Kamis, 19 April 2012

UPACARA ADAT JAMBI

Beberapa jenis dan bentuk upacara tradisional biasanya dilakukan pada saat-saat tertentu, misalnya pada waktu manusia memasuki suatu tingkatan atau tahapan di dalam daur (lingkaran) hidup, pada saat manusia akan memulai suatu kegiatan yang berkenaan dengan aktivitas hidup sehari-hari dan sebagainya. Waktu-waktu serupa itu dirasakan sebagai saat-saat yang "genting" atau berbahaya karena dianggap dapat menimbulkan malapetaka, membawa kesengsaraan dan penyakit kepada manusia.

Oleh sebab itu, meskipun hampir seluruh masyarakat Jambi telah memeluk agama Islam, namun pada saat ini banyak diantara mereka masih melakukan upacara-upacara tersebut yang dianggap sebagai sisa warisan kepercayaan nenek moyang. Beberapa upacara adat yang ada di Jambi adalah:

Upacara Lingkaran Hidup Manusia:
 Upacara-upacara ini dilakukan sejak seseorang dilahirkan sampai meninggal, dengan artian untuk memperingati saat-saat seseorang individu memasuki suatu tingkatan sepanjang hidupnya. Penyelenggaran upacara ini terutama pada masa kehamilan, kelahiran, dewasa, perkawinan, dan kematian.

Upacara Kelahiran: Saat umur kandungan seorang wanita menginjak 7 bulan, keluarganya secara resmi memberitahukan hal ini paling tidak pada 2 orang dukun yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka. Upacara pemberitahuan ini disebut dengan istilah Menuak/Nuak, yang maksudnya agar dukun siap memberi pertolongan jika tiba saatnya melahirkan. Dalam upacara ini masing-masing dukun diberi hantaran berupa nasi kunyit beserta laukpauknya.

Ketika wanita hamilan tersebut menghadapi saat kelahiran, para dukun yang sudah dipesan segera datang memberi pertolongan. Dukun wanita bertugas menyambut kelahiran anak, sedangkan dukun laki-laki yang berada di balik pembatas ruangan tempat melahirkan membacakan mantra agar anak dapat lahir dengan lancar dan lengkap serta ibunya dalam keadaan selamat. Untuk menghindari pengaruh jahat saat melahirkan, disediakan benda-benda yang dianggap mengandung unsur-unsur magis seperti buah kundur, jimat yang terbuat dari untaian jeringo bangle, pisau kecil dan lain-lain.

Saat bayi berumur 7 hari, diadakan upacara mandi ke sungai (mandi kayik) dipimpin oleh dukun yang menolong melahirkan. Dalam upacara tersebut sekaligus diadakan prosesi pemberian nama kepada anak. Kemudian setelah bayi berumur 40 hari dilakukan upacara memoton rambut untuk pertama kalinya yang dilakukan oleh para alim ulama dan Tua-tua tengganai. Selain itu diadakan pula upacara Basuh Tangan, acara tersebut diselenggarakan bersamaan saat sang ibu telah dalam keadaan bersih dan pulih kesehatannya pasca melahirkan. Tujuan dari upacara tersebut adalah sebagai permohonanan supaya sang anak dikaruniai sifat rajin, kuat, gemar bekerja, suka menolong, jujur, patuh, dan sifat-sifat baik lainnya.

Masa Dewasa:
 Setelah anak mencapai umur 6-10 tahun, khusus bagi anak laki-laki diadakan upacara khitanan (sunat), sedangkan bagi anak perempuan dilkukan upacara Batindik (melubangi telinga). Upacara pendewasaan tersebut biasanya dilakukan bersamaan dengan tradisi Khatam Quran sebagai bekal hidup dalam masa dewasa.

Upacara Perkawinan: Rangkaian upacara ini diawali dengan adat pergaulan anatara pemuda dan perempuan yang dikenal dengan itilah Berserambahan. Dalam acara ini mereka memperlihatkan keahlian berpantun yang disebut Seloka Muda, Setelah keduanya sepakat untuk menikah, maka berlaku tahap berikutnya:


  1. Berusik sirih bergurau pinang: Merupakan tahap menjajaki perasaan masing-masing pihak untuk mengetahui apakah hubungan dapat dilanjutkan dengan perkawinan.
  2. Duduk bertuik, tegak bertanyo: merupakan tahap untuk mengetahui keadaan gadis yang menyangkut silslah, budi pekerti, sopan santun pergaulan, serta kemungkinan persetujuan orangtuanya.
  3. Ikat buatan janji semayo: adalah musyawarah resmi keluarga kedua belah pihak untuk membicrakan waktu pertunangan dan perkawinan.
  4. Ulur antarserah terimo pusako: yaitu pihak laki-laki menepati janji dengan mengantarkan barang-barang ke rumah si gadis sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
  5. Sebagai inti dari suatu upacara pernikahan terjadi pada saat Sedekah Labuh, yang mana pada aat itu perkawinan diresmikan dengan akad nikah dan akad Kabul di hadapan seorang pemuka agama.

Upacara Kematian: Saat menghadapi masa kritis, manusia perlu melakukan suatu perbuatan untuk memperteguh iman dan menguatkan dirinya. Dalam hal ini, menurut kepercayaan setempat perlu diadakan upacara pengucapan mantra-mantra secara bersama-sama yang dipimpin oleh seorang dukun. Atau menurut agama Islam diwujudkan dalam bentuk pembacaan Bardah dan Surat Yasin oleh seorang pemuka agama. Begitu orang yang bersangkutan wafat, kembali dibacakan ayat-ayat suci oleh salah seorang keluarganya.

Keluarga yang terkena musibah wajib memberitahukan berita dukacita itu kepada kepala kaum kerabatnya (tua tengganai) dan Imam Masjid. Setelah itu jenazah dimandikan, dibalut kain kafan, dan disholatkan. Setelah itu jenazah bisa disemayamkan dan dipasang batu nian serta ditutup dengan pembacaan doa. Pada malam harinya diselenggarakan pengajian dan tahlil selama 3-7 malam oleh kerabat dan tetangga dekat orang yang meninggal. Pada hari ke-7 setelah kematian diadakan upacara Naik Tanah yaitu memperbaiki tanah perkuburan. Rangkaian upacara tersebut diakhiri dengan makan bersama (sedekah selamatan) untuk memperingati orang yang meninggal.

Disamping upacaraupacara yang berkaitan dengan lingkungan hidup manusia, masyarakat Jambi juga mengenal beberapa upacara tradisional lainnya. Jenis upacara ini diselenggarakan berkenaan dengan aktivitas hidup mereka sehari-hari antara lain:
  • Mintak ahi ujan: adalah suatu kegiatan yang dilakukan dalam rangka untuk meminta hujan segera turun. Upacara ini mengandung unsur sinkretis antara kepercayaan nenek moyang dan agama Islam yang mana upacara ini ditujukan kepada dewa (mambang) yang mengatur hujan. Sedangkan dari segi agama ditandai dengan sembahyang secara agama Islam untuk meminta hujan.
  • Nugal Bejolo: yaitu upacara sehubungan dengan pekerjaan menanam padi, yang sangat penting artinya sebagai pengukuhan nilai-nilai budaya yang berlaku turun-temurun. Upacara ini juga menonjolkan aspek social lainnya, yakni memberi kesempatan bagi muda-mudi untuk bergaul lebih akrab.
  • Kumau: juga merupakan suatu upacara yang berkaitan dengan bidang pertanian. Upacara ini diselenggarakan saat penduduk hendak memulai kegiatan bersawah dan biasanya diselenggarakan setahun sekali pada musim hujan. Adapun tahap-tahap dalam upacara ini adalah: Ngapak Jambe (membuka lahan), nyiram, beneih padei, (menyiram benih padi yang akan ditanam dengan air bermantra), ngambau beneih (menabur benih padi di sawah) dan mamasang pupuh (memasang daun-daunan di tengah lading persemaian).
  • Ngayun luci: merupakan upacara yang juga berkaitan dengan pertanian. Tujuannya adalah untuk memohon keberhasilan panen.

Disamping itu masih ada beberapa upacara lainnya yang terutama berkenaan dengan aktivitas pertanian sebagai mata pencaharian pokok penduduk seperti: Nanak, ulu tahun, Beselang nuai dan turun ke sawah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar