Karakter Orang Indonesia 02: menurut Mochtar Lubis
Posted by wahyuancol pada November2, 2009
Saya teringat, ketika SMA dahulu pernah membaca buku tulisan
Mochtar Lubis yang membahas tentang ciri-ciri manusia Indonesia. Dalam
perjalanan waktu, buku tersebut hilang entah kemana. Keinginan untuk
membaca kembali buku tersebut muncul kembali akhir-akhir ini khususnya
setelah mengikuti Seminar Internasional di Yogyakarta yang
diselenggarakan oleh Sekolah Paskasarjana UGM tanggal 20-22 Oktober 2009
yang lalu yang bertema “Disaster: Theory, Research and Policy.”
Terungkap di dalam seminar tersebut bahwa “Gotongroyong” adalah salah
satu faktor utama yang menyebabkan masyarakat di Bantul, Yogyakarta bisa
cepat pulih dari kerusakan karena gempa tanggal 27 Mei 2006. Kearifan
lokal perlu dihidupkan kembali dalam rangka mitigasi bencana.
Saya berusaha mencari dengan bantuan internet, dan saya dapatkan
sebagai berikut: pertama, saya mencapatkan resensi buku tulisan Mochtar
Lubis itu dari Blog Psikologi Indonesia
(http://www.psigoblog.com/2009/02/manusia-indonesia-kini-ala-mochtar.html),
dan kedua, saya mendapat sebuah tulisan singkat dari Kompasiana
(http://umum.kompasiana.com/2009/05/10/ciri-manusia-indonesia-menurut-mochtar-lubis/).
Sebenarnya ada juga beberapa sumber lain dalam bentuk blog yang
memberikan ciri-ciri orang Indonesia menurut Mochtar Lubis itu, tetapi
dua sumber yang pertama saya sebutkan itu saya kira sudah memadai.
Sementara saya berusaha mendapatkan buku tua itu, berikut ini adalah apa
yang saya dapat dari kedua sumber itu.
———————–
Bagian ini saya kutip dari Blog Psikologi Indonesia dari artikel yang berjudul “Manusia Indonesia Kini ala Mochtar Lubis” yang ditulis oleh Amarilldo.
Buku Manusia Indonesia adalah sebuah buku yang diangkat dari ceramah Mochtar Lubis
di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) pada tanggal 6 April 1977.
didalamnya menceritakan sifat-sifat yang melekat pada manusia Indonesia,
dikatakan dalam 6 buah sifat yaitu pertama, munafik atau hipokrit.
Kedua, enggan bertanggung jawab atas perbuatannya. Ketiga, sikap dan
perilaku yang feodal. Keempat, masih percaya pada takhayul. Kelima,
artistik. Keenam, lemah dalam watak dan karakter. Di Indonesia nama
Mochtar Lubis telah dikenal sebagai seorang pengarang dan jurnalis.
Sejak zaman pendudukan Jepang ia telah dalam lapangan penerangan. Ia
turut mendirikan Kantor Berita ANTARA, kemudian mendirikan dan memimpin
harian Indonesia Raya yang telah dilarang terbit. Ia mendirikan majalah
sastra Horizon bersama-sama kawan-kawannya. Pada waktu pemerintahan
rezim Soekarno, ia dijebloskan ke dalam penjara hampir sembilan tahun
lamanya dan baru dibebaskan pada tahun 1966. Serta beliau sering kali
mendapat penghargaan atas karya-karya tulisnya.
Segala tuduhan yang dijadikan oleh Mochtar Lubis pada dasarnya hanyalah merupakan sebuah stereotip tentang keadaan manusia Indonesia yang tergeneralisasi. Namun stereotip itu sendiri tidaklah seluruhnya benar dan juga tidak seluruhnya salah. Stereotip
terbentuk dari adanya pengalaman dan juga pengamatan sehingga melekat
pada manusia Indonesia, walau dalam sisi tidak benarnya, stereotip
diperkuat oleh prasangka dan juga generalisasi. Buku ini sudah
ada sejak tahun 1977, namun kenapa ketika penulis membaca dan mengamati
ternyata isinya sungguh cukup relevan dengan keadaan lingkungan
masyarakat Indonesia saat ini. Padahal Muchtar Lubis sendiri juga
mengatakan dalam tanggapan atas tanggapan dalam buku ini tentang
subjektifitas dalam pemikirannya, setelah menerima kritik dan masukkan
dari bapak psikologi Indonesia, Sarlito Wirawan, tentang tidak bisanya menggeneralisasi penduduk Indonesia yang pada dasarnya bersifat majemuk dari berbagai aspek. Ditambahkan
lagi oleh Sarlito Wirawan bahwa profil kepribadian tentang manusia
Indonesia yang diungkapkan oleh Mochtar Lubis hanya didasari
pengamatan-pengamatannya sendiri tanpa didasari oleh data-data objektif
yang demikian segala tuduhan itu tidak memberi gambaran persis berapa
persen sebenarnya dari manusia Indonesia yang dimaksud oleh Mochtar
Lubis.
Ciri manusia Indonesia yang pertama menurut Mochtar Lubis adalah munafik atau hipokritis
Dalam ciri yang pertama ini dijelaskan bahwa kemunafikan merupakan
sifat manusia Indonesia sebagai contoh, negara kita dipimpin oleh
manusia-manusia beragama yang memakai simbol-simbol agama entah itu pada
nama (seperti gelar) atau aksesoris pakaian, namun coba diperhatikan
bahwa masih ditemukan tempat-tempat prostitusi baik itu didalam kota
maupun diluar kota, dan yang parahnya lagi mereka tumbuh subur bagai
jamur. Pidato-pidato tentang kebajikan dan kebijaksanaan ada
dimana-mana, diucapkan dan didengarkan, namun korupsi masih saja
merajalela. Manusia Indonesia juga terkenal bersikap alim hanya
dilingkungannya sendiri, jika sudah datang keluar negeri maka mereka
akan segera mencari kepuasan seperti pergi ke-nightclub dan prostitusi.
Manusia-manusia memakai topeng dengan tujuan mencari selamat sendiri,
memakai prinsip terhadap atasan dengan sikap ABS (asal bapak senang),
penggunaan kata bapak yang menurut Mochtar Lubis bukanlah kata panggilan
yang cocok kepada atasan dikarenakan yang memanggil bapak pastilah anak
dan anak berada dibawah kuasa bapak yang berkuasa penuh. Yang demikian
tadi adalah yang ada pada jaman Mochtar Lubis yaitu 1977 kebelakang, dan
kini mari coba kita bandingkan dengan keadaan bangsa Indonesia kini.
Rasa-rasanya pada sebagian titik tidaklah berubah seperti korupsi
sepertinya baru beberapa tahun terakhir ini saja gencar dilakukan
berarti kira-kira sudah lama juga bangsa ini terbelit masalah korupsi
pada para pengurus negaranya. Mungkin yang kini berbeda adalah
keberadaan klab malam di Indonesia sudah berstandar Internasional
sehingga para pengunjung sudah tidak perlu lagi lari keluar negeri untuk
menikmati semua fasilitas hedonis itu. Kemunafikan pada manusia
Indonesia ternyata pada masa sekarang sudah merambak pada berbagai macam
aspek, banyak sekali kalau kita perhatikan mulut-mulut manis yang
mengumbar janji, mengatakan yang kebalikan dari apa yang akan
dilaksanakan, topeng-topeng kepalsuan, bagai penebar kebaikan pada
tampak luar yang berhati busuk dan berwatak yang buruk didalamnya. Sama
seperti milik Mochtar Lubis semua ini hanyalah stereotip, benarkah atau
tidak benarkah semua hanyalah tuduhan tapi beralasan. Yang jelas dalam
masyarakat kita sekarang masih ada juga mereka-mereka yang tidak
bersifat munafik, mereka yang tidak hipokrisi dan masih ada mereka yang
baik secara luar dan dalam.
Lalu pada ciri yang kedua adalah enggan bertanggung jawab atas perbuatannya,
kata “bukan saya” merupakan suatu kata penyelamat dalam menghadapi
sesuatu yang tidak baik atau berakibat buruk. Lepas dari tanggung jawab
dengan mengatakan “saya hanya melaksanakan tugas dari atasan” merupakan
pembelaan paling ampuh dari suatu kesalahan yang dilakukan. dalam
Manusia Indonesia, Mochtar Lubis menyebutkan korupsi yang ada di
Pertamina sebagai contoh nyata, dimana pada saat itu ratusan juta dollar
uang negara dikorupsi, belum lagi pelanggaran-pelanggaran yang telah
dilakukan oleh jajaran Pertamina mulai dari Presiden Direktur hingga ke
lapisan bawah, namun tidak seorangpun yang dituntut. Kalau dilihat
berarti kebobrokan dalam tubuh Pertamina sudah berlangsung sekian lama,
sampai beberapa waktu lalu semua terbongkar, walau belum tuntas. 30
tahun lebih berarti memang Pertamina menjalankan semua praktek kotornya.
Selain itu manusia Indonesia jika menerima sesuatu yang bersifat
mengangangkat derajatnya seperti penghargaan dan pujian maka akan
langsung diterima, walau mungkin salah sasaran dalam pemberiannya.
Manusia Indonesia menurut yang digambarkan oleh Mochtar Lubis tidak akan
sungkan-sungkan untuk tampil kedepan menerima bintang, tepuk tangan,
surat pujian, piagam penghargaan, dan sebagainya. Dari ciri yang kedua
ini memang sudah sangat menyedihkan apa yang terjadi pada masa tahun
1977 kebelakang tersebut. namun jika penulis samakan dengan masa tahun
2009, sepertinya kenyataan ini masih tidak berubah. Lihat saja para
pelaku korupsi yang saling salah-menyalahkan, tidak mau mengaku dan
melemparkan tanggung jawab kepada pihak-pihak lain, sampai akhirnya
diketahui bahwa korupsi yang terjadi berjalan secara “Berjamaah”,
begitulah kiranya ditulis dalam beberapa koran.
Ciri yang ketiga adalah jiwa Feodal yang masih tertanam subur dalam diri Manusia Indonesia.
Dikatakan dalamnya bahwa nilai-nilai Feodalisme merupakan warisan dari
negara-negara kerajaan yang ada pada jaman dahulu di nusantara, lalu
diambil alih oleh para penjajah, terjadi revolusi kemerdekaan yang
sebenarnya bertujuan untuk menghilangkan feodalisme yang ada pada diri
manusia Indonesia. Sikap-sikap feodal ini bersifat destruktif
dikarenakan seorang bawahan akan menganggap mereka yang lebih tinggi
dari mereka adalah benar dalam setiap tindakannya, ketidak bolehan dalam
menyangkal walau itu salah sekalipun merupakan salah satu keburukan
dari feodalisme, selain itu juga menghancurkan harkat dan martabat
manusia sebagai manusia yang sama derajatnya dengan manusia lain.
seperti yang ada dalam jaman sekarang dimana seorang bawahan dikatakan
tidak sopan jika menegur atasan karena alasan yang benar, merupakan
suatu bentuk dari feodalisme, tidak didengarnya suara mereka yang ada
dibawah sebagai suara manusia juga merupakan bentuk nyata dari
feodalisme yang terjadi pada manusia Indonesia. Hanya saja kerajaan yang
dimaksud sudah bukan raja lagi sebagai pemimpin namun raja-raja
tersebut sudah diganti namanya menjadi presiden, menteri, jenderal,
presiden direktur dan lainnya. Nyata sekali bahwa feodalisme menghambat
proses perkembangan manusia dikarenakan tidak sampainnya kritik terhadap
pemimpin dikarenakan 2 hal yaitu bawahan yang segan dalam melakukannya
dan pemimpin yang tidak mau mendengar suara dari bawah.
Ciri keempat adalah Manusia Indonesia masih percaya takhayul,
sepertinya sudah berlangsung lama semua ini, tak perlu dipertanyakan
lagi tentang apa yang terjadi pada masa 1977 kebelakang tersebut. coba
saja lihat keadaan sekarang, siaran tv menampilkan segala macam sihir,
kuntilanak, jailangkung, pocong, genderuwo, dan aksi dukun-men-dukun.
Belum lagi ditambah film-film bioskop yang menampilkan segala macam
judul berbau setan dan makhluk halus, dan film-film layar lebar tersebut
dibuat atas dasar adanya permintaan pasar terhadap jenis film misteri
horor. Yang terbaru dari takhayul ini adalah kisah dukun-dukun cilik
yang dapat menyembuhkan sembarang penyakit, mereka kedapatan pasien
sampai puluhan ribu orang dalam sehari. Sungguh mengejutkan memang dalam
keadaan dunia yang sudah modern dan dikuasai oleh iptek seperti ini
masih ada mereka yang mengharapkan keajaiban yang tidak mungkin
dijelaskan oleh rasio. Kepercayaan terhadap segala macam keramat-keramat
juga masih ada di Indonesia, dan para pelakunya juga sebagian adalah
manusia-manusia berijazah yang dikatakan berpendidikan itu. Namun dalam
tanggapannya penulis setuju dengan Sarlito Wirawan, yang mengatakan
dalam taggapan terhadap ceramah Mochtar Lubis, bahwa mengenai mitos dan
mistik bukanlah monopoli manusia Indonesia semata, melainkan suatu sifat
hakiki manusiawi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan akan rasa aman
(security need). Selama manusia masih belum bisa mengatasi bahaya-bahaya
dan ancaman-ancaman dengan dengan kemapuan dan ilmu penghetahuannya
sendiri, selama itu manusia masih akan mencari pelindung terhadap mitos
dan mistik. Dalam hal manusia Indonesia Sarlito Wirawan mengatakan bahwa
gejala mitos dan mistik ini lebih banyak terdapat di kalangan “angkatan
tua”. Dikarenakan mereka tidak menerima pendidikan yang layak, namun
karena jasa-jasanya pada masa revolusi maka mereka harus mengisi
kedudukan penting dalam pemerintahan. Dengan sendirinya kemampuan dan
ilmu yang mereka milik belumlah cukup untuk memegang jabatan itu dan
mereka masih merasa kurang “secure” dalam memegang jabatan mereka itu,
maka larilah mereka kepada praktek-praktek perdukunan dan mistik.
Dikalangan angkatan yang lebih muda seperti para sarjana atau mahasiswa,
terlihat bahwa praktek-praktek mistik sudah jauh berkurang, meskipun
belum dapat dikatakan sudah hilang sama sekali. Sarlito Wirawan yakin
dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dinegara kita, maka mitos dan
mistik pun akan makin berkurang, demikianlah apa yang dikatakan oleh
Sarlito Wirawan dalam tanggapannya terhadap manusia Indonesia ala
Mochtar Lubis. Tapi sepertinya pernyataan dari Sarlito Wirawan tampaknya
meleset, kenyataannya di Indonesia hal mistik malah semkin merebak dari
hari-ke-hari, hal ini ditunjukkan dengan munculnya klinik-klinik
“spiritual healing” (yang bagi penulis hal ini merupakan suat
modernisasi dari praktek perdukunan dengan menggunakan bahasa inggris
dengan nama “spritual healing”). Ditambah lagi ilmu psikologi kini
memiliki mazhabnya yang keempat yaitu psikologi transpersonal yang
didalamnya membahas dimensi sprirtual manusia termasuk hal-hal mistik.
Namun dalam satu sisi memang benar kegemaran terhadap mistisme ini
bukanlah sekedar monopoli dari manusia Indonesia saja melainkan juga
pada masyarakat barat dengan film-film berbau exorcism, vampir, dracula,
zombi, sihir-sihir seperti Harry Potter dan lain sebagainya. Nampaknya
mungkin semua manusia sudah mulai tidak rasional lagi, dan menikmati hal
tersebut, yang dimungkinkan terjadi karena semakin sedikitnya rasa aman
yang dapat dimiliki pada jaman sekarang ini pada sebagian masyarakat
yng mengakibatkan mengambil jalan irasional untuk mendapatkan
kebutuhannya akan rasa aman tersebut.
Ciri kelima dari manusia Indonesia adalah artistik, berjiwa seni,
hal ini memang sudah dapat terlihat dari kayanya budaya daerah yang ada
di Indonesia yang dalam tiap-tiap daerahnya memiliki keseniannya
masing-masing. Kesenian merupakan hasil dari kebudayaan, dengan demikian
maka masyarakat Indonesia memang memiliki jiwa berkarya dan mencintai
keindahan. Belum lagi ditemukan peninggalan-peninggalan bangunan kuno,
seperti candi-candi yang menakjubkan, menandakan bahwa manusia Indonesia
memiliki peradabannya sendiri. bahkan dimasa sekarang ini musik
Indonesia dikabarkan telah “menjajah” negeri tetangganya Malaysia,
dengan adanya suatu bentuk pemboikotan terhadap radio swasta di
Malaysia, dikarenakan lebih sering memutar lagu artis dari Indonesia
dibandingkan lagu dari artis lokalnya sendiri. selain itu banyak juga
hasil karya asli anak bangsa yang sudah diekspor keluar negeri dan
kebanyakan dari hal itu adalah karya-karya kesenian. Jadi kalau masalah
seni bangsa ini tidak perlu takut, selama masih ada generasi penerus
yang mau mempertahankannya maka kesenian tradisional ini akan selalu
terjaga kelestariannya.
Ciri yang keenam adalah memiliki watak dan karakter yang lemah.
Tidak kuatnya manusia Indonesia dalam mempertahankan atau
memperjuangkan keyakinannya merupakan bahasan yang menjadi inti ciri
keenam manusia Indonesia. Mochtar Lubis mengatakan hal ini ditandai
dengan adanya pelacuran-pelacuran Intelektual dalam banyak bidang.
Pelacuran intelektual sebagai contohnya adalah manipulasi hasil yang
ditujukan agar dapat mempertahankan suatu penguasa lain, seperti
seseorang ahli pangan mengatakan bahwa tidak berbahaya menggunakan suatu
produk dari produsen tertentu, padahal produk yang dijual mengandung
zat yang berbahaya bagi pengkonsumsi, namun karena sudah diberikan upah,
maka ahli tersebut menutupi kenyataan dan mengatakan bahwa tidak ada
yang salah pada produk tersebut, sehingga dikatakan sebagai pelacuran
intelektual. Yang terjadi kini dalam pemerintahan adalah dengan adanya
kebijakan-kebijakan yang bersifat menyengsarakan rakyat, para ahli yang
bersangkutan pada bidangnya masing-masing tidak melakukan apa-apa
walaupun tahu pada kenyatannya bahwa kebijakan yang ada itu salah,
sehingga para ahli itu dapat dikatakan sebagai pelacur intelek. Tidak
kuatnya seseorang dalam mempertahankan kebenaran akan membawa keburukan
bagi masyarakat luas, dikerenakan tanpa kebenaran maka yang terjadi
adalah pembolak-balikkan yang menuju pada ketidak jelasan, sehingga yang
terjadi adalah bergesernya nilai-nilai dalam masyarakat kearah yang
negatif.
Keenam ciri ini memang berkesan
menjelek-jelekkan bangsa sendiri, namun dengan ini semua diharapkan
tidak menjadi suatu bentuk kebencian terhadap bangsa sendiri, melainkan
sebagai cermin dalam bertindak. Walau semua penjabaran
Mochtar Lubis adalah subjektif dan tidak mewakili, namun sepertinya
kalau dipikirkan ada kebenaran dalam pengamatan yang telah ia lakukan.
Menurut ST Sularto (dalam Kompas)
pernah ketika tahun 1982 Mochtar Lubis diminta merefleksikan kembali
”manusia Indonesia”, dengan tegas ia mengatakan tidak ada perubahan.
Makin parah. Andaikan permintaan itu disampaikan kembali, di saat
Mochtar Lubis sudah tiada (meninggal 2 Juli 2004), niscaya ia menangis
di alam baka. Bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang kerdil, bukan bangsa
yang lemah, namun bangsa yang belum menunjukkan taringnya kepada dunia.
Diharapkan pada masa yang akan datang manusia Indonesia menjadi bangsa
yang besar, yang berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan
bangsa-bangsa lain, walau sekarang sudah demikian adanya namun rasanya
masih ada sebagian dari manusia-manusia Indonesia yang tidak merasakan
hal yang sama. Semoga dari tulisan yang jauh dari sempurna dan
membutuhkan banyak kritik ini dapat menjadi masukkan bagi
saudara-saudara sebangsa dan setanah air.
————————–
Bagian ini saya kutip dari Kompasiana dari artikel yang berjudul “Ciri Manusia Indonesia: Menurut Mochtar Lubis” yang ditulis oleh Chappy Hakim.
Ciri pertama manusia Indonesia adalah hipokrit atau
munafik. Di depan umum kita mengecam kehidupan seks terbuka atau
setengah terbuka, tapi kita membuka tempat mandi uap, tempat pijat, dan
melindungi prostitusi. Kalau ditawari sesuatu akan bilang tidak namun
dalam hatinya berharap agar tawaran tadi bisa diterima. Banyak yang
pura-pura alim, tapi begitu sampai di luar negeri lantas mencari
nightclub dan pesan perempuan kepada bellboy hotel. Dia mengutuk dan
memaki-maki korupsi, tapi dia sendiri seorang koruptor. Kemunafikan
manusia Indonesia juga terlihat dari sikap asal bapak senang (ABS)
dengan tujuan untuk survive.?
Ciri kedua manusia Indonesia, segan dan enggan
bertanggung jawab atas perbuatannya. Atasan menggeser tanggung jawab
atas kesalahan kepada bawahan dan bawahan menggeser kepada yang lebih
bawah lagi. Menghadapi sikap ini, bawahan dapat cepat membela diri
dengan mengatakan, ”Saya hanya melaksanakan perintah atasan.”?
Ciri ketiga manusia Indonesia berjiwa feodal. Sikap
feodal dapat dilihat dalam tata cara upacara resmi kenegaraan, dalam
hubungan organisasi kepegawaian. Istri komandan atau istri menteri
otomatis menjadi ketua, tak peduli kurang cakap atau tak punya bakat
memimpin. Akibat jiwa feodal ini, yang berkuasa tidak suka mendengar
kritik dan bawahan amat segan melontarkan kritik terhadap atasan.?
Ciri keempat manusia Indonesia, masih percaya
takhayul. Manusia Indonesia percaya gunung, pantai, pohon, patung, dan
keris mempunyai kekuatan gaib. Percaya manusia harus mengatur hubungan
khusus dengan ini semua untuk menyenangkan ”mereka” agar jangan memusuhi
manusia, termasuk memberi sesajen.?”Kemudian kita membuat mantra dan
semboyan baru, Tritura, Ampera, Orde Baru, the rule of law,
pemberantasan korupsi, kemakmuran yang adil dan merata, insan
pembangunan,” ujar Mochtar Lubis. Dia melanjutkan kritiknya, ”Sekarang
kita membikin takhayul dari berbagai wujud dunia modern. Modernisasi
satu takhayul baru, juga pembangunan ekonomi. Model dari negeri industri
maju menjadi takhayul dan lambang baru, dengan segala mantranya yang
dirumuskan dengan kenaikan GNP atau GDP.”?
Ciri kelima, manusia Indonesia artistik. Karena
dekat dengan alam, manusia Indonesia hidup lebih banyak dengan naluri,
dengan perasaan sensualnya, dan semua ini mengembangkan daya artistik
yang dituangkan dalam ciptaan serta kerajinan artistik yang indah.?
Ciri keenam, manusia Indonesia, tidak hemat, boros,
serta senang berpakaian bagus dan berpesta. Dia lebih suka tidak bekerja
keras, kecuali terpaksa. Ia ingin menjadi miliuner seketika, bila perlu
dengan memalsukan atau membeli gelar sarjana supaya dapat pangkat.
Manusia Indonesia cenderung kurang sabar, tukang menggerutu, dan cepat
dengki. Gampang senang dan bangga pada hal-hal yang hampa.?
Kita, menurut Mochtar Lubis, juga bisa kejam,
mengamuk, membunuh, berkhianat, membakar, dan dengki. Sifat buruk lain
adalah kita cenderung bermalas-malas akibat alam kita yang murah hati.?
Selain menelanjangi yang buruk, pendiri harian Indonesia Raya itu tak lupa mengemukakan sifat yang baik. Misalnya, masih
kuatnya ikatan saling tolong. Manusia Indonesia pada dasarnya berhati
lembut, suka damai, punya rasa humor, serta dapat tertawa dalam
penderitaan. Manusia Indonesia juga cepat belajar dan punya otak encer
serta mudah dilatih keterampilan. Selain itu, punya ikatan kekeluargaan
yang mesra serta penyabar.
Dan terakhir ada juga yang mengatakan bangsa kita senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang.
—————————-
Demikian gambaran atau karakter orang Indonesia menurut Mochtar Lubis yang dikemukakan tahun 1977.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar