Makna Ungkapan Pemali Masyarakat Wolio di Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara
Sri Suryana Dinar
Staf Pengajar FKIP Unhalu Kendari
ABSTRACT
Research of problem " expression of forbidden" conducted in Bungi, Sub-District Of Lakologou, Sub-Province
of Buton. Data Expression of forbidden collected to be to be got directly in field of assumed information fulfill
criterion which have been determined. Hereinafter expression data of forbidden obtained from result of research
analyzed by description . As for method the used is descriptive method qualitative, technique while the used is
direct perception technique, interview, and record-keeping of field to water down acquirement of data.
Result of this research indicate that expression of pemali pregnant of meaning which is very be of benefit to
life, what in character educate the rising generation especially and society in general.
Key word: Language, expression, forbidden.
PENDAHULUAN
Setiap budaya daerah merupakan bagian yang
penting dari kebudayaan Indonesia. Keragaman
budaya daerah yang tersebar di seluruh nusantara
merupakan cermin bangsa Indonesia yang
mempunyai latar belakang sosiokultural yang
berbeda-beda, salah satu keragaman budaya yang
dimaksud adalah bahasa daerah.
Salah satu dari sekian banyaknya bahasa daerah
yang tersebar di Indonesia adalah bahasa Walio.
Seperti halnya daerah-daerah lain di Indonesia, di
Walio pun mempunyai banyak ungkapan bahasa
sebagai alat komunikasi yang masih dipelihara
secara turun temurun oleh masyarakat di daerah
tersebut.
Ungkapan dalam masyarakat Walio biasanya
berwujud pertanyaan bahasa yang mengandung
makna dalam kehidupan masyarakat. Ungkapan
merupakan penuntun perilaku, jika hal ini dikaji
dapat mencakup berbagai ajaran kehidupan yang
tinggi nilainya yang juga merupakan warisan dari
nenek moyang.
Ungkapan lama atau tradisional berupa ungkapan
pemali yang diwariskan oleh nenek moyang secara
lisan atau turun temurun tidak didokumentasikan
dan dipublikasikan oleh penutur setia, lebih lagi
penutur setia ini semakin berkurang karena usia tua. Begitu pula kurangnya minat generasi muda terhadap
ungkapan pemali.
Ungkapan pemali akan terancam
punah dalam kehidupan masyarakat apabila tidak
mendapat perhatian serius. Maka nilai tradisi lama
yang masih dipegang teguh oleh sebagian orang
tua dalam masyarakat Wolio perlu diinformasikan,
ditanamkan kepada seluruh lapisan masyarakat
lebih-lebih pada generasi muda.
Ungkapan pemali dianggap memiliki fungsi yang
cukup penting dalam kehidupan masyarakat Wolio. Oleh sebab itu, maka bahasa Wolio perlu diteliti,
dikaji, dipelihara serta dilestarikan yang berupa
pelembagaan bahasa Wolio itu sendiri.
KEBUDAYAAN
Kebudayaan adalah setua sejarah manusia sendiri
yakni manusia sebagai mahluk individual dan sosial
sekaligus penyimpul isi sebenarnya tidak lebih dari
konsikuensi logis dan sosial sekaligus (Hasan, 1986:
13)
Kebudayaan dapat diartikan sebagai hasil kegiatan
dan penciptaan (akal budi) manusia seperti kepercayaan,
adapt istiadat, keseluruhan pengetahuan
manusia sebagi mahluk sosial yang digunakan untuk
memahami lingkungan serta pengalaman yang
menjadi pedoman tingkah laku hasil akal dari alam
sekeliling (Moeliono, 1989: 131)
Pengertian kebudayaan menurut Linton (1940)
seluruh cara kehidupan masyarakat yanga manapun
dan tidak hanya mengenai sebagian cara hidup itu
yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih
tinggi atau lebih diinginkan. Jadi kebudayaan itu
memiliki unsure-unsur yang universal misalnya
bahasa, sistem pengetahuan, system organisasi sosial,
system teknologi, system mata pencaharian, system
religi, dan kesenian.
Taylor (1990: 38) menyatakan bahwa kebudayaan
adalah keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya
terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
hukum, adat istiadat, dan kemapuan yang lain
serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai
anggota masyarakat.
Sedangkan menurut Alfian (1990: 39) kebudayaan
adalah salah satu sumber utama dari sistem nilai
atau ta a nilai yang dihayati atau dianut oleh seseorang
atau masyarakat yang selanjutnya membentuk
sikap mental atau pola pikirnya.
Hal ini berkaitan dengan pendapat Sibarani
(1992: 101) kebudayaan dapat disederhanakan sebagai
(1) segala sesuatu milik anggota masyarakat, (2)
pengetahuan yang ditransmisi dan dikomunikasikan
secara sosial, (3) tercermin dalam ide, tindakan dan
hasil karya manusia, (4) sarana manusia untuk berperan,
berinteraksi dan berfungsi dalam kehidupan
masyarakat, (5) harus dipelajari.
Jadi kebudayaan adalah keseluruhan system
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijasikan milik
dari menusia dengan cara belajar.
SASTRA LISAN
Menurut Hutomo, sastra lisan atau kesusastraan
lisan adalah kesusastraan yang mencakup hasil
ekspresi warga suatu kehidupan yang disebarluaskan
dan turun-tumurun secara lisan dari mulut ke mulut,
kemudian membagi sastra itu ke dalam tiga bagian
adalah sebagai berikut :
1. Bahasa yang bercorak cerita seperti, cerita
biasa, mitos, legenda, efik, memori cerita
tutur.
2. Bahasa yang bukan cerita seperti, ungkapan,
nyanyian kerja, peribahasa, teka-teki, puisi
lisan, nyanyian sedih.
3. Bahasa yang bercorak latihan seperti latihan
drama, pentas, dan arena (Tarno, 1983 : 4)
Menurut Spraley(1997), sastra lisan adalah sejenis
atau sekelas karya tertentu yang dituturkan
dari mulut ke mulut tersebar secara lisan, anonym,
menggambarkan kehidupan masa almpau. Selanjutnya
pembagian sastra lisan menurut Gaffar (1991:
3) adalah sebagai berikut. (1) bahasa rakyat seperti
logat sindiran, (2) ungkapan tradisional seperti, bahasa
pepatah, (3) pertanyaan rakyat seperti teka-teki,
(4) puisi rakyat seperti pantun dan syair, (5) cerita
rakyat seperti mite, legenda, dongeng, (6) nyanyin
rakyat.
Pengertian yang sama juga dikemukakan oleh
Atmazaki (1986: 82) bahwa sastra lisan adalah sastra
yang disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut
seorang pencerita atau penyair kepada seseorang
atau kelompok pendengar.
Selanjutnya Usman
Efendi menberikan batasan tentang sastra lisan
adalah jenis karya sastra tertentu yang dituturkan
dari mulut ke mulut , tersebar secara lisan, anonim
dan menggambarkan kehidupan masyarakat pada
masa lampau.
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan oleh
para ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa sastra
lisan adalah jenis karya sastra yang dituturkan dari
mulut ke mulut, tersebar secara lisan, anonym, dan
menggambarkan nilai kehidupan masyarakat pada
masa lampau
Dalam kaitannya dengan pernyataan diatas
ternyata ungakapn pemali tergolong ke dalam sastra
lisan, hal ini disebabkan oleh cara penyampaiannya
yaitu dituturkan dari mulut ke mulut, tersebar secara
lisan, anonim dan menggambarkan kehidupan
masyarakat pada masa lampau.
PENGERTIAN MAKNA
Dalam buku “ The Meaning of Meaning” Ogden
dan Richards, telah memperbincangkan meaning atau
makna dengan panjang lebar. Merka telah membuat
daftar yang representatif mengenai batasan-batasan
makna itu.
Makna adalah sebagai berikut : (1) suatu sifat
intrinsik, (2) suatu hubungan khas yang tidak
teranalisis dengan hal-hal atau benda-benda lain
(3) konotasi suatu kata, (4) Suatu esensi, intisari,
atau pokok, (5) suatu kegiatan yang diproyeksikan
ke dalam suatu objek, (6) emosi yang ditimbulkan
oleh sesuatu, (7) tempat atau wadah sesuatu dalam
suatu system, (8) konsekuensi-konsekuensi praktis
suatu hal atau benda dalam pengalaman masa depan
kita.
Pepali Neuramiki Polango, roonamo kokabisuakea
“Pemali duduk di bantal, nanti dapat bisul”. Bantal
adalah salah satu komponen tempat tidur yang
kadang diperlukan setiap kali tidur. Bentuk bantal
biasanya ada dua yaitu bantal yang berbentuk bulat
dan bantal yang berbentuk persegi empat panjang.
Kedua bentuk ini masing-masing mempunyai
fungsi.
Sehubungan dengan itu merupakan kebiasaan
anak-anak bermain-main di tempat tidur. Bantal
diduduki dan biasanya dijadikan sebagai kudakudaan.
Jika perbuatan anak tersebut ditinjau dari
segi kebersihan, anak-anak yang bermain-main di
tempat tidur kemungkinan memberikan kotoran
utamanya pada bantal yang diduduki. Dengan
demikian orang yang memakai bantal tersebut pada
saat hendak tidur akan merasa terganggu tidurnya
karena bau yang ditimbulkan oleh kotoran yang ada
pada bantal.
Dari segi keamanan bantal, bantal yang sering
diduduki kemungkinan akan cepat putus benangnya
atau keluar kapuknya.
Ungkapan ini memakai kata” Kokabisuakea”
artinya dapat bisul. Dengan ungkapan itu, maka anak
takut untuk bermain-main atau duduk di atas bantal
karena bisul adalah penyakit yang sering terdapat
pada anak-anak sehingga sangat ditakuti.
Adapun makna yang terkandung dalam ungkapan
tersebut adalah suatu nasihat yang ditunjukkan
kepada anak agar tidak suka bermain di tempat tidur
dan menduduki bantal.
Pepali posambure malo, roonamo ailakes razaki
“Pemali menyapu di malam hari, nanti rejeki
hilang”.
Menyapu pada malam hari dianggap sebagai
suatu pekerjaan yang kurang efektif bila dibandingkan
dengan menyapu pada pagi hari dan siang hari. Pada
malam hari penerangan kurang mendukung kotorakotoran
yang masih terselip di cela-cela papan atau
dinding tidak terlihat sehingga tidak tersapu. Selanjutnya menyapu pada malam hari kemungkinan
benda-benda kecil yang masih berguna akan
turut tersapu seperti paku, silet, peniti, bahkan terkadang
uang logam atau emas yang jatuh.
Ungkapan ini oleh masyarkat Wolio memakai kata
“ ayilakea razaki artinya rejeki hilang “ kata ini dapat
diartikan sebagai benda-benda yang masih berguna
atau berharga disapu hingga jatuh akhirnya hilang.
Jadi dengan hilangnya benda-benda yang dimaksud
tadi dapat dikatakan rejeki hilang. Jadi makna yang tekandung dalam ungkapan
tersebut merupakan suatu nasihat yang ditujukan
kepada anak, khususnya bagi remaja putri agar tidak
membiasakan dirimenyapu pada malam hari karena
berdampak negatif.
Pepali peelo kutu iyoda, roonamo meridoakea
razaki
“Pemali mencari kutu di tangga, nanti rejeki
menjauh”.
Salah satu ciri khas rumah orang Wolio
adalah rumah panggung. Bentuk rumah panggung
merupakan warisan dari nenek moyang dulu samapi
sekarang. Rumah panggung pada umumnya memiliki
dua buah tangga yaitu tangga bagian depan dan
tangga bagian belakang, antara kedua tangga tersebut
yang paling umum digunakan adalah tangga bagian
depan.
Mencari kutu sering dilakukan di tangga bagian
depan karena letaknya sangat strategis disamping
mengobrol juga dapat melihat orang yang lalulalang
sehingga tidak menimbulkan rasa bosan.
Jika hal ini ditinjau dari segi pemandangan, orang
yang mencari kutu di tangga dapat menimbulkan
pemandangan yang kurang baik untuk dilihat orang
banyak. Pada dasarnya orang yang mencari kutu
adalah pekerjaan yang sangat menjijikan. Disamping
itu orang yang lewat dan melihat seseorang sedang
mencari kutu dapat menafsirkan bahwa kemungkinan
banyak kutunya.
Kalau ditinjau dari segi adat, orang yang mencari
kutu di tangga dapat dikategorikan sebagai orang
yang tidak beradab, beradab atau tidaknya seseorang
terletak dari sikap dan perilakunya. Selain itu dapat
pula membawa nama daerah, karena suatu daerah
dapat dikatakan beradab apabila masyarakat pada
daerah tersebut mencerminkan sikap atau perilaku
yang tidak bertentangan dengan norma-norma
kehidupan.
Ungkapan ini memakai kata “ maridoakea razaki”
artinya rejeki menjauh agar senantiasa kepada remaja
putri yang pada umumnya menjadikan kebiasaan
mencari kutu di tangga dapat dihilangkan. Dengan
kata itu, remaja putri akan selalu tersimpan dalam
ingatan karena tak seorangpun yang sudi kehilangn
rejeki ( jodoh ).
Jadi makna yang terkandung dalam ungkapan tersebut
berisi suatu larangan yang ditujukan kepada
anak khususnya pada remaja putri agar tidak membiasakan
diri mencari kutu di tangga karena dapat
menciptakan pemandangan yang kurang bagus di
tengah-tengah masyarakat.
Pepali sangku-sangku oademu, roonamo tamasimbaakea
tamaelu
“ Pemali bertopang dagu, nanti cepat jadi yatim”.
Bertopang dagu adalah suatu pekerjaan yang sia-sia.
Bertopang dagu sering dilakukan oleh anak-anak
maupun remajabaik itu disengaja maupun tidak
sengaja. Seseorang yang bertopang dagu dapat
ditafsirkan bahwa kemungkinan orang tersebut
mempunyai masalah atau sedang menganganangankan
sesuatu. Hal ini dianggap sebagai perbuatan
tidak baik oleh masyarakat.
Secara umum orang yang bertopang dagu sering
dikatakan sebagai orang yang malas. Orang yang
bertopang dagu adalah orang yang tidak bisa
diharapkan. Dengan demikian orang yang hendak
mengajak kerja sama akan berpikir sampai dua kali
karena tingkah laku semacam itu.
Jika ditinjau dari segi adat, anak yang sering
bertopang dagu tidak disukai oleh semua orang
yang melihatnya karena menunjukkan sikap seorang
pemalas.
Ungkapan ini memakai kata “tamasimbaakea
tamaelu” artinya cepat jadi yatim agar anak-anak
atau remaja dapat mengambil pengertian begitu pula
pada orang tua, orang tua akan selalu melarang jika
melihat anak yang demikian karena di samping tidak
baik di lihat juga dapat memberikan penilaian yang
lain bagi orang yang sedang melihatnya.
Jadi makna yang terkandung dalam ungkapan
tersebut merupakan sutu larangan agar anak tidak
membiasakan diri bertopang dagu karena tidak ada
gunanya. Anak-anak atau remaja sebagai generasi
penerus perjuangan, pengisi pembangunan dapat
menyisingkan lengan untuk dapat berbuat sesuatu
kepada bangsa dan Negara.
Pepali neura yimatana ande konowia, roonamo
ngapaleyakea setani
“Pemali duduk di pintu pada waktu menjelang
malam hari. nanti ditabrak setan”.
Masyarakat Wolio
adalah masyarakat mayoritas beragama islam dan
relative fanatic menjalankan ajaran agamanya.
Menjelang malam hari merupakan saat-saat untuk
menghadap kepada Tuhan yakni melaksanakan
Shalat Maghrib. Segala bentuk aktivitas sudah
dihentikan.
Orang yang duduk di pintu menjelang malam hari
dapat menimbulkan penafsiran bahwa kemungkinan
orang tersebut tidak mempunyai persiapan untuk
menjalankan shalat. Bagi orang yang duduk di pintu
menjelang malam hari dapat pula orang menafsirkan
bahwa kemungkinan sedang menantikan seseorang
ataupun sedang mempunyai masalah yang besar,
walaupun kenyataannya tidak ada. Akibat lain yang
ditimbulkan orang yang duduk di pintu menjelang
malam hari adalah selain menghalangi orang yang
masuk, dapat pula menyebabkan dirinya jatuh karena
tersenggol.
Selanjutnya menjelang malam hari, seharusnya
pintu sudah ditutup tetapi masih ada juga orang yang
duduk di pintu, tentu udara secara bebas masuk ke
dalam rumah, sedikit banyaknya udara yang masuk
akan mengenai orang yang duduk.
Bila ditinjau dari segi kesehatan udara atau hawa
yang berganti menjelang malam hari mengandung
kristal-kristal embun tidak terlihat oleh mata dan
mengandung penyakit sehingga dapat mengganggu
kesehatan.
Ungkapan ini memekai kata “ ngapaleyakea
seetani” artinya di tabrak setan agar selalu menjadi
perhatian bagi kita semua untuk tidak menjadikan
kebiasaan duduk di pintu menjelang malam hari.
Dengan demikian makna yang terdapat dalam
ungkapan ini adalah suatu nasihat yang ditujukan
kepada anak agar tidak membiasakan diri duduk di
pintu menjelang malam hari, karena selain tidak baik
dilihat, dapat menghalangi orang yang masuk dan
juga mengganggu kesehatan.
Pepali kole konowia, roonamo masimbakea angangkanai
panyaki
“Pemali tidur menjelang sore hari, nanti dimasuki
penyakit”.
Tidur menjelang sore hari merupakan
salah satu kesukaan dan kebiasaan anak. Hal ini
dilakukan mungkin karena tidur malamnya kurang
dan di rasa masih mengantuk.
Kita ketahui pula bahwa tidur menjelang sore hari
dapat mengurangi semangat kerja, suatu pekerjaan
yang seharusnya sudah dapat diselesaikan akhirnya
tertunda lagi. Hal ini menurut pandangan masyarakat
Wolio merupakan suatu perbuatan yang tidak terpuji
karena penilaian orang kurang baik terhadap anak
tersebut dan tidak disiplin waktu.
Bila ditinjau dari segi kesehatan, anak yang tidur
menjelang sore hari dapat menghirup udara kotor
sehingga penyakit mudah masuk dan akhirnya
kesehatan anak tersebut terganggu.
Ungkapan ini memakai kata “masimbakea
ngakana panyaki” artinya mudak dimasuki penyakit.
Penyakit dalam ungkapan ini berarti kemalasan. Jelas
orang yang sering tidur menjelang sore hari dapat
dikategorikan sebagai orang yang malas kecuali kalu
sedang sakit.
Kata “masimbakea ngankanai penyaki” mengandung
suatu nasihat agar dapat dijadikan sebagai perhatian
kepada anak untuk tidak membiasakan diri
tidur menjelang sore hari.
Jadi makna yang terkandung dlam ungkapan
tersebut merupakan suatu nasihat yang ditujukan
kepada anak agar tidak membiasakan diri tidur
menjelang sore hari karena hal tersebut selaindapat
memupuk sifat kamalasan seseorang juga tidak baik
bagi kesehatan.
Pepali lagu irapu, roonamo kawiakea temancuana
“Pemali menyanyi di dapur, nanti dapat jodoh
orang tua”.
Pekerjaan memasak merupakan salah
satu perkerjaan yang harus dilaksanakan oleh
anak tiap hari, khususnya bagi remaja putri. Anak
pada saat menunggu masakannya biasanya diiringi
dengan nyanyian baik itu disengaja maupun tidak
disengaja. Karena lantaran keasikan menyanyi maka
masakannya hangus sehingga menimbulkan bau
yang kurang sedap bagi setiap yang menciumnya.
Bila ditinjau dari segi adat Wolio, melakukan
pekerjaan di dapur sambil menyanyi merupakan
suatu pekerjaan yang tidak disukai oleh orang tua.
Lebih-lebih lagi pada orang lain yang lewat dan
mendengarkan anak tersebut menyanyi di dapur
akan di nilai tidak sopan atau tidak beradab.
Ungkapan ini memakai kata “kawiakea temancuana”
artinya dapat jodoh orang tua agar anak selalu
memusatkan perhatiannya pada pekerjaan yang dilakukannya,
dalam hal ini memasak. Karena tidak
ada seorang anak yang mau kawin dengan orang tua,
kecuali sudah jodohnya.
Jadi makna yang terkandung dalam ungkapan
ini adalah suatu nasihat yang ditujukan kepada
anak perempuan atau remaja putri agar selalu
memusatkan perhatiannya pada pekerjaan yang
sedang dilakukannya terutama memasak.
Pepali tangi kangara-ngara ikapeo, roonamo
masimbakea matemancuana
“Pemali menangis di kolong rumah sambil
menengadakan muka, nanti orang tua cepat
meninggal”.
Salah satu cirri khas rumah orang Wolio
adalah rumah panggung yang mempunyai kolong.
Bentuk rumah panggung merupakan warisan dari
nenek moyang dari dulu sampai sekarang. Bagi orang
Wolio rumah panggung memiliki nilai seni atau gaya
tersendiri yang dapt membedakan dengan bentuk
rumah suku lain dalam wilayah Negara Indonesia.
Anak yang menangis di kolong rumah sambil
menengadakan muka dapat mengganggu konsentrasi
orang tua yang sedang berpikir. Selain itu anak
yang selalu menangis di kolong rumah sambil
menengadakan muka kemungkinan ada sesuatu
yang dia minta tapi tidak didengarkan oleh orang
tuanya.
Bila ditinjau dari segi adat, anak yang menangis di
kolong rumah sambil menengadakan mukadpat berpengaruh
pada pita suara setidaknya kerongkongan
akan tersa sakit sehingga dengan mudah kesehatan
anak terganggu.
Ungkapan ini memakai kata “ masimbakea mate
mancuana” artinya orang tua cepat meninggal agar
anak tidak membiasakan diri menangis di kolong
rumah dan merasa takut. Karena tidak ada anak yang
mau meninggal cepat orang tuanya.
Jadi makna yang terkandung dalam ungkapan tersebut
adalah suatu nasihat yang ditujukan kepada
anak agar berjiwa besar dalam hal ini tidak menjadikan
tangisan sebagai pelarian serta dapat mengganggu
kesehatan.
Pepali kole kaubo-ubo, roonamo mateakea mancuana
“Pemali tidur tengkurap, nanti orang tua
meninggal”.
Menurut pandangan masyarakat Wolio
tidur tengkurap merupakan hal yang harus dihindari
oleh setiap anak karena dapat berpengaruh pada
kesehatannya.
Bila ditinjau dari segi kesehatan, anak yang selalu
tidur tengkurap biasanya pada dada terasa sakit yang
pada akhirnya dapat mengganggu proses pernapasan
, sehingga dengan mudah anak tersebut dimasuki
penyakit sesak napas atau biasa di sebut dengan
penaykit asma.
Untuk menghindari penyakit sesak napas
tersebut diharapkan anak harus mencontohi salah
satu kebiasaan dari Rasulullah SAW yaitu apabila
hendak tidur, maka sebelum membaringkan badan
terlebih dahulu membaca do’a kemudian menindih
badan sebelah kanan.
Ungkapan ini memakai kata “mateakea mancuana”
artinya orang tua meninggal agar anak tersebut
takut dan tidak membiasakan diri tidur tengkurap
karena dapat merusak kesehatannya.
Dengan demikian makna yang terkandung dalam
ungkapan itu adalah suatu nasihat yang dtujukan
kepada anak agar tidak membiasakan diri tidur
tengkurap karena dapat mengganggu kesehatan
seperti sesak napas.
Pepali kole saku-saku limata, roonnamo mampodoakea
umuruta
“Pemali tidur terlentang dengan meletakkan kedua tangan di dada, nanti tidak panjang umur”.
Masyarakat Wolio adalah masyarakat yang memiliki
tata cara tidur. Tata cara yang dimaksud adalah arah
setidur melintang kea rah selatan – utara ( kepala di
bagian selatan dan kaki di bagian utara) atau arah
barat – timur biasanya tata cara ini disesuaikan
dengan arah temapt tidur atau kamar.
Menurut persepsi orang Wolio, arah tidur yang
demikian dianggap baik karena letak kiblat ke arah
barat timur berarti seakan-akan kita menjunjung
kiblat. Jangankan sembahyang kita harus menghadap
kiblat, tidurpun diabadikan untuk searah dengan
kiblat. Begitu pun sebaliknya, jika arah tidur
berlawanan berarti sama halnya menempatkan kaki
di bagian kiblat, selnjutnya jika arah tidur arah utaraselatan
dianggap tidak baik karena arah tersebut
adalah arah orang sedang dikuburkan atau orang
yang telah meninggal dunia.
Ungkapan ini memakai kata “mempodoakea umuruta”
karena dengan kata ini orang merasa takut untuk
melakukan arah tidur yang tidak dianjurkan. Bila
mengikuti arah tidur yang dianjurkan oleh orang tua
maka kelihatannya kita lebih menghargai dan mencintai
kiblat. Kemudian dengan kata itu pula orang
akan selalu ingat dengan kematian.
Dengan demikian makna yang terkandung dalam
ungkapan ini adalah suatu nasihatkepada anak agar
selalu ingat kematian. Dengan ingat kematian berarti
ingat kepada tuhan. Hal ini sangat perlu apalagi
menjelang tidur.
Pepali posorumba malo. Roonamo masembakea
tamarawu
“Pemali menjahit pada malam hari. Nanti cepat
rahun“.
Salah satu pekerjaan yang pantangan untuk
di laksanakan pada malam hari adalah menjahit.
Menurut pandangan masyarakat wolio menjahit pada
malam hari itu di khawatirkan tangan ataupun jari
akan tertusuk karena tidak jelas melihat ujung jarum
mesi yang pada akhirnya menyebabkan pekerjaan
yang lain tidak dapat diselesaikan akibat dari tusukan
jarum tersebut.
Bila di tinjau dari segi adat. Menjahit pada malam
hari dapat menganggu orang yang sedang istirahat
atau sedang tidur malam karena mendengar bunyi
mesin jahit yang keras.
Selanjutnya bila ditinjau dari segi kesehatan,
menjahit pada malam hari dapat mengakibatkan
syaraf mata dan tulang-tulang belakang terasa sakit,
dengan demikian dapat menyebabkan kesehatan
terganggu.
Kemudian ditinjau dari segi agama, menjahit
pada malam hari dapat menggamgu orang yang
sedang melaksanakan sholat. Selanjutnya orang
yang menjahit pada malam hari kemungkinan
lupa melaksanakan sholat karena terlalu serius
menjahit.
Ungkapan ini memakai kata masembakea
tamarawu “ agar anak dapat menghargai orang yang
sedang istirahat pada malam hari.
Dengan demikian makna yang terkandung dalam
ungkapan ini adalah suatu larangan kepada anak
agar tidak melakukan pekerjaan yang menganggu
ketenangan orang disekitarnya.
Pepali landaki aena mia, roonnamo mateakea
yemata
“Pemali menginjak kaki orang, nanti ibumu
meninggal“.
Menurut adat masyarakat wolio.
Menginjak kaki orang merupakan pantangan
karena orang dapat menggangap sebagai anak yang
tidak mengetahui adapt serta dapat menimbulkan
pertengkaran.
Menginjak kaki orang secara tidak sengaja
dapat dimaklumi atau dimaafkan karena seseorang
mengetahui adat kesopanan tentu merasa bersalah
atau berdosa jika sedang menginjak kaki orang.
Berbeda dengan anak yang tidak mengetahui adat
kesopanan, menginjak kaki orang dianggap hal yang
biasa.
Ungkapan ini memakai kata” mateakea yinata”
artinya ibumu meninggal agar menjadi perhatian
anak untuk tidak membiasakan diri menginjak kaki
orang . karena tak seorang pun yang anak yang ingin
cepat kehilangan ibunya (meninggal).
Jadi makna yang terkandung dalam ungkapan
pemali ini adalah menasehati anak agar selalu
bersikap sopan kepada orang lain, dalam hal in tidak
menjadikan kebiasaan menginjak kaki orang.
KESIMPULAN
Masyarakat Wolio dalam melakukan suatu pola
hidup yang baik sering menggunakan ungkapanungkapan.
Salah satu ungkapan yang dimaksud
adalah ungkapan pemali.
Ungkapan pemali dituturkan oleh penuturnya dengan bentuk instruktif dan imperative dengan
maksud agar mendengarnya mengetahui nilai-nilai
yang baik dan nilai-nilai yang buruk.
Makna yang terkandung dalam ungkapan pemali
berupa masihat atau larangan yang diungkapkan
secara wajar dan terkadang diungkapkan dengan
kata-kata kias.
DAFTAR PUSTAKA
Alfian (Ed). 1985. Persepsi Masyarakat tentang
Kebudayaan. Jakarta: Gramedia.
Atmazaki. 1986. Ilmu Sastra (Teori dan Terapan)
Bandung: Angkasa Raya.
Badudu, J.S. 1972. Kamus Ungkapan. Bandung:
Prima
Dananjaya,
James. 1984. Foklor Indonesia. Jakarta:
Grafiti Pres.
Gaffar, Abidin Zaenal. 1991. Struktur Sastra Lisan
Serawai. Jakarta: Depdikbud.
Hasan. Fuad. 1986. Renungan Budaya. Jakarta: Balai
Pustaka.
Hutomo, Suripan. 1991. Mutiara yang TerlupakaN.
Jawa Timur: Hiski.
Kridalaksana, Harimukti.1984. Kamus Linguistik.
Jakarta: Gramedia.
Linton, R. 1940. “Acculturation” Dalam R. Linton.
(Ed) Acculturation in Seven American Indian
Tribes. Glouster, Mass: Peter Smith.
Moeliono, Anton (ed). 1989. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Odgen, C.K. and I.A. Richards. 1923. The Meaning
of Meaning. London: Kagen Pane.
Sibarani, Robert. 1992. Hakikat Bahasa. Bandung:
PT Citra Aditya Bakti.
Spradley, James. 1997. Metode Etnografi.
(Diterjemahkan oleh Misbach Zuefa Elizabeth).
Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Suwondo, Bambang. 1976. Adat Istiadat Daerah
Istimewa Yogyakarta. Depdikbud.
Tarno. 1985. Sastra Lisan Dawan. Jakarta:
Depdikbud.
Taylor, E.B. 1990. Primitive Culture: Ressearches
into the Devolopment of Mythology, Philosopdy,
Religion, Art, and Custom. London: John Muray
(Publishers) Ltd.
Dinamika Kebudayaan Vol. XI No. 1, 2009 31
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keletakan dan Lokasi Situs di Kabupaten Badung
I Wayan Srijaya
Fakultas Sastra, Universitas Udayana
Badung
Regency has various archaeological resources. There are ones originating from prehistoric period but
there are also ones from the Hindu period. From the archaeological aspect, the sites found in this area are not
totally compatible with the requirement mentioned in the book manasarasilpasastra. However there are sites
whose palaces are adjusted with the cosmological concept that considers mountain as a place for the abode of
the holy spirit of ancestors and the gods. This concept that becomes the causing factor that there are many sites
built in latitude.
Key word: archaeology, ecology, and cosmology.
PENDAHULUAN
Bukti-bukti arkeologis yang memberikan
petunjuk adanya hunian di Pulau Bali adalah
dengan ditemukannya peralatan dari batu di desa
Trunyan dan Sembiran dan disebut dengan alatalat
paleolitik. Alat-alat ini mempunyai persamaan
dengan peralatan yang ditemukan di Pacitan Jawa
Timur dan diduga berasal dari masa pleistosin atas
(Soejono et.al.;1984:105-107). Penghunia atas
Pualau Bali semakin jelas dengan ditemukannya
beberapa jenis alat dari hasil ekskavasi yang di situs
Gua Selonding desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan
oleh R.P.Soejono tahun 1963.Ekskavasi ini berhasil
menemukan sejumlah peralatan yang dibuat dari
tulang binatang.Alat-alat yang terbuat dari tulang
itu antara lain sudip,alat penusuk dari tanduk, alat
tusuk yang kedua ujungnya lancip dan menyerupai
lancipan yang ditemukan di Sulawesi Selatan dan
Australia.Alat-alatyang mempunyai lancipan pada
kedua ujungnya ini disebut dengan muduk point
atau lancipan muduk. Penemuan lancipanmuduk ini
mengindikasikan adanya pertalian umur dengan alat
yang ditemukan di Sulawesi Selatan dan Australia
yaitu dari masa pasca pleistosin(Sutaba 1980; Tim
Peneliti Benda Cagar Budaya 2005:40-41).
Penemuan alat-alat di atas mengidikasikan bahwa
untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya
manusia masih bergantung kepada alam yaitu dengan
cara berburu dan meramu serta menangkap biota
laut yang ada di Samudra Hindia.
Kehidupan manusia mengalami perkembangan
yang semakin maju yang ditandai dengan teknologi
peralatan yang sekamin halus cara pengerjaannya.
Alat-alat yang dihasilkan masih menggunakan
bahan baku dari batu yang disebut dengan kapak
persegi atau beliung persegi.Alat-alat ini ditemukan
hampir diseluruh Bali seperti Palasari, Pulukan,
Bantiran, Kerambitan, Payangan, Ubud,Pelaga,
Petang, Kesiman,Blahkiuh, Selat, Nusa Penida dan
sebagainya. Dilihat dari fungsinya, kapak neolitik
ini digunakan sebagai alat untuk bercocok tanam.
Beliung besar difungsikan sebagai cangkul yang
digunakan untuk menggemburkan lahan dalam
kegiatan bercocok tanam(Subroto 1985:33). Oleh
karena telah dikenalnya kegiatan bercocok tanam dan
membudidayakan ternak terutama yang berperan
dalam kehidupan manusia sehingga masa ini disebut
dengan masa bercocok tanam(food productions) juga
diperkirakan sudah menetap pada rumah –rumah
yang terbuat dari kayu dan bambu.
Alat-alat neolitik ini mempunyai persamaan
bentuk dengan alat-alat sejenis yang ditemukan
di Asia Tenggara.Oleh para ahli dihubungkan
dengan penutur bahasa Austronesia yang juga
memperkenalkan sistim bercocok tanam padi dan
pemeliharaan hewan.Bukti-bukti kegiatan bercocok
tanam padi di temukan di situs Pacung Buleleng yang
disuga berasal dari 2000 tahun yang lalu (Ardika
1991).
Dari waktu ke waktu kebudayaan manusia mengalami
perkembangan dan kemajuan yang sangat pesat
yaitu dengan ditemukannya kemampuan melebur
bijih logam untuk dijadikan berbagai jenis benda seperti
kapak, senjata, patung, nekara, benda-benda
perhiasan dan sebagainya. Benda-benda dari logam
ditemukan tersebar antara lain di desa Jimbaran dan
Pelaga.Kemampuan manusia untuk melebur bijih
logam ini disebut dengan masa perundagian dalam
pengkrangkaan prasejarah Indonesia.Bersamaan
dengan itu berkembang pula tradisi megalitik, yaitu
suatu tradisi mengenai kepercayaan terhadap roh suci
leluhur dan kekuatan alam.Hasil budaya dari tradisi
ini kemudian berakulturasi dengan kebudayaan Hindu
yang datangnya belakangan.
Berahirnya masa prasejarah tidak dengan serta
merta Bali memasuki zaman sejarahnya, melainkan
ada sisi gelap yang belum terpecahkan.Dari buktibukti
arkeologis diketehui bahwa Bali meningglakan
zaman prasejarahnya sekitar abad VIII M yang
ditandai dengan ditemukannya tablet-tablet dari
tanah liat yang disimpan dalam stupika tanah liat.
Tablet-tablettanah liat itu memuat mantra-mantra
budha yang diduaga dari abad VIII M.Stupikastupika
ituditemukan di desa Pejeng dan Kalibukbuk
Buleleng.
Di daerah Badung bukti-bukti tertulis yang telah
dipubikasikan antara lain prasasti Sading (Goris
1954), prasasti Asah Duren,prasasti Nungnung,
prasasti Panglan, prasasti Dalung, prasasti Lukluk,
prasasti pendek di pura Dalem Surya Sekala (Tim
Peneliti Benda Cagar Budaya 2001). Berdasarkan
sumber-sumber inio diketahui bahwa beberapa desa
(kraman) dapat diidentifikasi keberadaannya yang
ternyata terletak di daerah aliran sungai (DAS) Penet. Adanya pemukiman di DAS Penet dimuat dalam
prasasti Batunya A tahun 933 M yang dikeluarkan
oleh raja Ugrasena. Informasi yang sama juga di dapat
dari prasasti Batunya B yang dikeluarkan oleh raja
Jayapangus tahun 1181 M (Goris 1954; Suarbhawa
1993 :25-28), serta dalam prasasti Mayungan yang
tidak berangka tahun menyebutkan pemukiman
disekitar DAS Penet ini.
Adanya pemukiman di DAS Penet bersesuaian
dengan persebaran tinggalan arkeologi baik yang
berasal dari masa prasejarah maupun sesudahnya.
Kedua jenis tinggalan arkeologi itu tersimpan
diberbagai bangunan suci yang terdapat di hulu
DAS Penet seperti Pura Pucak Bon, Pucak Tinggan,
Taman Ayun, dan sebagainya.
Pemukiman dan persebaran situs-situs aekeologi
ini bersesuaian dengan uraian yang terdapat dalam
kitab Mansara silpasastra. Dalam kitab tersebut
dijelaskan bahwa lokasi kuil dan pemukiman harus
berdekatan dengan tirtha (air). Namun kenyataan
dilapangan tidak semua situs miliki potensi yang
sama, oleh karena itu ada dua masalah yang
ingin diteliti dalam kesempatan ini adalah sebagai
berikut:
(a). faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
konfigurasi situs di kabupatenBadung;
(b). bagaimana hubungan antara keletakan situs
dengan lingkungan fisik.
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah di Kabupaten Daerah
Badung yang meliputienam kecamatan yaitu Kuta
Selatan, Kuta, Kuta Utara, Mengwi, Abiansemal dan
Petang.
Data dan Sumber data
Data yang digunakan terdiri atas data primer dan
data sekunder. Data primer adalah situs dan artefak
yang merupakan hasil pengamatan dilapangan, sementara
data sekunder adalah artefak yang tidak terkait
dengan konteksnya. Sumberdata meliputi semua
hasil pengamatan, berbagai laporan dan publikasi
yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, studi
pustaka, dan wawancara.
Data-data yang telah terkumpul kemudian
dilakukan identifikasi dan klasifikasi untuk
selanjutnya di analisis secara kualitatif, deskriptif,
ekologis dan kontekstual.
HASIL PENELITIAN
Gambaran Umum Kabupaten Badung
Wilayah Badung merupakan salah satu kabupaten
di Provinsi Bali dengan luas 418,52 km2 atau sekitar
7,43%dari luas pulau Bali yang mencapai 5.632
km2. Wilayah ini memiliki 6 kecamatan dab 62
desa/kelurahan.Keenam kecamatan itu adalah Kuta
Selatan, Kuta, Kuta Utara, Mengwi, Abiansemal, dan
Petang (Badung dalam Angka 2004:34-41).
Penduduk yang mendiami wilayah Badung berjumlah 358.311 jiwa yang penyebarannya tidak merata teruma di wilayah Petang.Dari enam kecamatan yang ada di wilayah ini 4 kecamatan mempunyai tingkat kepadatan penduduk di atas 1000 jiwa/km2, yaitu kecamatan Kuta (2.213 jiwa/km2), Kuta Utara (1.613 jiwa/km2), Mengwi (1.233 jiwa/ km2), Abiansemal (1.094 jiwa/km2), Kuta Selatan (600jiwa/km2) dan Petang (239 jiwa/km2) atau untuk Badung tingkat kepadatannya mencapai 856 jiwa/km2 (Badung dalam Angka 2004).
Dilihat dari bentang alamnya wilayah Badung selatan khususnya Kecamatan Kuta Selatan sebagian besar merupakan kawasan kars (batu kapur) yang sangat kering dengan jumlah curah hujan yang sedikit. Oleh karena curah hujan yang terbatas itu berimplikasi terhadap pengusahaan lahan menjadi sangat terbatas pula. Kondisi ini menyebabkan masyarakat yang mendiami kawasan kars hanya dapat mengolah lahan-lahan mereka saat musim hujan tiba. Sementara itu wilayah tengah adalah lahan pertanian yang subur karena memiliki bentang alam yang landai dengan lapisan tanah yang cukup dalam. Disamping lapisan tanahnya yang cukup dalam wilayah tengah mempunyai ketersedian air yang permanen smaupun sejumlah mata air yang dapat dimanfaatkan untuk mengairi persawahan yang ada. Namun harus diakui bahwa hamparan sawah sebagaimana terjadi beberapa dasawarsa silam karena wilayah Kuta, Kuta Utara banyak lahan-lahan pertanian beralih fungsi. Pada lahan-lahan yang subur ini telah beralih fungsi menjadi kawasan hunian dan pertokoan yang semakin berkembang di wilayah ini. Demikian juga dengan kawasan Bukit yang merupakan kawasan kars semakin diminati oleh para investor untuk membangun berbagai fasilitas pariwisata maupun hunian. Tidaklah mengherankan kawasan yang tadinya sangat kering, sekarang berubah menjadi kawasan hunian elit.
Oleh sebab itu perlu dilakukan pengendalian alih fungsi lahan terutama lahan-lahan pertanian sehingga keberadaan subak-subak dengan hamparan sawahnya akat tetap menjadi maskotnya Bali. Belakangan disinyalir sudah ada sejumlah subak yang tidak memiliki lahan pertanian lagi karena sudah beralih fungsi menjadi kawasan pemukiman, pertokoan dan sebagainya. Berbeda halnya dengan wilayah Badung Selatan, di wilayah Badung utara alih fungsi lahan ini masih bisa dikendalikan.Wilayah Badung utara merupakan lahan pertanian baik pertanian sawah maupun perkebenunan. Sawah ditemukan dikecamatan Mengwi dan Abiansemal sementara di Petang yang merupakan dataran tinggi lebih dominan sebagai lahan perkebunan dan hanya ditempat-tempat tertentu yang dapat diusahakan sebagai pertanian sawah (Badung dalam Angka 2004).
Demikian pula kegiatan pembanguan yang terkonsentrasi di Badung selatan telah menimbulkan ketimpangan dan kesenjangan yang sangat lebar dengan saudaranya di utara. Untuk mengantisipasi kesenjangan pembangunan yang semakin melebar ini pemerintah daerah memberi perhatian secara khusus sejak beberapa tahun terhir. Pemerintah daerah mulai menata Badung utara khususnya kecamatan Petang dengan mengembangkan pertanian yang ada menjadi agrowisata.Tujuannya tak lain adalah agar kegiatan kepariwisataan tidak hanya dinikmati oleh masyarakat di Badung selatan tetapi dapat pula dinikmati masyarakat di Badung utara yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahtraan masyarakat lokal.
Sementara untuk membuka isolasi yang ada di wilayah Badung utara pemerintah telah membangun jembatan di atas Tukad Bangkung di desa Pelaga yang merupakan jembatan terpanjang di Bali. Pembangunan prasarana jembatan ini akan memberikan akses kemudahan terhadap wilayah disekitarnya termasuk juga dengan masyarakat yang ada di wilayah Bangli.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keletakan dan Lokasi Situs
Wilayah Badung selatan khususnya Kecamatan Kuta Selatan merupakan kawasan kars yang sulit untuk di olah untuk sebagai lahan pertanian karena lapisan tanahnya yang sangat tipis, hanya pada tempat-tempat tertentu lapisannya agak tebal. Selain lapisan tanahnya yang tipis, terbatasnya sumber air baik mata air maupun air permukaan menjadi kendala dalam mengusahan budidaya pertanian di wilayah ini. Oleh sebab itu dikawasan ini yang memungkinkan untuk di budidayakan adalah jenis tanaman keras sementara tanaman berumur pendek hanya dapat diusahakan pada saat musim hujan.
Walaupun termasuk daerah kering,dari wilayah ini ternyata menyimpan informasi sejarah yang sangat penting dalam mengungkap sejarah peradaban manusia yang menghuni pulau Bali. Berdasarkan bukti-bukti arkeologis yang ditemukan diketahui bahwa wilayah Badung telah dihuni oleh manusia sejak zaman berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut. Mereka masih hidup dengan cara berburu dan meramu disamping juga menangkap ikan dan biota laut. Pada masa ini sudah ada tandatanda untuk bertempat tinggal sementara dalam gua-gua alam. Untuk melakukan aktivitas berburu dan meramu (food gathering) dibuatlah peralatan seperti sudip, alat tusuk, alat tusuk dari tanduk yang kedua ujungnya diberikan lancipan yang menyerupai lancipan dari Sulawesi Selatan dan Australia. Alatalat dari tulang dan tanduk ini ditemukan oleh R.P.Soejono dalam ekskavasi di situs Gua Selonding Pecatu Kuta Selatan. Alat tusuk yang kedua ujungnya diberi lancipan disebut dengan lancipan muduk atau muduk point. Adanya kesamaan bentuk alat ini paling tidak memberi petunjuk tentang pertalian umur yaitu dari asa pasca plestosin (Soejono 1963:37-38). Selain Gua Selonding, di kawasan kars masih ada sejumlah gua seperti Gua Batu Pageh, Gua Gong, Gua Barong-Barongan,Gua Karang Boma, Gua Batu Metandal dan sebagainya. Kecuali Gua Karang Boma,gua-gua di atas belum sempat diteliti sehingga belum diketahui apakah gua-gua itu pernah dihuni atau tidak. Beberapa diantara gua-gua itu sudah mengalami perubahan seperti laintainya diberikan pengeras daribeton, ada pula yang ditambah pelinggih di dalamnya serta diberi pintu dari kayu. Ada pula gua-gua yang keberadaannya terancam karena pembangunan sarana kepariwisataan di wilayah ini seperti hotel ataupun perumahan elit (Tim Peneliti Benda Cagar Budaya 2005).
Lokasi situs-situs masa prasejarah sebagaimana digambarkan di atas dipengaruhi oleh beberapa faktor yang salah satunya adalah lingkungan. Dalam hal ini ada beberapa variabel yang terkait dengan kondisi lingkungan yaitu:
a. tersedianya kebutuhan akan air, adanya tempat berteduh, dan kondisi tanah yang tidak terlalu lembab;
b. tersedianya fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk bergerak lebih mudah seperti pantai, sungai, rawa, dan lereng;
c. tersedianya sumber makanan berupa flora dan fauna dan faktor-faktor yang memberi kemudahan dalam cara perolehannya misalnyatempat untuk minum binatang, topografi dan pola vegetasi;
d. faktor-faktor yang memberi elemen tambahan akan binatang laut atau air misalnya dekat danau, sungai, pantai dan mata air (Butzer dalam Subroto 1995:3).
Dengan demikian dapat dikatan bahwa faktor lingkungan terkait erat dengan lokasi situs-situs masa prasejarah. Kondisi lingkungan yang tidak lagi menyediakan bahan-bahan yang bisa dimakan cenderung akan ditinggalkan karena dianggap sudah tidak menguntungkan lagi bila bertahan hidup di lokasi yang terbatas sumber-sumber pangannya. Sementara bukti-bukti adanya kehidupan di Badung utara diketahui sudah dihuni sejak masa bercocok tanam yaitu dengan ditemukannya alat-alat dari batu yang disebut kapak persegi/beliung persegi (Tim Peneliti Benda Cagar Budaya 2005: 47). Beliung persegi yang ukurannya besar digunakan sebagai cangkul untuk menggemburkan tanah dalam kegiatan bercocok tanam, sedangkan yang kecil difungsikan sebagai benda sakral yang digunakan saat awal bercocok tanam dan saat akan menunai padi.
Alat-alat neolitik ini mempunyai persamaan dengan alat-alat sejenis yang ditemukan di Asia Tenggara, Cina, dan Jepang. Persebaran beliung persegi ini dihubungkan dengan kedatangan penutur bahasa Austronesia ke Asia Tenggara yang juga memperkenalkan sistim bercocock tanam padi. Bukti-bukti tertua sisa-sisa padi di Bali ditemukan di situs Pacung Buleleng yang berasal dari 2000 tahun yang lalu (Ardika 1991).
Bagian ahir dari prasejarah Bali adalah masa perundagian yaitu suatu periode dikenalnya teknologi peleburan bijih logam menjadi berbagai jenis benda seperti kapak, senjata, perhiasan, patung, nekara dan sebagainya (Soejono et.al 1984:234- 239). Di wilayah Badung alat-alat dari logam ditemukan di desa Jimbaran dan Pelaga. Pada masa yang bersamaan berkembang pula tradisi megalitik yaitu suatu kebiasaan memuliakan roh suci leluhur yang diikuti dengan pendirian berbagai bangunan sebagai medianya. Unsur-unsur megalitik muda ini antara lain sarkofagus, arca nenek moyang, menhir, teras berundak, menhir dan sebagainya. Unsur-unsur megalitik muda ditemukan di berbagai pura di Badung utara yang sudah menyatu dengan konsep Hindu yang datang belakangan.
Setelah melewati masa gelap yang cukup panjang barulah sekiatar abad X M terdapat informasi yang berupa prasasti yaitu prasasti Sading A yang berangka tahun 923 Caka (1001 M) yang dikeluarkan oleh sang Ratu Gunapriya Dharmapatni dan Sri Dharma Udayana Warmadewa (Goris 1954). Ditemukannya prasasti tidak hanya membuka lembaran sejarah Badung khususnya dan Bali umumnya melainkan dapat pula memberi gambaran berbagai aspek yang berkembang seperti birokrasi pemerintaha, sosial ekonomi, sosial budaya, keagamaan.Masuknya peradaban Hindu ke Bali dan Badung khususnya tidak dengan serta merta menghilangkan sistim kepercayaan yang sudah ada melainkan kedua sistim itu dapat saling mengisi dan melengkapi.Itulah sebabnya di berbagai situs pura yang ditemukan di wilayah ini ditemukan berbagai media pemujaan terhadap roh leluhur. Hasil penelitian diketahui bahwa di kabupaten Badung terdapat tidak kurang dari 40 buah situs pura yang di dalam menyimpan peninggalan arkeologi. Adapun penyebaran situs pada masingmasing kecamatan adalah sebagai berikut.Kuta Selatan 8 (20%), Kuta (-), Kuta Utara 2(5%), Mengwi 10(25%), Abiansemal 2 (5%), dan Petang 18(45%).
Distribusi situs di atas mengindikasikan tidak meratanya sebaran situs di wilayah Badung. Badung selatan didominasi oleh situs-situs dari masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut tetapi dibeberapa tempat ditemukan situs masa Hindu seperti Pura Uluwatu, Sarin Bhuana di Jimbaran, Nusa Dharma di Tanjung Benoa.
Sementara di Badung utara unsur-unsur pra Hindu ini luluh dengan budaya Hindu yang berpengaruh sekitar abad X M. Adapun situs-situs dari masa ini antara lain Pura Sada, pura Taman Ayun, pura Puseh Anggunan, pura Tegal Suci, pura Puncak Bon, pura Pucak Mangu, dan lain sebagainya. Situs-situs di atas pada umumnya di bangun pada tempat yang tinggi.Pendirian bangunan suci di tempat-tempat yang tinggi tidak saja sebagai bentuk adaptasi manusia dengan lingkungannya melainkan sebagai perwujudan adanya pengaruh kosmologis.
Menurut pandangan Hindu, bukit, gunung dan tempat-tempat yang tinggi lainnya merupakan simbolis dari gunung kahyangan yaitu Gunung Mahameru yang diyakini sebagai tempat berstananya para dewa dan roh leluhur (Geldern 1982 :8). Sebagai simbolis dari gunung Meru di Bali sejak abad XI M banyak didirikan bangunan suci di atas bukit atau gunung misalnya Pura Pucak Penulisan di Kintamani, Pura Lempuyang di Karangasem, Pura Besakih di Karangasem, pura Watukaru di Tabanan dan sebagainya.Demikian pula di Jawa pada ahir kejayaan kerajaan Majapahit sekitar abad XIV M banyak candi didirikan di atas gunung Penanggungan yang dalam kitab Tantu Pagelaran disebut dengan gunung Pawitra (Munandar 2003; 133).
Selain pandangan kosmologis yang mendasari pendirian bangunan suci di tempat-tempat yang tinggi, pemilihan lokasi seperti itu tampaknya bersesuaian dengan petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam kitab Silpaprakasa dan Manasara silpasastra. Dalam kedua kitab itu diuraikan syarat-syarat pendirian kuil yaitu sedapat mungkin lokasinya harus dekat dengan tirtha (air) (Boner dan Sarma 1966; Acarya 1927). Disamping itu lokasi yang baik adalah tanahnya subur, tidak berbau amis, harum. Ciri-ciri tanah seperti inilah yang dipilih menjadi lokasi banguan suci atau kuil.
Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa pertimbangan potensi lahan dan air ikut memainkan peranan dalam pengambilan keputusan oleh para arsitek berkenaan dengan penenetuan lokasi bangunan suci (Mundardjito 1993: 14). Demikian pula dengan bangunan-bangunan yang banyak terdapat di dataran tinggi Petang terkait erat dengan konsep-konsep sebagaimana diuraikan dalam Silpaprakasa dan Manasara silpasastra.
Penduduk yang mendiami wilayah Badung berjumlah 358.311 jiwa yang penyebarannya tidak merata teruma di wilayah Petang.Dari enam kecamatan yang ada di wilayah ini 4 kecamatan mempunyai tingkat kepadatan penduduk di atas 1000 jiwa/km2, yaitu kecamatan Kuta (2.213 jiwa/km2), Kuta Utara (1.613 jiwa/km2), Mengwi (1.233 jiwa/ km2), Abiansemal (1.094 jiwa/km2), Kuta Selatan (600jiwa/km2) dan Petang (239 jiwa/km2) atau untuk Badung tingkat kepadatannya mencapai 856 jiwa/km2 (Badung dalam Angka 2004).
Dilihat dari bentang alamnya wilayah Badung selatan khususnya Kecamatan Kuta Selatan sebagian besar merupakan kawasan kars (batu kapur) yang sangat kering dengan jumlah curah hujan yang sedikit. Oleh karena curah hujan yang terbatas itu berimplikasi terhadap pengusahaan lahan menjadi sangat terbatas pula. Kondisi ini menyebabkan masyarakat yang mendiami kawasan kars hanya dapat mengolah lahan-lahan mereka saat musim hujan tiba. Sementara itu wilayah tengah adalah lahan pertanian yang subur karena memiliki bentang alam yang landai dengan lapisan tanah yang cukup dalam. Disamping lapisan tanahnya yang cukup dalam wilayah tengah mempunyai ketersedian air yang permanen smaupun sejumlah mata air yang dapat dimanfaatkan untuk mengairi persawahan yang ada. Namun harus diakui bahwa hamparan sawah sebagaimana terjadi beberapa dasawarsa silam karena wilayah Kuta, Kuta Utara banyak lahan-lahan pertanian beralih fungsi. Pada lahan-lahan yang subur ini telah beralih fungsi menjadi kawasan hunian dan pertokoan yang semakin berkembang di wilayah ini. Demikian juga dengan kawasan Bukit yang merupakan kawasan kars semakin diminati oleh para investor untuk membangun berbagai fasilitas pariwisata maupun hunian. Tidaklah mengherankan kawasan yang tadinya sangat kering, sekarang berubah menjadi kawasan hunian elit.
Oleh sebab itu perlu dilakukan pengendalian alih fungsi lahan terutama lahan-lahan pertanian sehingga keberadaan subak-subak dengan hamparan sawahnya akat tetap menjadi maskotnya Bali. Belakangan disinyalir sudah ada sejumlah subak yang tidak memiliki lahan pertanian lagi karena sudah beralih fungsi menjadi kawasan pemukiman, pertokoan dan sebagainya. Berbeda halnya dengan wilayah Badung Selatan, di wilayah Badung utara alih fungsi lahan ini masih bisa dikendalikan.Wilayah Badung utara merupakan lahan pertanian baik pertanian sawah maupun perkebenunan. Sawah ditemukan dikecamatan Mengwi dan Abiansemal sementara di Petang yang merupakan dataran tinggi lebih dominan sebagai lahan perkebunan dan hanya ditempat-tempat tertentu yang dapat diusahakan sebagai pertanian sawah (Badung dalam Angka 2004).
Demikian pula kegiatan pembanguan yang terkonsentrasi di Badung selatan telah menimbulkan ketimpangan dan kesenjangan yang sangat lebar dengan saudaranya di utara. Untuk mengantisipasi kesenjangan pembangunan yang semakin melebar ini pemerintah daerah memberi perhatian secara khusus sejak beberapa tahun terhir. Pemerintah daerah mulai menata Badung utara khususnya kecamatan Petang dengan mengembangkan pertanian yang ada menjadi agrowisata.Tujuannya tak lain adalah agar kegiatan kepariwisataan tidak hanya dinikmati oleh masyarakat di Badung selatan tetapi dapat pula dinikmati masyarakat di Badung utara yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahtraan masyarakat lokal.
Sementara untuk membuka isolasi yang ada di wilayah Badung utara pemerintah telah membangun jembatan di atas Tukad Bangkung di desa Pelaga yang merupakan jembatan terpanjang di Bali. Pembangunan prasarana jembatan ini akan memberikan akses kemudahan terhadap wilayah disekitarnya termasuk juga dengan masyarakat yang ada di wilayah Bangli.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keletakan dan Lokasi Situs
Wilayah Badung selatan khususnya Kecamatan Kuta Selatan merupakan kawasan kars yang sulit untuk di olah untuk sebagai lahan pertanian karena lapisan tanahnya yang sangat tipis, hanya pada tempat-tempat tertentu lapisannya agak tebal. Selain lapisan tanahnya yang tipis, terbatasnya sumber air baik mata air maupun air permukaan menjadi kendala dalam mengusahan budidaya pertanian di wilayah ini. Oleh sebab itu dikawasan ini yang memungkinkan untuk di budidayakan adalah jenis tanaman keras sementara tanaman berumur pendek hanya dapat diusahakan pada saat musim hujan.
Walaupun termasuk daerah kering,dari wilayah ini ternyata menyimpan informasi sejarah yang sangat penting dalam mengungkap sejarah peradaban manusia yang menghuni pulau Bali. Berdasarkan bukti-bukti arkeologis yang ditemukan diketahui bahwa wilayah Badung telah dihuni oleh manusia sejak zaman berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut. Mereka masih hidup dengan cara berburu dan meramu disamping juga menangkap ikan dan biota laut. Pada masa ini sudah ada tandatanda untuk bertempat tinggal sementara dalam gua-gua alam. Untuk melakukan aktivitas berburu dan meramu (food gathering) dibuatlah peralatan seperti sudip, alat tusuk, alat tusuk dari tanduk yang kedua ujungnya diberikan lancipan yang menyerupai lancipan dari Sulawesi Selatan dan Australia. Alatalat dari tulang dan tanduk ini ditemukan oleh R.P.Soejono dalam ekskavasi di situs Gua Selonding Pecatu Kuta Selatan. Alat tusuk yang kedua ujungnya diberi lancipan disebut dengan lancipan muduk atau muduk point. Adanya kesamaan bentuk alat ini paling tidak memberi petunjuk tentang pertalian umur yaitu dari asa pasca plestosin (Soejono 1963:37-38). Selain Gua Selonding, di kawasan kars masih ada sejumlah gua seperti Gua Batu Pageh, Gua Gong, Gua Barong-Barongan,Gua Karang Boma, Gua Batu Metandal dan sebagainya. Kecuali Gua Karang Boma,gua-gua di atas belum sempat diteliti sehingga belum diketahui apakah gua-gua itu pernah dihuni atau tidak. Beberapa diantara gua-gua itu sudah mengalami perubahan seperti laintainya diberikan pengeras daribeton, ada pula yang ditambah pelinggih di dalamnya serta diberi pintu dari kayu. Ada pula gua-gua yang keberadaannya terancam karena pembangunan sarana kepariwisataan di wilayah ini seperti hotel ataupun perumahan elit (Tim Peneliti Benda Cagar Budaya 2005).
Lokasi situs-situs masa prasejarah sebagaimana digambarkan di atas dipengaruhi oleh beberapa faktor yang salah satunya adalah lingkungan. Dalam hal ini ada beberapa variabel yang terkait dengan kondisi lingkungan yaitu:
a. tersedianya kebutuhan akan air, adanya tempat berteduh, dan kondisi tanah yang tidak terlalu lembab;
b. tersedianya fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk bergerak lebih mudah seperti pantai, sungai, rawa, dan lereng;
c. tersedianya sumber makanan berupa flora dan fauna dan faktor-faktor yang memberi kemudahan dalam cara perolehannya misalnyatempat untuk minum binatang, topografi dan pola vegetasi;
d. faktor-faktor yang memberi elemen tambahan akan binatang laut atau air misalnya dekat danau, sungai, pantai dan mata air (Butzer dalam Subroto 1995:3).
Dengan demikian dapat dikatan bahwa faktor lingkungan terkait erat dengan lokasi situs-situs masa prasejarah. Kondisi lingkungan yang tidak lagi menyediakan bahan-bahan yang bisa dimakan cenderung akan ditinggalkan karena dianggap sudah tidak menguntungkan lagi bila bertahan hidup di lokasi yang terbatas sumber-sumber pangannya. Sementara bukti-bukti adanya kehidupan di Badung utara diketahui sudah dihuni sejak masa bercocok tanam yaitu dengan ditemukannya alat-alat dari batu yang disebut kapak persegi/beliung persegi (Tim Peneliti Benda Cagar Budaya 2005: 47). Beliung persegi yang ukurannya besar digunakan sebagai cangkul untuk menggemburkan tanah dalam kegiatan bercocok tanam, sedangkan yang kecil difungsikan sebagai benda sakral yang digunakan saat awal bercocok tanam dan saat akan menunai padi.
Alat-alat neolitik ini mempunyai persamaan dengan alat-alat sejenis yang ditemukan di Asia Tenggara, Cina, dan Jepang. Persebaran beliung persegi ini dihubungkan dengan kedatangan penutur bahasa Austronesia ke Asia Tenggara yang juga memperkenalkan sistim bercocock tanam padi. Bukti-bukti tertua sisa-sisa padi di Bali ditemukan di situs Pacung Buleleng yang berasal dari 2000 tahun yang lalu (Ardika 1991).
Bagian ahir dari prasejarah Bali adalah masa perundagian yaitu suatu periode dikenalnya teknologi peleburan bijih logam menjadi berbagai jenis benda seperti kapak, senjata, perhiasan, patung, nekara dan sebagainya (Soejono et.al 1984:234- 239). Di wilayah Badung alat-alat dari logam ditemukan di desa Jimbaran dan Pelaga. Pada masa yang bersamaan berkembang pula tradisi megalitik yaitu suatu kebiasaan memuliakan roh suci leluhur yang diikuti dengan pendirian berbagai bangunan sebagai medianya. Unsur-unsur megalitik muda ini antara lain sarkofagus, arca nenek moyang, menhir, teras berundak, menhir dan sebagainya. Unsur-unsur megalitik muda ditemukan di berbagai pura di Badung utara yang sudah menyatu dengan konsep Hindu yang datang belakangan.
Setelah melewati masa gelap yang cukup panjang barulah sekiatar abad X M terdapat informasi yang berupa prasasti yaitu prasasti Sading A yang berangka tahun 923 Caka (1001 M) yang dikeluarkan oleh sang Ratu Gunapriya Dharmapatni dan Sri Dharma Udayana Warmadewa (Goris 1954). Ditemukannya prasasti tidak hanya membuka lembaran sejarah Badung khususnya dan Bali umumnya melainkan dapat pula memberi gambaran berbagai aspek yang berkembang seperti birokrasi pemerintaha, sosial ekonomi, sosial budaya, keagamaan.Masuknya peradaban Hindu ke Bali dan Badung khususnya tidak dengan serta merta menghilangkan sistim kepercayaan yang sudah ada melainkan kedua sistim itu dapat saling mengisi dan melengkapi.Itulah sebabnya di berbagai situs pura yang ditemukan di wilayah ini ditemukan berbagai media pemujaan terhadap roh leluhur. Hasil penelitian diketahui bahwa di kabupaten Badung terdapat tidak kurang dari 40 buah situs pura yang di dalam menyimpan peninggalan arkeologi. Adapun penyebaran situs pada masingmasing kecamatan adalah sebagai berikut.Kuta Selatan 8 (20%), Kuta (-), Kuta Utara 2(5%), Mengwi 10(25%), Abiansemal 2 (5%), dan Petang 18(45%).
Distribusi situs di atas mengindikasikan tidak meratanya sebaran situs di wilayah Badung. Badung selatan didominasi oleh situs-situs dari masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut tetapi dibeberapa tempat ditemukan situs masa Hindu seperti Pura Uluwatu, Sarin Bhuana di Jimbaran, Nusa Dharma di Tanjung Benoa.
Sementara di Badung utara unsur-unsur pra Hindu ini luluh dengan budaya Hindu yang berpengaruh sekitar abad X M. Adapun situs-situs dari masa ini antara lain Pura Sada, pura Taman Ayun, pura Puseh Anggunan, pura Tegal Suci, pura Puncak Bon, pura Pucak Mangu, dan lain sebagainya. Situs-situs di atas pada umumnya di bangun pada tempat yang tinggi.Pendirian bangunan suci di tempat-tempat yang tinggi tidak saja sebagai bentuk adaptasi manusia dengan lingkungannya melainkan sebagai perwujudan adanya pengaruh kosmologis.
Menurut pandangan Hindu, bukit, gunung dan tempat-tempat yang tinggi lainnya merupakan simbolis dari gunung kahyangan yaitu Gunung Mahameru yang diyakini sebagai tempat berstananya para dewa dan roh leluhur (Geldern 1982 :8). Sebagai simbolis dari gunung Meru di Bali sejak abad XI M banyak didirikan bangunan suci di atas bukit atau gunung misalnya Pura Pucak Penulisan di Kintamani, Pura Lempuyang di Karangasem, Pura Besakih di Karangasem, pura Watukaru di Tabanan dan sebagainya.Demikian pula di Jawa pada ahir kejayaan kerajaan Majapahit sekitar abad XIV M banyak candi didirikan di atas gunung Penanggungan yang dalam kitab Tantu Pagelaran disebut dengan gunung Pawitra (Munandar 2003; 133).
Selain pandangan kosmologis yang mendasari pendirian bangunan suci di tempat-tempat yang tinggi, pemilihan lokasi seperti itu tampaknya bersesuaian dengan petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam kitab Silpaprakasa dan Manasara silpasastra. Dalam kedua kitab itu diuraikan syarat-syarat pendirian kuil yaitu sedapat mungkin lokasinya harus dekat dengan tirtha (air) (Boner dan Sarma 1966; Acarya 1927). Disamping itu lokasi yang baik adalah tanahnya subur, tidak berbau amis, harum. Ciri-ciri tanah seperti inilah yang dipilih menjadi lokasi banguan suci atau kuil.
Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa pertimbangan potensi lahan dan air ikut memainkan peranan dalam pengambilan keputusan oleh para arsitek berkenaan dengan penenetuan lokasi bangunan suci (Mundardjito 1993: 14). Demikian pula dengan bangunan-bangunan yang banyak terdapat di dataran tinggi Petang terkait erat dengan konsep-konsep sebagaimana diuraikan dalam Silpaprakasa dan Manasara silpasastra.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil analisis dapat disimpulakan bahwa ada
dua faktor yang berpengaruh terhadap keletakan dan
loksi situs di wilayah Badung. Kedua faktor itu adalah
ekologi dan kosmologis. Faktor ekologis terutama
di Badung selatan yang merupakan hamparan kars
(batu kapur) cenderung didominasi oleh situs-situs
prasejarah tetapi ada pula beberapa situs Hindu.
Sedangkan di utara yang kondisi ekologisnya
berupa dataran hingga dataran tinggi cenderung
ditempati oleh situs-situs Hindu. Hal ini bersesuaian
dengan uraian dalam kitab Manasara silpasastra.
Sementara faktor kosmologis merupakan tradisi yang
menganggap gunung sebagai tempat bersetananya
para dewa dan roh leluhur yang sudah dikenal
sejak masa megalitik. Konsep inilah yang melatari
pendirian bangunan suci di tempat-tempat yang
tinggi.
Saran
Banyak situs yang kondisinya memperihatinkan, ada situs yang terancam akibat pembangunan yang tidak terkendali seperti yang terjadi pada situs-situs prasejarah di Kuta Selatan, ada pula situs yang mulai mengalami kerusakan akibat tidak adanya pelindung. Oleh karena itu sebagai bukti autentik peradaban manusia masa lalu perlu dilakukan langkah-langkah pelestarian secara terpadu oleh pemerintah dan masyarakat.
Saran
Banyak situs yang kondisinya memperihatinkan, ada situs yang terancam akibat pembangunan yang tidak terkendali seperti yang terjadi pada situs-situs prasejarah di Kuta Selatan, ada pula situs yang mulai mengalami kerusakan akibat tidak adanya pelindung. Oleh karena itu sebagai bukti autentik peradaban manusia masa lalu perlu dilakukan langkah-langkah pelestarian secara terpadu oleh pemerintah dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Acharya, Prashna K. 1927. Manasara Silpasastra.
London: Oxford University Press
Ardika, I W. 1991. Archaeological Research in Northeastern Bali. Doctor Thessis Australian National University.
Bonner, Alice dan Sadasiva Rath Sarma. 1966. Silpaprakasa.
Badan Pusat Statistik Kab. Badung. 2004. Badung dalam Angka
Geldern, R.V. 1984. Konsepsi Tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara. Jakarta
Goris, Roelof. 1954. Prasasti Bali I. Bandung:NV. Masa Baru
Kramrisch,Stella. 1946. The Hindu Temple. Calcuta: Calcuta University Press
Munandar, AgusAris. 2004. Istana Dewa Pulau Dewata Makna Puri Bali Abad ke-14-19. Depok: Komunitas Bambu
Mundardjito. 1991. Pertimbangan Ekologi dalam Penempatan Situs Masa Hindu Buda di daerah Sleman dan Bantul Yogyakarta. Jakarta:Disertasi Doktor Universitas Indonesia
Slamet Mulyana. 2004. Menuju Puncak Kemegahan Majapahit.Yogyakarta: LkiS
Soejono, R.P. 1984. Jaman Prasejarah di Indonesia. Dalam Sejarah Nasional Indonesia I. Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho Notosusansto (ed). Dep.Pendidikan dan Kebudayaan. 1963. Beberapa Catatan Sementara Tentang Penemuan Baru Alat-alat Paleolitik di Indonesia. MISI II (3) hal.353-70.
Subroto. 1984. Sistem Pertanian Tradisional pada Masyarakat Jawa:Tinjauan Secara Arkeologis dan Etnografis.Proyek Javanologi Yogyakarta.
Suarbhawa. 1991. Laporan Penelitian Prasasti di Kabupaten Tabanan dan Buleleng. LPA No. 9. Balai Arkeologi Denpasar
Sutaba, I Made. 1980. Prasejarah Bali. BU.Yayasan Purbakala Bali.
Steward, Julian H. 1954. Theory of Cultural Change. Urbana: University of Illinois Press. Stutterheim, W.F. 1938. Notes on Cultural Between South India and Java.
Tim Peneliti Benda Cagar Budaya. 2005. Benda Cagar Budaya di Kecamatan Kuta Selatan Badung. Kerjasama Bappeda badung dengan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali.
Wardi, I Nyoman. 1999. 1999 Pengembangan Sumberdaya Budaya Situs Purbakala Taman Ayun di Desa Menguwi, Badung. Thesis. Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Ardika, I W. 1991. Archaeological Research in Northeastern Bali. Doctor Thessis Australian National University.
Bonner, Alice dan Sadasiva Rath Sarma. 1966. Silpaprakasa.
Badan Pusat Statistik Kab. Badung. 2004. Badung dalam Angka
Geldern, R.V. 1984. Konsepsi Tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara. Jakarta
Goris, Roelof. 1954. Prasasti Bali I. Bandung:NV. Masa Baru
Kramrisch,Stella. 1946. The Hindu Temple. Calcuta: Calcuta University Press
Munandar, AgusAris. 2004. Istana Dewa Pulau Dewata Makna Puri Bali Abad ke-14-19. Depok: Komunitas Bambu
Mundardjito. 1991. Pertimbangan Ekologi dalam Penempatan Situs Masa Hindu Buda di daerah Sleman dan Bantul Yogyakarta. Jakarta:Disertasi Doktor Universitas Indonesia
Slamet Mulyana. 2004. Menuju Puncak Kemegahan Majapahit.Yogyakarta: LkiS
Soejono, R.P. 1984. Jaman Prasejarah di Indonesia. Dalam Sejarah Nasional Indonesia I. Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho Notosusansto (ed). Dep.Pendidikan dan Kebudayaan. 1963. Beberapa Catatan Sementara Tentang Penemuan Baru Alat-alat Paleolitik di Indonesia. MISI II (3) hal.353-70.
Subroto. 1984. Sistem Pertanian Tradisional pada Masyarakat Jawa:Tinjauan Secara Arkeologis dan Etnografis.Proyek Javanologi Yogyakarta.
Suarbhawa. 1991. Laporan Penelitian Prasasti di Kabupaten Tabanan dan Buleleng. LPA No. 9. Balai Arkeologi Denpasar
Sutaba, I Made. 1980. Prasejarah Bali. BU.Yayasan Purbakala Bali.
Steward, Julian H. 1954. Theory of Cultural Change. Urbana: University of Illinois Press. Stutterheim, W.F. 1938. Notes on Cultural Between South India and Java.
Tim Peneliti Benda Cagar Budaya. 2005. Benda Cagar Budaya di Kecamatan Kuta Selatan Badung. Kerjasama Bappeda badung dengan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali.
Wardi, I Nyoman. 1999. 1999 Pengembangan Sumberdaya Budaya Situs Purbakala Taman Ayun di Desa Menguwi, Badung. Thesis. Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar