Seni: Antara Kemasan dan Muatan
OPINI | 14 January 2012 | 00:49
24
0
Nihil
Perbincangan mengenai seni pada dasarnya
dilatari oleh dua hal utama yaitu kemasannya dan atau muatannya. Yang
kubicarakan adalah seni secara keseluruhan, bukan seni yang
terpetak-petak menjadi musik, teater, rupa dan lain-lain. Apapun bentuk
yang dipilih oleh senimannya akan menjadi bahan, yang bisa dibicarakan
lebih lanjut atau hanya menjadi kenangan visual, bagi penontonnya.
Oleh-oleh yang dibawa penonton inilah, terlepas dari siapapun
penontonnya, yang menjadi wacana dalam dunia seni dan inilah tema pokok
tulisan yang kubuat ini.
Pada awalnya seni adalah ritual. Sebuah prosesi untuk menghormati alam semesta. Segala tarian, lukisan, nyanyian dan lain sebagainya ditujukan semata-mata sebagai bagian dari upacara para manusia menghormati penciptanya. Artefak-artefak yang ditemukan para arkeolog menjadi saksi nyata dari sakralisasi seni di zaman dahulu.
Seni sebagai ritual mengutamakan muatan, isinya dipenuhi doa-doa para leluhur akan keselamatan juga rangkaian terima kasih atas anugerah Yang Maha Kuasa. Sebagai prosesi, seni menjadi sangat lokal karena dipengaruhi oleh berbagai aspek budaya para pelakunya yang berbeda-beda. Tarian syukur atas hasil panen antara suatu kultur akan berbeda dengan kultur yang lain. Begitu pula lagu-lagu para leluhur yang memuja alam raya akan berbeda antara suatu etnis dengan etnis lainnya. Situasi ini dikarenakan dunia masih terbelah begitu banyaknya dan tak ada koneksi antara satu sama lain.
Lalu sejak transportasi laut menjadi andalan utama berbagai bangsa bahari maka kontak-kontak komunikasi menjadi terjalin dan perlahan-lahan mulailah saling pengaruh mempengaruhi antar kultur. Gamelan yang diciptakan leluhur bangsa ini menjadi mungkin karena adanya migrasi bangsa China yang membawa serta teknologi menempa logam. Lewat penetrasi budaya inilah sekat-sekat antar budaya terkikis pelan-pelan.
Kemajuan zaman membawa manusia kepada era industri yang memodernisir segala perkakas sebelumnya menjadi lebih cepat, bersifat massal dan ekonomis. Dari revolusi industri ini kesenian juga terpengaruhi, sehingga mulailah penciptaan-penciptaan karya seni yang berbasiskan kepada komoditi. Sebagai produk massal maka seni menjadi lebih “ramah” dalam muatan dan mengutamakan kemasan yang menarik konsumen. Segala sakralisasi seni tidak hilang namun berada di wilayah periferal, seni sebagai ritual menjadi wilayah ekslusif para seniman teolog. Kecenderungan tersebut mewabah di seluruh dunia.
Namun sejak Perang Dunia di awal abad 20 yang membuat dunia menjadi sempit, ada tendensi lain dimana seni sebagai sebuah prosesi individual para senimannya. Di era ini kaum Dadais mendeklarasikan cita rasa artistiknya yang unik yang mempengaruhi pula kepada sebuah gerakan yang disebut ,oleh para kritikus seni, surealisme. Dalam surealisme, nilai-nilai menjadi begitu relatif dan individualis. Ini berbeda seratus delapan puluh derajat dengan gaya artistik seni industri yang mengutamakan kolektifitas nilai-nilai berbasiskan keuntungan.
Zaman terus melaju dengan membawa kereta kebudayaannya tersendiri. Sesudah Perang Dunia ke dua, lahirlah absurdisme yang dilatari kehancuran bangsa-bangsa sesudah perang sekaligus pula kelahiran bangsa-bangsa baru, juga akibat perang. Dalam absurdisme, seni tetap mengutamakan muatan individualis. Dalam musik tercatat beberapa progres yang sebelumnya dianggap tabu. John Cage bermusik dengan keheningan, yang dimasa dahulu dianggap jeda dan bukan tercatat sebagai musik. Waiting For Godot, sebuah naskah yang diisi oleh repetisi adegan tanpa konklusi jelas juga menjadi penanda era absurditas.
Tetapi seni sebagai industri juga mengalami kemajuan pesat, dimotori oleh bangsa-bangsa pemenang perang dunia yang berekspansi ke penjuru bumi dengan cita rasa artistik yang lebih ramah kepada publik. Negeri ini pun juga menjadi wilayah sasaran dari ekspansi kultur negeri pemenang perang tersebut. Film menjadi komoditas andalan, dikarenakan kebaruannya juga teknologinya yang efisien serta yang paling utama peraup laba terbesar diantara semua seni. Musik pun juga menjadi ajang pertaruhan bisnis para produser. Tak menjadi masalah sebuah lagu begitu buruk muatannya, sepanjang lagu itu dikemas menarik serta propaganda tanpa henti maka akan larislah lagu tersebut. Invasi seni industri negara-negara barat ini nyaris menihilkan seni sebagai prosesi individualis.
Tetapi pendulum zaman terus bergerak kesana kemari. Di masa kini dimana ruang dan waktu telah dilipat-lipat maka semangat para individualis dan juga para kolektivis dapat berjalan beriringan. Seni dengan muatan yang berlapis-lapis bersanding dengan seni dengan kemasan yang menarik. Ada pula yang mencoba jalan tengah, dengan mengkombinasikan seni bermuatan yang dikemas menarik tetapi waktunya belum lagi tiba sehingga ia menjadi suatu penanda dari kultur di era tertentu.
Belum lama ini, aku menyaksikan sebuah pertunjukan teater dimana muatannya begitu bermutu dan para pemainnya pun juga berwajah menarik. Tetapi fakta yang tak bisa dibuang begitu saja adalah penontonnya tak lebih dari 20% kapasitas auditorium megah. Akhirnya aku pun menonton dengan rasa dingin penyejuk ruangan yang meruak luar biasa.
Ada pula catatan media tentang berjayanya sebuah drama musikal, dengan durasi pertunjukan lebih dari dua jam dan dipertontonkan selama lebih dari dua minggu dan mampu menarik begitu banyaknya khalayak. Apakah itu bukti bahwa kombinasi dari muatan dan kemasan telah berhasil? Butuh penelitian lebih lanjut mengenai ini, karena tak jarang yang menonton pun juga adalah “pemain” yang tak bermain.
Sampai disini aku tak ingin memperdalam lagi tulisan ini, karena pembaca dunia maya juga tak tahan membaca lebih dari dua halaman, dan untuk itu kiranya bisa dianggap bahwa tulisan ini hanyalah stimulan dari , semoga saja, beberapa catatan baru yang lahir dari benak anda.
Namun untuk lebih mempertegas inti tulisan ini, kiranya perlu dipahami bahwa muatan dan kemasan adalah cara seni untuk hadir dalam benak penontonnya. Jalur mana yang dipilih para senimannya adalah menjadi hak prerogatif kreator itu sendiri. Untuk selanjutnya publik, sebagai kritikus dan apresiator, akan membawanya sebagai oleh-oleh dalam benaknya. Kalaupun mereka tak mau membawa oleh-oleh itu, yah biarkan saja. Yang penting tetaplah di jalur yang dipilih karena dari situ lahir identitas yang membawa anda kepada pemahaman bahwa seniman, melalui karyanya, adalah manusia yang unik. Begitulah hakikatnya manusia, bukan?
Pada awalnya seni adalah ritual. Sebuah prosesi untuk menghormati alam semesta. Segala tarian, lukisan, nyanyian dan lain sebagainya ditujukan semata-mata sebagai bagian dari upacara para manusia menghormati penciptanya. Artefak-artefak yang ditemukan para arkeolog menjadi saksi nyata dari sakralisasi seni di zaman dahulu.
Seni sebagai ritual mengutamakan muatan, isinya dipenuhi doa-doa para leluhur akan keselamatan juga rangkaian terima kasih atas anugerah Yang Maha Kuasa. Sebagai prosesi, seni menjadi sangat lokal karena dipengaruhi oleh berbagai aspek budaya para pelakunya yang berbeda-beda. Tarian syukur atas hasil panen antara suatu kultur akan berbeda dengan kultur yang lain. Begitu pula lagu-lagu para leluhur yang memuja alam raya akan berbeda antara suatu etnis dengan etnis lainnya. Situasi ini dikarenakan dunia masih terbelah begitu banyaknya dan tak ada koneksi antara satu sama lain.
Lalu sejak transportasi laut menjadi andalan utama berbagai bangsa bahari maka kontak-kontak komunikasi menjadi terjalin dan perlahan-lahan mulailah saling pengaruh mempengaruhi antar kultur. Gamelan yang diciptakan leluhur bangsa ini menjadi mungkin karena adanya migrasi bangsa China yang membawa serta teknologi menempa logam. Lewat penetrasi budaya inilah sekat-sekat antar budaya terkikis pelan-pelan.
Kemajuan zaman membawa manusia kepada era industri yang memodernisir segala perkakas sebelumnya menjadi lebih cepat, bersifat massal dan ekonomis. Dari revolusi industri ini kesenian juga terpengaruhi, sehingga mulailah penciptaan-penciptaan karya seni yang berbasiskan kepada komoditi. Sebagai produk massal maka seni menjadi lebih “ramah” dalam muatan dan mengutamakan kemasan yang menarik konsumen. Segala sakralisasi seni tidak hilang namun berada di wilayah periferal, seni sebagai ritual menjadi wilayah ekslusif para seniman teolog. Kecenderungan tersebut mewabah di seluruh dunia.
Namun sejak Perang Dunia di awal abad 20 yang membuat dunia menjadi sempit, ada tendensi lain dimana seni sebagai sebuah prosesi individual para senimannya. Di era ini kaum Dadais mendeklarasikan cita rasa artistiknya yang unik yang mempengaruhi pula kepada sebuah gerakan yang disebut ,oleh para kritikus seni, surealisme. Dalam surealisme, nilai-nilai menjadi begitu relatif dan individualis. Ini berbeda seratus delapan puluh derajat dengan gaya artistik seni industri yang mengutamakan kolektifitas nilai-nilai berbasiskan keuntungan.
Zaman terus melaju dengan membawa kereta kebudayaannya tersendiri. Sesudah Perang Dunia ke dua, lahirlah absurdisme yang dilatari kehancuran bangsa-bangsa sesudah perang sekaligus pula kelahiran bangsa-bangsa baru, juga akibat perang. Dalam absurdisme, seni tetap mengutamakan muatan individualis. Dalam musik tercatat beberapa progres yang sebelumnya dianggap tabu. John Cage bermusik dengan keheningan, yang dimasa dahulu dianggap jeda dan bukan tercatat sebagai musik. Waiting For Godot, sebuah naskah yang diisi oleh repetisi adegan tanpa konklusi jelas juga menjadi penanda era absurditas.
Tetapi seni sebagai industri juga mengalami kemajuan pesat, dimotori oleh bangsa-bangsa pemenang perang dunia yang berekspansi ke penjuru bumi dengan cita rasa artistik yang lebih ramah kepada publik. Negeri ini pun juga menjadi wilayah sasaran dari ekspansi kultur negeri pemenang perang tersebut. Film menjadi komoditas andalan, dikarenakan kebaruannya juga teknologinya yang efisien serta yang paling utama peraup laba terbesar diantara semua seni. Musik pun juga menjadi ajang pertaruhan bisnis para produser. Tak menjadi masalah sebuah lagu begitu buruk muatannya, sepanjang lagu itu dikemas menarik serta propaganda tanpa henti maka akan larislah lagu tersebut. Invasi seni industri negara-negara barat ini nyaris menihilkan seni sebagai prosesi individualis.
Tetapi pendulum zaman terus bergerak kesana kemari. Di masa kini dimana ruang dan waktu telah dilipat-lipat maka semangat para individualis dan juga para kolektivis dapat berjalan beriringan. Seni dengan muatan yang berlapis-lapis bersanding dengan seni dengan kemasan yang menarik. Ada pula yang mencoba jalan tengah, dengan mengkombinasikan seni bermuatan yang dikemas menarik tetapi waktunya belum lagi tiba sehingga ia menjadi suatu penanda dari kultur di era tertentu.
Belum lama ini, aku menyaksikan sebuah pertunjukan teater dimana muatannya begitu bermutu dan para pemainnya pun juga berwajah menarik. Tetapi fakta yang tak bisa dibuang begitu saja adalah penontonnya tak lebih dari 20% kapasitas auditorium megah. Akhirnya aku pun menonton dengan rasa dingin penyejuk ruangan yang meruak luar biasa.
Ada pula catatan media tentang berjayanya sebuah drama musikal, dengan durasi pertunjukan lebih dari dua jam dan dipertontonkan selama lebih dari dua minggu dan mampu menarik begitu banyaknya khalayak. Apakah itu bukti bahwa kombinasi dari muatan dan kemasan telah berhasil? Butuh penelitian lebih lanjut mengenai ini, karena tak jarang yang menonton pun juga adalah “pemain” yang tak bermain.
Sampai disini aku tak ingin memperdalam lagi tulisan ini, karena pembaca dunia maya juga tak tahan membaca lebih dari dua halaman, dan untuk itu kiranya bisa dianggap bahwa tulisan ini hanyalah stimulan dari , semoga saja, beberapa catatan baru yang lahir dari benak anda.
Namun untuk lebih mempertegas inti tulisan ini, kiranya perlu dipahami bahwa muatan dan kemasan adalah cara seni untuk hadir dalam benak penontonnya. Jalur mana yang dipilih para senimannya adalah menjadi hak prerogatif kreator itu sendiri. Untuk selanjutnya publik, sebagai kritikus dan apresiator, akan membawanya sebagai oleh-oleh dalam benaknya. Kalaupun mereka tak mau membawa oleh-oleh itu, yah biarkan saja. Yang penting tetaplah di jalur yang dipilih karena dari situ lahir identitas yang membawa anda kepada pemahaman bahwa seniman, melalui karyanya, adalah manusia yang unik. Begitulah hakikatnya manusia, bukan?
tulisan ini juga dimuat di catetansiboy.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar