Kamis, 16 Februari 2012

Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Indonesia: Tantangan Globalisasi

Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Indonesia : Tantangan Globalisasi Buat halaman ini dalam format PDF Cetak halaman ini
Azyumardi Azra
Deputi Sekretaris Wakil Presiden Bidang Kesejahteraan Rakyat
Mengawali makalah ini sebuah pertanyaan yang sering diajukan orang patut kembali saya kemukakan di sini; benarkah ‘nasionalisme' sudah mati? Atau setidaknya, apakah betul ‘nasionalisme' tidak relevan lagi? Dan pertanyaan lebih lanjut; apakah hubungan antara nasionalisme dengan agama-dalam hal ini Islam-dan bahkan dengan etnisitas?

Menjawab pertanyaan pertama, menurut saya "secara imperatif tidak". Orang yang menyatakan riwayat "nasionalisme"-yang dipahami sebagai suatu ideologi-telah tamat, sering mengutip karya klasik Daniel Bell, The End of Ideology (1960); atau lebih akhir lagi, karya Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man (1992).

Kesimpulan Bell yang secara implisit menyatakan bahwa nasionalisme, sebagai ideologi-telah berakhir adalah kekeliruan yang cukup fatal dan distortif. Pendapat Bell justru bertolak belakang. Ringkasnya, menurut Bell, ketika ideologi-ideologi intelektual lama abad ke-19-khususnya Marxisme-telah exhausted (kehabisan tenaga, lumpuh) dalam masyarakat Barat, terutama Eropa Barat dan Amerika, ideologi-ideologi "baru" semacam industrialisasi, modernisasi, Pan-Arabisme, warna kulit (etnisitas), dan nasionalisme justru menemukan momentumnya, khususnya di negara­negara yang baru bangkit di Asia Afrika seusai Perang Dunia II.3

Lebih jauh, dalam pandangan Bell, ideologi-ideologi lama sebagai sistem intelektual yang dapat mengklaim ‘kebenaran' atas pandangan dunia mereka, telah kehilangan raison d'etre-nya di tengah perubahan sosial masyarakat barat yang amat kompleks, khususnya menjelang dan terus berlanjut sampai usainya Perang Dunia II. Ideologi lama kehilangan tenaga karena lenyapnya semangat yang menyala-nyala (passion), sebagai akibat proses rasionalisasi dan antromorfisasi. Pendeknya, ideologi-ideologi lama yang dalam segi-segi tertentu bersifat universalistik, humanistik yang dikonseptualisasikan kaum intelektual, kehilangan "kebenaran" dan kekuatan untuk memikat banyak orang di barat.

Pada pihak lain, ideologi-ideologi baru yang sedang bangkit itu bersifat parokial dan instrumental. Ia dirumuskan, dikonseptualisasikan dan dibentuk para politisi. Impulsi-impulsi yang melatarbelakangi pertumbuhannya terutama adalah pembangunan ekonomi dan kekuatan nasional. Hal ini melibatkan koersi atas seluruh penduduk dan berbarengan dengan muncul dan berkuasanya elit penguasa baru yang menggiring dan memaksa rakyat atas nama kepentingan nasional. Justifikasi pun diberikan; bahwa tanpa koersi dan ‘stabilitas nasional', kemajuan ekonomi tidak bisa dicapai. Tentu saja, di sini muncul persoalan klasik: Apakah negara-negara baru dapat tumbuh dengan mengembangkan institusi-institusi demokratis dan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk membuat pilihan-pilihan sendiri atau apakah elit penguasa baru dengan kekuasaan yang mereka genggam sebaliknya menggunakan cara-cara otoriter memaksakan transformasi masyarakat mereka atas nama kepentingan nasional?

Karya Bell, The End of Ideology, mungkin sudah terlalu klasik; lagi pula, ia tidak secara khusus membahas subyek nasionalisme. Namun jelas, ‘nasionalisme' tidak mati; walau pun ia memang kelihatan surut di negara-negara maju. Simaklah pendapat Hobsbawm, ahli nasionalisme Marxis, dalam bukunya Nations and Nationalism since 1780: Programme, Myth, Reality (1990). Menurutnya, nasionalisme kini memang tidak lagi menjadi kekuatan utama dalam perkembangan historis masyarakat dunia. Ia tidak lagi menjadi program politik global sebagaimana pernah terjadi pada abad XIX dan XX. Namun, ini tidak berarti bahwa nasionalisme tidak lagi mengemuka dalam politik dunia sekarang ini, atau sudah sangat berkurang dibandingkan masa sebelumnya. Nasionalisme dapat menjadi satu faktor yang rumit atau katalis bagi perkembangan lain.4

Namun penting dicatat, pada saat Hobsbawm menulis karyanya tadi, Uni Soviet sedang ambruk; mendorong akselarasi gerakan-gerakan nasionalisme yang amat kuat di berbagai wilayahnya, atau bahkan di Eropa Timur secara keseluruhan. Pada saat yang sama, negara-negara di Timur Tengah juga mengalami gejolak nasionalisme yang lebih hebat dibandingkan masa-masa sebelumnya. Lagi-lagi, pada saat yang sama, jumlah negara-negara baru yang menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terus bertambah sebagai akibat kristalisasi nasionalisme.

Semua gejala ini menjelaskan bahwa nasionalisme sedang mengalami kebangkitan kembali, khususnya di kalangan masyarakat yang berada dalam transisi ke arah kebudayaan industrial. Ini juga merupakan argumen Fukuyama dalam karya terkenalnya, The End of History and The Last Man (1992). Dengan nada mirip Bell dan Hobsbawn, Fukuyama menilai, nasionalisme tidak lagi menjadi kekuatan signifikan dalam sejarah. Ia melihat semakin surutnya nasionalisme ‘lama' di negara-negara demokrasi paling liberal dan maju di Eropa. Kalau pun mereka masih berpegang pada ‘nasionalisme', itu lebih bersifat kultural ketimbang politik, dan karenanya lebih toleran.5

Akan tetapi, Fukuyama juga berargumen, ‘nasionalisme baru' yang lebih politis kini juga sedang bangkit, khususnya di wilayah-wilayah yang baru mulai atau berada pada tingkat pembangunan sosial ekonomi yang relatif rendah. Nasionalisme baru ini cenderung primitif, yakni tidak toleran, chauvinistik, dan secara internal agresif. Ini mempunyai presedennya dalam sejarah. Sebagai contoh, Jerman dan Italia-dua negara paling akhir dalam proses industrialisasi dan bersatu secara politik di Eropa-merupakan tempat tumbuhnya nasionalisme radikal dalam bentuk gerakan fascist ultra-nasionalis. Nasionalisme baru itu juga tumbuh paling kuat di wilayah-wilayah Dunia Ketiga bekas koloni Eropa yang berada dalam tahap awal modernisasi dan industrialisasi. Tidak heran kalau nasionalisme terkuat dewasa ini juga dapat ditemukan di bekas wilayah Uni Soviet dan Eropa Timur, saat industrialisasi datang begitu terlambat, dan identitas-identitas nasional begitu lama terlindas.

Kesimpulannya, nasionalisme tetap bergelora di banyak bagian Dunia Ketiga dan Eropa Timur. Bahkan, dalam segi-segi tertentu, dapat diprediksikan kekuatan gelombangnya hampir sama dengan kebangkitan nasionalisme pada abad ke-19 dan 20. Dan ia akan bertahan lebih lama dibandingkan pengalaman nasionalisme di Eropa Barat dan Amerika. Proses globalisasi yang berlangsung demikian cepat belakangan ini memang kelihatan cenderung melenyapkan batas-batas nasionalisme; namun, pada saat yang sama, ia juga mendorong peningkatan nasionalisme yang diekspresikan dalam berbagai cara dan medium.


Nasionalisme, Modernisme, dan Globalisasi
Bagaimana perkembangan nasionalisme kontemporer di Indonesia? Agak sulit memberikan peta yang pasti dan akurat. Harus diakui, terdapat semacam kelangkaan studi tentang nasionalisme di Indonesia dalam dasawarsa terakhir. Masih langkanya studi tentang subyek ini mengisyaratkan bahwa umumnya para ahli tentang Asia Tenggara agaknya menganggap nasionalisme bukan lagi isu penting bagi kawasan ini. Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa gejolak dan gemuruh nasionalisme yang begitu menyala-nyala sejak awal abad 20 sampai akhir dekade 1960-an, kini semakin menyurut di Asia Tenggara.

Memang, dalam beberapa dasawarsa terakhir, salah satu isu sentral di kawasan ini adalah modernisasi dan industrialisasi atau pembangunan, khususnya di Indonesia. Namun, sejauhmana dampak atau pengaruh modernisasi terhadap nasionalisme?

Modernisasi dan industrialisasi kelihatannya merupakan salah satu faktor penting yang bertanggung jawab bagi menyurutnya nasionalisme di Indonesia. Namun, bertolak belakang dengan argumen Fukuyama tadi, ideologi modernisasi dan developmentalism, secara de facto, menggantikan nasionalisme (politik) yang menjadi ideologi dominan di kawasan ini sebelum tahun 1970-an. Kebutuhan dan pertimbangan-pertimbangan pragmatis untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang direncanakan seolah memaksa Indonesia dan banyak negara berkembang lainnya mengorbankan sentimen nasionalisme mereka vis-à-vis kekuatan-kekuatan dominan internasional. Dengan meminjam teori "ketergantungan" (dependency theory), kita melihat Indonesia dan banyak negara yang termasuk ke dalam Dunia Ketiga-atau lebih baik, negara-negara tengah berkembang (developing countries)-terseret ke dalam orbit kapitalisme internasional.

Gejala ini kian menguat dengan meningkatnya globalisasi sejak 1980-an. Bermula dengan globalisasi pasar dan ekonomi yang berintikan liberalisasi pasar dan ekonomi, globalisasi juga dengan segera mengimbas ke dalam bidang politik, sosial, budaya dan seterusnya. Dalam bidang politik, globalisasi berarti liberalisasi politik yang memunculkan gelombang-gelombang demokrasi, yang pada akhirnya membuat berakhirnya negara-negara dengan rejim-rejim otoriter. Dan Indonesia pun mengalami liberalisasi politik ini sejak 1998.

Pada saat yang sama, secara kontradiktif globalisasi yang mendorong terjadinya liberalisasi politik, juga memunculkan nasionalisme etnis (ethnic nationalism) dan bahkan tribalism yang bernyala-nyala, sebagaimana bisa dilihat pada kasus negara-negara bekas Uni Soviet, dan Yugoslavia sampai sekarang ini. Indonesia-dalam krisis ekonomi dan politik 1998 dan seterusnya-bahkan juga sempat dicemaskan banyak pengamat asing sebagai segera mengalami proses Balkanisasi, persisnya disintegrasi. Tetapi, prediksi itu tidak terbukti; dan, sebaliknya, negara-bangsa Indonesia tetap bertahan hingga kini.

Dengan bertahannya negara-bangsa Indonesia, nasionalisme juga jelas tidak sepenuhnya berakhir di Indonesia. Bahkan, dengan modernisasi dan developmentalism-seperti dikemukakan di atas-kita melihat terjadinya transisi atau pergeseran bentuk-bentuk nasionalisme. Nasionalisme politik-kecuali dalam bentuk kedaulatan dan keutuhan wilayah-memang terlihat semakin menyurut, apalagi dengan berakhirnya perang dingin. Dalam konteks itu, kita melihat lenyap atau semakin berkurangnya konflik-konflik yang berakar dari nasionalisme politik di Indonesia.

Sekali lagi, di tengah arus globalisasi, nasionalisme ekonomi dan kultural kelihatan menemukan momentum baru. Modernisasi dan industrialisasi yang berlangsung dalam ukuran relatif cepat dan berdampak luas mengakibatkan Indonesia dan negara-negara berkembang umumnya harus menemukan dan mempertahankan pasar untuk produk-produk industri ekonomi, khususnya di negara-negara maju. Di sini nasionalisme ekonomi Indonesia dan negara-negara berkembang harus berhadapan dengan proteksionisme negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat dan Eropa Barat.

Di lain pihak, globalisasi informasi dan budaya yang dikendalikan negara-negara maju semakin dirasakan mengancam budaya Indonesia dan negara-negara berkembang. Memang tidak seluruh sistem nilai dan budaya yang disebarkan melalui globalisasi itu memiliki dampak negatif bagi perkembangan sistem nilai budaya tradisional dan nasional Indonesia, yang mengandung banyak kearifan local (local wisdom). Namun, rasa terancam dan kekhawatiran akan pelunturan nilai-nilai lokal jelas terus kian meningkat pula. Dalam hal ini, nasionalisme budaya Indonesia memang masih kalah, misalnya dibandingkan nasionalisme budaya Prancis dan sejumlah negara Eropa Barat lainnya, yang sempat mengancam untuk memboikot program-program TV buatan Amerika yang semakin mendominasi tayangan TV di negara mereka. Indonesia dan negara-negara berkembang umumnya, tampak masih berada dalam tahap "keterpesonaan" menyaksikan dan menerima globalisasi sistem nilai dan gaya hidup Amerika.6
 
 
Tiga Fase Nasionalisme
Mempertimbangkan survei kasar ini, kita melihat bahwa konsep nasionalisme Indonesia bukanlah sesuatu yang baku. Ia merupakan konsep dinamis yang mengalami perubahan sebagai hasil dialektika, baik dengan perubahan sosial, politik, dan ekonomi dalam negeri maupun dengan perubahan-perubahan pada tingkat global. Dalam kerangka itu, kita melihat setidaknya tiga tahap perkembangan nasionalisme di Indonesia dan banyak negara berkembang lainnya. Tahap pertama adalah pertumbuhan awal dan kristalisasi gagasan nasionalisme. Fase ini ditandai penyerapan gagasan nasionalisme yang selanjutnya diikuti pembentukan organisasi-organisasi yang disebut Benda dan McVey7 atau Hobsbawn8 sebagai "proto-nasionalisme". Kemunculan dan pertumbuhan proto-nasionalisme, dalam banyak hal, merupakan konsekuensi dari perubahan-perubahan cepat dan berdampak luas yang berlangsung di Indonesia dan banyak negara lain umunmya pada dekade-dekade awal abad 20. Dalam periode ini, sebagaimana kita ketahui, kolonialis Belanda di Indonesia melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan sosial dan ekonomi ‘liberal'. Di Indonesia, dalam bidang sosial, pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan politik etis yang, antara lain, menghasilkan ekspansi pendidikan bagi pribumi. Dalam bidang ekonomi, kebijaksanaan liberal mendorong pertumbuhan sektor ekonomi modern, yang mempunyai dampak meluas terhadap ekonomi tradisional; Indonesia dengan segera dibawa ke dalam orbit ekonomi pasar.

Semua perubahan cepat ini menimbulkan disrupsi dalam keseimbangan tatanan masyarakat tradisional; antara lain mengakibatkan terjadinya kemerosotan kepemimpinan tradisional dan melonggarnya ikatan­ikatan komunal dan etnis. Namun, anomali atau malaise semacam ini di kalangan masyarakat, tidak sepenuhnya negatif. Keadaan ini justru mendorong munculnya kesadaran baru tentang dunia yang tengah berubah, dengan tantangan baru yang membutuhkan respons baru pula.

‘Liberalisasi' dalam bidang pendidikan betapa pun terbatasnya, seperti dalam kasus Indonesia, berhasil memunculkan kelas terdidik baru, sekaligus kepemimpinan baru yang mempunyai peran sentral dalam kelahiran dan pertumbuhan awal proto-nasionalisme yang pada gilirannya menjadi nasionalisme yang lebih sempurna. Elit baru ini sangat berperan dalam menumbuhkan persepsi baru tentang nasionalitas berdasarkan pengalaman bersama menghadapi penjajah. Mereka merekat berbagai potensi yang genuine dalam masyarakat. Tradisi mereka menjadi bagian integral nasionalisme. Lagi-lagi dengan mengambil Indonesia sebagai contoh, kaum terpelajar mengambil inisiatif menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa ‘nasional' tanahair Indonesia-dalam lingkup geografis kekuasaan Belanda-sebagai batas-batas wilayah nasionalisme. Demikian pula berbagai suku bangsa di kepulauan Nusantara terikat dengan pengalaman sejarah yang sama sebagai "bangsa Indonesia."9 Inilah salah satu tahap paling krusial dalam pembentukan negara-bangsa Indonesia; inilah tahapan sejarah yang secara logis berkaitan dengan Kebangkitan Nasional 1908, yang pada 2008 ini kita rayakan sebagai Seratus Tahun atau Seabad Kebangkitan Nasional.

Tema sentral yang sama yang dikembangkan pada fase proto-nasionalisme atau nasionalisme awal ini, seperti bisa diduga, adalah penciptaan dan penggalangan semangat nasionalitas vis-à-vis penjajah; inilah tahapan-seperti barusan dikemukakan-sebagai Kebangkitan Nasional. Represi dan koersi yang dilakukan pemerintah kolonial mengakibatkan dimensi politis nasionalisme dalam fase ini tidak bisa mekar secara sempurna. Karena itulah yang lebih menonjol dalam pertumbuhan nasionalisme pada tahap ini adalah penggalangan dimensi-dimensi sosial dan kultural. Bahkan, organisasi-organisasi proto-nasionalis yang muncul dan berkembang lebih bersifat kultural, sosial, pendidikan, dan ekonomi ketimbang politis. Hal ini dapat dilihat dari organisasi-organisasi sejak Budi Utomo, Jong Java, Jong Islamieten Bond, sampai pada SDI dan SI, misalnya. Melalui organisasi­organisasi inilah "an imagined political community" mulai mengambil bentuknya dalam masyarakat Indonesia.10 Karena, seperti dikatakan Gellner, nasionalisme sebenarnya tidak mempunyai akar begitu kuat dalam psike manusia. Ia harus diciptakan dan ditumbuhkan.11

Masa pendudukan Jepang (interregnum) yang singkat (1940-1945) merupakan periode katalis dalam mengakselerasi pertumbuhan nasionalisme di Asia Tenggara. Pendudukan Jepang otomatis menghambat kepentingan dan tujuan pemerintahan kolonial Eropa. Selain itu, sebagai bagian dari kebijaksanaan anti-Baratnya, Jepang dengan sengaja mendorong pertumbuhan nasionalisme lokal di Indonesia dan wilayah-wilayah lainnya. Bahkan, Jepang memberikan peluang-betapa pun terbatasnya-kepada para pemimpin lokal untuk membicarakan masa depan wilayah dan bangsa mereka masing-masing.

Dengan demikian, nasionalisme di Indonesia dan banyak negara lain segera memasuki fase kedua. Dalam fase ini, seperti bisa diduga, nasionalisme sangat sarat dengan muatan politis ketimbang sosial dan kultural. Tema pokok nasionalisme di sini adalah apa yang disebut pemimpin nasionalis, semacam Soekarno, sebagai "nation and character building", yakni memupuk keutuhan dan integritas negara dan bangsa yang akan segera terwujud, sebagaimana dijanjikan Jepang. Pembinaan nasionalisme dalam konteks ini, sesuai dengan kebijakan Jepang, bertujuan mencegah dengan cara apapun kembalinya kolonialisme dan imperialisme Eropa ke berbagai wilayah Asia.

Pendudukan Jepang menciptakan perkembangan-perkembangan yang sangat kompleks bagi pertumbuhan nasionalisme Indonesia. Golongan nasionalis yang memegang kendali sejak pertumbuhan awal nasionalisme, dengan sengaja, dialienasikan penguasa Jepang. Jepang lebih memberi kesempatan dan ruang gerak kepada para pemimpin agama dan ulama. Hal ini sekadar langkah-antara untuk memobilisasi umat Islam dari tingkat paling bawah, ‘akar rumput' (grassroot). Langkah ini pada gilirannya menciptakan konflik antara kepemimpinan nasionalis dan kepemimpinan yang berakar pada sentimen keagamaan. Hanya beberapa saat menjelang berakhirnya pendudukan, Jepang kembali menoleh kepada kelompok nasionalis ‘sekuler'. Dengan sengaja, kelompok ini berhasil mengkonsolidasi diri untuk kemudian memegang kendali dalam proses pembentukan ‘nation state' Indonesia. Kepemimpinan agama pada akhirnya harus melakukan kompromi untuk meratakan jalan bagi pembentukan negara kebangsaan Indonesia, dengan menerima Pancasila sebagai ideologi nasional.12

‘Puncak' nasionalisme Indonesia-sesuai dengan kerangka Bell di atas-tercapai pada masa Soekarno. Berkat kemampuan intelektual dan retorikanya, presiden pertama Indonesia ini berhasil menggelorakan nasionalisme Indonesia, khususnya vis-à-vis kekuatan-kekuatan yang disebutnya sebagai neo-kolonialisme dan imperialisme (Nekolim). Soekarno bahkan bukan hanya menjadi perumus nasionalisme Indonesia yang eklektik, melainkan juga menjadi ‘juru bicara' nasionalisme paling artikulatif, baik bagi Indonesia mau pun bagi negara-negara yang baru bebas dari cengkeraman imperialisme dan kolonialisme Barat.

Bagi Soekarno, nasionalisme merupakan konsep sentral untuk membangun Indonesia yang mandiri dan terhormat di tengah percaturan internasional. Ia mengutuk eksklusivisme dan chauvinisme nasionalisme Eropa, yang justru menciptakan eksploitasi terhadap bangsa-bangsa Asia Afrika. Bagi Soekarno, nasionalisme harus berdasarkan rasa cinta kepada seluruh manusia. Namun, masyarakat Indonesia jelas terlalu majemuk dalam banyak hal untuk bisa diakomodasi dalam satu konsep nasionalisme. Baginya, konsep nasionalisme harus mampu memikat dan mengikat seluruh bagian masyarakat Indonesia. Kecenderungan eklektiknya memungkinkan dia untuk merumuskan konsep nasionalisme semacam itu berdasarkan sejumlah sumber yang bisa bertolak belakang satu sama lain. Dalam perumusan nasionalismenya, ia dapat mengambil dan menerapkan ‘analisis Marxis tentang penindasan imperialisme. Pada saat yang sama, ia juga menggunakan sikap permusuhan kaum Muslimin terhadap penjajah kafir. Dengan melakukan hal seperti itu, ia dapat mengembangkan gagasan sentral tentang nasion sebagai sebuah entitas yang dapat mendamaikan berbagai elemen yang bertentangan dalam masyarakat Indonesia dan mensubordinasikannya ke bawah tujuan-tujuan jangka panjang. Dalam kerangka itulah pada 1960-an, ia kemudian menggelindingkan konsep Nasakom untuk menyimbolkan kesatuan nasionalisme, agama, dan komunisme.13
 
Nasionalisme Soekarno yang kental dengan sikap anti-Barat (atau Nekolim) itu dicapai melalui pembangkitan sentimen dan penggalangan massa dengan menggunakan retorik dan jargon-jargon yang mempesona. Nekolim merupakan versi 1960-an dari sikap anti-imperialisme pada 1920-an, yang dirancangnya agar cocok dengan situasi di mana kekuasaan kolonial langsung berakhir; sementara kolonialisme dalam bentuk dominasi ekonomi Barat tetap berlangsung. Masih dalam konteks nasionalisme semacam ini, Soekarno memperkenalkan konsep New Emerging Forces (Nefos), kekuatan kebebasan, dan keadilan; dan Old Established Forces (Oldefos), kekuatan lama, penindasan. Atas nama kepentingan bangsa, nasionalisme, dan Nefos, Soekarno kemudian mengembalikan Irian Barat ke pelukan Indonesia dan melakukan kampanye ‘Ganyang Malaysia!'.

Berakhirnya kekuasaan Soekarno menyusul kegagalan kudeta berdarah PKI pada 30 September 1965 menandai berakhirnya fase kedua nasionalisme yang gegap gempita di Indonesia. Bangkitnya pemerintah Orde Baru di Indonesia di bawah pimpinan Jenderal Soeharto membuka kemunculan fase baru, yakni fase ketiga nasionalisme, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga dalam konteks regional Asia Tenggara, bahkan dalam hubungannya dengan dunia internasional lebih luas. Soeharto dan militer yang merasa traumatis dengan pengalaman politik Indonesia pada masa Soekarno, dengan segera melancarkan program modernisasi dan industrialisasi, yang lebih dikenal dengan istilah pembangunan (dengan ideologi ‘developmentalism'). Di sini, sebagaimana diungkapkan pada bagian awal, nasionalisme politik-khususnya dalam konteks regional Asia Tenggara dan internasional-mulai disurutkan. Konfrontasi dengan Malaysia segera ditamatkan. Slogan Soekarno yang terkenal "go to hell with your aid" dilipat ke balik lembaran sejarah. Penekanan kini diberikan pada nasionalisme ekonomi yang tidak jarang mengharuskan Indonesia meredam nasionalisme politiknya yang pernah berkobar-kobar.
 
 
Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama
Kebangkitan nasionalisme kultural dewasa ini, seperti disinggung di atas, dalam sejumlah kasus, tumbuh berbarengan dengan peningkatan sentimen etnisitas, bahkan sentimen keagamaan, yang pada gilirannya memunculkan nasionalisme politik yang amat kental. Seperti dikemukakan Nodia, nasionalisme ibarat satu koin yang mempunyai dua sisi. Sisi pertama adalah politik, dan sisi lainnya adalah etnik. Tidak ada nasionalisme tanpa elemen politik; tetapi substansinya tak bisa lain kecuali sentimen etnik. Hubungan elemen ini ibarat jiwa politik yang mengambil tubuhnya dalam etnisitas.14 Semua ini terlihat jelas melalui latar belakang kemunculan negara-negara di bekas Uni Soviet, Yugoslavia, Kurdistan, atau Eritrea, dan terakhir Kosovo. Nasionalisme yang muncul merupakan perpaduan sentimen etnisitas dan politik yang kemudian beramalgamasi dengan semangat keagamaan. Hasil dari perpaduan ini adalah nasionalisme yang sangat chauvinisme dan fascis, seperti terlihat jelas dalam kasus Serbia.

John Naisbitt dalam buku, Global Paradox (1994), secara tersirat menyebut etnisitas chauvinistik dan radikal itu sebagai ‘new tribalism". Tribalisme baru ini secara sempurna mewujudkan diri dalam berbagai tindak kebrutalan, perkosaan, pembunuhan, dan bentuk-bentuk lain ‘ethnic cleansing' di wilayah bekas Yugoslavia. Dan ini merupakan kecenderungan yang sangat berbahaya. Di sini Naisbitt mengutip laporan The Economist, yang menyatakan bahwa "virus tribalisme . . . mengandung risiko menjadi AIDS politik internasional, yang diam selama bertahun-tahun, tetapi tiba­tiba membara untuk menghancurkan berbagai negara." Naisbitt memprediksikan, pada masa depan kebanyakan konflik bersenjata akan bermotif etnik dan tribalisme ketimbang bermotif ekonomi dan politik.15

Teori tentang ‘tribalisme baru' sesungguhnya tidaklah terlalu baru. Konsep tentang ‘tribalisme baru' ini pertama kali dikembangkan Greely16 dan Novak17 dengan sebutan ‘new ethnicity'. Keduanya berargumen, sejak 1970-an di Amerika Serikat terjadi semacam kebangkitan minat dan kesadaran etnisitas, sehingga sebutan Amerika sebagai melting pot semakin kehilangan maknanya. Namun, berbeda dengan ‘tribalisme baru' kontemporer yang disebut Naisbitt, Novak melihat adanya dua elemen dasar etnisitas atau tribalisme baru itu, yaitu sensitifitas terhadap pluralisme etnik yang dipadukan dengan sikap respek terhadap perbedaan kultural antara berbagai kelompok etnis, dan pengujian secara sadar terhadap warisan kultural kelompok etnis sendiri.18

Sejauh mana relevansi teori Naisbitt atau Greely dan Novak dengan pengalaman Indonesia? Negara ini tentu saja memiliki potensi etnisitas atau tribalisme yang luar biasa besar. Namun, harus diingat bahwa kebangkitan ‘tribalisme baru' yang relatif ‘modern' seperti terjadi di Amerika Serikat atau ‘tribalisme baru primitif' di bekas Yugoslavia mempunyai konteks sosial dan historis tertentu, yang dalam banyak segi berbeda dengan Asia Tenggara.

Pengalaman historis Indonesia dengan nasionalisme, khususnya dalam hubungan dengan etnisitas dan agama sangat kompleks. Kompleksitas itu tidak hanya disebabkan perbedaan-perbedaan pengalaman historis dalam proses pertumbuhan nasionalisme, tetapi juga oleh realitas Indonesia yang sangat pluralistik, baik secara etnis mau pun agama. Peta etnografis Indonesia sangat kompleks, antara lain sebagai hasil dari tipografi kawasan ini. Indonesia dihuni kelompok-kelompok etnis dalam jumlah besar yang, selain mempunyai kesamaan­kesamaan fisik-biologis, juga memiliki perbedaan-perbedaan linguistik dan kultural yang cukup substansial.

Meski pun demikian, dalam pertumbuhan nasionalisme di Indonesia umumnya, etnisitas dapat dikatakan tidak sempat sepenuhnya mengalami kristalisasi menjadi dasar nasionalisme. Terdapat beberapa faktor yang menghalangi terjadinya kristalisasi sentimen etnisitas tersebut. Yang terpenting di antara faktor-faktor itu adalah agama dan kesadaran tentang pengalaman kesejarahan yang sama.

Dalam pengalaman Indonesia, kemajemukan etnisitas beserta potensi divisif dan konfliknya dengan segera dijinakkan faktor Islam sebagai agama yang dipeluk mayoritas penduduk Islam menjadi "supra-identity" dan fokus kesetiaan yang mengatasi identitas dan kesetiaan etnisitas. Dengan demikian, kedatangan dan perkembangan Islam di Indonesia tidak hanya menyatukan berbagai kelompok etnis dalam pandangan keagamaan dan dunia yang sama, tetapi juga dalam aspek-aspek penting-yang bahkan menjadi dasar nasionalisme-khususnya bahasa. Berkat Islam, bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa Indonesia, menjadi lingua franca berbagai kelompok etnis di Indonesia.19

Kesetiaan pada Islam di Indonesia pada gilirannya memperkuat kesadaran pengalaman kesejarahan yang sama. Dalam pengertian ini, penjajahan Belanda-yang secara teologis menurut ajaran Islam, adalah kafir-merupakan semacam blessing in disguise. Dengan kata lain, penjajahan Belanda mendorong berbagai kelompok etnis di Indonesia bersatu pada tingkat teologis keagamaan. Di sinilah kemudian sentimen etnisitas menjadi sesuatu yang tidak relevan. Lihatlah misalnya pengalaman Abd al-Shamad al-Palimbani (1704-1789), ularna besar asal Palembang yang mengirim surat-surat dari Mekah kepada penguasa Jawa Mataram untuk melakukan jihad melawan Belanda.20

Dengan demikian, dalam kasus Indonesia, Islam menjadi unsur qenuine, pendorong munculnya nasionalisme Indonesia. Pada saat yang sama, Islam juga mampu menjinakkan sentimen etnisitas untuk menumbuhkan loyalitas kepada entitas lebih tinggi. Kenyataan ini juga terlihat dari kemunculan Sarekat Islam (SI) yang merefleksikan nasionalisme keislaman-keindonesiaan, sekaligus sebagai respons terhadap kebangkitan nasionalisme di kalangan masyarakat Cina Hindia Belanda-baik Cina keturunan maupun Cina totok.21 Walau pun SI pada esensinya merupakan amalgamasi dari berbagai aspirasi-dari gagasan Ratu Adil sampai ke tandingan terhadap dominasi Cina-ia mampu menjadi organisasi yang melewati batas-batas etnisitas dan wilayah.

Dengan demikian, pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa etnisitas tidak menjadi faktor penghambat yang signifikan dalam pertumbuhan nasionalisme Indonesia. Bahkan, etnisitas cenderung kehilangan relevansinya sebagai sebuah tema politik. Hanya ada sebuah contoh yang agak langka, Gerakan Hasan Tiro di Aceh yang memang berusaha mengeksploitasi sentimen etnisitas Aceh vis-à-vis apa yang disebutnya sebagai ‘kolonialisme Jawa'. Ternyata tema "etnisitas" seperti ini tidak mendapatkan dukungan historis, sosiologis dan kultural dari kelompok-kelompok etnis lainnya. Sebab itu, Hasan Tiro mencoba mengeksploitasi sentimen lain yang menurutnya mungkin lebih ampuh, yakni dengan mengangkat nasionalisme Sumatera melalui apa yang disebutnya sebagai "Sumatera Merdeka". Ini jelas sudah keluar dari etnisitas dalam pengertian sesungguhnya. Bisa dipastikan, tidak banyak orang Sumatera yang menganggap serius tema ini.

Saya sependapat dengan Himmelfarb, adalah ironi yang pahit bagi sejarah bahwa sekarang ini ketika nasionalisme lebih baru menjadi lebih agresif dan brutal, nasionalisme lama menjadi lebih pasif, jinak, bahkan menolak kaitannya dengan agama. Agama dipandang tidak hanya sekadar kendala, tetapi bahkan merendahkan nasionalisme itu sendiri. Ini terlihat, misalnya, dari pandangan Fukuyama yang menganggap agama hanya menimbulkan dampak negatif terhadap nasionalisme.22

Pengalaman pertumbuhan dan kebangkitan nasionalisme Indonesia dalam hubungannya dengan etnisitas dan agama, seperti dikemukakan di atas, cukup bertolak belakang dengan pandangan Fukuyama. Fukuyama benar ketika menyatakan bahwa nasionalisme awal (tepatnya proto-nasionalisme) pada abad ke-16 di Eropa yang begitu kental dengan sentimen keagamaan, hanya menghasilkan fanatisme keagamaan dan perang agama. Anggapan ini juga mungkin benar dalam hubungannya dengan brutalitas nasionalisme Serbia beberapa tahun lalu. Namun, dalam kasus Islam di Indonesia, justru kebalikannya. Dengan wajah yang lebih toleran dan ramah, Islam Indonesia justru merangsang, menumbuhkan, dan berperan amat positif dalam pertumbuhan nasionalisme.

Revitalisasi Nasionalisme: Kebangkitan Nasional Kedua
Seabad Kebangkitan Nasional pada 2008 merupakan waktu yang tepat untuk merefleksikan kembali pengalaman Indonesia dengan Kebangkitan Nasional dan nasionalisme di masa kontemporer sekarang ini. Banyak kalangan menilai baik semangat Kebangkitan Nasional mau pun nasionalisme Indonesia itu sendiri tengah mengalami kemerosotan secara signifikan. Di tengah hiruk pikuk liberalisasi politik dan demokratisasi dalam satu dasawarsa terakhir-sejak 1998-tema Kebangkitan Nasional dan bahkan nasionalisme bahkan tidak lagi menjadi wacana publik.

Dalam pandangan saya, nasionalisme tetap relevan. Di tengah arus globalisasi yang terus meningkat, justru nasionalisme perlu revitalisasi-kembali digelorakan setiap anak bangsa; jika Indonesia tetap bertahan. Hanya dengan menggelorakan nasionalisme, semangat keindonesiaan, kita boleh berpikir tentang Kebangkitan Nasional kedua dalam masa-masa Milenium Kedua Kebangkitan Nasional negara-bangsa Indonesia.[]
 
 
------
  • 3 Lihat, Daniel Bell, The End of Ideology. Illinois: The Free Press, 1960, h. 373.
  • 4 Saya hanya bisa memperoleh edisi bahasa Indonesia karya ini. Lihat, E.J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad 21. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992, h. 193, 214.
  • 5 Lihat, Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man. New York: The Free Press, 1992, h. 266-275.
  • 6 Bandingkan, John Naisbitt & Patricia Aburdene, “Global Lifestyles and Cultural Nationalism”, dalam Mega Trends 2000: Ten New Directions for the 1990’s. New York: Avon Books, 1990, h. 116-156.
  • 7 Lihat esai pendahuluan H.J. Benda dan Ruth McVey dalam The Communist Uprisings of 1926-1927 in Indonesia: Key Documents. Ithaca: Cornell Modem Indonesia Project, 1960, h.
  • 8 Lihat, E.J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI. h. 57-93.
  • 9 Lihat, Robert van Niel, The Emergence of the Modern Indonesian Elite. Den Haag: van Hoeve, 1960.
  • 10 Lihat, B. Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London: Verso, 1991, khususnya h. 5-7.
  • 11 Lihat, Ernest Gellner, Nations and Nationalism. Ithaca: Cornell University Press, 1983, h. 34.
  • 12 Lihat, misalnya, H.J. Benda, The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese Occupation 1942-1945. Den Haag & Bandung: Van Hoeve, 1958, khususnya Bab 4 sampai 8; lihat pula, Azyumardi Azra, “Japan, Indonesia, Islam and the Muslim World”, Jakarta: The Japan Foundation”, 2006.
  • 13 Lebih lengkap tentang nasionalisme Soekarno, lihat, J.D. Legge, Soekarno: A Political Biography. New York: Praeger, 1972, terutama, h. 31-76, 337-384.
  • 14 Ghia Nodia, “Nationalism and Democracy”, dalam Journal of Democracy, Vol. 3, No.4, 1992, h. 14-15.
  • 15 Lihat, John Naisbitt, Global Paradox: The Bigger the World Economy, the More Powerful Its Smallest Players. New York: William Morrow, 1994, h. 21-25.
  • 16 Lihat, Andrew Greeley, Why Can’t They be Like Us? New York: E.P. Dutton, 1975.
  • 17 Lihat, Michael Novak, The Rise of the Unmeltable Ethnics. New York: Macmillan, 1971).
  • 18 Novak, Ibid, 17.
  • 19 Lihat, S.M.N. al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. Bandung: Mizan, 1977. Untuk pembahasan lebih rinci tentang peran Islam dalam pertumbuhan nasionalisme Indonesia, lihat studi klasik Fred R. von der Mehden, Religion and Nationalism in Southeast Asia: Burma, Indonesia, the Philippines. Madison: The University of Wisconsin Press, 1963.
  • 20 Lihat, Azyumardi Azra, “The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Networks of Middle Eastern and Malay-Indonesian ‘Ulama’ in the Seventeenth and Eighteenth Century”, Ph.D. Dissertation. Columbia University, 1992, h. 552-558; Azra, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia, Crows Nest, Australia, Honolulu, Leiden: AAAS, Hawaii University Press, dan KITLV Press, 2005.
  • 21 Tentang ini lihat, Azyumardi Azra, “The Indies Chinese and the Sarekat Islam: An Account of the Anti-Chinese Riots in Colonial Indonesia”, dalam Studia Islamika, Vol. 1, No.1, 1994.
  • 22 Lihat, Gertrude Himmelfarb, “The Dark and Bloody Crossroads: Where Nationalism and Religion Met”, The National Interest, (Summer 1993), 61. Cf. F. Fukuyama, “The End of History?”, The National Interest (Summer, 1989).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar