Simpati dan Empati: Dua Sifat Pribadi Jurnalis
Tommy Satriadi Nur Arifin Erawan
Sejak manusia merasakan adanya kebutuhan dalam pemenuhan kebutuhan
informasi, sejak itulah manusia selalu melakukan ‘perburuan’ terhadap
informasi-informasi yang ada. Terutama informasi yang memiliki hubungan
langsung dengan kehidupan konsumen informasi tersebut.
Terkadang pers menangkap hal seperti fenomena di atas sebagai jalan
keluar mereka menjadi sebuah media yang kuat di mata masyarakat. Kuat,
bahwa media ini akan selalu dipilih masyarakat dalam pencarian informasi
terbaru.
Namun dibalik itu semua, pers juga secara tidak langsung bisa
‘menipu’ mata masyarakat luas dengan pemberitaan yang melebih-lebihkan.
Inilah yang menjadi masalah bagi pengetahuan informasi masyarakat. Bukan
tidak mungkin bahwa masyarakat akan menjadi salah persepsi serta
menjadi buta akan informasi yang benar.
Tanggung jawab pers sangat dibutuhkan disini, ketika pers merupakan
hal yang berorientasi pada bisnis, ia akan menjadikan berita sebagai
bahan tulisan yang ‘buta’ akan kepedulian dan kepentingan orang lain.
Masyarakat pun akan terbius sehingga mempercayai terus apa yang
dikatakan media.
Kegiatan jurnalistik memang berusaha untuk terus memproduksi fakta.
Bagi pribadi jurnalis pun, bahasa pun merupakan alat untuk menggambarkan
sebuah realitas di masyarakat. Menggambarkan suatu keadaan masyarakat
dengan kata-kata mampu untuk menceritakan secara nyata apa yang terjadi
pada konsumen informasi di tempat kejadian. Pemilihan kata, kalimat atau
ungkapan-ungkapan tertentu dapat menghasilkan makna tertentu.
Pembelajaran sifat simpati dan empati dalam jurnalistik memang tidak
diajarkan secara teori, bahkan praktiknya. Namun, siapa sangka bahwa
jurnalistik sebenarnya memiliki sifat yang sangat menyentuh dalam
pekerjaannya. Seorang jurnalis harus bisa berbaur dengan masyarakat
dengan tingkatan yang berbeda-beda, pengetahuan yang berbeda, bahkan
hingga kebudayaan yang berbeda. Hal seperti inilah seorang jurnalis
benar-benar diuji bagaimana ia mampu bertahan di tengah orang-orang yang
tidak dikenalinya namun mampu untuk membawa kebenaran dari berita yang
akan ia tuliskan.
Kelemahan dari tidak adanya teori dan praktik dalam jurnalistik
membuat banyak praktisi jurnalistik melupakan hal-hal yang bersifat
manusiawi. Sangat tidak etis di mata masyarakat luas apabila seorang
jurnalis justru memiliki cara yang bisa dikatakan kasar dalam prosesnya
mencari berita. Contoh mudah saja, praktisi jurnalistik yang tidak
mematuhi kode etik jurnalistik.
Contoh ini pernah didengar dari seorang dosen, kasus pembunuhan pada
sekitar tahun 2009 oleh pelaku bernama Ryan asal Jombang, Jawa Timur.
Pada awalnya Ryan tinggal bersama keluarganya yang sederhana hingga ia
dijadikan tersangka oleh polisis sebagai pelaku pembunuhan. Sebagai
media, usaha untuk memberitakan tetap ada, namun kesan berlebihan hingga
kebosanan muncul pada pemberitaan. Rumah tempat tinggal sederhana
disulap menjadi ‘panggung’ yang memancing masyarakat sekitar menonton
hingga berdesakan. Bagaimana perasaan hingga beban mental yang diderita
keluarga Ryan tidak satupun media yang mengangkatnya menjadi berita.
Definisi Simpati
Simpati adalah ketertarikan seseorang kepada orang lain hingga mampu
merasakan perasaan orang lain tersebut. Contoh: membantu orang lain yang
terkena musibah hingga memunculkan emosional yang mampu merasakan orang
yang terkena musibah tersebut.
Jurnalistik memang diakui sebagai ilmu yang berusaha membantu banyak
orang; membantu masyarakat memperoleh informasi melalui hasil
jurnalistik, dan juga membantu masyarakat untuk membagi perasaannya
ketika mengalami masalah yang tidak bisa dipecahkan sendiri. Ternyata
selain membutuhkan simpati, jurnalistik juga mengundang simpati orang
lain.
Seorang praktisi jurnalis memberitakan seorang korban bencana alam,
secara tidak langsung sangat membantu korban tersebut untuk memperoleh
bantuan secara materi dari orang yang melihat beritanya. Entah seperti
apa nasibnya apabila korban bencana alam tersebut tidak diberitakan
secara mendalam melewati hati nurani, namun hanya diberitakan sebatas
wacana informasi atas suatu kejadian.
Simpati dibutuhkan oleh praktisi jurnalistik dalam pekerjaannya. Ini
karena pekerjaan jurnalistik adalah pekerjaan yang harus berhubungan
dengan banyak orang, berbeda latar,pengetahuan kebudayaan, bahkan
berbeda tingkat emosi. Praktisi jurnalis yang hanya menggunakan teknik
wawancara dan sebagainya akan gagal melakukan pekerjaannya karena hal
seperti itu hanya akan berasa seperti gangguan saja bagi subjek berita.
Contoh sederhana dapat dilihat dari sini. Seorang pejabat desa yang
rendah meninggal karena bunuh diri dan penyebab diketahui sebagai
terdakwa korupsi. Seorang jurnalis tentunya tidak pantas langsung
percaya begitu saja dengan berita awal tersebut. Ia harus mampu untuk
berdiri di tengah kesedihan keluarganya, berdiri di tengah kesibukan
pihak berwajib, dan sebagainya. Itu semuanya dilakukan dengan sikap
seorang yang bersimpati terhadap kejadian bunuh diri tersebut. Bagaimana
apabila seorang jurnalis tanpa berbelasungkawa langsung mewawancarai
kejadian tersebut tanpa ada rasa simpati terhadap keluarga yang
ditinggalkan?
Itulah mengapa sikap simpati sangat dibutuhkan oleh setiap praktisi
jurnalis. Simpati merupakan cara paling efektif dalam memperoleh
hubungan dengan seseorang yang pertama kali. Bahkan ketika bertemu
dengan orang yang terkena musibah, simpati merupakan sikap yang sangat
baik terhadap orang tersebut.
Definisi Empati
Empati adalah pendalaman dari rasa simpati yang mampu mempengaruhi
pada kondisi fisik dan mental seseorang. Contoh: tangis sedih ketika
melihat saudara-saudara yang tertimpa musibah hingga kehilangan nyawa.
Melalui empati, seseorang dalam merasakan perasaan serta beban mental
orang lain akan lebih terasa, bahkan dapat dikatakan bahwa kita juga
mendapat perasaan serta beban mental tersebut. Dengan perasaan empati
seperti itu, seorang jurnalis akan merasa jauh lebih mudah dalam
mendapatkan berita dari seseorang yang terkena musibah.
Empati lebih ditekankan dalam keadaan yang khusus, misal, ketika ada
penggusuran lahan tinggal, atau ketika baru saja terjadi bencana alam.
Seorang jurnalis seharusnya tidak hanya memberitakannya kejadian di
sana, namun, jurnalis tersebut diharapkan juga membantu para korban
dalam upaya mengurangi beban secara fisik dan mental.
Empati dan simpati ini bersifat manusiawi. Dalam pekerjaannya,
jurnalis merupakan pekerjaan yang menuntut untuk berbuat serta berpikir.
Seperti dikatakan sebelumnya, jurnalis juga manusia. Manusia yang mampu
untuk berpikir serta memiliki pandangan hidup yang berbeda-beda. Hal
inilah yang membedakan antara jurnalis satu dengan yang lain. Kualitas
hati yang digunakan dalam praktiknya akan sangat berpengaruh besar
terhadap perbuatannya dalam melakukan pekerjaannya.
Misal, dua jurnalis yang dikirim pada suatu kasus sosial. Dua
jurnalis ini sama-sama memiliki ilmu yang hebat dalam jurnalistik.
Pembedanya adalah, salah satu jurnalistik ini hanya terpaku pada pedoman
jurnalistik tanpa mempedulikan keadaan lingkungan sekitar, karena itu
informasi yang ia peroleh hanyalah berasal dari orang-orang yang
benar-benar mau bekerja sama dengannya. Berbeda dengan jurnalis lainnya.
Ia berusaha mendekatkan diri pada korban, keluarga korban, dan kerabat
dekatnya, ia juga merasakan hal yang sama dirasakan oleh korban, karena
itu bagi keluarga korban dan kerabat-kerabatnya, jurnalis tersebut
merupakan teman yang baik, dan bisa untuk berbagi kesedihan. Inilah
perbedaan mendasar dari dua orang jurnalis dengan sudut pandang hati
nurani.
Praktik Pengaplikasian Simpati dan Empati dalam Jurnalistik Indonesia
Sesuai dengan yang dikatakan sebelumnya yaitu, simpati dan empati
merupakan hal yang bersifat manusiawi dan adaptif. Maka dari itu, untuk
menggunakannya secara optimal pada pencarian suatu berita, seorang
jurnalis harus membutuhkan pengalaman dalam dunia jurnalis
Dalam tulisan berjudul ‘Ketika Jurnalisme Kehilangan Empati’ oleh
kippas.wordpress.com dikatakan penerapan jurnalistik empati adalah
melalui metode reportase dalam mengeksplorasi fakta-fakta publik melalui
sudut pandang dan fokus perhatian. Sudut pandang merupakan cara untuk
menentukan subyek yang nantinya subyek ini akan menunjukan subyek lain
sebagai titik tolak dalam pemaparan sebagai berita. Atau berusaha
mencari narasumber kejadian berdasarkan orang yang mengerti akan
kejadian tersebut. Ataupun melalui metode partisipatoris, yaitu dengan
menghadapi sebuah subjek berita bukan hanya sebatasa dari korban sebuah
kejadian, namun lebih dirasakan sebagai sebuah fenomena sosial yang
memiliki dimensi struktural, serta mengupayakan keadilan dalam kasus
yang dihadapinya.
Dengan tulisan ini, disebutkan pula praktik jurnalistik yang
benar-benar mengakui adanya kebutuhan empati dalam kegiatannya.
Jurnalistik empati dikenal sebagai salah satu praktik jurnalistik yang
tidak secara langsung mengincar beritanya saja, namun juga kepedulian
terhadap subjek berita yang mengalami masalah, serta bagaimana seorang
jurnalis ini membantu memecahkan masalah subjek berita tersebut.
Simpati dan Empati kadang menjadi hal yang terlupakan dalam praktik
jurnalistik, khususnya Indonesia. Praktik simpati dan empati dalam
jurnalistik seringkali tidak dipedulikan. Hal ini kadang menjadi sebuah
nilai yang buruk bagi pers Indonesia.
Pers pada dasarnya menjadi sebuah identitas Negara yang sangat
penting. Pers menunjukan sebuah ideologi yang akan dikenal oleh
masyarakat, dalam dan luar negeri. Bagaimana apabila pers yang kita
banggakan justru tidak memiliki simpati dan empati dalam pekerjaannya?
Media tetap memberikan andil yang besar terhadap perbuatan masyarakat
karena berita yang disebarkan. Karena itu, kontrol media dalam
memberitakan sebuah fakta hendaknya jangan melebih-lebihkan, karena
dampak yang akan terasa ada pada masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar