Mr. Muhammad Roem, Mr. Maduretno Haznam dan Mr. Djamaluddin Dt. Singo Mangkuto untuk mengajukan gugatan. Gugatan itu kemudian diajukan oleh Mr. Muhammad Roem tanggal 9 September 1960 kepada Ketua Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta yaitu 4 hari sebelum pimpinan Partai Masyumi menyatakan partainya bubar.
Adapun beberapa isi gugatan itu adalah:
1. Bahwa Keputusan Presiden No. 200 Tahun 1960 tersebut merupakan tindakan penguasa yang melanggar hukum dan harus dibatalkan, setidak-tidaknya dinyatakan batal karena hukum.
2. Bahwa Peraturan Presiden No.13 Tahun 1960, sebagai pelaksanaan dari Penetapan Presiden No.7/1959, dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan hukum dan harus juga dinyatakan demikian oleh pengadilan.
3. Bahwa pembubaran partai politik Islam Indonesia Masyumi itu menutup pintu bagi berjuta-juta warga negara untuk beramal dan karena itu menimbulkan kerugian moril yang tidak terhingga.
Maka berasaskan alasan-alasan tersebut di atas, kuasa hukum Masyumi menuntut Ketua Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta untuk memberikan keputusan:
1. Menyatakan bahwa Penetapan Presiden No.7 Tahun 1959 dan Peraturan Presiden No.13 Tahun 1960 tidak mempunyai kekuatan hukum.
2. Membatalkan, setidak-tidaknya menyatakan batal karena hukum Keputusan Presiden No. 200 Tahun 1960.
Tuntutan Masyumi melalui gugatan itu kemudian disikapi pihak mahkamah dengan menyatakan bahwa pihak mahkamah tidak berwenang untuk memeriksa perkara ini, tanpa melalui proses persidangan. Kesimpulannya adalah bahwa dengan ketetapan itu hakim menyatakan dirinya tidak mempunyai wewenang untuk memeriksa itu. Adapun titik tolak dari pemikiran hakim dilandasi oleh ”Reglement op de Rechterlijke Organisatie.”
Dengan hasil ini, partai Masyumi kemudian pada 24 Oktober 1960 menyatakan banding kepada Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta yang isinya pihak pengadilan membatalkan ketetapan Ketua Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta. Akhirnya tuntutan naik banding Masyumi terhadap Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta tidak berhasil.
Perlu untuk dijelaskan bahwa hubungan partai Masyumi secara resmi dengan pemberontakan daerah harus mempertimbangkan fakta bahwa pada waktu keputusan Presiden No.200/1960 itu dikeluarkan, baik Muhammad Natsir, Syafruddin Prawiranegera dan Burhanuddin Harahap tidak lagi menjadi pimpinan resmi partai Masyumi. Kedudukan mereka telah diganti pada masa sebelumnya. Ini bermakna bahwa secara hukum keputusan presiden itu tidak dapat mengenai Masyumi sebagai partai. Tinjauan secara hukum ini yang kemudian menjadi pembahasan Perhimpunan Sarjana hukum Indonesia/PERSAHI yang mengadakan Musyawarah Nasional ke-3 pada 3 Desember 1966 menyatakan bahwa “agar partaipartai politik Masyumi dan PSI segera direhabilitasi kembali karena pembubarannya secara yuridis formal tidak syah dan yuridis materil tidak beralasan dan hanya menjadi korban dari rezim Orde Lama”. Penilaian yang hampir sejalan dengan pendapat PERSAHI itu ialah hasil seminar Angkatan Darat pada bulan Agustus 1966 yang antara lain menyatakan: “Anggota-anggota bekas partai yang dinyatakan terlarang: PSI, Masyumi dan Murba masih bersetatus warga negara Indonesia dengan hak-hak dan kewajibankewajiban yang sama dengan warga negara lainnya, oleh karena itu sudah sewajarnya apabila mereka segera diikutsertakan dalam kehidupan politik, supaya mendapat kesempatan yang sama untuk dapat dipilih dan memilih.”
Pernyataan pakar-pakar hukum ini, -- menurut Syafii Maarif seharusnya telah
menjelaskan situasi bahwa Masyumi dan PSI sebagai partai tidak terlibat dalam pemberontakan,--
sebagaimana yang dituduhkan Presiden Ir. Sukarno. Dengan demikian alasan Presiden Ir. Sukarno membubarkan Masyumi adalah merupakan “jalan kekerasan dan otoriter” karena tidak disertai dengan bukti-bukti yang kukuh. Usaha ini dilakukan Presiden Ir. Sukarno adalah sebenarnya untuk melicinkan jalan bagi tercapainya Demokrasi Terpimpin, sekaligus juga menyingkirkan “saingan politiknya” yang dianggap kontrarevolusi. Dengan demikian benar apa yang dikatakan Prawoto, Ketua Umum Masyumi, Presiden Ir. Sukarno telah membawa Indonesia dari negara hukum ke negara
kekuasaan. Alasan-alasan pakar hukum ini pula yang dijadikan landasan bagi pemimpin Masyumi untuk terus memperjuangkan Masyumi dan merehabiltasi namanya. Pada 22 Desember 1966 mengirimkan surat kepada Ketua Presidium Kabinet Ampera, Jenderal Suharto untuk memulibaik nama partai Masyumi. Surat itu kemudian dibalas langsung oleh Jenderal Suharto. Surat tertanggal 6 Januari 1967 menyimpulkan:
1. Bahwa Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ABRI tidak dapat menerima rehabilitasi bekas partai politik Masyumi.
2. Sebagai salah seorang Panglima Angkatan dan penandatangan Pernyataan ABRI tanggal 21 Disember 1966 saya perlu menjelaskan, bahwa penyebutan bekas Masyumi dalam pernyataan itu bukanlah hal yang khusus, melainkan penegasan pendirian ABRI untuk menumpas usaha dan bentuk penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
3. Mengenai bekas anggota-anggota Masyumi, sebagai warga negara, tetap dijamin hak-hak demokrasinya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Surat Jenderal Suharto pada asasnya menegaskan bahwa Angkatan Bersenjata Indonesia (ABRI) tidak dapat menerima upaya memulihbaik partai Masyumi. Alasan-alasan yuridis, ketatanegaraan, dan psikologis telah membawa ABRI pada satu pendirian, bahwa ABRI tidak dapat menerima rehabilitasi bekas partai politik Masyumi.
Atas jawaban Jenderal Suharto tersebut, maka Prawoto kemudian mengirim surat balasan tertanggal 30 Maret 1967, yang saat itu Jenderal Suharto telah menjadi Pejabat Presiden Republik Indonesia. Adapun hal hal yang dibicarakan dalam surat itu adalah bahwa pihak partai Masyumi tetap menyatakan tidak terlibat dalam pemberontakan sebagaimana yang dinyatakan juga meminta kembali kepada Jenderal Suharto untuk membersihkan nama partai Masyumi. Usaha tokoh-tokoh Masyumi untuk membersihkan nama partai Masyumi pada akhirnya menyisahkan satu perjuangan pahit, pemerintah tetap tidak dapat memulibaik nama nama partai Masyumi. Dengan pernyataan pemerintah Orde Baru di bawah Jenderal Suharto itu, pihak militer masih amat curiga terhadap Masyumi.
Tanggapan dari pihak pemerintah itu membuat bekas para pemimpin Masyumi dan aktivis Masyumi sadar bahwa rehabilitiasi partai Masyumi hampir sepenuhnya mustahil. Melihat sikap tegas pimpinan militer mengenai masalah ini, banyak kalangan berkesimpulan bahwa para pemimpin Masyumi di zaman Orde Baru hanya dapat terjamin jika mereka “dapat mengubah haluan politik yang sesuai dengan agenda pemerintah. Untuk alasan itulah kemudian dibentuk Panitia yang diberi nama Panitia Tujuh, --karena terdiri dari tujuh orang yaitu K.H. Faqih Usman (ketua), Anwar Harjono (wakil ketua), Agus Sudono (setiausaha), Ny. Syamsurizal (anggota), H. Marzuki Jatim (anggota), H. Hassan Basri (anggota) dan E.Z. Mutaqqin (anggota), pada pertengahan 1967 yang kemudian berunding dengan pihak pemerintah Orde Baru untuk membentuk partai politik (Islam) baru. Akhirnya pada 20 Februari 1968 partai politik Islam yang baru itu pun didirikan dengan nama Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) (Wadd, 1970).
Menurut Anwar Harjono penubuhan Parmusi merupakan “kewujudan” Masyumi agar tetap hidup dan usaha untuk merehabilitasi nama partai Masyumi dalam Orde Baru. Namun, sebagaimana dicatat Kenneth R. Wadd, harapan “menggunung” tokoh-tokoh Masyumi terhadap penubuhan Parmusi untuk kembali menempatkan pengaruh Masyumi dalam politik Orde Baru, hanya tinggal harapan, sebab ternyata Orde Baru di bawah Jenderal Suharto justru kembali ”memasung” tokoh-tokoh Masyumi dalam Parmusi.
PENUTUP
Dengan demikian dalam sejarah politik kepartaian di Indonesia tersingkirnya partai Masyumi dalam panggung politik Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 200/1960, menandai pula berakhirnya perjuangan partai Islam modernis, ditindas dan disingkirkan oleh kelompok nasionalis sekular dan komunis atas landasan kekuasaan yang otoriter. Konflik ideologi yang terus berkepanjangan antara kedua kelompok tersebut dan didukung kuat oleh penguasa menyebabkan Masyumi harus tersingkir dari arena politik. Walaupun demikian, Partai Masyumi, telah meninggalkan jejak etik demokratis dalam sejarah moden Indonesia, akan tetap dicatat sebagai modal untuk membangun kehidupan politik yang sehat dan bertanggungjawab pada masa-masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Zainal Abidin. 1946. Masjoemi: Partij Politiek Islam Indonesia hal.15-16. Pematang Siantar.
Amirmachmud. 1986. Pembangunan Politik dalam Negeri Indonesia. Jakarta, Gramedia.
Dahm, Benard. 1969. Soekarno and Tthe Struggle for Indonesian Independence hal. XII, (terj Mary F.
Soners Heines). Ithaca, Cornell University Press.
Feith, Herbert dan Lance Castles (edited). 1970. Indonesia Political Thinking, 1945 – 1965, hal. 263- 264. Ithaca and London, Cornell University Press.
Haidar, M. Ali. 1994. Nahdlathul Ulama dan Islam di Indonesia, Pendekatan Fiqih dalam Politik. hal. 163. Jakarta, Gramedia.
Hakim, Lukman. 1993. Perjalanan Mencari Keadilan dan Persatuan:Biografi Dr. Anwar Harjono, S.H, hal. 209 – 210. Jakarta, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.
Harvey, Barbara Silars. 1989. Pemberontakan Kahar Muzakkar: dari tradisi ke DI/TII hal.9 (terj. Pustaka Grafiti Press).Jakarta, Pustaka Utama Grafiti.
Maarif, Ahmad Syafii. 1985. Islam dan Masalah Kenegaraan hal.185. Jakarta, LP3ES.
Madjid, Nurcholish. 1992. Islam: Doktrin dan Peradaban. Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina.
Mahendra, Yusril Ihza. 1988. “Prolog PRRI dan keterlibatan Syafruddin-Natsir”, dalam E. Saifuddin Anshary (ed), Pak Natsir, 80 tahun hal. 52 – 54. Jakarta, LIPPM.
Mahendra, Yusril Ihza. 1999. Modenisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Parti Masyumi (Indonesia) dan Jamiat Islami (Pakistan) hal.214. Jakarta, Penerbit Paramadina.
Mangkusasmito, Prawoto. 1972. Alam Pikiran dan Jejak Perdjuangan hal.125. Surabaya, Dokumentasi.
Nasution, A.H. 1963. Menuju Tentara Rakyat hal.173. Jakarta, Yayasan Penerbit Minang.
Notosusanto, Nugroho (ed). 1975. Sejarah Nasional Indonesia 6 hal.252. Jakarta, Dep. P dan K.
Prawiranegara, Syafruddin. 1975. Sejauh sebagai Pedoman untuk membangun Masa Depan hal. 41.
Jakarta, Idaya.
Roem, Mohammad. 1970. Pelajaran dari Sejarah hal. 9. Surabaya, Documentasi.
Scot, Peter Dale. 1999. CIA dan Penggulingan Sukarno hal. 31 – 35 (Terj.Darma). Jakarta, Lembaga Analisis Informasi.
Soekarno. 1963. Di Bawah Bendera Revolusi hal. 411. Jakarta, Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi.
Wadd, Kenneth R. 1970. The Foundation of The Partai Muslimin Indonesia (Parmusi).Ithaca, Modern Indonesia Project, Southeast Asian Program, Cornell University.
Wahid, Abdurahman. 1984. “Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Dewasa Ini.” dalam Jurnal Prisma, No. 4, April, Tahun XII, hal. 35.
Ahmad, Zainal Abidin. 1946. Masjoemi: Partij Politiek Islam Indonesia hal.15-16. Pematang Siantar.
Amirmachmud. 1986. Pembangunan Politik dalam Negeri Indonesia. Jakarta, Gramedia.
Dahm, Benard. 1969. Soekarno and Tthe Struggle for Indonesian Independence hal. XII, (terj Mary F.
Soners Heines). Ithaca, Cornell University Press.
Feith, Herbert dan Lance Castles (edited). 1970. Indonesia Political Thinking, 1945 – 1965, hal. 263- 264. Ithaca and London, Cornell University Press.
Haidar, M. Ali. 1994. Nahdlathul Ulama dan Islam di Indonesia, Pendekatan Fiqih dalam Politik. hal. 163. Jakarta, Gramedia.
Hakim, Lukman. 1993. Perjalanan Mencari Keadilan dan Persatuan:Biografi Dr. Anwar Harjono, S.H, hal. 209 – 210. Jakarta, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.
Harvey, Barbara Silars. 1989. Pemberontakan Kahar Muzakkar: dari tradisi ke DI/TII hal.9 (terj. Pustaka Grafiti Press).Jakarta, Pustaka Utama Grafiti.
Maarif, Ahmad Syafii. 1985. Islam dan Masalah Kenegaraan hal.185. Jakarta, LP3ES.
Madjid, Nurcholish. 1992. Islam: Doktrin dan Peradaban. Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina.
Mahendra, Yusril Ihza. 1988. “Prolog PRRI dan keterlibatan Syafruddin-Natsir”, dalam E. Saifuddin Anshary (ed), Pak Natsir, 80 tahun hal. 52 – 54. Jakarta, LIPPM.
Mahendra, Yusril Ihza. 1999. Modenisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Parti Masyumi (Indonesia) dan Jamiat Islami (Pakistan) hal.214. Jakarta, Penerbit Paramadina.
Mangkusasmito, Prawoto. 1972. Alam Pikiran dan Jejak Perdjuangan hal.125. Surabaya, Dokumentasi.
Nasution, A.H. 1963. Menuju Tentara Rakyat hal.173. Jakarta, Yayasan Penerbit Minang.
Notosusanto, Nugroho (ed). 1975. Sejarah Nasional Indonesia 6 hal.252. Jakarta, Dep. P dan K.
Prawiranegara, Syafruddin. 1975. Sejauh sebagai Pedoman untuk membangun Masa Depan hal. 41.
Jakarta, Idaya.
Roem, Mohammad. 1970. Pelajaran dari Sejarah hal. 9. Surabaya, Documentasi.
Scot, Peter Dale. 1999. CIA dan Penggulingan Sukarno hal. 31 – 35 (Terj.Darma). Jakarta, Lembaga Analisis Informasi.
Soekarno. 1963. Di Bawah Bendera Revolusi hal. 411. Jakarta, Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi.
Wadd, Kenneth R. 1970. The Foundation of The Partai Muslimin Indonesia (Parmusi).Ithaca, Modern Indonesia Project, Southeast Asian Program, Cornell University.
Wahid, Abdurahman. 1984. “Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Dewasa Ini.” dalam Jurnal Prisma, No. 4, April, Tahun XII, hal. 35.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar