STRATEGI DAN UPAYA MENJAGA KEUTUHAN BANGSA DAN MENCEGAH DIS-INTEGRASI NASIONAL
Posted by orangbuton pada 15 Maret 2009
I. Latar Belakang
Mencermati
pidato Presiden RI dalam rangka memperingati HUT Proklamasi RI Ke-58
tentang keadaan bangsa dewasa ini yang seakan-akan seluruh warga
dihimbau untuk kembali mempertanyakan jatidiri kita sebagai bangsa Indondesia serta arah kemana
tujuan bangsa kita dimasa depan. Dalam usianya yang saat ini telah
mencapai hampi 59 tahun, dengan penuh keprihatinan kita mengahadapi
kenyataan bahwa berbagai kesepakatan bangsa yang dicetuskan oleh
“founding fathers” dengan melahirkan Indonesia sebagai satu bangsa dan
satu Negara, sedang menghadapi berbagai tantangan berat yang harus mampu
kita kelola dengan baik agar agar jiwa kebangsaan dan NKRI tidak
lenyap.
Kenyataan
empiric telah memperlihatkan bahwa berbagai gejolak yang terjadi di
daerah apabila tidak di tangani secara cerdas akhirnya akan bermuara
pada satu titik yaitu pemisahan diri dari NKRI. Contoh kasus telah
terjadi dengan pemisahan diri Timor-Timur dengan Fretelin-nya yang
perilakunya kemudian coba dikuti oleh Papua dengan OPM-nya,
Maluku dengan RMS-nya dan Aceh dengan GAM-nya. Tantangan ini apabila
tidak ditangani dengan tegas dan cerdas bukan tidak mungkin akan
menjalar keberbagai daerah lain di Indonesia. Untuk dapat menjawab
tantangan tersebut dan dapat memberi penanganan yang tepat dan
komprehensif, tentunya dibutuhkan pengetahuan dan pemahaman yang tepat
dan komprehansif pula tentang akar dari semua permasalahan yang terjadi
sehingga mengapa kemudian daerah-daerah bergejolak tersebut terdorong
melakukan gerkan kearah des-integrasi bangsa.
Integrasi
bangsa adalah landasan bagi tegaknya sebuah negara modern. Keutuhan
wilayah negara amat ditentukan oleh kemampuan para pemimpin dan
masyarakat warga negara untuk memelihara komitmen kebersamaan sebagai
suatu bangsa. Karena itu, secara teoretik dipahami bahwa ancaman paling
serius terhadap integrasi bangsa adalah disharmoni sosial, sedangkan
ancaman paling nyata terhadap eksistensi wilayah negara adalah gerakan
separatisme. Kedua ancaman itu sering kali bercampur baur. Karena,
disharmoni sosial yang sudah meluas menjadi konflik yang mengambil
bentuk kekerasan akan serta merta menarik garis-garis demarkasi
teritorial.
Penampakan
garis-garis itu akan cepat menjadi jelas bila pihak-pihak yang terlibat
konflik merupakan representasi dari komunitas-komunitas besar yang
mendominasi wilayah-wilayah tertentu. Bila ini terjadi, maka proses
disintegrasi wilayah yang dimulai oleh disintegrasi sosial akan secara
simultan membawa bangsa itu ke jurang disintegrasi nasional.
Tesis
ini adalah sebuah penyederhanaan. Dalam kenyataan, meski tesis ini
selalu hadir, sebuah skenario disintegrasi bangsa selalu berlangsung
melalui interaksi berbagai faktor yang lebih kompleks. Proses itu
dimulai dengan lahirnya berbagai faktor penyebab dari terjadinya
disharmoni sosial, bagaimana suasana disharmoni itu bergerak ke arah
konflik kekerasan, faktor apa yang menghambat upaya peredaan konflik,
dan faktor apa yang mempercepat proses disintegrasi itu.
Dalam
konteks ini perlu dipahami, bangsa dan negara hanyalah sebuah
konsensus. Bila konsensus tidak lagi diakui, maka eksistensi bangsa
dengan sendirinya hilang, dan bersamaan dengan itu negara pun akan
rontok. Manusia dan masyarakat yang sebelumnya pernah sepakat menjadi
satu bangsa mungkin masih tetap eksis, tetapi mereka tidak lagi terikat
dalam ikatan kebangsaan yang sama. Demikian pula halnya dengan territori
negara yang secara fisik tetap ada, namun garis-garis demarkasi yang
sebelumnya pernah diakui bersama sudah berubah.
Dari
berbagai fenomena diatas maka, memang perlu ada perbaikan-perbaikan
yang dilakukan dalam kebijakan pemerintah untuk mengatasi masalah
di-integrasi bangsa ini. Kebijakan yang diambil seharusnya memperhatikan
akar dari masalah dis-integrasi bangasa ini dan jangan hanya melihat
akibat dari akar masalah tersebut.
Arti Analisis Kebijakan itu sendiri menurut E.S Quade dalam William N. Dunn (2000; 95) adalah :
Suatu
bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian
rupa sehingga dapat memberilandasan bagi para pembuat kebijakan dalam
membuat keputusan keputusan….. Dalam analisis kebijakan kata analisis
digunakan dalam pengertian paling umum; termasuk penggunaan intuisi dan
pengungkapan pendapat dan mencakup tidak hanya pengujian kebijakan
dengan memilah-milahkannya kedalam sejumlah komponen tetapi juga
perancangan dan sintesis alternartif-alternatif baru. Kegiatan-kegiatan yang tercakup dapat direntangkan mulai dari penelitian untuk menjelaskan atau memberikan pandangan-pandangan terhadap isu-isu atau masalah-masalah yang terantisipasi sampai mengevaluasi suatu program yang lengkap………………………………..
Dengan melihat bahwa kebijakan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah dalam mengatasi persoalan di-ntegrasi bangsa saat ini, maka fungsi analisa yang dijalankan adalah Policy Action.
Adapun fungsi-fungsi dalam policy action meliputi : Actuating,
Coordinating, motivating, Budgeting, Human relation, dan Decition
making.
Untuk
mendapatkan informasi dalam tulisan, kami menggunakan 3 (tiga)
pendekatan yaitu empiris, evaluatif dan normatif. Empiris adalah
menjelaskan sebab akibat dari kebijaksanaan publik ; evaluatif adalah
berkenaan dengan penentuan nilai dari beberapa kebijaksanaan ; dan
normatif adalah pengusulan arah dan tindakan yang akan memecahkan
problem-problem kebijaksanaan. (William N. Dunn, 47 : 1998).
Selain pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini, kami juga mencoba
menggunakan prosedur-prosedur dalam analisa kebijakan yang dimulai dari
pemantauan, evaluasi, perumusan masalah, peramalan dan rekomendasi,
sehingga memungkinkan kita dapat menghasilkan informasi mengenai
kemungkinan bahwa arah tindakan dimasa yang akan diambil yang datang menimbulkan akibat-akibat yang bernilai.
II. Lingkup Dan Ragam Masalah
Karena luasnya permasalahan dalam analisis kebijakan yang harus dikaji dan keterbatasan waktu, maka dalam tulisan ini kami tidak akan menganalisis semua kebijakan pemerintah dalam
mempertahankan integritas teritorial Indonesia tapi hanya pembatasi
diri pada permasalahan yang menurut kami patut untuk mendapatkan
renungan. Dari kajian kami terhadap berbagai kasus disintegrasi bangsa dan bubarnya sebuah negara, dapat ditemukan lima faktor utama yang secara gradual bisa menjadi penyebab utama proses itu.
· Krisis ekonomi yang akut dan berlangsung lama
· Krisis politik berupa perpecahan elite di tingkat nasional
· Krisis
sosial yang dimulai dari terjadinya disharmoni dan bermuara pada
meletusnya konflik kekerasan di antara kelompok-kelompok masyarakat
· Intervensi internasional yang bertujuan memecah-belah
· Demoralisasi
aparat negara dalam bentuk pupusnya keyakinan mereka atas makna
pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya sebagai peerejkat persatuan dan
kesatuan bangsa.
III. Pernyataan Masalah
Pertama,
krisis ekonomi yang akut dan berlangsung lama. Krisis di sektor ini
selalu merupakan faktor amat signifikan dalam mengawali lahirnya krisis
yang lain (politik-pemerintahan, hukum, dan sosial). Secara garis besar,
krisis ekonomi ditandai merosotnya daya beli masyarakat akibat inflasi
dan terpuruknya nilai tukar, turunnya kemampuan produksi akibat naiknya
biaya modal, dan terhambatnya kegiatan perdagangan dan jasa akibat
rendahnya daya saing. Muara dari semua ini adalah tutupnya berbagai
sektor usaha dan membesarnya jumlah penganggur dalam masyarakat.
Dalam
keadaan seperti ini, harapan satu-satunya adalah investasi melalui
proyek-proyek pemerintah, misalnya, untuk pembangunan infrastruktur
transportasi secara besar-besaran sebagai upaya menampung tenaga kerja
dan memutar roda ekonomi. Namun, ini memerlukan syarat adanya
kepemimpinan nasional yang kreatif dan terpercaya karena integritasnya,
tersedianya cadangan dana pemerintah yang cukup, serta bantuan teknis
melalui komitmen internasional. Tanpa terobosan investasi baru, krisis
ekonomi akan berlanjut. Biasanya, krisis ekonomi yang berkepanjangan dan
tak teratasi akan menciptakan ketegangan-ketegangan baru dalam hubungan
antar-elite. Mereka akan berlomba untuk saling menyalahkan dan mencari
kambing hitam. Pada saat yang sama, krisis ekonomi akan memperlemah
kemampuan negara untuk menutupi berbagai ongkos pengelolaan kekuasaan
dan pemeliharaan berbagai fasilitas umum.
Akibatnya,
akan terbentuk rasa tidak puas yang luas, baik dari mereka yang menjadi
bagian dari kekuasaan itu sendiri (pegawai negeri dan tentara/ polisi)
maupun warga masyarakat. Bila situasi ini tidak berhasil diatasi oleh
mekanisme sistem politik yang berlaku, maka krisis politik akan sulit
dihindari.
Kedua,
krisis politik berupa perpecahan elite di tingkat nasional, sehingga
menyulitkan lahirnya kebijakan yang utuh dalam mengatasi krisis ekonomi.
Krisis politik juga bisa dilihat dari absennya kepemimpinan politik
yang mampu membangun solidaritas sosial untuk secara solid menghadapi
krisis ekonomi. Dalam situasi di mana perpecahan elite pusat makin
meluas dan kepemimpinan nasional makin tidak efektif, maka kemampuan
pemerintah dalam memberi pelayanan publik akan makin merosot. Akibatnya
kepercayaan masyarakat kepada pemerintah akan semakin menipis.
Keadaan
ini biasa menjadi pemicu lahirnya gerakan-gerakan massal
anti-pemerintah yang terorganisasi. Bila gerakan-gerakan itu menguat dan
pada saat sama lahir gerakan massa tandingan yang bersifat kontra
terhadap satu sama lain-apalagi jika terjadi bentrokan fisik yang
intensif di antara mereka, atau antara massa dengan aparat keamanan
negara-maka perpecahan di antara top elite di pusat kekuasaan makin tak
terhindarkan. Jurang komunikasi akan makin lebar. Dalam situasi di mana
kebencian dan saling curiga antarkelompok sudah amat mengental, tidak
ada satu pihak pun yang memiliki legitimasi untuk memprakarsai upaya
rekonsiliasi.
Akibatnya,
jalan menuju rontoknya bangunan kekuasaan di tingkat pusat akan semakin
lempang. Perkembangan ini secara otomatik akan mendorong penguatan
potensi gerakan-gerakan separatisme. Gerakan ini bisa menguat dari
wilayah yang sudah sejak lama menyimpan bibit-bibit mikro nasionalisme,
bisa juga dari wilayah yang sama sekali tidak memiliki bibit itu, namun
terdorong oleh kalkulasi logis mereka ketika berhadapan dengan situasi
yang bersifat fait a compli. Yang terakhir ini merupakan
kesadaran yang lahir secara kondisional dari para pemimpin di
wilayah-wilayah yang relatif jauh dari pusat kekuasaan berdasarkan
asumsi: daripada mengikuti pemerintahan yang sudah rontok di pusat,
lebih baik kami memisahkan diri.
Ketiga,
krisis sosial dimulai dari terjadinya disharmoni dan bermuara pada
meletusnya konflik kekerasan di antara kelompok-kelompok masyarakat
(suku, agama, ras). Jadi, di kala krisis ekonomi sudah semakin parah,
yang akibatnya antara lain terlihat melalui rontoknya berbagai sektor
usaha, naiknya jumlah penganggur, dan meroketnya harga berbagai produk,
maka kriminalitas pun akan meningkat dan berbagai ketegangan sosial
menjadi sulit dihindari. Dalam situasi seperti ini, hukum akan terancam
supremasinya dan kohensi sosial terancam robek. Suasana kebersamaan akan
pupus dan rasa saling percaya akan terus menipis. Sebagai gantinya,
eksklusivisme, entah berdasar agama, ras, suku, atau kelas yang dibumbui
sikap saling curiga yang terus menyebar dalam hubungan antarkelompok.
Bila berbagai ketegangan ini tidak segera diatasi, maka eskalasi konflik
menjadi tak terhindarkan. Disharmoni sosial pun dengan mudah akan
menyebar. Modal sosial berupa suasana saling percaya, yang merupakan
landasan bagi eksistensi sebuah masyarakat bangsa, perlahan-lahan akan
hancur.
Keempat,
intervensi internasional yang bertujuan memecah-belah, seraya mengambil
keuntungan dari perpecahan itu melalui dominasi pengaruhnya terhadap
kebijakan politik dan ekonomi negara-negara baru pascadisintegrasi.
Intervensi itu bergerak dari yang paling lunak, berupa pemberian advis
yang membingungkan kepada pemerintah nasional yang pada dasarnya sudah
kehilangan arah; ke bentuk yang agak kenyal, berupa provokasi terhadap
kelompok-kelompok yang berkonflik; hingga yang paling keras, berupa
suplai kebutuhan material untuk memperkuat kelompok-kelompok yang
berkonflik itu. Proses intervensi terakhir ini amat mungkin terjadi saat
pemerintah nasional sudah benar-benar tak berdaya mengontrol lalu
lintas informasi, komunikasi, mobilitas sosial, serta transportasi
darat, laut, dan udara. Bila ini terjadi, maka jalan menuju disintegrasi
semakin jelas, hanya menunggu waktu sebelum menjadi kenyataan.
Kelima,
demoralisasi birokrasi sipil, tentara dan polisi dalam bentuk pupusnya
keyakinan mereka atas makna pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya
sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat. Demoralisasi itu, pada kadar
yang rendah dipengaruhi oleh merosotnya nilai gaji yang mereka terima
akibat krisis ekonomi.
Kemerosotan
itu umumnya terjadi akibat inflasi. Tetapi dalam kasus tertentu hal itu
diakibatkan oleh kebijakan pemerintah untuk menurunkan gaji mereka atau
membayar kurang dari 100 persen dan sisanya menjadi utang pemerintah.
Pada tingkat tinggi, demoralisasi itu berupa hilangnya kepercayaan
mereka terhadap nilai pengabdian setelah mengalami tekanan-tekanan
psikologis yang berat dalam waktu lama akibat krisis politik yang akut.
Dalam situasi seperti ini, tentara dan polisi yang seyogianya mencegah
konflik sosial malah bisa tergiring untuk mengambil bagian dalam konflik
itu dengan berbagai alasan. Secara teoretik, ketika negara tidak lagi
memberi harga yang pantas terhadap pengorbanan tentara dan polisi dalam
menjaga integrasi bangsa, maka tempat paling aman bagi segmen-segmen
tertentu dari mereka adalah kelompok-kelompok sosial di mana mereka bisa
mengidentikkan dirinya. Karena itu, demoralisasi tentara dan polisi
amat rawan terhadap perluasan dan intensitas konflik sosial yang sedang
terjadi. Keterlibatan yang luas dari tentara dan polisi dalam konflik
sosial akan mengkonversi konflik itu sendiri menjadi perang saudara yang
justru merupakan episode terakhir dari proses disintegrasi bangsa dan
keruntuhan sebuah negara.
IV.Alternatif Kebijakan
- Hampir semua ahli ekonomi yang melihat fenomena krisis ekonomi di Indonesia sependapat bahwa akar dari krisis ekonomi yang berkepenjangan di Indonesia adalah karena disebabkan oleh distribusi penguasaan asset-aset perekonomian yang tidak merata. Oleh karena itu kebijakan ekonomi Indonesia yang selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru dan sampai saat ini masih bertumpu pada penguasaan modal oleh segelintir konglomerat harus segera mulai diarahkan pada kepada ekonomi yang yang bercorak kerakyatan dengan koperasi sebagai lokomotifnya sesuai amanat UUD 1945.
- Perpecahan yang terjadi antara elit ditingkat nasional telah merembes sampai ketingkat paling rendah dari struktur negara yang pada gilirannya membuat bargaining potition Negara menjadi semakin lemah dalam menghadapi berbagai tuntutan separatisme karena perbedaan konsep antar elit tersebut tidak dapat diformulasikan menjadi suatu kebijakan bersama yang saling memberi kekuatan untuk kepentingan bersama. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan untuk dapat membuat system yang saling memberi kekuatan bagi elit nasional dalam menghadapi permasalahan bersama dengan semangat chek and balances.
- Krisis sosial dan disharmoni antara warga masyarakat dalam suatu pada umumnya dimulai dari adanya rasa ketidak adilan sosial diantara warga masyarakat dan rasa tidak aman untuk hidup bersasma sebagai satu masyarakat. Dalam masyarakat dengan kondisi seperti ini akan sangat rentan terhadap provokasi dari pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang menginginkan terjadinya dis-integrasi bangsa. Untuk itu harus dapat dirumuskan suatu kebijakan yang dapat menjamin rasa aman dan rasa keadilan warga masyarakat yang tidak lain adalah penegakkan hukum secara adil dan jaminan bagi warga Negara untuk memiliki kedudukan yang sama didepan hukum.
- Dalam era globalisasi seperti sekarang ini saling ketergantungan antar bangsa dan antar Negara adalah sesuatu yang lumrah terjadi. Yang menjadi masalah adalah apabila ketergantungan tersebut menjadi tidak seimbang pihak yang kuat akan terdorong untuk mengendalikan pihak yang tergantung padanya untuk keuntungannya sendiri tanpa peduli nasib pihak yang tergantung padanya tersebut. Untuk bagi bangsa Indonesia yang ingin tetap berdiri tegak dalam pergaulan global dunia harus dapat memformulasikan suatu kebijakan yang yang dapat menjamin ketahanan nasional terhadap ketergantungan dari pihak luar secara berlebihan.
- Aparatur Negara baik sipil, polisi maupun tentara mempunyai kedudukan yang sangat dominan bagi kelangsungan hidup suatu Negara. Dengan aparatur Negara yang baik maka kalangsungan hidup Negara dapat dijaga dengan baik. Untuk itu maka dalam kebijakan Negara harus dapat menjamin aparatur Negara dapat hidup secara cukup sehingga segala daya dan upayanya hanya ditujukan bagi kelangsungan Negara.
V. Rekomendasi Kebijakan
Untuk
itu maka strategi dan upaya yang kami rekomendasikan dalam menjaga
keutuhan bangsa dan mencegak disintegrasi nasional adalah sebagai
berikut ;
- Dalam kebijakan Negara harus dapat memberikan keadilan dan pemerataan ekonomi bagi seluruh warganya. Dalam kasus Indonesia harus ada kebijakan untuk merestrukturisasi penguasaan asset nasional yang tidak seimbang dengan memberi peluang bagi masyarakat luas untuk mempunyai akses terhadap modal dari perbankan.
- Dalam kebijakan Negara harus dapat mengatur suatu system politik yang mengakomodir adanya perbedaan dengan tetap mengedepankan persatuan dan kesatuan. Dalam kasus Indonesia system rekruitmen elit nasional baik eksekutif, legislative maupun yudikatif sedapat mungkin harus dilakukan secara transparan serta susunan dan kedudukan antara lembaga-lembaga Negara harus dapat mengatur dengan jelas batas-batas kewenangan masing-masing lembaga tidak ada ketidak jelasan tumpang tindih kewenangan antar lembaga Negara.
- Dalam kebijakan Negara harus mengutamakan penegakan hukum dengan keharusan menempatkan setiap warga Negara mempunyai kedudukan yang sam didepan hukum dan memperoleh kepastian hukum secara adil.
- Dalam kebijakan negara harus dapat mengatur dan menjamin pertahanan dan keamanan Negara dalam segala segi baik dari struktur maupun infrastrukturnya.
- Dalam kebijakan Negara harus dapat menjamin pemberian revenue bagi aparatur negara karena hanya apabila terpenuhi kebutuhanya secara cukup aparatur Negara dapat bekerja secar optimal dalam menjaga kelangsngan hidup Negara.
Daftar Pustaka
Suradinata Ermaya, 2003, Fenomena Disintegrasi Bangsa, Seminar nasional Dalam rangka PPM Angk. XI dan Dies Natalis XIII STPDN
Dunn William N. terj. Muhajir Darwin,1998, Analisa Kebijakan Publik, PT. Hanindita Graha Widya, Yogyakarta
Gautama, Chandra dan Marbun, B.N., 2000, Hak Asasi Manusia Penyelenggaraan Negara Yang Baik dan Masyarakat Warga, Komnas HAM
Permana, Setia,2003, Mempertanyakan Kembali Pluralisme Indonesia, Pikiran Rakyat 7 April 2003
Rasyid, Ryas,1998, Nasionalisme dan Demokrasi Indonesia Menghadapi Tantangan Globalisasi, PT. Yasrif Watampone, Jakarta
Rasyid,Madjid, Mahendra, 1998, Pemerintahan yang Amanah, PT.BINA RENA PARIWARA, Jakarta
Rasyid, Ryas, 2001, Faktor-faktor Penyebab Disintegrasi Bangsa dan Bubarnya Suatu Negara,Kompas 27 September 2001.
Suradinata, Ermaya, 2003, Fenomena Disintegrasi Bangsa, Seminar nasional Dalam rangka PPM Angk. XI dan Dies Natalis XIII STPDN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar